• Tidak ada hasil yang ditemukan

menuliskan sumbernya dalam bentuk Zuchdi, 1993:61 begitu juga dengan penulisan daftar pustakanya, seperti pada beberapa tulisan di bawah ini

IHWAL LATAR BELAKANG SEBAGAI SALAH SATU SUDUT PANDANG PRIMER DALAM LINGUISTIK FORENSIK

Asisda Wahyu Asri Putradi

Universitas Negeri Jakarta

lasisda@gmail.com ABSTRAK

Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan peran latar belakang (background) dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) sebagai unsur penting pengambilan keputusan suatu kasus. Latar belakang (background) di sini lebih difokuskan mengenai latar belakang (background) pelaku utama dalam suatu kasus. Hal ini berkaitan dengan maraknya kasus-kasus ujaran kebencian (hate of speech) yang terjadi selama kurun waktu 2012-2016. Banyak pelaku dengan latar belakang (background) yang tidak diduga dapat menyampaikan hal-hal yang dirasa tidak mungkin dilakukannya dalam suatu kasus. Latar belakang (background) ini bersumber dari beragam aspek seperti sosial, pendidikan, hingga faktor ekonomi. Data diambil dari berbagai BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang ditangani penulis selama kurun waktu 2012-2016. Pelaku dalam data tersebut telah disamarkan untuk tetap menjaga kerahasiaannya. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mengungkapkan fakta secara independen, transparan, dan logis. Hasil penelitian ini menunjukan latar belakang (background) seseorang ternyata sering sekali tidak sesuai dengan perilaku sikap terutama dalam media sosial. Banyak diantara pelaku tersebut yang memiliki pendidikan tinggi namun cenderung vulgar dan tanpa memperhitungkan dampak atau akibat ketika melontarkan isi hatinya kepada orang lain. Alih-alih menyampaikan maksud, tujuan dari suatu informasi, namun yang muncul malah cacian makian yang menyakitkan lawan bicara atau orang lain. Hal ini sangan berlawanan dengan latar belakang (background)-nya dimana terdapat paradigma semakin tinggi pendidikan, semakin baik kehidupan sosial, semakin jelas latar belakang keluarganya, maka seseorang itu semakin baik perilakunya. Kenyataannya hal ini tidak berlaku dalam pergaulan di media sosial, dimana sikap dan polah seseorang amat sangat bergantung kepada isi hati dan emosinya bukan kepada pikiran maupun intelektualitasnya. Hal ini cukup memprihatinkan karena seseorang lebih mengedepankan emosi dari pada pemikiran ketika menyampaikan suatu pendapat. Oleh karena itu, penelitian mengenai ihwal latar belakang ini penting untuk dilakukan mengingat banyaknya aspek yang mempengaruhi sesorang dalam mengungkapkan isi hatinya melalui media sosial.

Kata Kunci/Keywords: latar belakang, media sosial, ujaran kebencian PENDAHULUAN

Maraknya penggunaan media sosial (medsos) sebagai sarana komunikasi merupakan salah satu dampak perkembangan teknologi yang tidak dapat dihindari. Sayangnya penggunaan medsos ini tidak dibarengi dengan kedewasaan dalam pemkaiannya. Banyak masalah berasal dari tulisan, cuitan, maupun postingan di medsos yang menyinggung, membuat marah, merendahkan, hingga memfitnah pihak lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk-bentuk latar belakang yang mempengaruhi pengambilan keputusan seorang saksi ahli Bahasa dalam kasus-kasus ujaran kebencian di medsos.

Pemerintah terutama kepolisian menggunakan UU ITE untuk menjerat para pelaku ujaran kebencian ini. Penyalahgunaan medsos pada akhirnya berdampak kepada meningkatnya kasus-kasus tersebut. Data dari Safenet (2016) tercatat 118 orang telah terjerat oleh UU ITE dari 2008 hingga November 2015. Sejak 2013 jumlah kasus yang terjerat ada 20 namun meningkat menjadi 41 kasus dan 43 kasus dalam dua tahun berikutnya. Lonjakan ini terasa sangat tajam mengingat bahwa tahun 2008 dan 2009 hanya ada 2 kasus. Tahun 2010 bahkan hanya 1 kasus, 2011 ada 3 kasus dan 2012 hanya 7 kasus.

