• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 ETNOGRAFI MASYARAKAT SUKU MANGGARA

2.3 Hasil dan Pembahasan 1 Asal Usul dan Sejarah Suku Manggara

2.3.9 Kepercayaan dan Agama

Orang Manggarai adalah campuran dari Manggarai asli dengan pendatang dari luar Flores yang mempengaruhi keyakinan mereka mengenai adanya manifestasi tertinggi disebut Mori Keraeng. Masyarakat lebih sering menyebut nama Mori Kraeng dari pada nama Tuhan. Orang Manggarai mempercayai alam semesta merupakan ciptaan Mori Keraeng sebagai wujud tertinggi orang Manggarai. Mori Keraeng adalah pencipta langit, bumi, bulan, matahari dan seluruh jagad raya. Istilah Mori Keraeng bukan kepercayaan asli Manggarai melainkan pengaruh Bugis saat Kerajaan Goa menguasai Manggarai. Mori artinya tuan dan keraeng artinya raja, sehingga Mori Keraeng berarti Tuhan Raja. Kepercayaan ini pengaruh monoteisme yang mempercayai satu tuhan yang menguasai seluruh alam semesta (Verheijen 1991). Dalam praktek sehari-hari kepercayaan ini mengalami inkulturasi dengan kepercayaan setempat sehingga selain Mori Keraeng juga mempercayai dewa-dewa setempat.

Meskipun telah memiliki agama, namun orang Manggarai masih melakukan ritual kepercayaan tradisional yang dilakkan pada 3 macam tempat persembahan, yaitu langkar, compang, dan hekang kode (Gambar 2.3). Langkar merupakan tempat persembahan satu keluarga kepada leluhur yang terbuat dari bambu berbentuk persegi di dalam setiap rumah orang Manggarai. Compang tempat persembahan untuk satu kampung berbentuk bulat terbuat dari batu bersusun yang berada di tangah kampung. Hekang kode merupakan tempat persembahan satu rumah adat yang dihuni beberapa keluarga pemimpin adat pada leluhur yang terletak pada lantai kelima rumah adat.

Bumi dalam persepsi orang Manggarai adalah ibu yang menghasilkan atau memberikan makanan, sehingga harus dihormati, diperlakukan dengan baik dan sakral. Saat pembukaan lahan pertanian dan penggalian lubang makam dilakukan upacara adat untuk menghormati dewa penjaga tanah. Langit adalah bapak yang memberikan hujan untuk kesuburan tanah.

Gambar 2.3 Compang untuk altar persembahan satu kampung terbuat dari batu yang disusun membentuk sebuah lingkaran dan langkar tempat persembahan terbuat dari bambu berentuk persegi

Kehidupan agraris mempengaruhi upacara-upacara adat yang berhubungan dengan pertanian. Upacara adat terpenting setiap tahun adalah penti. Penti merupakan upacara syukuran atas hasil panen dan permohonan agar panen mendatang berhasil. Penti merupakan gabungan dari tiga upacara adat untuk untuk menghormati menghormati roh penjaga kampung (naga golo), roh penjaga mata air (darat) melalui upacara barong wae dan roh penjaga tanah pertanian (teno) melalui upacara barong lodok.

Orang Manggarai merupakan salah satu suku Murba, yaitu suku yang hidup di zaman modern tetapi masih memiliki sifat purba yang terlihat dalam sistem keagamaan mereka (Hadiwiyono 1985). Orang Manggarai percaya alam dan supranatural adalah dimensi yang berbeda. Supranatural memiliki pengaruh yang besar pada kehidupan manusia sehingga harus hidup selaras dengan alam. Wilayah angker biasanya terletak di sebuah pohon besar, hutan, jurang dan gua sehingga tujuan upacara adat adalah untuk mendapatkan izin ketika melakukan aktivitas di tempat angker.

Keyakinan ini mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tunduk pada dunia gaib sehingga melakukan upacara adat. Upacara tradisional utama adalah penti yaitu upacara penutupan tahun untuk panen kebun yang sebenarnya merupakan kesatuan dari tiga ritual untuk menghormati tiga roh teritorial. Ketiga roh tersebut adalah teno sebagai penjaga kebun yang dihormati melalui upacara barong Lodok, darat sebagai roh yang berdiam di alam seperti di mata air melalui upacara barong wae dan naga golo yang berdiam di tengah-tengah kampung.

