• Tidak ada hasil yang ditemukan

PECAH BUAH

7.3.11 Indeks Pecah Buah Radial

Tetua yang digunakan untuk pewarisan ketahanan terhadap pecah buah radial adalah genotipe tahan pecah buah (IPBT64 sebagai P1) dan genotipe yang rentan terhadap pecah buah (IPBT73 sebagai P2). Populasi generasi F1 dan BCP1

136

untuk pecah buah radial cenderung mengarah ke tetua tahan yaitu P1. Generasi BCP2 cenderung mengarah ke tetua rentan yaitu P2. Generasi F2 mengarah ke tetua tahan. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan terhadap pecah buah memiliki pengaruh dominan yang lebih besar terhadap genotipe rentan. Hal ini bertentangan dengan hasil yang diperoleh (Qi et al. 2015) pada tanaman melon, dimana populasi F1 lebih cenderung mengarah ke tetua yang rentan terhadap pecah buah.

Hasil analisis genetik mendel pada generasi F2 untuk pecah untuk pecah buah radial (IPBT64 x IPBT73) adalah 11 tahan : 5 rentan, dan rasio fenotipe pada populasi backcross ke tetua jantan (BCP2) adalah 1 tahan : 3 pecah (Tabel 7.56). Hal ini menunjukkan bahwa pecah buah radial dikendalikan oleh dua pasang gen dimana dominansi lengkap oleh kedua gen hanya jika terdapat alel dominan pada kedua gen, dan apabila tidak ada maka fenotipe resesif yang akan muncul (Klug et al. 2011; Sobir dan Syukur 2015). Young (1959) melaporkan bahwa pecah buah tipe radial dikendalikan oleh dua pasang gen mayor yaitu cr cr dan lr lr. Ilustrasi genotipe yang tahan terhadap pecah buah radial adalah FC3-FC4-, FC3FC3-fc4fc4, fc3fc3-FC4FC4, dan genotipe yang rentah terhadap pecah buah radial adalah FC3fc3- fc4fc4, fc3fc3-FC4fc4 dan fc3fc3- fc4fc4. Metode seleksi yang tepat untuk pengembangan varietas unggul tomat tahan terhadap pecah buah radial adalag metode pedigree karena dapat diamati pada tahap awal yaitu generasi F2.

Tabel 7. 56 Nilai χ2 hitung ketahanan terhadap pecah buah radial populasi P1, P2, BCP1, BCP2 dan F2 pada tomat

Populasi Fenotipe Nisbah Harapan Pengamatan χ2hit χ2tab Kombinasi Persilangan 64 X 73 P1, F1, F1R, BCP1 : 100% tahan P2 100% rentan BCP2 tahan : rentan 1 : 3 19 : 57 15 : 61 0.56tn 3.84 F2 tahan : rentan 11 : 5 132 : 60 140 : 52 2.13tn 3.84 χ2

hit: nilai chi-square test; χ2tab: nilai tabel; P1: tetua betina; P2: tetua jantan; F1: turunan pertama; F1R: turunan pertama resiprokal; BCP1: backcross ke tetua betina; BCP2: backcross ke tetua jantan; F2: turunan kedua.

7.4 Simpulan

1. Karakter lebar daun, panjang buah, tebal daging buah, jumlah rongga buah, kadar air buah, jumlah buah per tanaman, bobot buah per tanaman, persentase buah pecah per tanaman dan persentase bobot buah pecah per tanaman dikendalikan oleh banyak gen dan tidak ada efek meternal.

2. Derajat dominansi untuk karakter lebar daun adalah resesif parsial, dominan parsial dan overdominan, karakter panjang buah adalah resesif parsial dan dominan parsial, karakter tebal daging buah dominan parsial, overdominan dan resesif parsial, karakter jumlah rongga buah overdominan dan resesif parsial, karakter kadar air buah dominan parsial dan overdominan, karakter jumlah buah per tanaman dominan parsial dan overdominan, karakter bobot per tanaman overdominan karakter persen jumlah buah pecah resesif parsial dan karakter persen bobot buah per tanaman resesif parsial dan dominan parsial.

