• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARA

12. Tumbuhan Hias dan Pagar Batas

3.3.3 Pemanfaatan Komersial Tumbuhan Hutan

Pemanfaatan komersial tumbuhan hutan oleh masyarakat di sekitar Hutan Ruteng untuk memenuhi kebutuhan uang tunai karena penjualan hasil kebun belum memenuhi kebutuhan subsisten. Pemanfaatan komersial merupakan kegiatan menjual spesies tumbuhan hutan untuk mendapatkan uang tunai. Pemanfaatan spesies dengan cara mematikan yang kurang terkontrol melebihi kemampuan regenerasi hutan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi hutan sehingga berdampak degradasi hutan (Pei et al. 2009).

Jumlah spesies tumbuhan hutan yang dimanfaatkan secara komersial adalah sebanyak 37 spesies dan sebagian besar sebanyak 34 spesies untuk kayu bangunan dan kayu bakar. Nilai tingkat pemanfaataan spesies tumbuhan hutan komersial adalah sebesar (RUIs) 13.33%. Meskipun prosentase pemanfaatan komersial tersebut tergolong rendah, namun karena 34 spesies yang dimanfaatkan dengan cara menebang batang pohon maka dapat berdampak kerusakan hutan.

Pemanfaatan komersial merupakan dampak perubahan sosial dari kehidupan subsisten menuju pada kehidupan modern yang menuntut pengambilan sumberdaya lebih besar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan komersial berdasarkan permintaan pasar serta keinginan untuk memenuhi kebutuhan uang tunai sehingga jumlah yang dimanfaatkan tidak lagi diatur oleh lembaga lokal. Pemanfaatan komersial tumbuhan hutan tidak dilakukan masyarakat sekitar Hutan Todo karena kebutuhan uang tunai terpenuhi dari hasil wisata dan penjualan hasil kebun. 3.3.4 Spesies penting secara budaya dan ekologi

Motivasi untuk konservasi tumbuhan adalah agar tetap mendapat manfaat dari spesies tersebut (Pei et al. 2009; Zuhud et al. 2007). Spesies penting membentuk identitas budaya dan berperan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Setiap spesies memiliki fungsi yang berbeda sehingga beberapa spesies lebih penting dari yang lain (Turner 1988; Cristancho & Vining 2004; Garibaldi & Turner 2004). Spesies yang berbeda memiliki kepentingan fungsi yang berbeda bagi masyarakat sehingga beberapa spesies berperan lebih penting dari yang lain. Untuk mengukur kepentingan spesies secara budaya adalah dengan Index of Cultural Significance (ICS) (Turner 1988; Cristancho dan Vining 2004). Jumlah tumbuhan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah 161 spesies. Tumbuhan bermanfaat tersebut yang termasuk dalam nilai ICS katagori sedang sebanyak 52 spesies (32.3%), rendah 99 spesies (61.49%) dan sangat rendah 6 spesies (3.72%) (Tabel 3.25).

Spesies yang memiliki nilai ICS katagori sangat tinggi (nilai ICS 102) pada masyarakat Manggarai adalah pohon teno (Melochia umbellata). Masyarakat memanfaatkan pohon teno untuk 6 manfaat, yaitu: bahan bangunan, tumbuhan obat, kayu bakar, bahan tali, mitos legenda dan ritual dan patok batas. Kulit kayu teno dibuat tali untuk pengikat hewan peliharaan dan obat sakit pinggang. Tua teno adat atau tua adat pembagi tanah komunal yang menancapkan kayu ini pada bagian

tengah kebun sebelum membagi lahan komunal. Kayu teno ini lunak saat masih basah tetapi keras bila sudah mulai kering, sulit untuk dibelah dan tahan lama di dalam tanah.

