• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode dan Disain Penelitian

Dalam dokumen Prosiding Semnas STKIP 2014 (Halaman 39-46)

Asep Ikin Sugandi STKIP Siliwangi

3. Metode dan Disain Penelitian

Metode dalam Penelitian ini adalah Kuasi Eksperimen karena adanya manipulasi perlakuan dan

pengambilan sampel berdasarkan data yang ada, sedangkan disain penelitiannya sebagai berikut :

O X O

O O

Keterangan :

X : Pembelajaran Kontekstual

O : Tes Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di tiga SMP di Kota Cimahi yang mewakili Sekolah level tinggi, sedang dan rendah. Subyek sampel adalah siswa kelas VII dari tiga SMP tersebut. Dari tiap-tiap sekolah yang mewakili level sekolah tinggi, sedang dan rendah diambil tiga kelas secara acak dari 5 kelas yang ada

26 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 4.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian disdajikan dalam tabel berikut ini

Tabel 1

Deskripsi Kemampuan Bepikir Matematik Tingkat Tinggi Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Peringkat Sekolah, dan TKAS

TKAS Level Sekola h PendekatanPembelajaran Total PK KV Sd n Sd n Sd N Tinggi Tinggi 53,17 4,28 12 48,72 6,03 11 51,04 5,56 23 Sedang 44,14 3,48 7 50,33 3,26 6 47,00 4,56 13 Rendah 46,33 1,73 9 39,43 1,40 7 43,31 3,86 16 Subtota l 48,71 5,21 28 46,42 6,33 24 47,65 5,81 52 Sedang Tinggi 47,20 5,71 20 45,17 6,02 23 46,11 5,89 43 Sedang 42,81 4,44 26 44,24 5,39 25 43,51 4,93 51 Rendah 41,52 1,69 21 35,12 1,92 24 38,11 3,69 45 Subtota l 43,72 4,82 67 41,50 6,55 72 42,57 5,87 139 Rendah Tinggi 44,00 5,32 9 44,12 7,12 8 44,06 6,02 17 Sedang 42,57 5,38 7 45,00 3,62 8 43,87 4,53 15 Rendah 35,80 3,70 10 30,11 1,26 9 33,10 4,01 19 Subtota l 40,46 5,95 26 39,36 8,33 25 39,92 7,16 51 Total Tinggi 48,24 6,17 41 45,90 6,33 42 47,06 6,32 83 Sedang 43,00 4,38 40 45,33 5,19 39 44,15 4,91 79 Rendah 41,17 4,34 40 34,75 3,43 40 37,96 5,06 80 Total 44,17 5,84 121 42,03 7,25 121 43,10 6,66 242 SkorMaksimum 64

Untuk melihat apakah pendekatan pembelajaran dan level sekolah memberi pengaruh yang signifikan atau tidak terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi serta untuk melihat ada tidaknya interaksi antara level sekolah dan pendekatan pembelajaran terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi maka digunakan Anova dua jalur. Hasil pengolahan data dengan menggunakan Anova dua jalur disajikan pada Tabel 2

Tabel 2

Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Befrikir Matematik Tingkat Tinggi dengan Faktor Level Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran

Sumber Jumlah Kuadrat dk Rata-rata Kuadrat F Sign Ho P 1954,05 2 977,02 37,06 0,00 Tolak LS 5976,90 2 2988,45 113,36 0,00 Tolak Interaksi 443,80 4 110,95 4,209 0,02 Tolak

Untuk melihat apakah pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan awal siswa (TKAS) memberi pengaruh yang signifikan atau tidak terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi serta untuk melihat ada tidaknya interaksi pendekatan pembelajaran dan TKAS terhadap

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 27

kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi maka digunakan Anova dua jalur. Hasil pengolahan data dengan menggunakan Anova dua jalur disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3

Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi dengan Faktor Pendekatan dan TKAS