137 3. Aksi gen untuk panjang daun adalah epistasis dominan dan epistasis aditif dominan yang bersifat komplementer, panjang buah oleh aksi gen epistasis aditif x aditif duplikat dan epistasis aditif x dominan komplementer, tebal daging buah oleh aksi gen epistasis aditif x dominan duplikat, jumlah rongga oleh aksi gen dominan dan epistasis dominan x dominan duplikat, kadar air oleh aksi gen epistasis aditif x aditif duplikat dan aksi gen dominan, jumlah buah per tanaman oleh aksi gen dominan dan epistasis dominan x dominan duplikat, bobot buah per tanaman oleh aksi gen epistasis dominan x dominan duplikat dan epistasis aditif x dominan komplementer, persen jumlah buah pecah oleh aksi gen aditif dan epistasis aditif x dominan duplikat serta epistasis dominan x dominan komplementer, dan persen bobot buah pecah oleh aksi gen aditif, dominan x dominan duplikat dan dominan x dominan komplementer.

4. Pecah buah gabungan radial dan konsentrik dikendalikan oleh dua pasang gen epistasis komplementer dengan genotipe tahan pecah buah adalah FC1-FC2-, dan rentan terhadap pecah buah adalah FC1-fc2fc2, fc1fc2FC1- dan fc1fc2fc1fc2. 5. Pecah buah radial dikendalikan oleh aksi gen epistasis dominan lengkap oleh

kedua tetua dengan genotipe tahan adalah FC3-FC4-, FC3FC3-fc4fc4, fc3fc3- FC4FC4 dan genotipe rentah terhadap pecah buah radial adalah FC3fc3- fc4fc4, fc3fc3-FC4fc4dan fc3fc3- fc4fc4.

6. Heritabilitas arti luas dan arti sempit untuk semua karakter adalah sedang hingga tinggi dengan proporsi ragam aditif terhadap ragam genetik total tinggi.

7. Metode seleksi yang tepat untuk pengembangan genotipe unggul tomat yang tahan pecah buah adalah metode pedigree.

138

Daftar Pustaka

Amstrong R, Tompson A. 1967. A diallel analysis of tomato fruit cracking. Proc Am Soc Hort Sci. 91:505-517.

Balbontín C, Ayala H, M Bastías R, Tapia G, Ellena M, Torres C, Yuri JA, Quero-García J, Ríos JC, Silva H. 2013. Cracking in sweet cherries: A comprehensive review from a physiological, molecular, and genomic perspective. Chil J Agr Res. 73(1):66-72.

Demirsoy L, Demirsoy H. 2004. The epidermal characteristics of fruit skin of some sweet cherry cultivars in relation to fruit cracking. Pak J Bot. 36(4):725-731.

Ehret DL, Hill BD, Raworth DA, Estergaard B. 2008. Artificial neural network modelling to predict cuticle cracking in greenhouse peppers and tomatoes. Comput Electron Agric. 61(2):108-116.

El-Gabry M, Solieman T, Abido A. 2014. Combining ability and heritability of some tomato (Solanum lycopersicum L.) cultivars. Sci Hortic. 167:153-157. Emmons CLW, Scott JW. 1998. Diallel analysis of resistance to cuticle cracking

in tomato. J Amer Soc Hort Sci. 123(1):67-72.

Hadiati S, Murdaningsih H, Baihaki A, Rostini N. 2003. Parameter genetik karakter komponen buah pada beberapa aksesi nanas. Zuriat. 14(2):53-58. Hahn F. 2011. Fuzzy controller decreases tomato cracking in greenhouses.

Comput Electron Agric. 77(1):21-27.

Hanson PM, Chen J-t, Kuo G. 2002. Gene action and heritability of high- temperature fruit set in tomato line CL5915. Hort Sci. 37(1):172-175.

Hernandez T, Nassar S. 1970. Breeding tomatoes for radial fruit crack resistance and other characters. J Am Soc Hort Sci. 95:223-226.

