• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARA

KAYU TENO

5 INTEGRASI KEARIFAN LOKAL DAN KONSERVAS

5.1. Kearifan Lokal yang Mendukung Konservasi 1 Kearifan Budaya yang Mendukung Konservas

5.1.6 Masalah Konservasi dan Kesejahteraan

Keanekaragaman hayati pada suatu wilayah dianggap sebagai milik semua bangsa sehingga konservasi keanekaragaman hayati merupakan wacana penting yang menjamin kehidupan atau membahayakan manusia. Hal inilah yang menjadikan konservasi merupakan wacana penting. Hal mendasar dalam konservasi sebenarnya adalah hubungan antara manusia dengan lanskap sebagai tempat keanekaragaman hayati (Karanth dan Madhusudan 1997; Schwartzman et al. 2000; Madhusudan dan Raman 2003), serta mengartikulasikan hubungan manusia dengan alam dan cara menata serta menjalankan hubungan itu dengan baik (Escobar 1996).

Pengaruh adanya globalisasi menyebabkan masyarakat mengukur kesejahteraan hanya dari sisi materi sehingga melakukan eksploitasi hutan. Eksploitasi hutan melebihi kemampuan untuk regenerasi mengakibatkan kerusakan hutan yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kualitas hidup masyarakat tradisional. Kesejahteraan tidak semestinya diukur dari sisi materi saja melainkan juga dari sisi spiritual. Pemberian akses ke dalam hutan untuk kepentingan budaya merupakan merupakan suatu bentuk peningkatan kesejahteraan dan berdampak dukungan masyarakat terhadap kelestarian hutan. Pengakuan terhadap budaya lokal akan mendapatkan balasan berupa tanggung jawab pelestarian hutan sebagai

bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat tradisional. Penutupan hutan terhadap akses masyarakat tradisional berdampak pada konflik dan menjadikan hutan sebagai daerah bebas tanpa ada pengawasan dan pengaturan pemanfaatan sumberdaya sehingga berdampak pada degradasi hutan. Hal inilah yang menyebabkan kawasan hutan yang tertutup bagi akses pemanfaatan justru berdampak pemanfaatan yang merusak kelestarian hutan.

Keberhasilan program konservasi semestinya bukan hanya mengejar tujuan biosentris (Kwiatkowska 2006) melainkan juga kesejahteraan masyarakat tradisional sehingga pendekatan antroposentris cukup untuk melindungi keanekaragaman hayati (Knight dan Cowling 2007). Kesejahteraan masyarakat tradisional menyangkut pemenuhan beberapa hal antara lain adalah akses pemenuhan kebutuhan material dasar, kebebasan dan pilihan, kesehatan, hubungan sosial yang baik dan keamanan. Akses pemenuhan material dasar untuk kehidupan yang baik terkait dengan penyediaan seperti makanan air. Kebebasan dan pilihan adalah kebebasan untuk memilih dan mendapatkan kebutuhan material, jasa budaya dan jasa ekosistem. Kesehatan terkait dengan penyediaan pangan dan jasa ekosistem air dan udara serta manfaat rekreasi dan spiritual. Hubungan sosial dipengaruhi oleh perubahan jasa kultural, yang mempengaruhi kualitas pengalaman manusia. Keamanan dipengaruhi perubahan persediaan makanan dan barang- barang lain, konflik atas sumberdaya dan ancaman banjir, kekeringan, tanah longsor, atau lainnya bencana serta kehilangan atribut upacara atau spiritual penting dari ekosistem sehingga hubungan sosial dalam masyarakat melemah (Watson dan Zakri 2003). Salim et al. (1999) mengindikasikan kesejahteraan masyarakat tradisional dengan adanya akses terhadap sumberdaya hutan dan berbagai manfaat ekonomi, pengelolaan hutan yang mengakui keberadaan budaya masyarakat tradisional. Pada kedua kawasan tersebut terdapat kegiatan ekoturisme yang dilakukan oleh pemerintah pada Hutan Ruteng dan masyarakat tradisional pada Hutan Todo. Ekoturisme dapat menjembatani antara kepentingan konservasi dan kesejahteraan masyarakat tradisional (Zambrano et al. 2010).