Sumber Jumlah Kuadrat dk Rata-rata Kuadrat F Sign Ho P 1294,52 2 647,26 19,11 0,00 Tolak KA 3474,48 2 1737,24 51,29 0,00 Tolak Interaksi 251,65 4 62,92 1,86 0,12 Terima Dari Tabel 1, 2 dan 3 didapat hasil sebagai berikut :

1) Secara keseluruhan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi (KBMTT) siswa termasuk kategori sedang (43,10 dari 64). Ditinjau dari pembelajaran, siswa pada PK (44,17) mencapai KBMTT lebih baik dari siswa pada KV (43,03).Temuan ini menunjukkan pembelajaran PK lebih unggul dibandingkan dengan pembelajaran KV dalam mengembangkan KBMTT.

2) Pada tiap jenis pembelajaran, makin tinggi level sekolah ditemukan makin tinggi pula KBMTT siswa; 48,24, 43,00, 41,17, pada PK; dan 45,90, 43,00, 34,75, pada KV). Temuan tersebut menunjukkan bahwa level sekolah memberikan peran yang baik terhadap pencapaian KBMTT siswa. Demikian pula secara keseluruhan (44,71, 39,30, 33,50), pada tiap level sekolah (49,01, 44,74, 39,13)dan tiap jenis pembelajaran (46,33, 41,52, 35,80 pada PK, dan 39,43, 35, 12, 30,11 pada KV) makin tinggi kemampuan awal (TKAS) makin tinggi pula KBMTT siswa. Temuan tersebut menunjukkan bahwa TKAS berperan baik terhadap pencapaian KBMTT siswa. Namun ditinjau pada tiap level sekolah dan level kemampuan awal matematika siswa, ditemukan bahwa siswa dengan pembelajaran PK lebih baik dari siswa yang memperoleh KV. Temuan ini menunjukkan bahwa PK memberikan pengaruh yang paling besar dibandingkan, pembelajaran konvensional (KV), level sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa (TKAS) terhadap pencapaian KBMTT.

3) Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan level sekolah terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi (KBMTT).

4) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan level sekolah terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi (KBMTT).

5. Pembahasan

Dari hasil analisis data hasil penelitian terlihat bahwa kemampuan Kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa yang pembelajarannya menggunakanPendekatan Kontekstual lebih baik dari pada siswa yang menggunakan model konvensional (KV). Beberapa hal yang menyebabkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Konstektual (PK) lebih baik dibandingkan dengan model konvensional (KV) dalam mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi, diantaranya :

a. Dilihat dari sajian Bahan ajar

Dalam Pendekata Kontektual , bahan ajar disajikan dalam bentuk permasalahan, memungkinan siswa untuk memperoleh kesempatan untukmengembangkan konsep, prosedur, serta prinsip dalam metematika melalui suatu aktivitas belajar secara bervariasi meliputi kegiatan yang bersifat individual, kelompok maupun kelas. Setiap kegiatan yang dikembangkan diawali dengan sajian masalah yang berfungsi sebagai salah satu stimulus dan pemicu siswa untuk berpikir. Berarti masalah bertindak sebagai kendaraan proses belajar untuk mencapai tujuan. Konsep pembelajaran seperti itu, dapat memfasilitasi siswa melakukan eksplorasi, investigasi dan pemecahan masalah. Seperti Sabandar (2005: 2) mengemukakan bahwa situasi pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu

28 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang tidak menutup kemungkinan memaksa siswa untuk berpikir matematis tingkat tinggi yang. Hal-hal ini yang tidak difasilitasi dalam pembelajaran konvensional sehingga pembelajaran Jigsaw lebih berhasil dalam mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi matematis siswa. Di samping itu dengan pendekatan konstektual siswa diarahkan oleh untuk mengubah konsep yang asalnya abstrak menjadi lebih konkrit sesuai dengan kemampuan siswa dalam mempeljari matematika