Johnson D, Knavel DE. 1990. Inheritance of cracking and scarring in pepper fruit. J Amer Soc Hort Sci. 115(1):172-175.

Klug WS, Cummings MR, Spencer CA, Palladino MA. 2011. Concepts of genetiks. California, San Francisco (CA): Pearson Education, Inc.

Kong M, Lampinen B, Shackel K, Crisosto CH. 2013. Fruit skin side cracking and ostiole-end splitting shorten postharvest life in fresh figs (Ficus carica L.), but are reduced by deficit irrigation. Postharvest Biol Tech. 85:154-161. Lane W, Meheriuk M, McKenzie D-L. 2000. Fruit cracking of a susceptible, an

intermediate, and a resistant sweet cherry cultivar. Hort Sci. 35(2):239-242. Lestari A, Dewi W, Qosim W, Rahardja M, Rostini N, Setiamihardja R. 2006.

Variabilitas genetik dan heritabilitas karakter komponen hasil dan hasil lima belas genotip cabai merah. Zuriat. 17(1):94-102.

Li Y, Li T, Wang D. 2007. Studies on the inheritance of locule formation in tomatoes (Lycopersicon esculentum Mill.). J Genet Genomics. 34(11):1028- 1036.

Lichter A, Dvir O, Fallik E, Cohen S, Golan R, Shemer Z, Sagi M. 2002. Cracking of cherry tomatoes in solution. Postharvest Biol Tec. 26(3):305- 312.

Liebisch F, Max JFJ, Heine G, Horst WJ. 2009. Blossom-end rot and fruit cracking of tomato grown in net-covered greenhouses in Central Thailand can partly be corrected by calcium and boron sprays. J Plant Nutr Soil Sci. 172(1):140-150.

139 Mangoendidjojo W. 2003. Dasar-dasar pemuliaan tanaman. Jakarta (ID):

Kanisius.

Matas AJ, Cobb ED, Paolillo DJ, Niklas KJ. 2004. Crack resistance in cherry tomato fruit correlates with cuticular membrane thickness. Hort Sci. 39(6):1354-1358.

Max JFJ, Horst WJ, Mutwiwa UN, Tantau H-J. 2009. Effects of greenhouse cooling method on growth, fruit yield and quality of tomato (Solanum lycopersicum L.) in a tropical climate. Sci Hortic. 122(2):179-186.

Peet M. 1992. Fruit cracking in tomato. Hort Technology. 2(2):216-223.

Prashar D, Lambeth V. 1960. Inheritance of radial fruit cracking in tomatoes. Proc Am Soc Hort Sci. pp: 530-537.

Qi Z, Li J, Raza MA, Zou X, Cao L, Rao L, Chen L. 2015. Inheritance of fruit cracking resistance of melon (Cucumis melo L.) fitting E-0 genetik model using major gene plus polygene inheritance analysis. Sci Hortic. 189:168- 174.

Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical methods in quantitative genetik analysis. New Delhi (IN): Kalyani.

Sobir, Syukur M. 2015. Genetik tanaman. Jakarta (ID): IPB Press.

Sudarmadji S, Mardjono R, Sudarmo H. 2007. Variasi genetik, heritabilitas, dan korelasi genotipik sifat-sifat penting tanaman wijen (Sesamum indicum L.). J Littri. 13(3):88-92.

Syukur M, Saputra HE, Hermanto R. 2015a. Bertanam Tomat di Musim Hujan: Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2015b. Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Tenaya IN, Setiamihardja R, Baihaki A, Natasasmita S. 2003. Heritabilitas dan aksi gen kandungan fruktosa, kandungan kapsaisin dan aktivitas enzim peroksidase pada hasil persilangan antar spesies cabai rawit x cabai merah. Zuriat. 14(1):26-34.

Wirnas D, Widodo I, Sobir S, Trikoesoemaningtyas T, Sopandie D. 2006. Pemilihan karakter agronomi untuk menyusun indeks seleksi pada 11 populasi kedelai generasi F6. J Agron Indonesia. 34(1):19-24.

