• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 ETNOGRAFI MASYARAKAT SUKU MANGGARA

2.3 Hasil dan Pembahasan 1 Asal Usul dan Sejarah Suku Manggara

2.3.10 Kepemimpinan Kampung

Sistem penguasaan wilayah asli Manggarai adalah kampung atau beo yang dipimpin oleh seorang tu’a golo (Gambar 2.7). Beo dalam bahasa Manggarai berarti kampung. Beo atau kampung asli Manggarai biasanya merupakan wilayah rata pada puncak sebuah bukit (golo) yang dipimpin seorang kepala kampung yang

disebut tu’a golo. Sistem penguasaan lahan yang lebih luas seperti gelarang (desa), kedaluan (kecamatan) dan kerajaan adalah pengaruh kesultanan Bima (Lawang 2004). Kepemimpinan tua golo dalam urusan adat dan penegakan hukum adat dibantu oleh tu’a teno yang bertugas bertugas membagi lahan garapan dan menyelesaikan masalah batas tanah dan beberapa orang tu’a panga yang merupakan pemimpin satu garis keturunan yang membawahi beberapa orang tu’a kilo yang merupakan pemimpin beberapa keluarga.

Gambar 2.7 Struktur kelembagaan masyarakat adat Manggarai

Kepemimpinan tradisional ini masih berpengaruh pada masyarakat terutama pada wilayah luar kota Ruteng, pusat kabupaten Manggarai. Pemimpin dalam kampung awalnya adalah tua golo namun saat ini ada kepala desa yang memiliki wilayah atas beberapa kampung sebagai wilayah administrasi.Kepemimpinan golo lebih dominan bila terdapat permasalahan dalam masyarakat, sedangkan kepala desa lebih berperan dalam proses kegiatan administratif. Tua golo tidak berada di bawah kewenangan kepala desa sehingga kepala desa merupakan pemimpin formal untuk menangani administrasi dan tua golo adalah pemimpin informal untuk menangani masalah-masalah sosial.

Masyarakat mengakui kepemimpinan golo dalam pemerintahan satu rumah gendang terutama saat ritual adat penti, barong wae, barong lodok dan penyelesaian masalah adat lainnya. Barong wae adalah upacara adat untuk menghormati roh penjaga mata air yang disebut dengan darat dan barong lodok adalah upacara adat untuk menghormati roh penjaga kebun komunal atau lingko yang disebut teno (Verheijen 1991).

Saat ini Imam Katolik merupakan pemimpin spiritual selain tua golo. Salah satu bentuk pengakuan gereja terhadap agama tradisional adalah bahwa beberapa gereja melakukan upacara adat congko lokap saat melakukan renovasi tempat

TUA GOLO TUA TENO TUA KILO TUA KILO TUA KILO TUA KILO TUA KILO TUA PANGA

ibadah sesuai kebiasaan masyarakat adat bila akan merenovasi rumah gendang. Hal yang sama terjadi pada wilayah lainnya seperti pada desa-desa pesisir Kanyakumari, India Selatan (Sundar 2012), bahwa Masyarakat tradisionalmemiliki iman Katolik dan pastor Katolik memperkenalkan gagasan baru dan arahan dari gereja pusat serta berinkulturasi dan menyatu dengan Masyarakat tradisionalkhususnya dalam konteks nasionalisme Hindu.

Meskipun sudah ada perubahan namun tua golo masih memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan terutama yang tinggal di sekitar hutan karena ikatan sosial kekerabatan, kepemilikan tanah komunal dan upacara adat yang dipimpin oleh golo tua. Gereja membangun rumah sakit, jalan, air bersih, pelatihan kerajinan, pertanian dan pelatihan lainnya. Daerah pedesaan di sekitar hutan menjadi lebih modern, terutama dengan pembangunan sekolah, jalan dan fasilitas air minum.

Untuk melaksanakan ketertiban dalam kehidupan kampung, maka setiap kampung memiliki aturan adat. Peraturan adat mengenai pelanggaran dikelompokkan ke dalam pelanggaran umum dan perbuatan asusila laki-laki terhadap perempuan. Pelanggaran umum adalah pelanggaran selain perbuatan asusila, misalnya: menebang pohon sekitar mata air, mencuri barang, menggesser batas lahan dll. Dendanya adalah tuak, rokok, uang penyelesaian masalah sesuai kesepakatan tua-tua adat dan warga yang hadir.