b. Berdasarkan Karakterikstik Pendekatan Konstktual

Pendalaman materi yang digunakan dalam pendekatan kontekstual dilaksanakan dalam bentuk diskusi kelompok kecil yang terencana dengan baik. Hal ini merupakan faktor pendorong terjadinya aktivitas mental bersifat konstruktif dalam pembentukan obyek-obyek mental baru. Salah satu landasan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut antara lain adalah teori Zone of Proximal Development (ZPD) dari Vygotsky. Menurut Vygotsky (Ibrahim dan Nur, 2004 : 15) belajar dapat membangkitkan berbagai proses mental tersimpan yang hanya bisa dioperasikan ketika sseorang berinteraksi dengan sesama temannya. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam diskusi dan kerjasama antara individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi terserap ke dalam individu tersebut. Pengembangan kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar sendiri pada saat melakukan pemecahan masalah disebut sebagai actual development, sedangkan perkembangan yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi dengan temannya yang mempunyai kemampuan lebih tinggi disebut potensial development. Zone of Proximal Development sebagai jarak anatara actual development dan potensial development. Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konstektual lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan model Konvensional. Hal ini sejalan dengan dengan pendapat Barraw ( Ibrahim dan Nur, 2004 : 5) bahwa model pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw tidak dirancang untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya pada siswa. Pembelajaran tipe Jigsaw dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan memecahan masalah dan keterampilan intelektual, belajar berbagi peran orang dewasa melalui pelibatan mereka pada pengalaman nyata, mengembangkan keterampilan belajar pengarahan sendiri yang efektif (effective self directed learning).

Hal ini pun sejalan dengan pendapat Lauren Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004 : 31) bahwa kooperatif tipe Jigsaw ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir matematik tingkat tinggi yang. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw siswa belajar dalam kelompok kecil. Penggunaan kelompok kerja kooperatif membantu perkembangan masyarakat belajar dalam kelas sains. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa meningkat bila siswa belajar dalam lingkungan belajar kooperatif. Bekerja dalam kelompok juga membantu mengembangkan karakteristik esensial yang yang dibutuhkan untuk suskes setelah siswa tamat belajar seperti dalam berkomunikasi secara verbal, berkomunikasi secara tertulis dan keterampilan membangun team kerja. Dengan bimbingan guru dan diskusi dengan teman-teman sekelompoknya yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, siswa belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan kelak (Ibrahim dan Nur, 2004). Uraian diatas merupakan perwujudan dari karakteristik pendekatan konstektual yaitu adanya masyarakat belajar

c. Dilihat Dari Karakteristik Pendekatan Konstektual 1) Konstruktivisme

Ciri khas paradigma constructivistic adalah keaktifan dan keterlibatan siswa dalam upaya proses belajar dengan memanfaatkan pengetahuan awal dan gaya belajar masing-masing siswa dengan bantuan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa apabila siswa mengalami kesulitan dalam upaya belajarnya. Dalam kaitannya dengan pemberian bantuan, guru hanya

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 29

membantu siswa dengan memberikan arahan atau media dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dikuasai siswa. Namun, tanggung jawab penyelesaian tugas tetap pada diri siswa. Oleh sebab itu pengetahuan dan Keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya (Musclich dalam Hosnan, 2014 : 271)

2) Inkuiri

Inkuiri adalah kegiatan inti dari pembelajaran berbasis CTL. Inkuiri diawali dengan pengamatan untuk memahami konsep/fenomena dan dilanjutkan dengan melaksanakan kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan. Dengan mengembangkan keterampilan berpikir kritis, siklus inquiri adalah sebagai berikut: mengamati, bertanya, mengajukan dugaan sementara (hipotesis), mengumpulkan data, menganalisis data , dan merumuskan teori.

3) Bertanya(Questioning)

Questioning atau bertanya adalah salah satu prinsip pembelajaran CTL. Bertanya dalam pembelajaran CTL dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong siswa mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, membimbing dan mengetahui kemampuan berpikir siswa. Menurut Hosna (2014 : 272) bertanya berguna untuk menggali pemahaman, mengecek pemahaman dan membangkitkan respon siswa.

