• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaringan Global dan Penguatan Pemikiran Islam Nusantara

Pembentukan pemikiran Islam pada periode pasca Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatra’i ditandai dengan adanya hubungan sosial dan intelektual keagamaan yang lebih jelas dan tegas antara dunia Islam Melayu- Nusantara dengan dunia Islam lain, khususnya Mekkah dan Madinah (Haramayn) mulai abad ke-17.

Hubungan yang terjalin sangat kuat antara kedua wilayah tersebut telah mendorong lahirnya sebuah tradisi intelektual di wilayah ini yang ditandai dengan, antara lain, terjalinnya hubungan guru-murid sejumlah ulama Melayu- Nusantara dengan ulama-ulama di Haramayn, yang saat itu memang menjadi pusat keilmuan dunia Islam.10

Kita bisa menyebut beberapa nama yang memiliki mata rantai jelas sebagai ulama Melayu-Nusantara yang pernah belajar ilmu-ilmu keislaman di Haramayn, dan dikenal sebagai bagian dari jama at al-Jawiyin (komunitas Jawi) di Mekah, seperti Nuruddin al-Raniri (w. 1658), Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri (1615-1693), dan Muhammad Yusuf al-Makassari (1629-1699) pada abad 17; Abdussamad al-Palimbani, Arsyad al-Banjari (1710-1812), dan Dawud al-Fatani (w. 1847), pada abad 18 dan awal abad 19; Nawawi al-Bantani (1813-1879), Ahmad Rifa’i Kalisalak (1786-1870) Ahmad Khatib Sambas (1803-1875) pada abad 19; Muhammad Saleh Darat al-Samarani (w. 1903M), Ahmad Khatib al- Minangkabawi (1860-1916), dan Muhammad Yasin al-Padani (1917-1990) pada abad 20, serta sejumlah ulama lainnya.

Gambar Kedatangan pendatang dari Mekkah dan Madinah ke Nusantara.

Sumber: Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012.

Kita bisa menyebut beberapa nama yang memiliki mata rantai jelas sebagai ulama

Melayu-Nusantara yang pernah belajar ilmu-ilmu keislaman di Haramayn, dan dikenal sebagai bagian dari

jama at al-Jawiyin (komunitas Jawi) di Mekah, seperti Nuruddin al-Raniri (w. 1658), Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri (1615- 1693), dan Muhammad Yusuf al-Makassari (1629-1699) pada abad 17; Abdussamad al-Palimbani, Arsyad al-Banjari (1710-1812),

dan Dawud al-Fatani (w. 1847), pada abad 18 dan awal abad 19; Nawawi al-Bantani (1813-1879), Ahmad Rifa’i Kalisalak (1786-1870) Ahmad Khatib Sambas (1803- 1875) pada abad 19; Muhammad Saleh Darat al-Samarani (w. 1903M), Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860- 1916), dan Muhammad Yasin al-Padani (1917- 1990) pada abad 20, serta sejumlah ulama

Seperti halnya terjadi di wilayah lain tempat berkembangnya Islam, dunia Melayu-Nusantara juga telah menghasilkan teks-teks bernilai tinggi dalam berbagai keilmuan Islam, seperti tafsir, hadis, tasawuf, ikih, tauhid, dan berbagai karya keislaman lainnya, yang sebagian ditulis oleh para ulama produktif di atas. Tradisi penulisan teks dalam Islam memang berkembang sedemikian dahsyat dan sistematis sehingga teks selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan Islam di wilayah manapun ia tumbuh. Tak heran kemudian jika dunia Islam telah mewariskan khazanah teks atau kitab yang luar biasa kaya dalam berbagai bidang keilmuan di atas, sehingga keberadaan berbagai katalog (faharis) kitab pun menjadi keharusan untuk melacaknya secara sistematis. Sejarah persentuhan dengan belahan dunia Islam lain yang cukup panjang, juga telah menghasilkan kekayaan teks yang sangat beragam, baik berupa karya terjemahan, saduran, adaptasi, atau bahkan karya yang boleh dibilang ‘asli’. Sesuai dengan kondisi pada masanya, teks-teks tersebut ditulis tangan oleh para pengarangnya, dan pada gilirannya disalin serta disebarkan kembali oleh murid- murid serta pengikutnya pada periode kemudian untuk keperluan transmisi ilmu pengetahuan.

