• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Teoritis

Dalam dokumen Prosiding Semnas STKIP 2014 (Halaman 48-54)

Wahyu Hidayat STKIP Siliwangi

2. Kajian Teoritis

2.1. Retensi dalam Pembelajaran Matematika

Konsep yang dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran dapat disimpan dalam ingatan atau memori yang kemudian akan dipergunakan pada saat diperlukan. Kemampuan untuk menyimpan dalam ingatan ini dikenal sebagai retensi. Pada kenyataannya, banyak hal yang telah disimpan dalam ingatan sulit untuk diproduksikan lagi, hal ini dikenal sebagai lupa (Rahman, 2010). Retensi merupakan salah satu indikator bermutunya hasil belajar atau pembelajaran yang kurang mendapat perhatian. Untuk mengetahui efektifnya model pembelajaran, hendaknya tidak hanya dari penguasaan konsep saja, tetapi lebih jauh dianalisis apakah konsep-konsep yang diajarkan dapat lekat dalam ingatan siswa atau cepat terlupakan karena pembelajaran berupa transfer hapalan.

Hal-hal yang sering terjadi dan perlu dicermati dari beberapa laporan penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran matematika dan hasilnya, khususnya di Indonesia yaitu kurangnya informasi tentang retensi hasil belajar matematika siswa. Kata retensi merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu retention yang artinya penyimpanan. Berdasarkan Dictionary of Psychology yang diterjemahkan oleh Kartini Kartono (Ibrahim, 2011:90) retensi adalah ketegaran atau terus-menerus melekatnya satu perbuatan yang telah dipelajari. Selain itu, Ibrahim (2011:25) mendefinisikan bahwa retensi kemampuan matematika adalah kemampuan siswa dalam mempertahankan kemampuan-kemampuan matematika yang telah dimilikinya untuk rentang waktu tertentu (setengah semester). Berdasarkan hal tersebut, maka retensi dapat diartikan menjadi suatu kemampuan siswa dalam mempertahankan atau mengingat tentang pembelajaran matematika. Retensi adalah kemampuan siswa mengingat materi yang telah diajarkan oleh guru pada rentang waktu tertentu. Bandura (Hill, 2011) menyebutkan bahwa salah satu komponen dasar belajar adalah

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 35

retensi. Retensi menunjukkan bahwa apa yang dipelajari tidak menghasilkan efek praktis kecuali kita mengingatnya cukup lama. Rahman (2010), Christoph dan Zehender (2006) menyebutkan bahwa tes untuk mengetahui retensi dilakukan setelah empat minggu dari post-test. Dahar (Tapilouw dan Setiawan, 2008) mengartikan retensi sebagai penambahan materi yang dipelajari dalam memori (yang tidak dilupakan), berarti retensi menunjuk pada penyimpanan informasi yang diperoleh dalam memori. Selanjutnya De Porter & Hernacki (Tapilouw dan Setiawan, 2008) menyebutkan bahwa kita akan mengingat informasi dengan sangat baik jika informasi tersebut dicirikan oleh kualitas-kualitas sebagai berikut:

a. Adanya asosiasi indera terutama indera penglihatan. Pengalaman yang melibatkan penglihatan, bunyi, sentuhan, rasa atau gerakan umumnya sangat jelas dalam memori kita.

b. Adanya konteks emosional seperti cinta, kebahagiaan, dan kesedihan. c. Kualitas yang menonjol atau berbeda

d. Asosiasi yang intens

e. Kebutuhan untuk bertahan hidup

f. Hal-hal yang memiliki keutamaan pribadi g. Hal-hal yang diulang-ulang

Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh ahli psikologi dan pendidikan tentang retensi, diantaranya membuktikan bahwa siswa menyimpan banyak ingatan terhadap sesuatu yang telah dipelajari di sekolah. Retensi dan lupa merupakan istilah yang tidak dapat dipisahkan. Retensi merujuk pada porsi bertahannya pengetahuan atau kemampuan yang telah dipelajari dan disimpan dalam memori. Ilmuwan yang pertama kali meneliti tentang retensi adalah Herman Ebbinghaus pada tahun 1885 (Sulistyoningsih dkk, 2013). Salah satu hasil dari penelitian yang diakukan oleh Ebinghaus adalah kurva retensi (kurva kelupaan Ebbinghaus) mengenai hafalan suku-suku kata, menunjukkan bahwa retensi dapat berkurang dengan cepat setelah interval waktu tertentu.

