• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ahmad Hamidi

Universitas Pendidikan Indonesia

hammitius_blank@ymail.com ABSTRAK

Orang Minangkabau yang merantau di Labuanbajo, kabupaten Manggarai Barat, cenderung menuturkan kalimat yang terpengaruh oleh struktur sintaksis bahasa Minangkabau saat berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Dalam kajian linguistik, khususnya sosiolinguistik, fenomena semacam ini dikenal sebagai interferensi bahasa (language interference). Interferensi bahasa tak hanya muncul pada tataran sintaksis saja, namun interferensi terhadap kaidah struktur suatu bahasa dapat muncul pula pada tataran fonologi, leksikal, morfologi, maupun semantik. Akan tetapi, penelitian ini hanya akan membahas bentuk interferensi struktur sintaksis bahasa Minangkabau terhadap pemakaian bahasa Indonesia. Interferensi bahasa merupakan sebuah gejala masuknya ciri atau kaidah suatu bahasa ke dalam penggunaan bahasa lain. Interferensi bahasa dapat diartikan sebagai masuknya unsur-unsur tertentu dari bahasa pertama (B1) ke dalam pemakaian bahasa kedua (B2). Secara sederhana, interferensi bahasa suatu penyimpangan berbahasa, menyerang penutur yang dinamis menggunakan dua bahasa atau lebih. Interferensi bahasa terjadi secara tidak disadari oleh penutur dan merupakan suatu fenomena yang dapat merusak kaidah linguistik suatu bahasa, yang dimaksud bahasa dalam kasus penelitian ini tak lain adalah bahasa Indonesia. Peneliti mengklasifikasikan bentuk interferensi struktur sintaksis bahasa Minangkabau terhadap penggunaan bahasa Indonesia oleh perantau Minangkabau di Labuanbajo ke dalam lima jenis, yaitu (1) pergi + verba dasar dan pergi + verba berafiks, (2) di + pronominal, (3) nomina + -nya + di- + verba + -nya, (4) ber- + nomina untuk menyatakan pasif, dan (5) Adverbia + Adverbia + KKD dan Adverbia + Adverbia + KKB. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik yang mengacu pada model kontak bahasa yang pernah dikembangkan oleh Weinreich (1970).

Kata Kunci: interferensi, sintaksis, bahasa Minangkabau, bahasa Indonesia PENDAHULUAN

Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang terkenal dengan kehidupan merantaunya. Dalam kebudayaan Minangkabau tradisional, rantau merupakan ruang yang tidak bisa dilepaskan dari karakter masyarakat Minangkabau selain surau dan lapau (lepau), khususnya bagi laki-laki remaja dan dewasa. Bahkan, masyarakat Minangkabau telah melembagakan tradisi merantau sebagai sebuah sistem sosial. Mengapungnya persepsi seperti itu menurut Navis (1999: 31) merupakan ujud perlawanan diam terhadap sistem yang berlaku di kampung halamannya sendiri atau oleh alasan-alasan yang bersifat psikologis. Posisinya rada lemah; di rumah ibunya (yakni di rumah di mana sebetulnya ia tergolong) tidak disediakan ruangan atau bilik untuknya yang dapat digunakan untuk pribadinya, sebagaimana halnya dengan semua anggota wanita; sedangkan di rumah istrinya dia hanya mengunjungi istrinya di malam hari (Naim, 2013: 14). Tersebab tradisi merantau itulah, orang Minangkabau sangat mudah ditemukan di mana-mana, tak terkecuali di Labuanbajo, kabupaten Manggarai Barat, provinsi Nusa Tenggara Timur.

Labuanbajo yang terletak di pesisir barat pulau Flores itu merupakan kota administratif bagi kabupaten Manggarai Barat, sekaligus menjadi pintu masuk utama perniagaan ke pulau Flores, khususnya dari wilayah pusat (arah barat). Di samping itu, Labuanbajo juga merupakan salah satu destinasi pariwisata yang ternama, baik itu pariwisata alam maupun pariwisata budaya. Hal ini sangat berkaitan dengan panorama alam dan keunikan budaya yang tersaji di sepanjang pulau Flores. Wisatawan yang ingin menuju ke kepulauan Komodo, maka mereka terlebih dahulu harus transit di Labuanbajo. Begitu pula bagi wisatawan yang menggunakan jalur darat untuk menuju ke danau Kelimutu, Waerebo, Riung 17, dan berbagai destinasi pariwisata lainnya, mereka setidaknya akan mencapai Labuanbajo terlebih