Young H. 1959. Inheritance of radial fruit cracking in a tomato cross. Proc Fla State Hort Soc. pp:207-208.

Yunianti R, Sastrosumarjo S, Sujiprihati S, Surahman M, Hidayat SH. 2007. Ketahanan 22 genotipe cabai (Capsicum spp.) terhadap Phytophthora capsici Leonian dan keragaman genetiknya. J Agron Indonesia. 35(2):103- 111.

Yunianti R, Sastrosumarjo S, Sujiprihati S, Surahman M, Hidayat SH. 2010. Kriteria seleksi untuk perakitan varietas cabai tahan Phytophthora capsici Leonian. J Agron Indonesia. 38(2):122-129.

Zainal A, Anwar A, Ilyas S. 2011. Uji Inokulasi dan Respon Ketahanan 38 Genotipe Tomat terhadap Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis. J Agron Indonesia. 39(2):85-91.

140

8

PEMBAHASAN UMUM

Peningkatan produksi tomat di Indonesia dapat ditempu melalui intensifikasi dan ektensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan penggunaan varietas berdaya hasil tinggi. Ekstensifikasi dilakukan dengan perluasan daerah tanam termasuk pergeseran penanaman tomat dari dataran tinggi ke dataran rendah. Pergeseran wilayah penanaman tomat, ke dataran rendah menyebabkan resiko penurunan kualitas dan produksi buah. Rendahnya produksi di dataran rendah antara lain disebabkan oleh terbatasnya varietas unggul yang berpotensi hasil tinggi (Purnamaningsih 2008; Purwati 2007). Dataran rendah memiliki temperature yang tinggi. Temperatur yang tinggi tidak hanya berdampak pada waktu pemasakan buah tetapi juga pada laju pertumbuhan buah pada tomat (Adams, Cockshull dan Cave 2001). Peningkatan suhu 2-40C dari suhu optimum dilaporkan mempengaruhi perkembangan gamet dan menghambat pembentukan buah sehingga menurunkan produksi tomat (Peet et al. 1997; Sato et al. 2001; Firon et al. 2006).

Perakitan varietas unggul merupakan metode yang tepat untuk peningkatan produksi tomat di dataran rendah. Upaya perbaikan karakter-karakter tersebut memerlukan beberapa tahapan diantaranya adalah perluasan keragaman genetik. Keragaman genetik yang tinggi sangat menentukan keberhasilan pemuliaan untuk membentuk varietas unggul dan juga memberikan peluang yang besar untuk mendapatkan kombinasi persilangan yang tepat dengan gabungan sifat-sifat yang baik. Genotipe-genotipe yang telah dikoleksi kemudian dikarakterisasi, dianalisis keanekaragaman dan hubungan kekerabatannya untuk memudahkan dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Analisis kekerabatan genetik diestimasi analisis gerombol. Genotipe-genotipe yang berada pada satu kelompok atau gerombol menandakan hubungan kekerabatan yang erat, sedangkan genotipe-genotipe antar kelompok menunjukkan hubungan kekerabatan genotipe yang jauh. Penggunaan analisis gerombol sering digunakan pada tanaman tomat (Albrecht et al. 2010; Aguire dan Cabrera 2012).

Kunci keberhasilan suatu seleksi ditentukan oleh kriteria seleksi yang sesuai. Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menentukan suatu karakter dapat dijadikan kriteria seleksi yaitu nilai heritabilitas, ragam genetik, ragam fenotipe dan koefisien keragaman genetik (KKG) (Yunianti et al. 2010). Penggunaan analisis korelasi dan analisis lintas (path analysis) untuk mempelajari hubungan keeratan antar karakter untuk mengembangkan kriteria seleksi telah banyak dilakukan pada tomat (Haydar et al. 2007) dan cabai (Ganefianti et al. 2006; Yunianti et al. 2010).