Menurut Winkel (Hidayat dan Hamidah, 2013), informasi dapat ditahan lebih lama melalui proses penyimpanan. Secara tidak langsung, yang dimaksudkan dengan proses penyimpanan tersebut haruslah berkaitan dengan bagaimana informasi tersebut dapat diterima dan dikonstruksikan dan akhirnya dapat disimpan di dalam memori siswa. Selain itu, Ormrod (Hidayat dan Hamidah, 2013) menyatakan bahwa informasi dapat bertahan lama dalam memori, jika informasi tersebut diterima secara bermakna. Ormrod juga menyatakan bahwa ada empat alasan seseorang secara aktual lupa pada hal-hal yang sebelumnya telah mereka simpan dalam memori jangka panjang, yaitu: kegagalan untuk memanggil kembali (failure to retrieve), kesalahan rekonstruksi (reconstruction error), interferensi (interference), kerusakan (decay). Lebih jauh Ormrod menjelaskan bahwa: (1) failure to retrieve adalah kegagalan untuk menemukan informasi yang ada dalam memori; (2) reconstruction error adalah konstruksi memori yang logis, namun tidak tepat dengan mengombinasikan informasi yang dipanggil dari memori jangka panjang dengan pengetahuan dan keyakinan umum seseorang tentang lingkungan sekitarnya; (3) interference adalah fenomena yang menunjukkan sesuatu yang disimpan dalam memori jangka panjang menghambat kemampuan seseorang untuk mengingat sesuatu yang lain dengan benar, dengan kata lain merupakan kegagalan dalam menggali informasi karena terhalang informasi lain; dan (4) decay adalah pelemahan secara bertahap informasi yang disimpan dalam memori jangka panjang, terutama jika informasi tersebut jarang digunakan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila banyak ilmuwan di bidang pendidikan yang menyatakan bahwa proses pembelajaran memegang peranan penting terhadap retensi hasil belajar siswa.

Berkaitan dengan pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru atau pengajar, pasti guru tersebut akan berharap bahwa pembelajaran yang diberikan kepada siswa dapat berkesan dan bermanfaat bagi siswa dalam hal mengingat hasil yang didapat dari pembelajaran tersebut. Selain itu harapannya siswa juga dapat mengingat dalam waktu yang tidak terbatas sedemikian hingga hasil belajar tersebut dapat dipanggil kapan saja pada saat dibutuhkan. Dengan kata lain, proses pembelajaran matematika di kelas diharapkan memiliki retensi hasil belajar yang baik.

36 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Hasil penelitian yang berkaitan dengan retensi dalam konteks pembelajaran telah dilakukan oleh Craik dan Lockhart (Hidayat dan Hamidah, 2013) dalam level pemrosesan informasi memberikan gagasan umum bahwa informasi yang diterima melalui proses yang mendalam akan memberikan retensi yang lebih baik dibanding informasi yang diterima melalui proses yang dangkal. Gagasan hasil studi Craik dan Lockhart ini memberikan isyarat bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh guru atau pengajar haruslah diupayakan melalui suatu proses yang mendalam pada saat siswa menerima pengetahuan matematika.

Apabila seseorang belajar, maka setelah beberapa waktu lamanya apa yang dipelajarinya akan banyak yang terlupakan dan apa yang diingat akan berkurang jumlahnya. Penurunan jumlah materi yang diingat ini akan sangat cepat pada permulaan, selanjutnya penurunan tersebut tidak lagi cepat. Hasil penelitian Yusuf (2011) mengenai retensi menunjukkan:

a. Materi pelajaran yang bermakna akan lebih mudah diingat siswa dibandingkan dengan materi yang tidak bermakna.

b. Benda yang jelas dan kongkret akan lebih mudah diingat siswa dibanding dengan yang bersifat abstrak.

c. Retensi akan lebih baik untuk materi yang bersifat kontekstual.

d. Tingkat IQ tidak berkorelasi dengan retensi yang telah dipelajari siswa.