dahulu. Karena peran yang strategis seperti itu, maka masyarakat yang menghuni Labuanbajo adalah masyarakat heterogen, yaitu masyarakat dengan latar kultural yang berbeda-beda.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu (lingua franca) berbagai latar kultural untuk segenap wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia. Tak dapat dimungkiri bahwa setiap masyarakat Indonesia setidaknya memiliki kemampuan untuk memahami bahasa Indonesia, meskipun di sejumlah wilayah yang terisolasi masih banyak ditemukan masyarakat Indonesia yang belum mampu menuturkan bahasa Indonesia secara fasih. Akan tetapi, kasus penggunaan bahasa Indonesia dengan ragam kedaerahan masih saja banyak terjadi, tak lain seperti penggunaan leksikon (kosakata) dari bahasa ibu sebagai bahasa pertama (B1) dalam komunikasi bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (B2). Hal seperti itu merupakan dampak dari ketidakmantapan penggunaan dua bahasa (kedwibahasaan) seorang penutur. Contoh lain yaitu pada (1) tataran fonologi dalam penggunaan pelafalan B1 terhadap B2, (2) tataran morfologi dalam penggunaan afiks B1 terhadap B2, (3) tataran sintaksis dalam penggunaan tata kalimat B1 terhadap B2, dan (4) tataran semantik dalam pemaknaan berdasarkan B1 terhadap B2. Moussay (1998: 331-333) menyimpulkan bahwa perbedaan antara bahasa Minangkabau dengan bahasa Indonesia terdapat dari segi fonem, satuan bermakna yang berupa kata dasar, afiks, dan kata tugas, maupun sintaksis. Perbedaan-perbedaan itu terarsir pada wacana komunikasi bahasa Indonesia perantau Minangkabau di Labuanbajo dengan banyak memunculkan transfer bentuk kebahasaan.

Di wilayah Minangkabau, bahasa Minangkabau terbagi ke dalam beberapa dialek sesuai letak geografisnya. Menurut Ayub, dkk. (1993: 18) bahasa Minangkabau umum adalah bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa Minangkabau yang berasal dari berbagai daerah dan di dalamnya tidak ditemukan atau dikenali lagi spesifik dari dialek tertentu. Dengan kata lain, bahasa Minangkabau umum dapat dipahami oleh setiap masyarakat Minangkabau, baik yang berasal dari wilayah pesisir maupun dari wilayah darek, baik masyarakat di perbatasan Tapanuli Selatan, maupun masyarakat di perbatasan Jambi, dan sebagainya. Secara singkat, bahasa Minangkabau umum adalah lingua franca-nya wilayah Minangkabau. Bahasa Minangkabau sebagai bahasa daerah memiliki fungsi sebagai berikut,

1) lambang kebangsaan dan pendukung perkembangan kebudayaan Minangkabau;

2) lambang identitas daerah dan masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia; dan

3) alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat Minangkabau (Ayub, dkk., 1993: 13). TEORI & METODOLOGI

Teori

Salah satu kajian di bidang sosiolinguistik adalah mengenai interferensi bahasa (language interference). Istilah interferensi bahasa pertama kali di perkenalkan oleh Weinreich (1970) yang menyebut “Those

instance of deviation from the norm of either language which occur in the speech bilinguals as a result of their familiarity with more than one language as a result of language contact.”

(Penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma salah satu bahasa yang terjadi dalam tuturan para dwibahasawan sebagai akibat dari pengenalan mereka terhadap lebih dari satu bahasa sebagai hasil dari kontak bahasa). Interferensi bahasa merupakan sebuah fenomena dengan masuknya unsur-unsur tertentu suatu bahasa dalam pemakaian bahasa lain. Interferensi bahasa menyerang seorang penutur yang memiliki kemampuan menguasai dua bahasa (dwibahasawan) atau lebih dari itu (poliglot). Jika dirunut lebih jauh, interferensi bahasa muncul sebagai akibat terjadinya kontak bahasa.