Ada lima kasus yang biasa dijerat dengan UU ITE tersebut seperti pornografi, ancaman, somasi, penodaan dan pencemaran nama baik. Sejak 2008 hingga 2015 kasus pencemaran nama baik mendominasi sebanyak 90%.

Kasus-kasus yang tersangkut UU ITE biasanya berwujud ketidakpuasan, ketidaksenangan kebencian, fitnah terhadap seseorang yang diungkapkan lewat medsos. Temuan yang didapat oleh peneliti

IHWAL LATAR BELAKANG SEBAGAI SALAH SATU SUDUT PANDANG PRIMER DALAM LINGUISTIK FORENSIK

Asisda Wahyu Asri Putradi

Universitas Negeri Jakarta

lasisda@gmail.com ABSTRAK

Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan peran latar belakang (background) dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) sebagai unsur penting pengambilan keputusan suatu kasus. Latar belakang (background) di sini lebih difokuskan mengenai latar belakang (background) pelaku utama dalam suatu kasus. Hal ini berkaitan dengan maraknya kasus-kasus ujaran kebencian (hate of speech) yang terjadi selama kurun waktu 2012-2016. Banyak pelaku dengan latar belakang (background) yang tidak diduga dapat menyampaikan hal-hal yang dirasa tidak mungkin dilakukannya dalam suatu kasus. Latar belakang (background) ini bersumber dari beragam aspek seperti sosial, pendidikan, hingga faktor ekonomi. Data diambil dari berbagai BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang ditangani penulis selama kurun waktu 2012-2016. Pelaku dalam data tersebut telah disamarkan untuk tetap menjaga kerahasiaannya. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mengungkapkan fakta secara independen, transparan, dan logis. Hasil penelitian ini menunjukan latar belakang (background) seseorang ternyata sering sekali tidak sesuai dengan perilaku sikap terutama dalam media sosial. Banyak diantara pelaku tersebut yang memiliki pendidikan tinggi namun cenderung vulgar dan tanpa memperhitungkan dampak atau akibat ketika melontarkan isi hatinya kepada orang lain. Alih-alih menyampaikan maksud, tujuan dari suatu informasi, namun yang muncul malah cacian makian yang menyakitkan lawan bicara atau orang lain. Hal ini sangan berlawanan dengan latar belakang (background)-nya dimana terdapat paradigma semakin tinggi pendidikan, semakin baik kehidupan sosial, semakin jelas latar belakang keluarganya, maka seseorang itu semakin baik perilakunya. Kenyataannya hal ini tidak berlaku dalam pergaulan di media sosial, dimana sikap dan polah seseorang amat sangat bergantung kepada isi hati dan emosinya bukan kepada pikiran maupun intelektualitasnya. Hal ini cukup memprihatinkan karena seseorang lebih mengedepankan emosi dari pada pemikiran ketika menyampaikan suatu pendapat. Oleh karena itu, penelitian mengenai ihwal latar belakang ini penting untuk dilakukan mengingat banyaknya aspek yang mempengaruhi sesorang dalam mengungkapkan isi hatinya melalui media sosial.

Kata Kunci/Keywords: latar belakang, media sosial, ujaran kebencian PENDAHULUAN

Maraknya penggunaan media sosial (medsos) sebagai sarana komunikasi merupakan salah satu dampak perkembangan teknologi yang tidak dapat dihindari. Sayangnya penggunaan medsos ini tidak dibarengi dengan kedewasaan dalam pemkaiannya. Banyak masalah berasal dari tulisan, cuitan, maupun postingan di medsos yang menyinggung, membuat marah, merendahkan, hingga memfitnah pihak lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk-bentuk latar belakang yang mempengaruhi pengambilan keputusan seorang saksi ahli Bahasa dalam kasus-kasus ujaran kebencian di medsos.

Pemerintah terutama kepolisian menggunakan UU ITE untuk menjerat para pelaku ujaran kebencian ini. Penyalahgunaan medsos pada akhirnya berdampak kepada meningkatnya kasus-kasus tersebut. Data dari Safenet (2016) tercatat 118 orang telah terjerat oleh UU ITE dari 2008 hingga November 2015. Sejak 2013 jumlah kasus yang terjerat ada 20 namun meningkat menjadi 41 kasus dan 43 kasus dalam dua tahun berikutnya. Lonjakan ini terasa sangat tajam mengingat bahwa tahun 2008 dan 2009 hanya ada 2 kasus. Tahun 2010 bahkan hanya 1 kasus, 2011 ada 3 kasus dan 2012 hanya 7 kasus.