Tabel 3.25 Nilai Index of Cultural Significance (ICS) spesies tumbuhan hutan

No Katagori ICS Nama Species Keterangan

1 Sangat tinggi (>100) Teno (Melochia umbellata) Pohon, ICS = 104 2 Tinggi (50 – 99) Ara (Ficus variegata) Pohon, ICS = 61

Kempo (Palaquium obovatum)

Pohon, ICS = 56 Ajang (Toona sureni) Pohon, ICS = 53 3 Sedang (20 – 49) 52 spesies Pohon, herba, liana 4 Rendah (5 -19) 99 spesies Pohon, herba, liana 5 Sangat Rendah (1 – 4) 6 spesies Pohon, herba, epifit

Keterangan: ICS spesies tumbuhan hutan selengkapnya pada Lampiran 2

Masyarakat menggunakan kayu teno pada tiang penyangga rumah karena mitos untuk kerukunan, ketentraman dalam rumah dan dapat mengusir roh jahat. Manfaat yang tinggi dari pohon teno membuat masyarakat menghubungkannya dengan nama dewa penjaga kebun (teno) dan pemimpin tradisional pembagi tanah komunal. Menurut Zuhud et al. (2007) bahwa masyarakat mengetahui potensi stimulus alami tumbuhan dan stimulus manfaat nyata dari spesies yang mendorong kesediaan untuk melakukan konservasi, juga stimulus nilai-nilai agama untuk aksi konservasi.

Gambar 3.13 Pohon teno (Melochia umbellata) merupakan spesies tumbuhan yang paling penting secara budaya di Manggarai

Aspek manfaat memberikan motivasi untuk melakukan konservasi agar tetap terus mendapatkan manfaat dari spesies tumbuhan (Pei et al. 2009). Upaya konservasi pohon teno adalah dengan memelihara anakan yang tumbuh alami di kebun atau halaman rumah karena belum mengetahui cara membudidayakannya. Menurut masyarakat benih teno terlalu kecil dan sulit mengetahui waktu benih tersebut jatuh ke tanah. Pohon Teno sulit untuk tumbuh di tengah hutan lebat karena sifat toleran terhadap sinar matahari sehingga masyarakat memanfaatkan yang tumbuh di kebun atau lahan terbuka.

Diameter teno (Mellochia umbellata) pada lokasi penelitian yang ditemukan memiliki diameter paling lebar adalah 47 cm atau pada kelas diameter antara 41-50 cm. Teno tumbuh dengan baik apabila tidak ada naungan pada wilayah pinggiran hutan atau wilayah yang terbuka yang mendapatkan banyak sinar matahari. Pada ketiga kampung wilayah penelitian teno (Mellochia umbellata) ditemukan memiliki jumlah populasi dan kondisi diameter lebih baik pada wilayah kampung Mano kemudian Lerang dan yang sedikit ditemukan adalah pada wilayah kampung Wae Rebo (Gambar 3.12). Hal ini membuktikan bahwa pada wilayah Mano wilayah hutan lebih terbuka dibandingkan wilayah lainnya. Spesies tumbuhan hutan penting berikutnya adalah ara (Ficus variegata) dengan nilai ICS = 61. Pohon ara memiliki 5 manfaat, yaitu sebagai sayur, buah, tumbuhan obat dan pakan ternak. Pada wilayah Pegunungan Ruteng akan banyak dijumpai pohon ara (Ficus variegata) yang memiliki diameter lebih dari 100 cm karena tidak digunakan sebagai bahan bangunan dan adanya perlindungan sanksi adat oleh masyarakat. Pada upacara barong wae, yaitu upacara adat pada mata air terkadang masyarakat menanam pohon ara (Ficus variegata) sebagai bagian ritual adat.

Gambar 3.14 Kelas diameter teno (Melochia umbellata) pada sampel transek hutan di kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo

Pada ketiga kampung wilayah penelitian, kondisi struktur populasi pohon ara (Ficus variegata) dalam kondisi yang baik yang ditunjukkan dengan grafik J terbalik (Gambar 3.14). Jumlah pohon pada kelas berdiameter > 100 cm lebih banyak jumlahnya dari pada pada kelas diameter 41-50 cm sampai dengan 91-100

0 5 10 15 20 25 30 1-10 cm 11-20 cm 21-30 cm 31-40 cm 41-50 cm Ju m lah In d iv id u Kelas Diameter Mano Lerang Wae Rebo

cm yang menunjukkan bahwa pohon ara (Ficus variegata) perlindungan pohon ara memiliki dampak terhadap dominasinya. Jumlah pohon pada kelas diameter 1-10 cm memiliki jumlah paling banyak dan terus menurun pada kelas diameter berikutnya menunjukkan bahwa regenerasi pohon ara cukup baik sehingga pada masa yang datang pohon ini akan tetap mudah dijumpai di wilayah Pegunungan Ruteng.