Konservasi adalah pemanfaatan berkelanjutan sebab itu kegiatan konservasi tidak semestinya memisahkan masyarakat dari pemanfaatan sumberdaya hutan yang lestari dengan alasan pelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat tradisional dengan kearifan lokalnya ternyata berperan penting dalam kelestarian hutan (Baird dan Dearden 2003; Negi 2010; Turner et al. 2011, Pei et al. 2009; Pei 2013).

Konservasi yang diinisiasi pemerintah pada Hutan Ruteng berupaya melakukan pelestarian dengan cara memisahkan pengelolaan dari interaksi masyarakat terhadap hutan. Konservasi pada awal pembentukan hutan konservasi di Ruteng adalah preservasi dengan pelarangan berbagai bentuk kegiatan di dalam kawasan. Papan-papan larangan memasuki kawasan ditancapkan di banyak tempat pada batas kawasan dengan ancaman hukuman hingga 5 tahun penjara. Adanya perbedaan tempat penanaman pal batas antara pal Belanda dan pal yang ditanam Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) menyebabkan banyak lahan kebun masyarakat masuk ke dalam kawasan hutan. Masyarakat melakukan protes dengan mencabut dan memindahkan pal batas sesuai keinginan mereka dan menjadi awal antipati masyarakat terhadap konservasi.

Masyarakat tetap menggarap kebun pada batas kawasan dan menganggapnya

batas kawasan. Pada saat patroli pengamanan hutan, petugas menangkap penggarap kebun yang menurut petugas berada dalam kawasan dan memberikan surat peringatan. Apabila lebih dari 3 kali tertangkap maka akan diproses hukum hingga di penjara.

Masyarakat sekitar hutan Ruteng apabila ditanyakan mengenai siapa yang bertanggung jawab pada pelestarian hutan akan menjawab, “ Hutan Ruteng ini

tanggung jawab petugas Pak”, jawaban berbeda pada masyarakat di Hutan Todo

yang merasa mendapatkan manfaat dari kelestarian hutan. Program konservasi yang berhubungan dengan masyarakat seperti penyuluhan, siaran berita konservasi maupun pembentukan kelompok pecinta alam, sarasehan dan bhakti sosial bertujuan untuk pelarangan masyarakat masuk hutan dengan alasan preservasi. Masyarakat tradisional hanya merasakan pembatasan akses ke dalam hutan dan seringkali pada saat kegiatan penyuluhan terucap dari masyarakat “Bapak-bapak ini lebih sayang pada burung dan pohon dari pada manusia ....”.

Perbedaan cara pandang antara masyarakat dan pengelola Hutan Ruteng yang menyebabkan kegagalan konservasi. Pengelola Hutan Ruteng menganggap hutan sebagai aset yang harus dijaga dari berbagai pemanfaatan yang dianggap merusak. Masyarakat tradisional menganggap hutan sebagai tempat hidup berbagai spesies untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan keperluan upacara adat. Pengelola hutan Ruteng menganggap masyarakat tradisional tidak mengerti masalah konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan adalah salah dan merusak. Program kegiatan penyuluhan, pemberdayaan masyarakat daerah penyangga dengan memberikan bantuan ternak, bibit pohon, uang tunai hingga 15 juta rupiah per kelompok dan patroli pengamanan hutan bertujuan untuk memisahkan penduduk dari hutan sebagai satu-satunya jalan menyelamatkan masa depan sedangkan masyarakat tradisional menginginkan pengambilan kayu terutama untuk kebutuhan pembangunan rumah adat.

Konflik antara pemerintah daerah dan masyarakat adat semakin meningkat hingga pada Tahun 2004 saat Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai mengadakan kegiatan operasi penertiban kawasan hutan dengan menebang semua tanaman masyarakat yang menurut pemerintah adalah kawasan hutan negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, ratusan orang mendatangi kantor polisi untuk membebaskan 7 orang rekannya yang ditahan karena penanaman kopi yang menurut pemerintah dalam kawasan Hutan Ruteng. Tuntutan ini berujung konflik yang menyebabkan 5 orang meninggal dunia dan 26 orang lainnya terluka parah (IWGIA 2005).