Upacara tradisional merupakan bentuk komunikasi dan penyembahan kepada kekuatan yang tidak terlihat yang memiliki posisi lebih tinggi yang menentukan kehidupan. Menurut Verheijen (1991), bahwa masyarakat Manggarai berdoa kepada Mori Kraeng jika mereka ingin menebang pohon besar atau membuka kebun untuk mengusir roh-roh jahat. Menurut cerita dari tetua Manggarai, misionaris memperkenalkan Tuhan yang menjadi jembatan antara orang hidup dan dunia orang mati. Konsep ini diterima oleh kebanyakan orang karena sesuai upacara Manggarai yang disebut kelas, yaitu upacara tradisional untuk menghantar roh-roh orang mati dari dunia manusia ke dunia roh.

Masyarakat Manggarai percaya adanya dunia orang hidup dan dunia orang mati sehingga memiliki upacara kelas. Dua dunia ini berada pada tempat yang sama namun berbeda dimensi sehingga orang hidup dapat berkomunikasi dengan orang mati. Selain dunia roh manusia masyarakat juga mengenal roh jahat, yaitu poti (setan) tanpa wujud nyata yang dapat mengganggu manusia. Masyarakat

memberikan sesaji pada roh di tempat angker agar tidak mengganggu melainkan memberikan hasil panen melimpah atau debit air pada mata air lebih besar.

Gambar 2.4 Makanan, minuman, kotak uang sumbangan dari pelayat dan barang- barang lainnya diletakkan dekat peti mati pada acara kematian seorang anak muda di Wae Rebo

Pada acara kematian kerabat perempuan meratap tangis dengan keras dan saat mendengar orang menangis sambil berjalan, warga segera masuk rumah untuk sesaat. Jika meninggal pagi pemakaman menunggu kerabatnya berkumpul hingga esok hari. Pelayat menaruh uang kedukaan dalam piring terbuka dan tetua kerabat menyampaikan pada jenasah mengenai kerabat dan pelayat serta jumlah uang duka seakan masih bisa berkomunikasi dengan orang mati (Gambar 2.4). Kerabat perempuan menangis mengelilingi jenasah dengan kata-kata yang terdengar seperti syair secara bergantian.

Sebelum menggali tanah untuk pemakaman, tetua adat memukul mukul tanah sebanyak tiga kali sambil berdoa memohon kepada naga tanah agar tidak ada halangan saat pemakaman jenasah. Tetua kerabat memulai proses pemakaman dengan syair-syair Manggarai dan pembacaan doa secara Katolik. Kerabat dan pelayat membawa peti jenasah ke pemakaman, menimbuni tanah sambil mengguyurkan air tiga kali, memasang tiang salib pada bagian kaki dan menyalakan lilin sekeliling makam serta meletakkan beberapa barang almarhum seperti rokok, nasi dan lauk pauk dalam piring di atas makam.

Upacara adat penting mendukung konservasi adalah barong wae yang memuja roh-roh yang menjaga mata air (Gambar 2.5). Kepercayaan itu menyebabkan masyarakat menetapkan hutan keramat pada sekitar mata air. Hutan keramat di dalam hutan negara sebagai ritual keagamaan dan penghormatan kepada

leluhur semestinya diakomodasi sebagai zona inti yang memberikan keuntungan dalam ekologi (Kosmaryandi 2012b). Di lokasi penelitian, kepercayaan barong wae berdampak pelestarian hutan Mano yang disebut pong Dode (4,3 ha), hutan di sekitar Danau Ranamese (11 ha) untuk memenuhi kebutuhan irigasi dan 7 daerah keramat Wae Rebo yang berperan melestarikan hutan Todo.