Pada 3 lokasi kampung penelitian ditemukan 8 spesies yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi (dominan) pada lokasi hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat (Tabel 3.26). Nilai penting spesies tumbuhan secara ekologi merupakan kuantifikasi dari nilai kerapatan relatif, dominasi relatif dan frekuensi relatif yang merupakan Indeks Nilai Penting (INP). Nilai INP yang tinggi menunjukkan bahwa spesies tersebut secara ekologi dominan penting atau tingkat dominasi spesies di dalam komunitasnya. Spesies dominan menurut Smith (1977) adalah spesies yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien dari pada spesies lain dalam tempat yang sama.

Tabel 3.26 Spesies tumbuhan dominan dengan nilai INP tertinggi

No Nama Ilmiah Nama

Lokal

INP tertinggi (m dpl) Mano Lerang Wae Rebo 1 Elaeocarpus batudulangii Ntungeng - - 1 400;

1 300 2 Ficus variegata Ara 1 300;

1 900

1 300 1 200

3 Fraxinus griffithii Lui 1 800 - -

4 Heliothropium indicum Rawuk 1 400 - - 5 Macaranga tanarius Rebak 1 500 1 500 1 100 6 Planchonella obovata Ketang 1 600;

1 700

- -

7 Syzygium sp Lokom 1 200 - -

8 Weinmannia blumei Larang - 1 100; 1 200; 1 400

-

Dari 8 spesies tersebut yang paling banyak mendominasi pada 4 jalur trasek adalah pohon ara (Ficus variegata) yang menggambarkan peran yang besar dari spesies tersebut dalam ekosistem. Dominasi ara (Ficus variegata) dapat ditemukan pada setiap lokasi kampung pada beberapa ketinggian, yaitu kampung Mano (1.300 m dpl dan 1.900 m dpl), kampung Lerang (1.300 m dpl) dan Wae Rebo (1.200 m dpl). Dominasi ara (Ficus variegata) disebabkan adanya upaya perlindungan oleh masyarakat lokal.

Masyarakat Manggarai percaya bahwa pohon ara (Ficus variegata) dapat meningkatkan debit air di mata air sehingga melindungi dengan cara memberikan sanksi adat. Kerelaan masyarakat untuk melakukan konservasi adalah karena adanya manfaat yang tinggi pada suatu spesies atau mitos manfaat ekologi seperti meningkatkan debit air. Pada kegiatan upacara barong wae terkadang dilakukan penanaman pohon ara (Ficus variegata) di sekitar mata air sebagai bagian dari ritual adat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Ficus variegata tumbuh disekitar

mata air, yaitu: sumber mata air di Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan (Ridwan dan Pamugkas. 2015), Wana Wisata Sumber Semen di Rembang (Suwandhi dan Nurudin 2003).

Tabel 3.27 Spesies tumbuhan hutan yang memiliki rata-rata kerapatan tertinggi

No Nama Ilmiah Nama Lokal Rata-rata

kerapatan/hektar

1 Ficus variegata Ara 12.94

2 Elaeocarpus batudulangii Ntungeng 11.29 3 Macaranga tanarius Rebak 11.20

4 Syzygium sp Lokom 7.40

5 Weinmannia blumei Larang 5.67 6 Melochia umbellata Teno 5.60

7 Toona sureni Ajang 5.40

8 Prunus wallaceana Kenda gembak 5.00 9 Planchonella obovata Ketang 4.79 10 Planchonia valida Ngancar 4.55 11 Podocarpus imbricatus Ruu 4.50 12 Homalanthus peltatus Lente 4.18 13 Platea exelsa Welu Poco 4.15 14 Litsea resinosa Sewang gembak 4.03 15 Kadsura scandens Buang 3.91

