• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indah Puspita Sari STKIP Siliwangi

Dalam dokumen Prosiding Semnas STKIP 2014 (Halaman 193-197)

chiva.aulia@gmail.com

ABSTRAK

Keberhasilan siswa dalam pembelajaran matematika dipengaruhi oleh berbagai factor. Kemampuan matematis menjadi salah satu factor yang mempengaruhi keberhasilan sehingga kemampuan matematis siswa menjadi aspek penting yang harus dimiliki oleh siswa. Selain kemampuan matematis, terdapat aspek lain yang memberikan pengaruh terhadap keberhasilan. Aspek tersebut adalah aspek psikologis yaitu kepercayaan diri siswa. Kepercayaan diri yang baik dapat menghilangkan kecemasan siswa dalam proses belajar sehingga siswa dapat berhasil dalam belajar matematika. Tetapi kenyaataan dilapangan memperlihatkan bahwa kepercayaan diri siswa masih rendah. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah pendekatan yang dapat meningkatkan kemampuan kepercayaan diri siswa. Pendekatan problem posing merupakan salah satu pendekatan yang diyakini dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa

Kata Kunci: Kepercayaan Diri, Pendekatan Problem Posing

1. Pendahuluan

Dalam pembelajaran matematika, kemampuan matematis merupakan aspek penting yang perlu dimiliki oleh siswa. Selain kemampuan matematis, terdapat aspek lain yang juga memberikan pengaruh yang signifikan dalam pembelajaran matematika yaitu aspek psikologis. Seperti yang termuat dalam peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, tercantum tujuan penyelenggaraan pembelajaran adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berkepribadian luhur; b) berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; d) sehat, mandiri, dan percaya diri; dan d) toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab. Sejalan dengan Kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003) menyatakan bahwa tujuan diberikannya mata pelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan:

1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan algoritma, secara luwes, akurat, efisiensi, dan tepat dalam memecahkan masalah. 2. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, table, grafik atau diagram

untuk memperjelas keadaan atau masalah.

3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 4. Menunjukkan kemampuan strategic dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan

menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah.

5. Memiliki sikap menghargai matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam matematika. Berdasarkan tujuan penyelenggaraan pembelajaran tersebut, terlihat bahwa kepercayaan diri menjadi salah satu aspek psikologis yang harus dimiliki siswa. Aspek psikologis ini memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas atau soal dengan baik sejalan dengan Leonard (2010) yang menyatakan bahwa hasil belajar matematika siswa dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya sikap siswa pada matematika, konsep diri dan kecemasan siswa dalam belajar matematika. Kepercayaan diri seorang siswa akan mengurangi kecemasan siswa dalam proses pembelajaran matematika. Selanjutnya, menurut Hannula, Maijala

180 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

& Pehkonen (Fitriani, 2014), jika siswa memiliki kepercayaan diri yang baik, maka ia dapat sukses dalam belajar matematika.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri menjadi salah satu factor keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran matematika. Namun hasil penelitian dari Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan bahwa kepercayaan diri siswa Indonesia masih rendah yaitu 30% (Fitriani, 2014).

Pendekatan problem posing merupakan sebuah pendekatan yang diyakini dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa. Pendekatan problem posing memberikan kesempatan kepada siswa untuk bersikap aktif dalam pembelajaran di kelas. Siswa dituntut untuk mengemukakan ide-ide mereka pada saat membuat soal dari situasi yang diberikan sehingga dengan sendirinya kepercayaan diri mereka terbentuk.

2. Kajian Teoritis dan Pembahasan

2.1.

Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri (self confidence) dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap individu dalam kehidupannya, serta bagaimana individu tersebut memandang dirinya secara utuh dengan mengacu pada konsep diri (Hendriana, 2009). Menurut Lauster (Rustanto, 2013) kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri, sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Sedangkan kepercayaan diri menurut Sirodj dan Ismawati (2010) adalah keyakinan seseorang untuk mampu berperilaku sesuai dengan yang diharapkan dan diinginkan serta keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat menguasai suatu situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan terhadap dirinya sendiri bahwa dia mampu bertindak sesuai dengan yang diharapkan, mampu mengatasi situasi dan selalu bersikap positif serta memiliki dorongan untuk berprestasi. Kepercayaan diri kadang-kadang diwujudkan secara berlebihan oleh seseorang, bahkan kesombongan dapat diartikan sebagai kepercayaan diri yang berlebihan.