Ada lima kasus yang biasa dijerat dengan UU ITE tersebut seperti pornografi, ancaman, somasi, penodaan dan pencemaran nama baik. Sejak 2008 hingga 2015 kasus pencemaran nama baik mendominasi sebanyak 90%.

Kasus-kasus yang tersangkut UU ITE biasanya berwujud ketidakpuasan, ketidaksenangan kebencian, fitnah terhadap seseorang yang diungkapkan lewat medsos. Temuan yang didapat oleh peneliti

bahwa mereka yang tersangkut UU ITE ini rata-rata memiliki pendidikan dan tingkat sosial yang baik. Artinya mereka bukan orang bodoh dan hidup berkecukupan.

Jika dilihat dari sudut pandang latar belakang ini terlihat bahwa ada kecenderungan yang unik dimana seseorang jauh memiliki keberanian mengungkapkan isi hatinya dengan bebas di media social daripada melalui media lain. Hal ini tentu perlu penelitian lebih lanjut mengapa seseorang cenderung nekat dan tidak peduli ketika ia menuliskan isi hatinya dalam medsos tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa perwujudan teks yang ditulis dalam medsos tersebut banyak berwujud seperti bahasa lisan yang ditulis. Jadi sebagian besar kasus ujaran kebencian berbentuk ujaran lisan yang dituliskan. Jika merujuk pendapat Coulthard dan Johnson (2007:15) “Speech is just as rule-governed as

writing, but the rules and organisation are different. In conversation we talk of openings and closings, whereas in writing we talk of introductions and conclusions”. Jelas terdapat perbedaan yang nyata antara

bahasa lisan dan bahasa tulisan dimana setiap bentuk kebahasaan tersebut memiliki konsep-konsep yang tidak sepenuhnya sama karena terdapat juga perbedaan satu dengan lainnya. Akan tetapi, pada kenyataannya ketika seseorang menumpahkan isi hatinya melalui media sosial maka bahasa tulis seolah berlaku menjadi seperti bahasa lisan yang ditulis tanpa memperhitungkan resiko atau dampaknya.

Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini, yaitu mengenai ihwal latar belakang sebagai salah satu sudut pandang primer dalam linguistik forensic sebagai salah satu sarana utama pengambilan keputusan seorang saksi ahli bahasa dalam analisis kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah hukum.

TEORI & METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data diambil dari beberapa BAP (berita acara pemeriksaan) yang peneliti tangani dan data tidak tertulis dari konsultasi pihak kepolisian dengan peneliti. Nama pelapor dan terlapor dirahasiakan demi menjaga kerahasiaan pelaku dalam kasus tersebut. Data dianalisis sesuai dengan kebutuhan untuk mengungkap peran latar belakang sebagai alat pengambilan keputusan dalam suatu kasus atau perkara.

Dalam menganalisis teks yang dicurigai mengandung ujaran kebencian seorang linguis dituntut tidak hanya mempertimbangkan apa yang “dibaca” namun juga mempertimbangkan konteks dan pendekatan atau teori yang tepat untuk menganalisisnya. Seperti yang disampaikan oleh Coulthard dan Johnson (2007:14) yaitu “In approaching a text in a forensic context the analyst needs to consider how it

is similar and what distinguishes it from other texts in other contexts and which theories and methods are most appropriate to analyse it. Berdasarkan konsep ini prinsip kehati-hatian wajib dijaga supaya analisis

yang dihasilkan dapat proposional dan relevan dengan kasus tersebut.

Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian tersebut, peneliti pernah berhadapan dengan kasus-kasus yang sebenarnya lebih berhubungan dengan masalah latar belakang ini sendiri daripada isi masalah kasus tersebut. Jadi pemecahan kasus tersebut harus dilihat dari faktor latar belakang. Ada 3 jenis faktor latar belakang antara lain faktor sosial, faktor pendidikan, dan faktor ekonomi.

TEMUAN & PEMBAHASAN Latar Belakang Sosial

Ada satu kasus yang peneliti tangani dimana kasus ini cukup menarik jika dilihat dari faktor latar belakang sosialnya. Kasus ini adalah kasus antara seorang guru besar dengan seorang hakim. Hakim tersebut merasa tidak terima setelah disebut bodoh oleh seorang guru besar. Kata bodoh yang secara leksikal bermakna kurang pengetahuan (pendidikan dan pengalaman) nampaknya sesuai dengan harapan hakim tersebut yang merasa telah dihina oleh sang guru besar sehingga melaporkan kepada kepolisian dengan tuduhan penghinaan.