Analisis gerombol digunakan untuk mengelompokkan ke dalam beberapa kelas berdasarkan kriteria pengelompokan pada ukuran kemiripan sehingga anggota dalam satu kelompok lebih homogen karena memiliki kemiripan yang tinggi dan antar kelompok memiliki tingkat kemiripan yang rendah (Yunianti et al. 2008; Nisya 2010; Mattjik dan Sumertajaya 2011). Analisis gerombol yang dilakukan pada 30 genotipe tomat menggunakan 39 karakter dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok. Kelompok I terdiri atas dua genotipe yaitu IPBT21 dan IPBT73. Kelompok II terdiri atas delapan genotipe yaitu IPBT4, IPBT6, IPBT13, IPBT64, IPBT74, IPBT80, IPBT85, IPBT86. Kelompok III terdiri atas 12

141 genotipe yaitu IPBT1, IPBT8, IPBT26, IPBT43, IPBT57, IPBT58, IPBT59, IPBT60, IPBT78, IPBT82, IPBT dan IPBT84. Kelompok IV terdiri dari delapan genotipe yaitu IPBT3, IPBT23, IPBT30, IPBT33, IPBT34, IPBT53, IPBT56 dan IPBT63. Pengelompokan genotipe ini digunakan untuk memilih tetua yang akan digunakan pada studi pewarisan. Tetua yang dipilih adalah tetua yang berada pada kelompok yang berbeda.

Untuk memilih genotipe yang akan dijadikan tetua, maka perlu pertimbangan kriteria seleksi. Karakter yang dijadikan sebagai kriteria seleksi memiliki ciri-ciri yaitu memiliki nilai duga heritabilitas tinggi dan berkorelasi nyata dengan indeks pecah buah. Nilai duga heritabilitas dapat digunakan untuk memilih karakter yang akan dijadikan kriteria seleksi (Tenaya et al. 2003; Lestari et al. 2006). Nilai duga heritabilitas dengan kriteria tinggi dapat digunakan secara langsung sebagai karakter seleksi pada generasi awal (Hadiati et al. 2003; Sudarmadji et al. 2007). Beberapa penelitian lain pada tomat juga menunjukkan nilai heritabilitas yang tinggi pada karakter jumlah bunga per tandan (El-Gabry et al. 2014), jumlah rongga buah (Li et al. 2007), dan jumlah buah per tandan (Hanson et al. 2002). Heritabilitas arti luas yang tinggi berarti karakter yang diamati lebih banyak dikendalikan oleh faktor genetik dibanding faktor lingkungan, ragam genetik terekspresi pada penampilan fenotipik tanaman (Syukur et al. 2015b).

Kriteria seleksi juga harus mempertimbangkan korelasi dengan karakter yang diinginkan. Hasil analisis korelasi fenotipe menunjukkan bahwa diameter buah, jumlah rongga, jumlah buah per tanaman dan bobot per buah berkorelasi positif dan nyata terhadap bobot buah per tanaman. Karakter padatan total terlatur, dan kekerasan buah, berkorelasi negatif dan nyata dengan bobot buah per tanaman. Korelasi genotipe cenderung menunjukkan hal yang sama kecuali untuk karakter kekerasan buah dan umur panen. Karakter kekerasan buah berkorelasi nyata dengan bobot per tanaman secara fenotipe tetapi tidak berkorelasi secara genetik, dan sebaliknya untuk karakter umur panen yang secara fenotipe tidak berkorelasi dengan bobot per buah tetapi secara genetik berkorelasi nyata. Karakter diameter buah, jumlah rongga, padatan total terlarut, jumlah buah per tanaman dan bobot per buah menunjukkan hal yang sama yaitu berkorelasi nyata terhadap bobot per buah secara fenotipe dan genotipe. Karakter yang berkorelasi positif menunjukkan bahwa penambahan karakter tersebut akan meningkatkan bobot buah per tanaman dan sebaliknya penambahan karakter yang berkorelasi negatif akan menurunkan bobot buah per tanaman. Hal tersebut menunjukkan bahwa genotipe dengan bobot per tanaman tinggi dapat dilihat dari genotipe dengan diameter buah yang besar, jumlah rongga yang banyak, padatan total terlarut yang rendah, kekerasan buah yang rendah, jumlah buah per tanaman yang lebih banyak dan bobot per buah yang lebih berat. Perbaikan karakter-karakter tersebut akan meningkatkan bobot buah tomat per tanaman. Hal ini didukung oleh penelitian Wahyuni (2014) dan Helfi (2014) bahwa karakter diameter buah, jumlah rongga, padatan total terlarut jumlah buah per tanaman dan bobot per buah berkorelasi nyata dengan bobot buah per tanaman tomat.