Lauster (Ghufron & Rini, 2011) menyatakan bahwa ada beberapa aspek dari kepercayaan diri, yaitu:

1. Keyakinan akan kemampuan diri.

Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif seseorang tentang dirinya bahwa dia bersungguh-sungguh akan apa yang dilakukanya.

2. Optimis

Optimis yaitu sikap positif seseorang yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemauan.

3. Obyektif

Obyektif yaitu orang yang percaya diri memandang permasalahan atau segala sesuatu sesuai dengan kebenaran semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri. 4. Bertanggung jawab

Bertanggung jawab yaitu seseorang yang bersedia untuk menanggung segala sesuatu yang menjadi konsekuensinya.

5. Rasional dan realistis

Rasional dan realistis yaitu analisa tehadap suatu masalah, suatu hal, suatu kejadian dengan menggunakan pemikiran yang diterima oleh akal sesuai dengan kenyataan.

Selanjutnya Preston (Hapsari, 2011) menyebutkan bahwa aspek-aspek pembangun kepercayaan diri adalah self-a wa reness (kesadaran diri), intention (niat), thinking (berpikir positif dan rasional), imagination (berpikir kreatif pada saat akan bertindak), act (bertindak). Sedangkan Surya (Hapsari, 2011) mengungkapkan bahwa aspek psikologis yang mempengaruhi dan membentuk percaya diri merupakan gabungan unsur karakteristik citra fisik, citra psikologis, citra sosial, aspirasi, prestasi, dan emosional, antara lain: 1) Self-Control (Pengendali diri), 2) suasana hati yang sedang dihayati,

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 181

3) citra fisik, 4) citra sosial, dan 5) self-image (citra diri) ditambah aspek keterampilan teknis, yaitu kemampuan menyusun kerangka berpikir dan keterampilan berbuat dalam menyelesaikan masalah. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka aspek-aspek yang membentuk kepercayaan diri adalah kesadaran diri, berpikir positif, optimis, objektif, bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan masalah.

Menurut Hakim (2002) rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang tetapi ada proses tertentu di dalam pribadinya sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya diri. Terbentuknya rasa percaya diri yang kuat terjadi melalui proses sebagai berikut:

1. Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu.

2. Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan kelebihannya.

3. Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri atau rasa sulit menyesuaikan diri.

4. Pengalaman didalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.

Terdapat beberapa karakteristik untuk menilai kepercayaan diri individu seperti yang dikemukakan Lauster (Rustanto, 2013), diantaranya: (a) Percaya kepada kemampuan sendiri, yaitu suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengevaluasi serta mengatasi fenomena yang terjadi tersebut, (b) Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, yaitu dapat bertindak dalam mengambil keputusan terhadap apa yang dilakukan secara mandiri tanpa banyak melibatkan orang lain. Selain itu, mempunyai kemampuan untuk meyakini tindakan yang diambilnya tersebut, (c) Memiliki konsep diri yang positif, yaitu adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari pandangan maupun tindakan yang dilakukan yang menimbulkan rasa positif terhadap diri sendiri, (d). Berani mengungkapkan pendapat, yaitu adanya suatu sikap untuk mampu mengutarakan sesuatu dalam diri yang ingin diungkapkan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau hal yang dapat menghambat pengungkapan perasaan tersebut.

2.2

Pendekatan

Problem Posing

Problem posing merupakan istilah dari bahasa Inggris yang memiliki padanan kata pembentukan soal. Mengenai definisi pembentukan soal, Suyanto (Darnati, 2001) menyatakan bahwa pembentukan soal ialah perumusan soal atau mengerjakan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah pemecahan masalah.

Hamzah (2003) mengemukakan bahwa problem posing adalah:

1. Rumusan masalah matematika sederhana atau perumusan ulang masalah yang telah diberikan dengan beberapa cara dalam rangka menyelesaikan masalah yang rumit.

2. Perumusan masalah matematika yang berkaitan dengan syarat-syarat pada masalah yang dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan masalah yang relevan.

3. Merumuskan atau mengajukan pertanyaan matematika dari situasi yang diberikan, baik diajukan sebelum, pada saat atau setelah pemecahan masalah.