Selain itu Yusuf (2011) juga mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi retensi, yaitu: (1) yang dipelajari pada permulaan (original learning); (2) belajar melebihi penguasaan (overlearning); dan (3) pengulangan dengan interval waktu (spaced review). Berdasarkan hal tersebut, maka strategi yang dapat dipakai guru untuk meningkatkan retensi siswa, yaitu:

a. Meyakini bahwa kekompleksan respons yang diinginkan masih berada dalam batas kemampuan siswa, dan masih berkisar pada apa yang telah dipelajari sebelumnya, ter-utama dalam pendekatan pembelajaran konstruktivisme.

b. Memberikan latihan-latihan, baik yang dikerjakan secara kelompok maupun yang dikerjakan secara individu, apabila respons akan dipengaruhi oleh transfer positif.

c. Membuat situasi belajar yang jelas dan spesifik (misalnya: dengan menyertakan kompetensi yang diharapkan dan pendekatan pembelajarannya), sehingga siswa dapat mempelajari respons diskriminatif yang diinginkan.

d. Membuat situasi belajar yang relevan dan bermakna, dengan memilih model pembelajaran yang cocok.

e. Memberikan penguatan terhadap respons siswa, misalnya dengan soal-soal yang ―menantang,‖ apabila dirasa perlu.

f. Memberikan latihan dan mengulang secara periodik (urutan waktu) dan sistematik (struktur keilmuan dan tingkat kesukarannya).

g. Memberikan situasi belajar tambahan dimana siswa tidak hanya belajar materi baru, tetapi juga diharuskan mengingat kembali pelajaran yang telah diberikan sebelumnya.

h. Mencari peluang-peluang yang terdapat di dalam situasi belajar baru, dan menghubungkannya dengan apa yang pernah dipelajari sebelumnya.

i. Mengusahakan agar materi/bahan ajar yang dipelajari bermakna dan disusun dengan baik, misalnya dengan memberikan persoalan matematika yang kontekstual.

j. Memakai bantuan jembatan keledai (mnemonic), karena ini akan meningkatkan organisasi bahan ajar yang dipelajari,

k. Memberikan resitasi karena ini akan meningkatkan praktik siswa,

l. Membangun struktur konsep yang jelas, misalnya dengan menggunakan alat peraga atau media audiovisual. Dengan kata lain, perlu digunakan lebih dari satu indera di dalam aktivitas belajar siswa.

2.2. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis

Dalam dunia pendidikan berpikir merupakan bagian dari ranah kognitif, dimana dalam hirarki Bloom terdiri dari tingkatan-tingkatan, yaitu (1) pengetahuan (knowledge); (2) pemahaman (comprehension); (3) penerapan (application); (4) mengalisis (analysis); (5) mensintesakan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 37

(synthesis); dan (6) menilai (evalua tion). Keenam tingkatan ini merupakan rangkaian tingkatan berpikir manusia. Berdasarkan tingkatan tersebut, maka dapat diketahui bahwa berpikir untuk mengetahui merupakan tingkatan berpikir yang paling bawah (lower) sedangkan tingkatan berpikir paling tertinggi (higher) adalah menilai. Berpikir Tingkat Tinggi terjadi ketika seseorang mengambil informasi baru dan informasi yang tersimpan dalam memori dan saling terhubungkan atau menata kembali dan memperluas informasi ini untuk mencapai tujuan atau menemukan jawaban yang mungkin dalam situasi membingungkan.

Berpikir adalah aktifitas mencurahkan daya pikir untuk maksud tertentu. Costa (Sumarmo, 2012) mengelompokkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS) menjadi empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif. Adapun karakteristik-karakteristik dari kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah (1) evaluasi dengan kriteria, (2) menunjukkan skeptisme, (3) keputusan yang menggantung, (4) menggunakan analisa logis, dan (5) sistematis. 2.2.1 Pemecahan Masalah Matematik

Ismaimuza (2010) menyebutkan bahwa ―masalah matematis secara lebih khusus adalah suatu masalah yang diterima untuk dianalisis dan mungkin dapat diselesaikan dengan metode metode matematis‖. Menurut Minarni (2012) kemampuan pemecahan masalah matematis mencakup aspek: (a) membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari-hari, (b) memilih dan menerapkan strategi yang cocok, (c) menjelaskan dan menafsirkan solusi sesuai dengan masalah asal. Matematika merupakan suatu pemecahan masalah maksudnya menekankan agar siswa belajar menggunakan strategi yang luas dalam memahami isi matematika, mengenali dan merumuskan persoalan dari dalam dan luar matematika, menggunakan model matematika dan teknologi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang luas dan bervariasi, termasuk persoalan- persoalan dunia nyata, menggeneralisasi penyelesaian dan strategi kemudian menggunakannya pada persoalan yang baru, meningkatkan rasa percaya diri terhadap kemampuan untuk menggunakan matematika secara bermakna dan menjadi penyelesai persoalan yang independen.