Di Indonesia yang menjadi bahasa pertama (B1) umumnya adalah bahasa daerah di tempat seorang penutur itu lahir dan tumbuh, sedangkan yang menjadi bahasa kedua (B2) adalah bahasa Indonesia yang didapatkannya saat masuk ke dalam lingkaran pergaulan masyarakat luas, pergaulan yang memungkinkan baginya untuk bersentuhan dengan kultur lain. Di samping itu, jika ada seorang penutur yang memiliki kemampuan menguasai bahasa lain (B3), seperti bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Jerman dll., itu semua adalah kemampuan yang dipelajarinya melalui lembaga pendidikan atau dari interaksi yang dilakukannya secara khusus. Akan tetapi, sangat sulit bagi seorang penutur untuk dapat menguasai beberapa bahasa dengan sama baiknya. Permasalahan interferensi bahasa berkaitan erat dengan alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) yang biasa terjadi pada dwibahasawan. Jika alih kode terjadi atas kesengajaan yang dilakukan oleh dwibahasawan karena faktor-faktor tertentu, namun campur kode merupakan sebuah fenomena kebahasaan yang secara tidak sengaja dilakukan oleh dwibahasawan, selaras dengan faktor yang menentukan terjadinya interferensi bahasa; ketidakmampuan penutur dalam mengisi struktur B2 sehingga ia menggunakan unsur-unsur dari B1 untuk mengisi kekosongan struktur

dahulu. Karena peran yang strategis seperti itu, maka masyarakat yang menghuni Labuanbajo adalah masyarakat heterogen, yaitu masyarakat dengan latar kultural yang berbeda-beda.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu (lingua franca) berbagai latar kultural untuk segenap wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia. Tak dapat dimungkiri bahwa setiap masyarakat Indonesia setidaknya memiliki kemampuan untuk memahami bahasa Indonesia, meskipun di sejumlah wilayah yang terisolasi masih banyak ditemukan masyarakat Indonesia yang belum mampu menuturkan bahasa Indonesia secara fasih. Akan tetapi, kasus penggunaan bahasa Indonesia dengan ragam kedaerahan masih saja banyak terjadi, tak lain seperti penggunaan leksikon (kosakata) dari bahasa ibu sebagai bahasa pertama (B1) dalam komunikasi bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (B2). Hal seperti itu merupakan dampak dari ketidakmantapan penggunaan dua bahasa (kedwibahasaan) seorang penutur. Contoh lain yaitu pada (1) tataran fonologi dalam penggunaan pelafalan B1 terhadap B2, (2) tataran morfologi dalam penggunaan afiks B1 terhadap B2, (3) tataran sintaksis dalam penggunaan tata kalimat B1 terhadap B2, dan (4) tataran semantik dalam pemaknaan berdasarkan B1 terhadap B2. Moussay (1998: 331-333) menyimpulkan bahwa perbedaan antara bahasa Minangkabau dengan bahasa Indonesia terdapat dari segi fonem, satuan bermakna yang berupa kata dasar, afiks, dan kata tugas, maupun sintaksis. Perbedaan-perbedaan itu terarsir pada wacana komunikasi bahasa Indonesia perantau Minangkabau di Labuanbajo dengan banyak memunculkan transfer bentuk kebahasaan.

Di wilayah Minangkabau, bahasa Minangkabau terbagi ke dalam beberapa dialek sesuai letak geografisnya. Menurut Ayub, dkk. (1993: 18) bahasa Minangkabau umum adalah bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa Minangkabau yang berasal dari berbagai daerah dan di dalamnya tidak ditemukan atau dikenali lagi spesifik dari dialek tertentu. Dengan kata lain, bahasa Minangkabau umum dapat dipahami oleh setiap masyarakat Minangkabau, baik yang berasal dari wilayah pesisir maupun dari wilayah darek, baik masyarakat di perbatasan Tapanuli Selatan, maupun masyarakat di perbatasan Jambi, dan sebagainya. Secara singkat, bahasa Minangkabau umum adalah lingua franca-nya wilayah Minangkabau. Bahasa Minangkabau sebagai bahasa daerah memiliki fungsi sebagai berikut,

1) lambang kebangsaan dan pendukung perkembangan kebudayaan Minangkabau;

2) lambang identitas daerah dan masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia; dan

3) alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat Minangkabau (Ayub, dkk., 1993: 13). TEORI & METODOLOGI

Teori

Salah satu kajian di bidang sosiolinguistik adalah mengenai interferensi bahasa (language interference). Istilah interferensi bahasa pertama kali di perkenalkan oleh Weinreich (1970) yang menyebut “Those

instance of deviation from the norm of either language which occur in the speech bilinguals as a result of their familiarity with more than one language as a result of language contact.”

(Penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma salah satu bahasa yang terjadi dalam tuturan para dwibahasawan sebagai akibat dari pengenalan mereka terhadap lebih dari satu bahasa sebagai hasil dari kontak bahasa). Interferensi bahasa merupakan sebuah fenomena dengan masuknya unsur-unsur tertentu suatu bahasa dalam pemakaian bahasa lain. Interferensi bahasa menyerang seorang penutur yang memiliki kemampuan menguasai dua bahasa (dwibahasawan) atau lebih dari itu (poliglot). Jika dirunut lebih jauh, interferensi bahasa muncul sebagai akibat terjadinya kontak bahasa.

Di Indonesia yang menjadi bahasa pertama (B1) umumnya adalah bahasa daerah di tempat seorang penutur itu lahir dan tumbuh, sedangkan yang menjadi bahasa kedua (B2) adalah bahasa Indonesia yang didapatkannya saat masuk ke dalam lingkaran pergaulan masyarakat luas, pergaulan yang memungkinkan baginya untuk bersentuhan dengan kultur lain. Di samping itu, jika ada seorang penutur yang memiliki kemampuan menguasai bahasa lain (B3), seperti bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Jerman dll., itu semua adalah kemampuan yang dipelajarinya melalui lembaga pendidikan atau dari interaksi yang dilakukannya secara khusus. Akan tetapi, sangat sulit bagi seorang penutur untuk dapat menguasai beberapa bahasa dengan sama baiknya. Permasalahan interferensi bahasa berkaitan erat dengan alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) yang biasa terjadi pada dwibahasawan. Jika alih kode terjadi atas kesengajaan yang dilakukan oleh dwibahasawan karena faktor-faktor tertentu, namun campur kode merupakan sebuah fenomena kebahasaan yang secara tidak sengaja dilakukan oleh dwibahasawan, selaras dengan faktor yang menentukan terjadinya interferensi bahasa; ketidakmampuan penutur dalam mengisi struktur B2 sehingga ia menggunakan unsur-unsur dari B1 untuk mengisi kekosongan struktur tersebut. Akan tetapi, berbeda halnya dengan interferensi, campur kode tidak dianggap sebagai bentuk

kesalahan berbahasa. Secara sederhana, jika campur kode bersifat deskriptif, sedangkan interferensi bersifat preskriptif. Lantas Weinreich (dalam Aslinda & Syafyahya, 2007: 66-82) membagi bentuk-bentuk interferensi bahasa ke dalam tiga jenis, yaitu

1) interferensi fonologis, yaitu interferensi yang terjadi dalam bidang fonetik dan bidang fonemik;

2) interferensi leksikal, yaitu interferensi yang terjadi apabila seorang dwibahasawan memasukkan kosakata dari B1 ke dalam B2 (atau sebaliknya) dalam tuturannya; dan

3) interferensi gramatikal, yaitu interferensi yang terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasikan morfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada sistem B1 dan menggunakannya dalam tuturan bersistem B2, begitu pula sebaliknya.

Gejala interferensi dalam bidang morfologis dan sintaksis termasuk ke dalam jenis interferensi gramatikal. Interferensi dalam bidang morfologis dapat terjadi antara lain akibat penyusupan unsur-unsur pembentukan kata, pola proses morfologi, dan proses penanggalan afiks bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (Aslinda & Syafyahya, 2007: 75). Sementara itu, interferensi sintaksis yaitu terjadinya penyusupan struktur bahasa sumber ke dalam bahasa penerima, sehingga mengganggu struktur bahasa penerima tersebut (Weinreich, 1970: 22). Dalam penelitian ini banyak ditemui menyusupan struktur sintaksis bahasa Minangkabau ke dalam bahasa Indonesia dalam wacana komunikasi perantau Minangkabau di Labuanbajo, kabupaten Manggarai Barat.