Namun setelah meneliti secara mendalam ditemukan hubungan sosial yang cukup erat antara sang guru besar dengan hakim tersebut dimana hubungan mereka adalah sebagai guru dan murid! Jika memperhatikan konteks latar belakang sosial seperti ini, kata bodoh dapat dianggap wajar dan relevan.

Kata bodoh ini dapat bermakna konstruktif, membangun, dan bukan menghina mengingat seorang guru selalu ingin memberikan yang terbaik kepada murid-muridnya. Kata bodoh juga relevan disematkan kepada muridnya yang melakukan kesalahan supaya dapat segera memperbaiki diri. Jadi dapat disimpulkan bahwa kata bodoh ini wajar dan tidak ada muatan penghinaan seperti yang dituduhkan hakim tersebut sebelumnya.

Latar Belakang Pendidikan

Kasus berikut berhubungan dengan seorang dosen yang memposting tulisan yang dituduhkan kepada simbol negara melalui media sosial facebook. Tulisan seperti #PapaDoyanLonte#, #papadoyanitil, inikah titit@partaiSocmed disertai gambar simbol negara dan seorang artis. Informasi dalam BAP menyatakan bahwa bukan sekali itu saja dia memposting tulisan yang dianggapnya sebagai kritikan kepada pemerintah, namun mencapai jumlah kurang lebih 200 postingan di facebook. Kasus ini punya muatan politik yang kuat sehingga berita penangkapanya sampai proses pembebasanya menjadi suatu berita wajib yang banyak diulas terutama oleh media-media online.

Peneliti melihat kasus ini dari dua sudut pandang yaitu dari isi tulisan dan latar belakang pelaku. Dari isi tulisan jelas kata-kata tersebut masuk ke dalam ranah pornografi, bahkan masuk ke dalam ranah penghinaan. Namun yang memberatkan adalah latar belakang pendidikan. Diketahui dia adalah seorang dosen dengan pendidikan terakhir S3. Berprofesi sebagai dosen dengan sederet jabatan penting yang pernah diembanya. Apa yang menyebabkan seorang yang cerdas ini mampu mengeluarkan tulisan yang sangat tidak pantas dikeluarkan oleh seorang dosen sekaliber dia?

Inilah yang menyebabkan mengapa penanganan kasus ini perlu kehati-hatian mengingat latar belakang pendidikan, profesi, dan tulisannya semuanya mengarah kepada hal-hal yang tidak pantas sehingga wajar dia ditangkap dan dipenjarakan karena tulisannya tersebut.

Latar Belakang Ekonomi

Kasus yang berlatar belakang ekonomi peneliti ambilkan dari koordinasi dengan pihak kepolisian yang mendapat laporan dari anggota ormas yang melihat dari channel video You Tube dimana seorang ulama telah menuduh seorang gubernur di Indonesia korupsi sebesar 1,8 trilyun rupiah. Koordinasi yang dilakukan berkaitan dengan rencana penangkapan ulama tersebut oleh laporan dari anggota ormas yang menyatakan bahwa tuduhan ulama itu dianggap fitnah dan menghina sang gubernur.

Kasus ini diperlihatkan kepada peneliti berupa rekaman video yang jelas menunjukkan sang ulama telah menyatakan menuduh sang gubernur korupsi 1,8 trilyun rupiah dengan landasan laporan dari lembaga pemerintah yang menangani masalah keuangan.

Dalam analisis kasus ini peneliti mengajukan 2 hipotesis sebelum ditindak lanjuti dengan proses penangkapan yaitu:

1. Jika pernyataan data laporan dari ulama itu benar maka pihak kepolisian tidak dapat menangkapnya karena pernyataan itu adalah fakta.

2. Jika pernyataan data laporan dari ulama itu tidak benar, dan hal ini harus dibuktikan dahulu di pengadilan, maka pihak kepolisian dapat menangkapnya karena pernyataan itu adalah fitnah.

Jelas bahwa untuk menangkap ulama tersebut tidak semudah yang dibayangkan karena data yang disampaikannya perlu pembuktian kebenarannya. Oleh karena hal ini memerlukan pembuktian yang lebih lengkap dari keputusan pengadilan maka penangkapan ulama tersebut ditunda.