Pohon ara (Ficus variegata) juga memiliki rata-rata kerapatan pohon/hekter paling tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya di dalam hutan pegunungan Ruteng. Hal ini membuktikan bahwa perlindungan ara dengan sanksi adat mempengaruhi keberadaan ara dominan dalam ekosistem hutan. Selain ara, beberapa spesies lain yang tidak memiliki manfaat dan memiliki kerapatan yang tinggi adalah rebak (Macaranga tanarius), lente (Homalanthus peltatus) dan buang (Kadsura scandens). Spesies lainnya selain keempat spesie tersebut memiliki fungsi sebagai kayu bangunan namun memiliki kerapatan yang tinggi.

Tumbuhan hutan berikutnya dengan nilai ICS 56 atau termasuk katagori tinggi adalah kempo (Palaquium obovatum). Masyarakat memanfaatkan tumbuhan ini untuk bahan bangunan, buah, sayur dan kayu bakar. Jenis tumbuhan terakhir yang termasuk memiliki nilai ICS katagori tinggi nilai ICS 53 adalah ajang (Toona sureni). Masyarakat memanfaatkan ajang (Toona sureni) untuk bahan bangunan, obat, peralatan dan kerajinan dan kayu bakar. Masyarakat sudah membudidayakan ajang (Toona sureni) di kebun. Benih ajang (Toona sureni) sebagian besar berasal dari pembenihan hutan yang merupakan bantuan pemerintah daerah dan pengelola kawasan hutan Ruteng.

Dari 8 spesies dominan tersebut sebanyak 5 spesies memiliki nilai ICS katagori rendah (nilai ICS 1 – 4) yang berarti kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Kecilnya nilai ICS karena tumbuhan liar tersebut hanya memiliki 1 kegunaan untuk kayu bakar atau kayu bangunan saja. Dua spesies memiliki nilai ICS katagori sedang (nilai ICS 5 – 19), yaitu larang (Weinmannia blumei) dan lokom (Syzygium sp). Masyarakat memanfaatkan kayu larang (Weinmannia blumei) dan lokom

(Syzygium sp) untuk memenuhi kebutuhan kayu balok untuk bahan bangunan dan kayu bakar. Jenis kayu larang (Weinmannia blumei) merupakan jenis kayu bakar yang paling disukai oleh masyarakat karena kualitasnya yang baik.

Gambar 3.15 Pohon ara (Ficus variegata) merupakan spesies tumbuhan yang penting secara budaya dan juga ekologi di Manggarai

Gambar 3.16 Kelas diameter ara (Ficus variegata) pada sampel transek hutan di kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo

Spesies yang memiliki INP dominan pada 4 transek adalah pohon ara (Ficus variegata) (Tabel 3.26). Spesies ara (Ficus variegata) juga merupakan tumbuhan penting budaya dengan nilai ICS tinggi (61) sehingga disebut spesies eco-budaya yang memerankan peran penting dalam ekologi dan budaya. Pada kegiatan rehabilitas lahan hutan Pegunungan Ruteng ara (Ficus variegata) semestinya diprioritaskan untuk ditanam supaya mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Pemanfaatan tumbuhan non-kayu untuk subsisten pada masyarkat Manggarai tidak diatur secara khusus. Aturan ketat dilakukan pada pemanfaatan kayu, terutama untuk rumah adat, yaitu: worok kayu (Dysoxylum densiflorum). Pohon Worok hanya digunakan untuk rumah-rumah tradisional, terutama untuk tiang

0 5 10 15 20 25 30 1-10 cm 11-20 cm 21-30 cm 31-40 cm 41-50 cm 51-60 cm 61-70 cm 71-80 cm 81-90 cm 91-100 cm >100 cm Ju m lah In d iv idu Kelas Diameter Mano Lerang Wae Rebo