2.2.2 Berpikir Kritis Matematik

Ennis (Sumarmo, 2012) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir reflektif yang beralasan dan difokuskan pada penetapan apa yang dipercayai atau yang dilakukan. Berpikir kritis berelasi dengan lima idea kunci yaitu: praktis, reflektif, masuk akal, kepercayaan, dan aksi. Selain kelima kata kunci di atas, berpikir kritis juga memiliki empat komponen yaitu: kejelasan (clarity), dasar (ba ses), inferensi (inference), dan interaksi (interaction). Kemudian, Glaser (Sumarmo, 2012) menyatakan bahwa berpikir kritis matematik memuat kemampuan dan disposisi yang dikombinasikan dengan pengetahuan, kemampuan penalaran matematik, dan strategi kognitif yang sebelumnya, untuk menggeneralisasikan, membuktikan, mengases situasi matematik secara reflektif..

Selanjutnya, Langrehr (2003) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir evaluatif yang melibatkan kriteria yang relevan dalam mengases informasi disertai dengan ketepatan (accura cy), relevansi (relevancy), kepercayaan (reliability), ketegapan, (consistency), dan bias (bias). Serupa dengan pendapat Langrehr, Bayer (Hassoubah, 2004) mengemukakan bahwa berpikir kritis memuat kemampuan menetapkan sumber yang dapat dipercaya, membedakan antara sesuatu atau data yang relevan dan yang idak relevan, mengidentifikasi dan menganalisis asumsi, mengidentifikasi bias dan pandangan, dan mengases bukti.

Ennis (Sumarmo, 2012) menyebutkan bahwa dalam melaksanakan berpikir kritis, terlibat disposisi berpikir yang dicirikan dengan bertanya secara jelas dan beralasan, berusaha memahami dengan baik, menggunakan sumber yang terpercaya, mempertimbangkan situasi secara keseluruhan, berusaha tetap mengacu dan relevan ke masalah pokok, mencari berbagai alternatif, bersikap terbuka, berani mengambil posisi, bertindak cepat, bersikap atau berpandangan bahwa sesuatu adalah bagian dari keseluruhan yang kompleks, memanfaatkan

38 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

cara berpikir orang lain yang kritis, dan bersikap sensisif terhadap perasaan orang lain. Selain aspek afektif tersebut, Ennis juga menyebutkan bahwa dalam berpikir kritis juga termuat sejumlah kemampuan yaitu memfokuskan diri pada pertanyaan, menganalisis dan mengklarifikasi pertanyaan, jawaban, dan argumen, mempertimbangkan sumber yang terpercaya, mengamati dan menganalisis deduksi, menginduksi dan menganalisis induksi, merumuskan eksplanatori, kesimpulan dan hipotesis, menarik pertimbangan yang bernilai, dan menetapkan suatu aksi.

2.2.3 Berpikir kreatif Matematik

Puccio dan Murdock (Costa, ed., 2001) menyebutkan bahwa kreativitas merupakan konstruk payung sebagai produk kreatif dari individu yang kreatif, memuat tahapan proses berpikir kreatif, dan lingkungan yang kondusif untuk berlangsungnya berpikir kreatif. Berpikir kreatif memuat aspek keterampilan kognitif, afektif, dan metakognitif. Keterampilan kognitif tersebut antara lain kemampuan mengidentifikasi masalah dan peluang, menyusun pertanyaan yang baik dan berbeda, mengidentifikasi data yang relevan dan yang tidak relevan, masalah dan peluang yang produktif; menghasilkan banyak idea (fluency), idea yang berbeda (flexibility), dan produk atau idea yang baru (originality), memeriksa dan menilai hubungan antara pilihan dan alternatif, mengubah pola fikir dan kebiasaan lama, menyusun hubungan baru, memperluas, dan memperbaharui rencana atau idea.