4) Masyarakat Belajar

Masyarakat belajar atau Learning community adalah kegiatan pembelajaran yang difokuskan pada aktivitas berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Aspek kerja sama dengan orang lain untuk menciptakan kerja sama yang lebih baik adalah tujuan pembelajaran yang menerapkan learning community. Hal yang berbeda dan mendapatkan penekanan dalam pembelajaran yang menerapkan prinsip masyarakat belajar adalah pentingnya membangun tim atau kelompok yang tangguh.

5) Pemodelan

pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap peserta didik. Dalam kegiatan pemodelan melalui contoh-contoh yang baik akan berguna sebagai contoh yang baik akan bergunasebagai contoh yang baik dapat ditiru oleh peserta didik, caramenggali informasi, demonstrasidan lain-lain serta pemodelan dilakukan oleh guru.

6) PenilaianOtentik

istilah penilaian otentik untuk mendeskripsikan berbagai bentuk penilaian yang merefleksikan proses pembelajaran yang dialami siswa, kemampuan siswa, motivasi siswa, dan sikap yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Penilaian otentik menuntut siswa mengaplikasikan keterampilan dan pengetahuannya dalam konteks yang bermakna. Penilaian otentik mengamanatkan agar instrumen penilaian benar-benar dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (mempunyai validitas nyang tinggi).

7) Refleksi

Refleksi atau Reflection adalah kegiatan memikirkan apa yang telah kita pelajari, menelaah dan merespon semua kejadian, aktivitas atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, dan memberikan masukan-masukan perbaikan untuk langkah selanjutnya jika diperlukan. Dalam menerapkan prinsip refleksi ini diperlukan keterbukaan dari guru untuk menerima kritik dan saran terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan guna perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Dengan refleksi ini siswa dapat melihat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dalam belajar sehingga pada masa yang akan datang tidak akan terulang lagi

30 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 6. Kesimpulan dan Saran

6.1.Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi (KBMTT) siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan Kontekstual (PK) lebih baik dari pada KBMTT siswa yang menggunakan pendekatan konvensional dilihat dari level sekolah dan tingkat kemampuan awal siswa (TKAS)

2. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan peringkat sekolah terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi.

3. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan klasifikasi tingkat kemampuan awal siswa (TKAS) terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa.

6.2.Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, selanjutnya dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Pembelajaran dengan pendekatan Kontekstual hendaknya dijadikan alternatif pendekatan

pembelajaran yang dapat digunakan guru-guru di sekolah terutama untuk siswa sekolah peringkat tinggi dan sedang atau siswa dengan TKAS tinggi, sedang dan kurang dalam pembelajaran topik tertentu terutama topik baru yang berkaitan dengan topik-topik sebelumnya yang sudah dipelajari siswa, sehingga pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna.

2. Untuk penelitian selanjutnya hendaknya diteliti penggunaan pendekatan Kontektual yang diaplikasikan dengan program-program komputer dengan penyajian gambar yang lebih menarik perhatian siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika SMA/MA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor : Ghalia

Ibrahim, M. dan Nur. (2004). Pembelajaran Berbasis Masalah Surabaya : Universitas Negeri Surabaya.

Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi. UPI Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Sabandar, J. (2005). Pertanyaan Tantangan dalam Memunculkan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional, FPMIPA UPI, 20 Oktober.

Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian. IKIP Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian. IKIP Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Sumarmo, U. dkk. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional FPMIPA UPI. Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Sumarmo, U. (2003). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi pada Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) melalui berbagai Pendekatan Pembelajaran. Bandung, Laporan Penelitian Pascasarjana UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan.

Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Lemlit UPI : Laporan Penelitian.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 31

Suryadi, D. (2004). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangkaian Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi. UPI Bandung : Tidak dipublikasikan.

32 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

MENGEMBANGKAN RETENSI KEMAMPUAN BERPIKIR

Dalam dokumen Prosiding Semnas STKIP 2014 (Halaman 39-46)