Pihak Balai Besar KSDA NTT selaku pengelola kawasan Hutan Ruteng menginisiani kesepakatan bersama antara pemerintah daerah, Balai Besar KSDA NTT, Gereja dan Lembaga Adat mengenai pengelolaan Hutan Ruteng pada tanggal 30 Mei 2013. Hasil kesepakatan bersama tersebut antara lain adalah melakukan peninjauan kembali wilayah adat dalam kawasan Hutan Ruteng, penguatan kelembagaan adat secara teknis dan mengadopsi serta menerapkan nilai-nilai budaya dan kearifan tradisional Manggarai yang telah ada dalam kehidupan sehari- hari.

Selain adanya konflik, kegiatan ekoturisme yang kurang melibatkan masyarakat serta tidak terpenuhinya kebutuhan kayu bangunan dari hutan sebagai prasyarat pembangunan rumah adat mengakibatkan sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap keberadaan hutan Ruteng. Masyarakat tidak merasakan adanya manfaat selain pembatasan-pembatasan kegiatan di dalam hutan serta

pengambil alihan kebun untuk hutan dengan adanya perbedaan letak pal batas antara pal Belanda dan pal Indonesia.

Masyarakat menerima keuntungan keberadaan konservasi terutama kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti bantuan ternak, bibit pohon sengon dan suren untuk kayu bangunan, bantuan uang tunai dan sebagainya. Keberhasilan program konservasi dapat dilihat dari banyaknya pohon hasil penyuluhan dan bantuan bibit pohon yang telah berumur lebih dari 20 tahun. Pengelola hutan Ruteng berhasil merehabilitasi ratusan hektar kawasan hutan melalui program rehabilitasi lahan, swadaya dari kader konservasi dan pecinta alam namun laju kerusakan hutan masih lebih tinggi daripada hasil rehabilitasi. Kebun-kebun di sekitar hutan alami ini mirip hutan tanaman milik masyarakat yang merupakan pohon-pohon pelindung kopi (agroforrestri). Namun hasil panen dan harga jual yang rendah menyebabkan masyarakat tetap masuk hutan untuk mencari kayu bakar dan kayu bangunan untuk dijual ke kota Ruteng.

Konservasi semestinya menjamin kesejahteraan masyarakat tradisional dengan akses terhadap sumberdaya hutan, manfaat ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Sejalan dengan konsep perlindungan dengan cara memanfaatkan, maka pemanfaatan ekoturisme yang sudah dilakukan masyarakat kampung Wae Rebo semestinya dilakukan juga pada wilayah Hutan Ruteng. Ekowisata dengan melibatkan Masyarakat tradisionalmerupakan kegiatan yang kompatibel dengan kepentingan konservasi dan ekonomi lokal. Pengalaman pelibatan Masyarakat tradisionaldi Hutan Todo dan Hutan Ruteng merupakan contoh yang menarik mengenai kegagalan dan keberhasilan dalam pengelolaan hutan yang memberikan manfaat pada masyarakat lokal.

Meskipun kondisi ekologi kurang menguntungkan seperti wilayah lembah yang curam, intensitas hujan yang tinggi, tanah asam, petani Manggarai telah berhasil mengelola lahan dengan baik lanskap budaya yang dimiliki. Pengelolaan lahan secara tradisional orang Manggarai masih dipertahankan karena lahan komunal merupakan ikatan sosial kekerabatan dan tempat melakukan ritual tradisional. Alasan lainnya adalah kondisi geografi pegunungan kemiringan lebih dari 60% lebih menguntungkan bila lahan dikelola secara tradisional.

Kelembagaan lokal orang Manggarai akan semakin menurun dengan perubahan gaya hidup pengaruh modernisasi (Lawang 2004) dan juga penurunan pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan dan hal ini menjadi ancaman dalam praktek konservasi tradisional. Tantangan lainnya adalah kepadatan agraris dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang menyebabkan bagian lahan garapan dalam tanah komunal akan semakin sempit sehingga mempengaruhi pola pengelolaan lahan menjadi tidak berkelanjutan.

5.2 Konsep Integrasi Kearifan Lokal dan Konservasi