Ritual adat juga dihubungkan dengan adanya legenda. Ritual adat di wilayah danau Ranamese berhubungan dengan adanya dua legenda. Legenda pertama menceritakan mengenai penghuni mahluk halus Danau Ranamese berburu tikus (menurut roh halus adalah babi hutan), namun secara tidak sengaja tikus tersebut terbunuh manusia yang sedang menebang pohon. Manusia berdamai dengan memberikan tikus tersebut pada penghuni Ranamese serta berjanji memberikan bantuan bila penghuni Ranamese membutuhkan. Beberapa waktu kemudian penghuni Danau Ranamese dengan bantuan manusia berperang dengan penghuni Danau Ranahenbok. Pasukan Danau Ranamese menang karena manusia menggunakan parang sedangkan pasukan Ranahenbok menggunakan belut sehingga Penghuni Ranahenbok memperluas Danau Ranamese untuk membayar kekalahannya. Dalam bahasa Manggarai rana artinya danau dan mese artinya besar. Manusia yang membantu penghuni Ranamese tersebut adalah nenek moyang penduduk kampung Lerang. Masyarakat Lerang masih percaya legenda ini.

Legenda kedua menceritakan bahwa Danau Ranamese dahulu merupakan lembah yang berhutan lebat. Seorang pemburu yang sedang berada di lembah memanjat sebuah pohon untuk mencari binatang buruan melihat benda kuning mengkilat seperti emas tetapi saat turun dari pohon benda tersebut menghilang. Pemburu kembali naik ke atas pohon dan terjadi hal yang sama sebanyak tiga kali. Pemburu kembali naik ke atas pohon dan menancapkan tombaknya pada benda kuning mengkilat tersebut dan air memancar dari tanah. Pemburu berlari menjauh namun air terus memancar dan akhinya ia mati di pinggir danau. Pemburu tersebut menurut legenda menjadi batu besar di pinggir danau yang disebut watu naga (batu naga). Masyarakat mencurahkan darah ayam diatas watu naga dalam ritual persembahan pada leluhur setiap tahun.

Tumbuhan dan satwaliar di dalam hutan keramat terlindungi dengan baik karena adanya larangan untuk berburu satwaliar dan mengambil tumbuhan hutan. Hutan sekitar Danau Ranamese sebagai hutan keramat untuk warga kampung Lerang merupakan habitat 45 spesies burung. Dua burung air migran hidup di dalam danau, yaitu Anas gibberifrons (Miller, 1842) and Tachybaptus ruficollis (Pallas, 1764). Beberapa burung dilindungi hidup di dalam hutan, yaitu: Accipiter novaehollandiae (Gmelin, 1788)), Haliastur indus (Boddaert, 1783), Spizaetus cirrhatus, (Gmelin 1788), Elanus caeruleus (Desfontaines, 1789), Nectarina jugularis (Linnaeus 1766) dan Philemon buceroides (Swainson 1838) (Widodo 1998). Hutan keramat sekitar Wae Rebo merupakan habitat satwaliar endemik seperti burung hantu kerdil (Otus alfredi (Hartert, 1896)), gagak flores (Corvus florensis (Buttikofer, 1894)), tikus raksasa betu (Papagomys armandvilley (Jentink, 1892)) and piton kembang (Python reticulatus (Schneider, 1801)) (Trainor & Lesmana 2000).

Gambar 2.5 Mata air tempat melaksanakan upacara barong wae di kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo

Masyarakat tradisional percaya pada totem untuk perlindungan satwa liar terkait dengan cerita mitos masa lalu yang melarang untuk mengganggu satwa liar tertentu. Dalam istilah Manggarai totem disebut dengan ceki yang masih diyakini karena pelanggaran ceki berdampak pada kesehatan misalnya gatal di seluruh tubuh dan akan sembuh dengan berjalan di sekitar desa membawa kurungan ayam di atas kepala. Masyarakat menceritakan ceki turun temurun dan merupakan pantangan bagi garis keturunan tertentu. Bila merantau ke tempat lain, ceki tetap berlaku bagi yang bersangkutan yang disebut ceki lerong. Setelah menikah isteri mengikuti suami dalam hal ceki. Pada wilayah kampung penelitian, kampung mano memiliki ceki kode (Macaca fascicularis) sedangkan dua kampung lainnya, yaitu kampung Lerang dan Wae Rebo memiliki ceki rotung (Hystryx brachyura).