Metodologi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Dengan menggunakan metode tersebut, peneliti berusaha untuk memaparkan gambaran lengkap tentang interferensi sintaksis yang terjadi dalam penggunaan bahasa Indonesia oleh perantau Minangkabau di Labuanbajo, kabupaten Manggarai Barat. Data diperoleh melalui observasi dengan teknik Simak Libat Cakap (SLC) dan teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC). SLC mengharuskan peneliti untuk terlibat langsung dalam komunikasi bersama subjek penelitian, sedangkan pada SBLC peneliti hanya melakukan penyimakan terhadap komunikasi yang dilakukan antarsubjek penelitian. Pemerolehan data dilakukan dengan cara merekam proses komunikasi menggunakan media perekam suara dan dengan mencatat sejumlah tuturan yang berindikasi kepada sasaran peneliti: terjadinya interferensi bahasa. Setelah data diperoleh, peneliti melakukan identifikasi dan klasifikasi data untuk selanjutnya dilakukan penganalisisan terhadap data-data yang telah tersedia.

Peneliti menggunakan subjek yang bersifat heterogen. Karena itu, peneliti memberikan batasan terhadapnya, yaitu perantau Minangkabau yang telah berdomisili minimal selama lima tahun di Labuanbajo dengan usia minimal 25 tahun. Angka lima tahun diambil karena peneliti berasumsi bahwa dengan waktu selama itu, perantau Minangkabau yang menetap di Labuanbajo setidaknya sudah sangat akrab dalam penggunaan bahasa Indonesia, serta telah banyak mengetahui sikap bahasa para mitra tuturnya. Sementara itu, angka 25 tahun diambil atas asumsi bahwa dalam usia tersebut subjek penelitian telah memahami ihwal kesadaran konteks berbahasa. Secara lebih spesifik, subjek penelitian adalah perantau Minangkabau yang bekerja sebagai pedagang pakaian, pemilik rumah makan, dan travel agent di sepanjang jalan Soekarno-Hatta, Labuanbajo. Rata-rata perantau Minangkabau yang merantau di Labuanbajo adalah mereka yang berasal dari nagari Toboh, kabupaten Padang Pariaman. Dengan kata lain, subjek merupakan perantau yang memang datang langsung dari wilayah Minangkabau, bukan hasil peranakan dan bukan pula lahir di daerah lain di luar Minangkabau.

TEMUAN & PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang telah peneliti analisis, ditemukan sebanyak 23 kasus interferensi sintaksis bahasa Minangkabau dalam wacana komunikasi bahasa Indonesia perantau Minangkabau di Labuanbajo, kabupaten Manggarai Barat. Peneliti menggunakan kode-kode tertentu sebagai penunjuk dalam pembahasan ini, yaitu (1) T = tuturan dan (2) BM = bahasa Minangkabau. Sajian pembahasan adalah sebagai berikut.

1) pergi + verba dasar dan pergi + verba berafiks

Pada bagian ini akan dibahas interferensi bentuk pergi + verba dasar dan pergi + verba berafiks bahasa Minangkabau dalam bahasa Indonesia.

Data (1a): Anak-anak losmen itu kadang ke mari pergi minum-minum. (T)

Anak-anak losmen tu kadang ka siko pai minum-minum. (BM)

Kalau nio, pai{lah} bajalan-jalan di sakitar siko dulu. (BM)

Interferensi sintaksis serupa ini ditemukan sebanyak lima buah dalam tuturan perantau Minangkabau di Labuanbajo. Bentuk pergi + verba dasar dan pergi + verba berafiks merupakan kalimat yang gatra verbanya diisi oleh dua kata verba. Bentuk seperti itu tidak lazim digunakan dalam struktur sintaksis bahasa Indonesia. Struktur sintaksis bahasa Indonesia hanya menggunakan satu gatra verba untuk menyatakan maksud yang sama, yaitu sebagai berikut.

Data (1b): Anak-anak losmen itu kadang ke mari [untuk] minum-minum. Data (2b): Kalau mau, berjalan-jalan [saja] di sini dulu.

2) di + pronomina

Pada bagian ini akan dibahas interferensi bentuk di + pronomina bahasa Minangkabau dalam bahasa Indonesia.

