• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARA

1. Pola Berkampung (beo)

Permukiman asli Manggarai adalah melingkar, berkelompok dan memilih puncak bukit sebagai pusat kampung (Gambar 4.1 dan 4.2). Permukiman berkelompok memungkinkan masyarakat bersosialisasi dan menjalankan adat budaya. Bukit dalam bahasa Manggarai disebut golo sehingga pemimpin satu kampung (beo) disebut tu’a golo.

Gambar 4.1 Rumah gendang dan permukiman asli Manggarai di Kampung Wae Rebo, Lerang dan Mano.

Kampung ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian depan, pusat kampung dan bagian belakang. Bagian depan adalah tempat suci rumah orang mati yang jiwanya disucikan melalui upacara penyucian arwah dan dianggap sebagai warga seberang (pang ble). Pusat kampung merupakan tempat berdiam dan memuja dewa

penjaga kampung (Morin agu ngaran). Pada tengah kampung terdapat tempat atau altar persembahan (compang) yang menurut masyarakat merupakan tempat tinggal Naga Beo (penjaga kampung). Compang merupakan batu yang disusun pada sebuah lingkaran terbuat dari batu yang berada di pusat kampung. Bagian belakang kampung sebagai sesuatu yang buruk, tempat membuang sial, dosa atau kesalahan melalui ritual membuang (oke).

Keterangan: A = Mbaru gendang; B = Sondang; C = Compang; D = Kuburan

E = Pintu Gerbang

Gambar 4.2 Sketsa pola berkampung orang Manggarai

Kampung merupakan pusat melakukan ritual adat meskipun rumah-rumah modern sudah dibangun di sepanjang jalan raya. Keberadaan kampung asli tetap penting sebagai tempat melakukan ritual upacara penti. Pada pusat kampung menurut kebiasaan adat terdapat kalo karot atau dadap berduri (Erythrina subumbrans) sesuai orang Manggarai neka hemong kuni agu kalo (jangan lupa pohon dadap dan periuk nasi) namun sebagian besar tanaman di pusat kampung saat ini adalah pohon beringin (Ficus spp) atau tidak ada tanaman sebagai tempat melaksanakan prosesi adat. Sistem permukiman ini masih ada pada setiap kampung Manggarai menjadi tempat tinggal tokoh adat dan sebagian keturunannya.

Rumah asli orang Manggarai merupakan rumah kayu yang memiliki atap dari ijuk. Menurut cerita para tetua Manggarai dahulu di wilayah Manggarai banyak tumbuh pohon enau (Arenga pinnata) yang ijuknya digunakan untuk atap rumah. Sekitar tahun 1950 sampai 1960 terjadi kelaparan yang menyebabkan masyarakat terpaksa menebang pohon enau (Arenga pinnata) untuk dibuat sagu. Sejak saat itu penduduk sudah mulai mengganti atap dari seng.

Rumah adat Manggarai disebut rumah gendang yang merupakan tempat mengatur pelaksanaan hukum adat dan pembagian kebun komunal dengan prinsip

gendang adalah lingko (kebun komunal). Rumah gendang berbentuk kerucut dengan atap hampir menyentuh tanah, tinggi lantai pertama sekitar 1.5 meter.

Rumah setinggi 15 meter ini memiliki 5 tingkat dengan pembagian fungsi masing-masing (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Pembagian fungsi ruangan pada setiap tingkatan rumah gendang No Tingkatan

Lantai

Istilah

Manggarai Fungsi

1 Pertama Lutur Tempat tinggal dan aktivitas sehari-hari yang terbagi atas kamar-kamar tidur (nolang), tempat istirahat tamu, tempat beraktivitas dan dapur (hapo). Terdapat langkar yaitu tempat sesaji untuk leluhur berbentuk segi empat dihiasi bulu ayam. 2 Kedua Lobo Menyimpan bahan makanan dan barang-