Selanjutnya Silver (Hamzah, 2003) menemukan bahwa pendekatan problem posing merupakan suatu aktivitas dengan dua pengertian yang berbeda, yaitu:

1. Proses pengembangan matematika yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada.

2. Proses memformulasikan kembali masalah matematika dengan kata-kata sendiri berdasarkan situasi yang diberikan.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa problem posing bukan hanya pembentukan soal yang betul-betul baru, tetapi dapat berarti mereformulasi soal-soal yang sudah ada. Ada beberapa cara pembentukan soal baru dari soal yang sudah ada, misalnya dengan mengubah atau menambah data atau informasi pada soal itu, misalnya mengubah bilangan, operasi, objek, syarat, atau konteksnya.

182 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Dalam pembelajaran matematika, problem posing (pengajuan soal) menempati posisi yang strategis. Sehubungan dengan hal ini, Silver dan Cai (Herdian, 2009) menulis: ‖Problem posing is central important in the discipline of mathematics and in the nature of mathematical thinking‖. Dapat dikatakan bahwa problem posing adalah bagian penting dan tidak terpisahkan dari matematika itu sendiri. Silver dan Cai (Herdian, 2009) mengklasifikasikan tiga aktivitas koginitif dalam pembuatan soal sebagai berikut.

a. Pre-solution posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan. b. Within-solution posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal yang sedang diselesaikan.

Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai penyederhanaan dari soal yang sedang diselesaikan. Dengan demikian, pembuatan soal demikian akan mendukung penyelesaian soal semula.

c. Post-Solution Posing. Strategi ini juga disebut sebagai strategi ―find a more

challenging problem”. Siswa memodifikasi atau merevisi tujuan atau kondisi soal yang telah

diselesaikan untuk menghasilkan soal-soal baru yang lebih menantang. Pembuatan soal demikian merujuk pada strategi “what-if-not …?” atau ”what happen if …”. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk membuat soal dengan strategi itu adalah sebagai berikut.

a. Mengubah informasi atau data pada soal semula b. Menambah informasi atau data pada soal semula

c. Mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan kondisi atau situasi soal semula.

Mengubah situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap mempertahankan data atau informasi yang ada pada soal semula.

2.3

Teori Belajar

Berikut ini adalah beberapa teori belajar yang melandasi pendekatan problem posing, diantaranya adalah:

1. Teori Konstruktivisme

Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) kognitif oleh seseorang terhadap obyek, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari pikiran orang yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum memiliki pengetahuan, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).

Von Glasersferd (Suparno, 1997) mengungkapkan bahwa dalam proses konstruksi diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain. 2. Teori Konstruktivisme Personal

Teori konstruktivisme personal ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Piaget (Suparno, 1997) mengungkapkan bahwa teori pengetahuan pada dasarnya merupakan teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas. Ada empat konsep dasar teori konstruktivisme personal yaitu:

a. Skemata yaitu struktur kognitif dimana seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema beradaptasi dan berubah selama perkembangan mental anak. Skema berkembang menurut taraf kognitif seseorang yaitu sensori motor (0–2 tahun), praoperasional (2–7 tahun), operasi konkret (7–11 tahun), operasi formal (11–15 tahun). Skemata dapat berbentuk skill, knowledge dan konsep, yang digunakan pemiliknya ketika ia berinteraksi dengan apa yang ada di lingkungannya.

b. Asimilasi yaitu proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasian persepsi, konsep ataupun pengetahuan baru ke dalam skema atau poal yang sudah ada dalam pikiran.

c. Akomodasi yaitu membentuk skema baru atau bisa juga memodifikasi skemata yang sudah ada yang sesuai dengan rangsangan baru.

d. Equilibration merupakan proses penyeimbangan asimilasi dan akomodasi untuk menyatukan pengalaman luar dengan skematanya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 183

3. Teori Konstruktivisme Sosial

Teori konstruktivisme social atau yang lebih dikenal dengan teori Vygotsky. Vygotsky (Herdian, 2010) beranggapan bahwa pembelajaran terjadi apabila anak-anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya (zone of proximal development), yaitu perkembangan kemampuan siswa sedikit di atas kemampuan yang sudah dimilikinya. Vygotsky (Herdian, 2010) juga menjelaskan bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap: tahap pertama terjadi pada saat berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap berikutnya dilakukan secara individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi. Selama proses interaksi terjadi, baik antara guru-siswa maupun antar siswa, kemampuan seperti saling menghargai, menguji kebenaran pernyataan pihak lain, bernegosiasi, dan saling mengadopsi pendapat dapat berkembang.

3. Penutup

Kepercayaan diri merupakan aspek psikologis yang memberikan kontribusi terhadap

Dalam dokumen Prosiding Semnas STKIP 2014 (Halaman 193-197)