Pelanggaran asusila terbagi tiga, yang pertama adalah loma pande, yaitu pelanggaran seperti seorang laki-laki memegang bagian sensitif perempuan, denda adatnya kuda bunting (jarang berat) dan kambing bunting (mbe berat). Loma lelo, yaitu pelanggaran melihat seperti seorang laki-laki sengaja melihat perempuan mandi, denda adatnya babi berukuran lima kali jarak antara siku ke jari tengah (ela wase lima). Bila melewati tempat mandi umum harus meneriakkan, “cebong?”, bila ada yang mandi akan menjawab “cebong ce’e” artinya masih mandi atau, ” poli” artinya sudah selesai. Terakhir adalah loma tombo, yaitu pelanggaran kata seperti seorang laki-laki memaki perempuan, dendanya ayam jantan, tuak dan rokok.

Bila pihak perempuan tidak melaporkannya ke tu’a adat maka masa tidak ada proses denda adat. Perbuatan zinah atas dasar sama-sama suka bila meresahkan warga maka sangsinya adalah kawin paksa. Bila pihak perempuan menolak kawin paksa maka dendanya satu ekor kuda bunting dan satu lembar kain tenun (songke). Bila pihak laki-laki menolak kawin paksa maka dendanya dua ekor kuda dan uang sepuluh juta rupiah. Tua adat menyimpan hasil denda untuk memenuhi kebutuhan pesta adat.

Kehidupan tradisional orang Manggarai memberikan kebijaksanaan melalui ungkapan atau pepatah (idioms). Idioms dalam keyakinan lokal dapat terwujud dalam suatu tindakan konservasi. Hal ini karena idiom merupakan bagian sistem kepercayaan dari masyarakat yang mempengaruhi pola pikir dan perilaku yang kemudian terwujud dalam tindakan konservasi. Idiom dapat dianggap sebagai intelektual masyarakat tradisional yang berakar dalam tradisi dan spiritual (Chennells 2013).

Keberhasilan dalam kehidupan masyarakat adalah adanya persatuan dalam suatu kelompok masyarakat tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Orang Manggarai mengungkapkannya dalam ungkapan muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambong neka woleng lako, ipung ca tiwu neka woleng wintuk yang artinya dalam setiap perkataan, pengambilan keputusan dan tindakan satu kelompok orang

Manggarai tidak boleh ada perbedaan. Ungkapan ini kemudian diwujudkan dalam pembangunan rumah adat yang berbentuk bulat, permukiman berbentuk lingkaran, lahan komunal berbentuk lingkaran (lingko), dan cara bermusyawarah dengan duduk bersila bersama-sama membentuk sebuah lingkaran dalam rumah adat yang disebut lonto leok. Penyelesaian permasalahan sosial di Manggarai diselesaikan dengan cara lonto leok. Dalam lonto leok semua orang memiliki kedudukan yang sama dan memiliki hak yang sama dalam berpendapat. Pengambilan keputusan dengan cara mufakat dan bukan suara terbanyak.

Pada saat pengaruh modernisasi yang kuat saat ini orang Manggarai masih memiliki ungkapan neka hemong kuni agu kalo, artinya jangan melupakan kampung halaman. Pengaruh budaya asing yang dapat membawa pada jalan yang salah semestinya dihindari dan tetap berpegang pada identitas diri yang sebenarnya. Ungkapan dini diwujudkan dengan menanam pohon kalo atau dadap berduri (Erythrina subumbrans) pada halaman rumah adat. Pohon ini akan terus tumbuh hingga mati secara alami. Namun saat ini sebagian rumah adat di Manggarai mengganti pohon kalo dengan pohon beringin (Ficus benyamina).

Ungkapan yang secara langsung berhubungan dengan konservasi adalah mbau eta temek wa, tela galang pe'ang kete api one, artinya bila di puncak gunung berwarna hijau maka di bawah gunung ada banyak air, di tungku memiliki cukup kayu bakar, di atas tungku cukup makanan untuk dimasak. Ungkapan ini mengingatkan untuk selalu menjaga hutan agar tetap hijau sehingga kehidupan sehari-hari dapat berlangsung dengan baik. Ungkapan ini diwujudkan dalam penataan lahan orang Manggarai dengan cara menjaga keberadaan hutan berada pada puncak paling atas. Pada bagian bawah hutan adalah kebun agroforestry dan permukiman melingkar selalu ditempatkan pada daerah rata.

Beberapa idioms orang Manggarai yang memiliki kaitan dengan konservasi adalah

- Muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambong neka woleng lako, ipung ca tiwu neka woleng wintuk, artinya pisang satu rumpun tidak boleh beda kata, tebu satu rumpun tidak boleh berbeda dalam mengambil keputusan dan ikan satu kolam tidak boleh beda dalam tindakan.