barang sehari-hari

3 Ketiga Lenter Menyimpan benih tanaman pangan

4 Keempat Lempa rae Menyimpan stok pangan bila terjadi kekeringan

5 Kelima Hekang kode Tempat persembahan pada leluhur

Siri bongkok (tiang utama) dan semua tiang penyangganya dari kayu worok (Dysoxylum densiflorum), semua papan dan lantai dari ajang (Toona sureni) dan natu (Planchonella firma). Balok penyangganya dari kayu moak (Arthocarpus integra). Seluruh konstruksi tidak menggunakan paku kecuali pada bagian lantainya. Rumah adat Wae Rebo sudah menggunakan jendela yang sebenarnya merupakan inovasi. Bagian atap dari bambu utuh, ijuk menyelimuti bagian luarnya dan alang-alang bagian dalamnya dengan tali pengikat dari wua (Calamus heteracanthus). Bagian tengah lantai pertama terdapat dapur untuk memasak. Bagian untuk dapur ini merupakan bagian lantai yang dapat dibuka sehingga proses pemasakan dengan kayu bakar pada lantai tanah.

Untuk naik dari tingkat pertama ke tingkat dua dan seterusnya menggunakan bambu besar dengan lubang pijakan kaki pada tiap-tiap buku bambu. Rumah tradisional berbentuk kerucut tanpa ada kekuasaan adat, yaitu mbaru tembong, mbaru niang dan mbaru bendar. Mbaru tembong merupakan rumah anak rona pemberian anak wina karena ikatan perkawinan sehingga yang berhak membunyikan gendang adalah anak rona. Mbaru niang adalah rumah bersama satu keturunan dari garis keturunan suku Manggarai tertentu. Arti niang adalah sama dengan kilo (keluarga). Mbaru bendar adalah rumah dari keturunan perkawinan antar garis keturunan dalam sebuah kampung adat.

Rumah gendang memiliki alat musik gendang sebagai simbol kepemimpinan. Nama gendang karena di tiang utama digantungkan 8 buah gendang pertanda arah angin yang dibunyikan saat upacara adat atau pengumpulan masa. Gendang merupakan nama drum asli Manggarai dan nama lembaga adat yang berperan mengatur hukum adat dan pengelolaan lahan. Pembentukan gendang melalui tiga cara, yaitu: melalui struktur organisasi lebih tinggi, yaitu gelarang, menang perang masa lampau dan penguasaan wilayah kosong. Benda-benda pusaka dalam rumah gendang adalah gendang, gong, pecut (larik) dan perisai dari kulit kerbau

(nggilig/gilig) dalam atraksi caci. Pada puncak atap terdapat patung kayu berbentuk orang bertanduk yang melambangkan masyarakat Manggarai masih keturunan dari Minangkabau.

Saat ini bangunan rumah adat selain kampung Wae Rebo tidak lagi menggunakan kayu secara khusus karena semakin sulit memperoleh kayu bangunan sesuai prasarat pembangunan, menggunakan atap seng dan tembok. Hal ini sesuai temuan Dewa (1993) pada suku Lio dan Iwanggete di Ende - Flores bahwa bangunan rumah adat sudah menggunakan tembok.

Gambar 4.3 Rumah penduduk Manggarai menggunakan kayu teno (Melochia umbellata) sebagai salah satu tiang penyangga rumah.

Rumah-rumah penduduk di perdesaan sebagian besar semi permanen dan lainnya dari kayu atau bambu serta menggunakan kayu teno (Melochia umbellata) sebagai salah satu tiang penyangga dengan maksud agar memberi persatuan seisi rumah karena pohon teno (Melochia umbellata) memiliki daun yang cukup rindang (Gambar 4.3). Rumah segi lima karena secara filosofis menghubungkannya dengan lima jari kaki (rempa lima), lima jari pembagi lingko (moso lima) dan wase lima (denda adat). Pembangunan rumah melalui beberapa tahapan ritual adat, yaitu kawing haju, menguburkan kayu, batu, pasir dan darah ayam pada lokasi pembangunan rumah yang bertujuan agar rumah kokoh dan kuat. Ritual kedua kawing sirih (kawin tiang) dengan menyembelih babi yang bertujuan agar penghuni rumah tidak terkena penyakit. Ritual ketiga menempatkan telur ayam pada setiap sudut rumah, pintu dan bagian tengah agar mendapatkan perlindungan dari mori tanah (penjaga tanah) kemudian upacara masuk rumah.