Selain kasus di atas ada contoh kasus lain yang menarik untuk dikaji. Kasus ini berhubungan dengan tidak terimanya seorang wanita, selanjutnya disebut mbak x, dengan pernyataan dari sahabatnya (yang kemudian menjadi musuh-selanjutnya disebut mbak y) yang berbunyi …lonte bertarif jutaan… Hal ini berhubungan dengan latar belakang mbak x yang dulunya berprofesi sebagai PSK (pekerja seks komersial) namun sudah berhenti dan punya usaha. Ringkasnya mbak y merasa iri dengki dengan kesuksesan mbak x ini sehingga dalam obrolan di medsos terlontar kata-kata …lonte bertarif jutaan…

Pernyataan tersebut sebenarnya sudah bermuatan makna penghinaan, namun mbak x menganggap bahwa pernyataan itu juga sebuah fitnah. Tidak benar bahwa dia seorang lonte namun memang dulu pernah menjadi PSK.

Apa beda lonte dan PSK? Ternyata mbak x merasa direndahkan statusnya dari yang dulunya PSK menjadi seorang lonte. Motif utamanya ternyata mbak x ingin mbak y tidak hanya dianggap menghina namun juga memfitnah sehingga hukumannya bisa lebih berat.

Penanganan kasus ini sebenarnya mudah oleh pihak kepolisian karena jelas pasal-pasalnya, namun menjadi rumit jika berhubungan dengan masalah kebahasaan. Ringkasnya penjelasannya sbb.

a. PSK (d/h WTS) adalah wanita yang bekerja dengan cara menjual “diri” kepada pelanggannya secara profesional dengan imbalan uang yang nilainya sesuai kesepakatan.

b. Perek adalah akronim dari perempuan eksperimen artinya seorang perempuan yang sedang mencoba-coba menjual diri dengan tarif yang murah bahkan gratis (karena sedang menmencoba-coba atau bereksperimen).

Latar Belakang Pendidikan

Kasus berikut berhubungan dengan seorang dosen yang memposting tulisan yang dituduhkan kepada simbol negara melalui media sosial facebook. Tulisan seperti #PapaDoyanLonte#, #papadoyanitil, inikah titit@partaiSocmed disertai gambar simbol negara dan seorang artis. Informasi dalam BAP menyatakan bahwa bukan sekali itu saja dia memposting tulisan yang dianggapnya sebagai kritikan kepada pemerintah, namun mencapai jumlah kurang lebih 200 postingan di facebook. Kasus ini punya muatan politik yang kuat sehingga berita penangkapanya sampai proses pembebasanya menjadi suatu berita wajib yang banyak diulas terutama oleh media-media online.

Peneliti melihat kasus ini dari dua sudut pandang yaitu dari isi tulisan dan latar belakang pelaku. Dari isi tulisan jelas kata-kata tersebut masuk ke dalam ranah pornografi, bahkan masuk ke dalam ranah penghinaan. Namun yang memberatkan adalah latar belakang pendidikan. Diketahui dia adalah seorang dosen dengan pendidikan terakhir S3. Berprofesi sebagai dosen dengan sederet jabatan penting yang pernah diembanya. Apa yang menyebabkan seorang yang cerdas ini mampu mengeluarkan tulisan yang sangat tidak pantas dikeluarkan oleh seorang dosen sekaliber dia?

Inilah yang menyebabkan mengapa penanganan kasus ini perlu kehati-hatian mengingat latar belakang pendidikan, profesi, dan tulisannya semuanya mengarah kepada hal-hal yang tidak pantas sehingga wajar dia ditangkap dan dipenjarakan karena tulisannya tersebut.

Latar Belakang Ekonomi

Kasus yang berlatar belakang ekonomi peneliti ambilkan dari koordinasi dengan pihak kepolisian yang mendapat laporan dari anggota ormas yang melihat dari channel video You Tube dimana seorang ulama telah menuduh seorang gubernur di Indonesia korupsi sebesar 1,8 trilyun rupiah. Koordinasi yang dilakukan berkaitan dengan rencana penangkapan ulama tersebut oleh laporan dari anggota ormas yang menyatakan bahwa tuduhan ulama itu dianggap fitnah dan menghina sang gubernur.

Kasus ini diperlihatkan kepada peneliti berupa rekaman video yang jelas menunjukkan sang ulama telah menyatakan menuduh sang gubernur korupsi 1,8 trilyun rupiah dengan landasan laporan dari lembaga pemerintah yang menangani masalah keuangan.