Upaya dalam penentuan karakter-karakter yang dapat dijadikan kriteria seleksi yang efektif dapat dilihat dari besarnya pengaruh langsung bobot buah per tanaman, korelasi antar karakter dengan bobot buah per tanaman (Yunianti et al. 2010) Berdasarkan penentuan tersebut karakter yang memberikan sumbangan

142

pengaruh langsung terbesar dan total pengaruh tidak langsung kecil adalah jumlah buah per tanman dan bobot per buah. Berdasarkan nilai heritabilitas, koefisien korelasi dan koefisien lintas, maka karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk ketahanan terhadap bobot buah per tanaman adalah jumlah buah per tanaman dan bobot per buah. Karakter yang berpengaruh terhadap bobot per tanaman melalui jumlah buah per tanaman adalah ukuran buah dan diameter buah, sedangkan melalui karakter bobot per buah adalah karakter diameter buah dan panjang buah. Untuk melalukan seleksi lebih lanjut perlu diketahui pola pewarisan karakter-karakter yang berpengaruh tersebut sehingga seleksi yang dilakukan lebih efektif dan efisien.

Percepatan seleksi untuk perbaikan suatu karakter dapat dilakukan dapat dilakukan melalui karakter yang lain yang berkorelasi (Syukur et al. 2015b; Villanueva dan Kennedy 1990). Seleksi merupakan seleksi tidak langsung dan lebih efisien terutama jika dapat dilakukan pada tahap awal (Villanueva dan Kennedy, 1991). Kim et al. (2011) menggunakan fase bibit untuk mengevaluasi varietas yang resisten terhadap beberapa penyakit pada tomat karena lebih efisien menghemat waktu dan biaya selama tahapan seleksi. Hipokotil dan kotiledon pada tomat merupakan karakter awal pertumbuhan tanaman yang sangat berpengaruh terhadap fase pertumbuhan selanjutnya, sehingga sangat potensial untuk dijadikan marka seleksi karena dapat dideteksi lebih dini.

Warna hipokotil tomat dapat digunakan sebagai marka pada uji hibriditas untuk mengetahui kebenaran varietas hibrida secara genetik (Syukur et al. 2015a). Ibarra-Perez et al. (1996) menggunakan warna hipokotil untuk mengevaluasi produksi benih hibrida pada kacang buncis (Phaseolus vulgaris L. Fabaceae), sedangkan Groenewegen et al. (1994) dan Reevesii (1973) menggunakan warna hipokotil, untuk menentukan besarnya penyerbukan silang alami pada tomat. Kim et al. (2012) melaporkan bahwa warna hipokotil hijau berhubungan dengan karakter penting seperti GMS (genetik male sterility) dan resistensi terhadap bacterial wilt, ToMV (tobacco mosaic virus) dan FCRR (fusarium crown and root rot), sehingga menggunakan warna hipokotil sebagai marka visual pada galur elit tomat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa arakter warna hipokotil dikendalikan oleh dua pasang gen epistasis dominan-resesif. Gen pengendali warna ungu bersifat dominan terhadap gen pengendali warna hijau pada hipokotil tomat. Karakter panjang hipokotil, panjang dan lebar kotiledon dikendalikan oleh banyak gen dan tidak dipengaruhi oleh tetua betina. Aksi gen berdasarkan potensi rasio untuk panjang hipokotil dan panjang kotiledon adalah dominan parsial dan overdominan untuk lebar kotiledon. Aksi gen berdasarkan uji skala gabungan menunjukkan bahwa panjang hipokotil dikendalikan oleh gen aditif dengan pengaruh epistasis aditif dominan, panjang kotiledon dan lebar kotiledon dikendalikan gen dominan dengan pengaruh epistasis duplikat. Berdasarkan informasi tersebut seleksi dini produksi benih hibrida dapat menggunakan warna hipokotil sebagai seleksi pada tahap awal sehingga seleksi yang dilakukan lebih efektif.