Lebih lanjut, Puccio dan Murdock (Costa, ed., 2001) menyebutkan bahwa keterampilan afektif yang termuat dalam berpikir kreatif antara lain merasakan masalah dan peluang, toleran terhadap ketidakpastian, memahami lingkunagn dan kekreatifan orang lain, bersifat terbuka, berani mengambil resiko,membangun rasa percaya diri, mengontrol diri, rasa ingin tahu, menyatakan dan merespons perasaan dan emosi, dan mengantisipasi sesuatu yang tidak diketahui. Kemampuan metakognitif yang termuat dalam berpikir kreatuif antara lain: merancang strat egi, menetapkan tujuan dan keputusan, mempredikasi dari data yang tidak lengkap, memahami kekreatifan dan sesuatu yang tidak dipahami orang lain, mendiagnosa informasi yang tidak lengkap, membuat pertimbangan multipel, mengatur emosi, dan memajukan elaborasi solusi masalah dan rencana.

Yudha (2004) mengemukakan empat langkah dalam berpikir kreatif yaitu: orientasi masalah, merumuskan masalah, mengidentifikasi komponen masalah, menyiapkan pengumpulan informasi sesuai masalah, inkubasi beristirahat sejenak ketika penyelesaian masalah buntu, iluminasi mencari idea dan pandangan untuk penyelesaian masalah, verifikasi menguji dan menilai solusi secra kritik. Selanjutnya, Sukmadinata (2004) mengemukakan berpikir kreatif memuat komponen keaslian (originality), pandangan yang tajam (sharp insight), dan proses generatif. Beberapa langkah dalam berpikir kreatif adalah: mengajukan pertanyaan, mentransformasi informasi ke dalam pandangan baru dan open minded, mencari hubungan antar sesuatu yang berbeda, melihat antara yang satu dengan yang lainnya, menghasilkan sesuatu yang baru dan berbeda, dan mempertimbangkan intuisi.

Kemudian Musbikin (2006) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan menyusun idea, mencari hubungan baru, menciptakan jawaban baru atau yang tak terduga, merumuskan konsep yang tidak mudah diingat, menghasilkan jawaban baru dari masalah asal, dan mangajukan pertanyaan baru. Selain itu, Nicholl (2006) menyarankan beberapa langkah agar individu menjadi kreatif yaitu: kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, berpikir dari empat arah, ajukan beragam idea, cari kombinasi yang terbaik, dan sadari aksi yang berlangsung.

2.3. Pembelajaran Kontekstual

Menurut sejarahnya, pengajaran kontekstual merupakan salah satu pendekatan konstruktivisme baru dalam pembelajaran matematika, yang pertama-tama dikembangkan di negara Amerika, yaitu dengan dibentuknya Washington State Consortium for Contextual oleh Departe men Pendidikan Amerika Serikat.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 39

Depdiknas (2006:10) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran yaitu: Konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (lea rning community), pemodelan (modeling), refleksi (relfection), dan asesmen otentik (authentic assesment). Dengan demikian pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil permasalahan- permasalahan kehidupan sehari-hari atau permasalahan yang disimulasikan, kemudian melalui dialog, diskusi, tanya jawab serta representasi diangkat ke dalam konsep yang akan dipelajari dan dibahas oleh peserta didik melalui bimbingan, fasilitasi serta negoisiasi pendidiknya. Dengan demikian, konstruksi pengetahuan baru yang didapat siswa merupakan hasil keaktifan peranan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang disajikan.

Didalam pembelajaran kontekstual, ada beberapa aktivitas yang perlu dikembangkan, yaitu: (1) Belajar berbasis masalah; (2) Belajar dengan multi konteks; (3) Belajar mandiri; (4) Penilaian otentik; dan (5) Masyarakat belajar.