Ceki adalah dapat mengikat seseorang melalui kesepakatan dalam sebuah upacara adat. Setiap kampung di Manggarai memiliki kepercayaan ceki pada satwa liar yang berbeda-beda. Ceki dapat digunakan untuk membantu melestarikan satwa liar yang memiliki status dilindungi melalui upacara adat yang menetapkan satwa liar tersebut ke dalam satwa ceki. Ceki membantu melestarikan spesies dilindungi dan endemik seperti burung hantu kerdil atau po (Otus Alfredi), tikus betu (Papagomys armandvilley), gagak flores atau ka (Corvus florensis), landak atau rotung (Hystryx brachyura), dan lainnya. Tradisi spesies totem menjamin konservasi keanekaragaman hayati melalui partisipasi masyarakat (Khan et al. 2008).

Perlindungan karena spesies keramat secara alami mempertahankan populasi spesies di alam liar, contohnya pohon beringin sebagai pohon keramat akan terus tumbuh dan mati secara alami. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di hutan keramat kampung Mano masih tetap ada meskipun daerah sekitarnya adalah kebun dan perumahan masyarakat karena kera ekor panjang adalah ceki masyarakat kampung Mano. Menurut masyarakat Mano ada seekor kera putih di tengah pong dode yang hanya terlihat oleh orang-orang tertentu. Orang yang dapat melihat kera putih ini konon mengalami perubahan nasib baik.

Kepercayaan masyarakat setempat juga terwujud dalam tarian adat Manggarai yang utama, yaitu caci karena yang berkaitan dengan upacara penti. Masyarakat menari caci sehari sebelum acara penti. Caci berasal dari kata Manggarai ca artinya satu dan ci artinya uji sehingga caci artinya uji satu lawan satu. Legenda caci berawal dari kisah dua orang kakak beradik di padang rumput dengan seekor kerbau peliharaan. Si adik terperosok ke lubang dalam dan kakaknya berusaha menolongnya. Sang kakak menyembelih kerbau dan menggunakan

kulitnya sebagai tali untuk menolong adiknya. Gerakan saling mencambuk dan terluka tetapi tidak marah dan tetap sopan merupakan simbol pertobatan, pengendalian emosi dan persaudaraan. Tarian caci melibatkan dua orang laki-laki, seorang membawa tameng (nggilig) dan lainnya cambuk (larik) yang memainkannya bergantian. Tabuhan gendang dan gong mengiringi tarian caci. Setelah selesai acara caci para pemain menyimpan gong dan gendang di rumah adat.

Permainan caci saat ini tidak hanya saat acara penti melainkan juga saat acara resmi di kabupaten dan permintaan turis. Selama atraksi caci para pemain menyanyikan nyanyian saat sebelum acara, ada yang terkena cambukan dan penutupan. Tetua caci mengobati yang terluka menggunakan mantra. Artibut caci antara lain celana panjang putih sebagian dilapisi kain tenun hitam songke dan selendang songke. Penutup dahi (panggal) berbentuk segi empat dengan kedua sisinya seperti tanduk kerbau dengan hiasan bulu binatang terbuat dari kulit kerbau, sapi atau kambing. Romhe (penutup dagu) terbuat dari kain merah (gerang) dan nggorang (giring-giring) terikat di pinggang dengan penahan (ndeki) terbuat dari rotan dengan hiasan bulu kuda (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Pemain caci tampak dari depan dan belakang

Peralatan untuk menyerang dan menahan serangan tari caci adalah larik, nggilig dan agang. Larik (cambuk) terbuat dari kayu kopi robusta terbalut kulit kerbau. Nggilig (tameng) terbuat dari kulit kerbau dengan kerangka kayu kopi robusta. Alat penangkis serangan selain tameng adalah agang yang terbuat dari bambu betung.

Tarian merakyat lainnya tarian pesta yang disebut ja’i. Seorang pemimpin tari

melakukan gerakan dan peserta pesta mengikuti gerakannya dengan selingan gerakan lucu diiringi musik modern. Alat-alat musik tradisional Manggarai umumnya terdiri dari: gong terbuat dari besi, sunding (suling) dari bambu helung (Schizostachyum blumii), tinding (alat musik pukul) dari bambu betong (Dendrocalamus asper), tambor dan gendang dari kayu lumu (Manglietia glauca) atau ajang (Toona sureni) dan kulit sapi atau kambing.