- Neka hemong kuni agu kalo, artinya jangan melupakan kampung halaman.

- Mbau eta temek wa, tela galang pe'ang kete api one, artinya bila di puncak gunung berwarna hijau maka di bawah gunung ada banyak air, di tungku memiliki cukup kayu bakar, di atas tungku cukup makanan untuk dimasak.

- Puar hitu anak rona, artinya hutan adalah “anak rona

- Porong neho worok eta golo, pateng wa wae artinya semoga kokoh seperti worok diatas bukit dan semakin berteras bila berada di dalam air.

- Gendang one lingko pe’ang, artinya bila ada rumah adat maka di sekeliling rumah adat itu adalah tanah komunal (lingko).

Pengelolaan hutan selalu didasarkan pada penghargaan pada hutan karena dianggap sebagai anak rona, yaitu keluarga dari pihak isteri yang dihargai sehingga terdapat ungkapan puar hitu anak rona yang artinya hutan itu anak rona. Konsep ini berasal dari konsep ini berasal dari kepercayaan tradisional bahwa bumi adalah ibu dan langit yang menghasilkan hujan adalah ayah. Hutan dipandang sebagai putri langit dan bumi. Bumi yang dianggap sebagai ibu dari semua mahluk di bumi termasuk manusia sehingga pohon di dalam hutan tidak boleh ditebang secara sembarangan tetapi melalui upacara adat roko molas poco. Roko molas poco adalah upacara adat untuk melamar pohon worok (Dysoxylum densiflorum) seperti melamar seorang gadis untuk dijadikan pilar utama rumah adat.

Pemanfaatan pohon worok (Dysoxylum densiflorum) sebagai tiang utama rumah adat didasarkan pada idiiom Porong neho worok eta golo, pateng wa wae, yang artinya semoga kokoh seperti kokoh diatas bukit dan berteras bila berada di dalam air. Masyarakat tradisional percaya penggunaan kayu worok untuk rumah adat berpengaruh secara spiritual pada kelembagaan adat yang kuat.

Ungkapan terakhir yang kontra produktif dengan konservasi adalah gendang

one lingko pe’ang yang artinya bila ada rumah adat maka di sekeliling rumah adat itu adalah tanah komunal (lingko) sehingga masyarakat mengungkit kembali sejarah keberadaan nenek moyangnya yang dahulu hidup dalam hutan. Bukti kampung lama (bangka) dikenali dalam hutan dengan adanya tumpukan batu persembahan (compang) atau pondasi kampung melingkar. Batu-batu yang sudah ditumbuhi semak belukar terlihat jelas bentuknya saat dibersihkan dan menjadi salah satu sumber konflik masyarakat dengan pengelola hutan. Apabila bangka yang merupakan tempat yang dianggap angker sehingga dilakukan ritual di tempat itu, maka hutan pada wilayah bangka tersebut akan tetap lestari, contohnya bangka milik kampung bangka pau yang terletak di sebelah utara kampung Mano.

2.4 Simpulan

Masyarakat Suku Manggarai mampu melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng dengan budaya yang mendukung konservasi. Budaya konservasi tersebut merupakan hasil dari berinteraksi dengan lingkungannya secara turun menurun yang merupakan strategi untuk mempertahankan hidupnya melalui dua hal, yaitu efisensi pemanfaatan spesies dan pengaturan ruang pemanfaatan. Strategi ini memiliki kaitan dengan kepercayaan tradisional yang masih dipatuhi.yang dapat ditemukan dalam produk budaya antara lain adalah idiom, mitos, legenda dan ritual adat. Sistem kehidupan tradisional masih berjalan dengan baik karena diatur oleh lembaga adat beo (kampung) yang dikepalai seorang tua golo. Sistem kekerabatan dalam satu beo, aturan dan denda adat menyebabkan kehidupan tradisional berjalan dengan baik termasuk pemanfaatan sumberdaya keanekaragaman hayati. Strategi perlindungan sistem penyangga kehidupan terwujud dalam perlindungan hutan sekitar mata air dan tempat keramat untuk melakukan ritual kepercayaan tradisional. Strategi pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa terwujud dalam pengawetan tumbuhan sakral dan satwa ceki. Strategi pemanfaatan terwujud dalam pengaturan pemanfaatan berkelanjutan dalam aturan-aturan dan upacara adat yang mengikat.