Dalam analisis kasus ini peneliti mengajukan 2 hipotesis sebelum ditindak lanjuti dengan proses penangkapan yaitu:

1. Jika pernyataan data laporan dari ulama itu benar maka pihak kepolisian tidak dapat menangkapnya karena pernyataan itu adalah fakta.

2. Jika pernyataan data laporan dari ulama itu tidak benar, dan hal ini harus dibuktikan dahulu di pengadilan, maka pihak kepolisian dapat menangkapnya karena pernyataan itu adalah fitnah.

Jelas bahwa untuk menangkap ulama tersebut tidak semudah yang dibayangkan karena data yang disampaikannya perlu pembuktian kebenarannya. Oleh karena hal ini memerlukan pembuktian yang lebih lengkap dari keputusan pengadilan maka penangkapan ulama tersebut ditunda.

Selain kasus di atas ada contoh kasus lain yang menarik untuk dikaji. Kasus ini berhubungan dengan tidak terimanya seorang wanita, selanjutnya disebut mbak x, dengan pernyataan dari sahabatnya (yang kemudian menjadi musuh-selanjutnya disebut mbak y) yang berbunyi …lonte bertarif jutaan… Hal ini berhubungan dengan latar belakang mbak x yang dulunya berprofesi sebagai PSK (pekerja seks komersial) namun sudah berhenti dan punya usaha. Ringkasnya mbak y merasa iri dengki dengan kesuksesan mbak x ini sehingga dalam obrolan di medsos terlontar kata-kata …lonte bertarif jutaan…

Pernyataan tersebut sebenarnya sudah bermuatan makna penghinaan, namun mbak x menganggap bahwa pernyataan itu juga sebuah fitnah. Tidak benar bahwa dia seorang lonte namun memang dulu pernah menjadi PSK.

Apa beda lonte dan PSK? Ternyata mbak x merasa direndahkan statusnya dari yang dulunya PSK menjadi seorang lonte. Motif utamanya ternyata mbak x ingin mbak y tidak hanya dianggap menghina namun juga memfitnah sehingga hukumannya bisa lebih berat.

Penanganan kasus ini sebenarnya mudah oleh pihak kepolisian karena jelas pasal-pasalnya, namun menjadi rumit jika berhubungan dengan masalah kebahasaan. Ringkasnya penjelasannya sbb.

a. PSK (d/h WTS) adalah wanita yang bekerja dengan cara menjual “diri” kepada pelanggannya secara profesional dengan imbalan uang yang nilainya sesuai kesepakatan.

b. Perek adalah akronim dari perempuan eksperimen artinya seorang perempuan yang sedang mencoba-coba menjual diri dengan tarif yang murah bahkan gratis (karena sedang menmencoba-coba atau bereksperimen).

c. Lonte adalah perempuan ABG (anak baru gede) yang berasal dari keluarga broken home dan dituntut mencari makan dengan menjual diri.

Jadi jelas bahwa motif mbak x melaporkan mbak y dengan tuduhan tidak hanya penghinaan tetapi juga fitnah dilatarbelakangi pengetahuan mbak x bahwa lonte itu kelasnya jauh di bawah PSK sehingga kalaupun misalnya dia dikatakan PSK kelas atas kemungkinan dia tidak akan tersinggung namun cukup merasa dihina saja.

KESIMPULAN & SARAN

Dari beberapa kasus yang dipaparkan di atas seorang linguis yang berperan sebagai saksi ahli bahasa dituntut untuk tidak hanya memperhatikan apa yang disampaikan oleh pihak kepolisian sebagai aduan kasus, namun juga perlu memperhatikan latar belakang yang mendasari kejadian kasus tersebut. Hal ini penting mengingat faktor keadilan dan loyalitas kepada ilmu pengetahuan harus menjadi dasar utama seorang saksi ahli bahasa dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan masalah kebahasaan dalam suatu kasus hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Coulthard, Malcolm and Alison Johnson. 2007. An Introduction to Forensic Linguistic Language in

Evidence. New York:Routledge.

Coulthard, Malcolm and Alison Johnson(Ed.). 2010. The Routledge Handbook of Forensic Linguistics. New York:Routledge.

http: www.beritaindonesia.com/20151217172625-12-9894

STRATEGI PENCIPTAAN HUMOR PADA MEME