Seleksi terhadap komponen produksi lebih lanjut dilakukan dengan berdasarkan pola pewarisan karakter komponen produksi yang berkorelasi nyata dengan bobot buah per tanaman. Derajat dominansi untuk karakter panjang buah adalah resesif parsial dan dominan parsial, pada karakter diameter buah adalah

143 resesif parsial, dominan parsial dan overdominan, pada karakter ukuran buah adalah dominan parsial dan overdominan, pada karakter bobot per buah adalah dominan parsial dan overdominan, pada karakter jumlah buah per tanaman adalah dominan parsial dan pada karakter bobot buah per tanaman adalah dominan parsial dan over dominan. Aksi gen untuk karakter panjang buah adalah epistasis duplikat dan aditif dominan, untuk karakter diameter buah adalah aditif dominan dan epistasis komplementer, epistasis duplikat dan aditif dominan untuk karakter ukuran buah, epistasis duplikat untuk bobot per buah, jumlah buah per tanaman dan bobot buah per tanaman. Heritabilitas arti luas untuk karakter komponen produksi adalah sedang hingga tinggi, heritabilitas arti sempit sedang hingga tinggi dengan proporsi ragam aditif terhadap ragam genetik total tinggi. Pola pewarisan karakter produksi dan karakter yang berkorelasi terhadap produksi menjadi informasi metode pemuliaan yang akan dilakukan dalam melaksanakan seleksi.

Budidaya tomat pada dataran rendah juga terkendala oleh tingginya pecah. Pecah buah yang menyebabkan peningkatan kehilangan hasil baik pada tomat yang dikonsumsi segar maupun tomat olahan. Pada buah tomat tipe konsumsi segar, pecah buah dapat mengurangi penampilan sehingga dapat menurunkan jumlah buah yang dipasarkan. Sedangkan pada buah tipe olahan, pecah buah dapat memungkinkan masuknya pathogen, sehingga pada akhirya akan meningkatkan kehilangan panen yang cukup besar. Pecah buah pada tomat terjadi karena perubahan laju pertumbuhan buah yang cepat yang disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pecah buah adalah curah hujan, suhu, pemangkasan, intensitas cahaya, kelembaban udara, kandungan kalsium dan boron (Hudson 1956; Dorais et al. 2004; Maboko 2006; Liebisch 2009). Pecah buah dapat dikurangi dengan pemanfaatan irigasi permanen sehingga dapat mengatur ketersediaan air pada tanaman tomat (Calbo 1990). Pengaruh lingkungan tersebut sangat sulit dikontrol. Karena itu penggunaan varietas unggul tomat dengan potensi hasil tinggi dan tahan pecah buah dipandang sebagai cara yang efektif untuk mengatasi permasalahan pada tomat yang ditanam pada dataran rendah.

Hingga saat ini informasi tentang studi pewarisan ketahanan terhadap pecah buah belum konsisten. Laporan AVRDC (1982), menyebutkan sifat pecah buah pada tomat dikendalikan oleh gen tunggal sederhana. Menurut Young (1959) pecah buah tipe radial dikendalikan oleh dua pasang gen mayor yaitu cr cr dan lr lr. Menurut Reynard, ketahanan pecah buah dikendalikan oleh dua pasang gen dengan sifat rentan dikendalikan oleh pasangan gen resesif (Pashar dan Lembeth 1960). Hasil penelitian Pashar dan Lembeth (1960) membuktikan bahwa sifat ketahanan terhadap pecah buah adalah sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh gen major dan minor. Selanjutnya Amstrong dan Tompson (1967) dan Hernandes dan Nassar (1970) menyimpulkan bahwa sifat pecah buah pada tomat dikendalikan oleh gen ganda yang mempunyai sifat dominan sebagian.