0 1 2 3 4 5 6 7 1-10 cm 11-20 cm 21-30 cm 31-40 cm 41-50 cm 51-60 cm 61-70 cm 71-80 cm 81-90 cm 91-100 cm >100 cm Ju m lah In d iv idu Kelas Diameter Mano Lerang Wae Rebo

utama yang disebut "siri bongkok". Pemanfaatan kayu harus dilakukan dengan upacara adat yang disebut "roko molas poco", yaitu upacara untuk meminang pohon besar menjadi pilar utama rumah adat

Gambar 3.17 Kelas diameter worok (Dysoxylum densiflorum) pada sampel transek hutan di kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo

Analisis data pada penyebaran kelas diameter worok (Dysoxylum densiflorum) (Gambar 3.15) menunjukkan bahwa keberadaan kayu ini di Desa Wae Rebo lebih berkelanjutan daripada di dua wilayah lainnya. Larangan untuk menebang pohon di hutan dengan alasan apapun karena hutan konservasi, menyebabkan penduduk desa mensubtitusi worok dengan kayu lain yang tumbuh di kebun, seperti ampupu (Eucalyptus urophylla) dan moak (Arthocarpus integra) yang tumbuh alami.

Gambar 3.18 Pohon worok (Dysoxylum densiflorum) memiliki tinggi sekitar 45 m dan kayu teras berwarna kemerahan.

Pada wilayah hutan di kampung Mano dan Lerang pohon teno (Melochia umbellata) memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di wilayah Wae Rebo karena teno memiliki sifat kurang baik tumbuh di bawah naungan (Tabel 3.28). Tingginya kerapatan teno pada wilayah kampung Mano dan Lerang menunjukkan bahwa pada kedua wilayah tersebut penutupan hutan lebih terbuka dibandingkan dengan pada kampung Wae Rebo. Pemanfaatan teno sebagai kayu bangunan dilakukan pada wilayah kebun milik masyarakat.

Tabel 3.28 Kerapatan per hektar teno (Melochia umbellata), ara (Ficus variegata) dan worok (Dysoxylum densiflorum) pada lokasi penelitian

No Nama Ilmiah Nama

Lokal Tingkat Pertumbuhan Kerapatan (ha) Mano Lerang Wae Rebo 1 Melochia umbellata Teno Pohon 5.9 5 5 Tiang 11.25 26 2.5 Pancang 100 240 0 Anakan 1 937.5 1 550 0

2 Ficus variegata Ara Pohon 12.4 13.6 13.25

Tiang 12.5 18 12.5 Pancang 83.75 112 87.5 Anakan 2 312.5 1 800 1 187.5 3 Dysoxylum densiflorum Worok Pohon 0.3 1 5.6 Tiang 2.5 4 5 Pancang 25 32 50 Anakan 0 0 250

Kerapatan pohon ara (Ficus variegata) relatif sama pada ketiga wilayah hutan lokasi penelitian karena ara tidak dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan sehingga keberadaan populasinya relatif masih baik. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pengawetan pohon ara oleh masyarakat karena mempercayai bahwa ara dapat meningkatkan debit air di mata air tetap dilakukan pada ketiga wilayah hutan.

Kerapatan pohon worok (Dysoxylum densiflorum) pada hutan wilayah kampung Wae Rebo lebih baik pada dua kampung lainnya meskipun pada kampung Wae Rebo diberikan ijin untuk melakukan pemanfaatan kayu worok untuk pembangunan rumah adat. Kerapatan pohon worok per hektarnya adalah 5.6 pohon sehingga pada wilayah hutan kampung Wae Rebo seluas ± 100 ha adalah sebanyak ± 560 pohon. Pemanenan pohon worok adalah sebanyak 7 pohon setiap 30 tahun sekali yang menunjukkan bahwa pemanenan worok oleh masyarakat kampung Wae Rebo adalah lestari sebagai upah untuk menjaga kelestarian hutan. Sebaliknya pada wilayah dua kampung lainnya di Hutan Ruteng yang tidak diberikan akses pemanfaatan maka tidak ada mekanisme pengaturan pemanfaatan dan wilayah hutan menjadi milik bersama dan pemanenan kayu bersifat komersial sehingga berdampak pada degradasi hutan.