Data (3a): Dua kali sehari kapal itu [me]nyeberang, tanya saja di satpam sana. (T)

Duo kali sahari kapa tu [ma]nyubarang, tanyo se di satpam sinan. (BM)

Data (4a): Sekarang paket macam itu tidak ada di kami. (T)

Sekarang paket mode tu ndak ado di kami. (BM)

Interferensi sintaksis serupa ini ditemukan sebanyak tiga buah dalam tuturan perantau Minangkabau di Labuanbajo. Gatra preposisi di pada dua kalimat tersebut tidak lazim digunakan dalam struktur sintaksis bahasa Indonesia. Agar lazim, seharusnya gatra preposisi diisi oleh ke, kepada, atau pada, seperti yang terdapat pada kalimat berikut.

Data (3b): Dua kali sehari kapal itu nyebererang, tanya saja ke satpam [di] sana. Data (4b): Sekarang paket macam itu tidak ada pada kami.

3) nomina + -nya + di- + verba + -nya

Pada bagian ini akan dibahas interferensi bentuk nomina + -nya + di- + verba + -nya bahasa Minangkabau dalam bahasa Indonesia.

Data (5a): Kalau bagus cuaca, sampannya dibawanya ke seberang. (T)

Kok rancak cuaco, sampannyo dibaonyo ka subarang. (BM)

Data (6a): Bahan mentahnya diambilnya dari distributor di Ruteng. (T)

Bahan mantahnyo diambiaknyo dari distributor di Ruteng. (BM)

Interferensi sintaksis serupa ini ditemukan sebanyak tujuh buah dalam tuturan perantau Minangkabau di Labuanbajo. Untuk menyatakan maksud yang sama, struktur sintaksis bahasa Indonesia yang lazim adalah berbentuk nomina + -nya + di- + verba atau nomina + di- + verba + -nya seperti pada contoh berikut.

Data (5b): Kalau bagus cuaca, sampannya dibawa ke seberang. Data (6b): Bahan mentah diambilnya dari distributor di Ruteng. 4) ber- + nomina untuk menyatakan pasif

Pada bagian ini akan dibahas interferensi bentuk ber- + nomina untuk menyatakan pasif bahasa Minangkabau dalam bahasa Indonesia.

Data (7a): Kalau di atas jam-jam tiga [sore] sudah berbongkar barang-barang dari kapal.

Kok di ateh jam-jam tigo [sore] alah babongka barang-barang dari kapa. (BM)

Data (8a): Ada yang bertali ada yang tidak, tak jelas pula. (T)

Ado nan batali ado nan indak, ndak jaleh pulo. (BM)

Interferensi sintaksis serupa ini ditemukan sebanyak lima buah dalam tuturan perantau Minangkabau di Labuanbajo. Untuk menyatakan maksud yang sama, struktur sintaksis bahasa Indonesia yang lazim adalah berbentuk di- + nomina seperti pada contoh berikut.

Data (7b): Kalau di atas jam-jam tiga [sore] sudah dibongkar barang-barang di kapal. Data (8b): Ada yang ditali ada yang tidak, tidak jelas pula.

Kalau nio, pai{lah} bajalan-jalan di sakitar siko dulu. (BM)

Interferensi sintaksis serupa ini ditemukan sebanyak lima buah dalam tuturan perantau Minangkabau di Labuanbajo. Bentuk pergi + verba dasar dan pergi + verba berafiks merupakan kalimat yang gatra verbanya diisi oleh dua kata verba. Bentuk seperti itu tidak lazim digunakan dalam struktur sintaksis bahasa Indonesia. Struktur sintaksis bahasa Indonesia hanya menggunakan satu gatra verba untuk menyatakan maksud yang sama, yaitu sebagai berikut.

Data (1b): Anak-anak losmen itu kadang ke mari [untuk] minum-minum. Data (2b): Kalau mau, berjalan-jalan [saja] di sini dulu.

2) di + pronomina

Pada bagian ini akan dibahas interferensi bentuk di + pronomina bahasa Minangkabau dalam bahasa Indonesia.