Berdasarkan literatur di atas, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami dan diperhatikan mengenai pembelajaran kontekstual yaitu:

a. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Sehingga makin banyak pengalaman yang diperolehnya dalam arti belajar maka semakin banyak pula yang diperolehnya.

b. Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya akan berpengaruh pada pola-pola perilaku manusia, seperti ploa berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan masalah termasuk penampilan seseorang.

c. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memcahkan masalah anaka akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi jug a mental dan emosi, sehinggga terciptalah kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. d. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari

yang sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu, belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai irama kemampuan siswa.

e. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan, oleh karena itu, pengetahuan yang memilki makna untuk kehidupan anak (real world lea rning).

f. Seorang guru dalam menerapkan pembelajaran kontekstual harus dapat memahami keadaan siswa dalam kelas dan mampu membagi kelompok secara heterogen, agar siswa yang pandai dapat membantu siswa yang kurang.

2.4. Beberapa Studi Yang Relevan

Beberapa studi hasil penelitian retensi dalam pembelajaran matematika, Ibrahim (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa retensi kemampuan komunikasi, penalaran dan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis masalah lebih baik dibanding siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional. Selain itu, Hidayat dan Hamidah (2013) menyimpulkan juga dari hasil penelitiannya, yaitu retensi daya matematik siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran dengan cara konvensional.

Selain itu, beberapa studi yang berkaitan dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis antara lain, Zulkarnaen (2009) melaporkan bahwa Kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa yang memperoleh pendekatan open-ended dengan belajar kooperatif tipe coop-coop lebih baik dibanding siswa memperoleh pendekatan open-ended, dan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik kedua sampel tersebut lebih baik dibanding siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Ditinjau dari: pencapaian hasil belajar, dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik. Karim (2010)

40 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

melaporkan bahwa kemampuan penalaran dan berpikir kritis matematis siswa SMP yang mendapatkan pembelajaran dengan model Reciprocal Teaching lebih baik daripada yang mendapatkan pembelajaran biasa. Sugandi (2010) melaporkan bahwa Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi dan Kemandirian Belajar siswa SMA yang menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Setting Kooperatif Tipe Jigsaw lebih baik dibanding siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Dan hasil penelitian Hidayat (2011) mengungkapkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan kooperatif Think-Talk-Write lebih baik daripada yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional.

3. Metode Penelitian

Studi ini dirancang dalam bentuk eksperimen dengan disain kelompok kontrol dan postes serta tes retensi saja yang bertujuan menelaah peranan pembelajaran kontekstual terhadap retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa SMP. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP kelas VIII Kota Cimahi, sedangkan sampelnya adalah siswa kelas VIII dari dua SMP yang ditetapkan secara purposif pada SMP di Kota Cimahi dan dipilih secara acak dari kelas VIII yang ada. Kemudian dari sampel tersebut ditetapkan secara acak yang menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tes retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa masing-masing disusun mengacu pada karakteristik kemampuan berpikir tingkat tinggi serta pedoman penyususunan tes yang baik. Data akan dianalisis dengan menggunakan uji statistik t dan uji ANOVA.

Sebelum perlakuan dilakukan, siswa akan diberikan tes kemampuan awal matematika yang nantinya siswa tersebut akan diklasifikasikan ke dalam Tingkat Kemampuan Awal Matematika (KAM). Setelah mengetahui KAM maka eksperimen mulai dilakukan dengan setting memberikan perlakuan pembelajaran kepada siswa dengan pembelajaran kontekstual (kelas eksperimen) dan pembelajaran cara biasa (kelas kontrol) yang diakhir perlakuan akan dilakukan tes akhir (postes) tahap pertama untuk melihat pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Kemudian untuk melihat dan mengetahui seberapa besar retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa, maka siswa diberikan tes akhir (postes) tahap kedua dengan rentang waktu empat minggu setelah postes tahap pertama dilakukan. Analisis skor retensi tersebut dihitung dengan menggunakan rumus: r = 2

1. Dengan demikian desain penelitiannya adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Rancangan Penelitian

Perlakuan Post-test1 Selang Waktu Post-test2 X1 X2 T1 T2 4 minggu 4 minggu T3 T4 Keterangan: X1 : Pembelajaran Kontekstual. X2 : Pembelajaran Cara Biasa. T1 : Postes kelas eksperimen. T2 : Postes kelas kontrol.

T3 : Postes kelas eksperimen setelah empat minggu postes (T1). T4 : Postes kelas kontrol setelah empat minggu postes (T2).

Dalam dokumen Prosiding Semnas STKIP 2014 (Halaman 48-54)