Data (3a): Dua kali sehari kapal itu [me]nyeberang, tanya saja di satpam sana. (T)

Duo kali sahari kapa tu [ma]nyubarang, tanyo se di satpam sinan. (BM)

Data (4a): Sekarang paket macam itu tidak ada di kami. (T)

Sekarang paket mode tu ndak ado di kami. (BM)

Interferensi sintaksis serupa ini ditemukan sebanyak tiga buah dalam tuturan perantau Minangkabau di Labuanbajo. Gatra preposisi di pada dua kalimat tersebut tidak lazim digunakan dalam struktur sintaksis bahasa Indonesia. Agar lazim, seharusnya gatra preposisi diisi oleh ke, kepada, atau pada, seperti yang terdapat pada kalimat berikut.

Data (3b): Dua kali sehari kapal itu nyebererang, tanya saja ke satpam [di] sana. Data (4b): Sekarang paket macam itu tidak ada pada kami.

3) nomina + -nya + di- + verba + -nya

Pada bagian ini akan dibahas interferensi bentuk nomina + -nya + di- + verba + -nya bahasa Minangkabau dalam bahasa Indonesia.

Data (5a): Kalau bagus cuaca, sampannya dibawanya ke seberang. (T)

Kok rancak cuaco, sampannyo dibaonyo ka subarang. (BM)

Data (6a): Bahan mentahnya diambilnya dari distributor di Ruteng. (T)

Bahan mantahnyo diambiaknyo dari distributor di Ruteng. (BM)

Interferensi sintaksis serupa ini ditemukan sebanyak tujuh buah dalam tuturan perantau Minangkabau di Labuanbajo. Untuk menyatakan maksud yang sama, struktur sintaksis bahasa Indonesia yang lazim adalah berbentuk nomina + -nya + di- + verba atau nomina + di- + verba + -nya seperti pada contoh berikut.

Data (5b): Kalau bagus cuaca, sampannya dibawa ke seberang. Data (6b): Bahan mentah diambilnya dari distributor di Ruteng. 4) ber- + nomina untuk menyatakan pasif

Pada bagian ini akan dibahas interferensi bentuk ber- + nomina untuk menyatakan pasif bahasa Minangkabau dalam bahasa Indonesia.

Data (7a): Kalau di atas jam-jam tiga [sore] sudah berbongkar barang-barang dari kapal.

Kok di ateh jam-jam tigo [sore] alah babongka barang-barang dari kapa. (BM)

Data (8a): Ada yang bertali ada yang tidak, tak jelas pula. (T)

Ado nan batali ado nan indak, ndak jaleh pulo. (BM)

Interferensi sintaksis serupa ini ditemukan sebanyak lima buah dalam tuturan perantau Minangkabau di Labuanbajo. Untuk menyatakan maksud yang sama, struktur sintaksis bahasa Indonesia yang lazim adalah berbentuk di- + nomina seperti pada contoh berikut.

Data (7b): Kalau di atas jam-jam tiga [sore] sudah dibongkar barang-barang di kapal. Data (8b): Ada yang ditali ada yang tidak, tidak jelas pula.

5) Adverbia + Adverbia + verba dasar dan Adverbia + Adverbia + verba berafiks

Pada bagian ini akan dibahas interferensi bentuk Adverbia + Adverbia + verba dasar dan Adverbia +

Adverbia + verba berafiks bahasa Minangkabau dalam bahasa Indonesia.

Data (9a): Itu sebabnya kami lama-lama akhirnya buka agen di sana.

Itu sebabnya kami lamo-lamo akhirnyo buka agen di sinan. (BM)

Data (10a): Ada juga terkadang mencari yang pinisi tamunya. (T)

Ado juo takadang mancari nan pinisi tamunyo. (BM)

Interferensi sintaksis serupa ini ditemukan sebanyak tiga buah dalam tuturan perantau Minangkabau di Labuanbajo. Untuk menyatakan maksud yang sama, struktur sintaksis bahasa Indonesia yang lazim adalah berbentuk adverbia + verba dasar dan adverbia + verba berafiks seperti pada contoh berikut. Data (9b): Itu sebabnya kami lama-lama buka agen di sana.

Data (10b): Ada juga mencari yang pinisi tamunya.

KESIMPULAN & SARAN

Dari hasil penelitian singkat ini, dapat disimpulkan bahwa ditemukan sebanyak lima bentuk interferensi struktur bahasa Minangkabau ke dalam ujaran bahasa Indonesia para perantau Minangkabau di wilayah