Kini, sebagian besar teks-teks keislaman Nusantara tersebut masih dapat dijumpai dalam bentuk naskah tulisan tangan (manuscript) di atas kertas Eropa atau kertas lokal (semisal dluwang), yang, karena alasan sejarah, tersebar tidak saja di wilayah Nusantara sendiri, melainkan di tempat-tempat lain, terutama perpustakaan dan museum, di berbagai pelosok dunia.11

Berbeda dengan fenomena di dunia Arab secara keseluruhan, karya-karya intelektual Islam yang dihasilkan di, dan oleh para penulis atau ulama asal, dunia Nusantara ditulis tidak secara homogen dalam satu jenis bahasa dan aksara saja, seperti bahasa dan aksara Arab misalnya, melainkan juga dalam puluhan bahasa dan aksara lokal, seperti bahasa Melayu, Jawa, Aceh, Minangkabau, Madura, Sunda, Bugis, Sasak, Wolio, dan lainnya, dengan memanfaatkan aksara Jawi, Pegon, Serang, Hanacaraka, Cacarakan, Rejang, Kaganga, dan aksara lokal lainnya.

Jelas bahwa naskah-naskah keislaman lokal yang dihasilkan itu pada hakikatnya merupakan buah dari berbagai upaya penafsiran para pengarangnya terhadap doktrin-doktrin Islam yang bersifat universal dan kosmopolitan, dan ditulis dalam rangka menyesuaikan doktrin-doktrin tersebut dengan konteks dan budaya lokal masyarakat setempat, karena meskipun ‘benih’ Islamnya sama dengan di tempat asalnya, ‘tanah’ tempat benih tersebut disemai memiliki sejumlah keragaman sosiologis yang berbeda, sehingga kreativitas para ahli agama sangat dibutuhkan untuk menemukan dan merumuskan identitas serta kekhasannya sendiri. Tidak berlebihan kiranya jika Tauik Abdullah menyebut bahwa teks-teks keislaman Nusantara tersebut merupakan hasil dari ‘kegelisahan intelektual’

para ulama masa lalu yang sedang mencari jalan mendapatkan kesempurnaan itrah manusia yang tertinggi.12

Lebih dari itu, sejumlah karya keislaman yang lahir dari Serambi Mekah ini juga dapat dianggap sebagai ‘karya perintis’ di bidangnya. Karya-karya puisi suistis Hamzah Fansuri seperti telah dibahas di atas misalnya, diyakini sebagai cikal bakal lahirnya tradisi puitis sastra Melayu Islam Nusantara dan telah memengaruhi perkembangan genre puisi Melayu Islam Nusantara pada masa berikutnya. Di bidang ikih, kita bisa menyebut kitab Sirat al-mustaqim karangan al-Raniri sebagai kitab ikih ibadah pertama dalam bahasa Melayu, sementara Mir’at al-tullab karangan Abdurrauf al-Fansuri sebagai kitab ikih muamalat pertama dalam bahasa yang sama. Selain Mir’at al-tullab, Abdurrauf al-Fansuri juga menulis kitab tafsir lengkap berbahasa Melayu pertama berjudul Tarjuman al- mustaid, yang penyusunannya banyak terilhami oleh Tafsir al-Jalalayn karya al- Suyuti dan al-Mahalli serta Anwar al-tanzil karya al-Baydawi.13

Demikian pula di bidang hadis. Meski agak terlupakan karena nyaris tidak ada sarjana pengkaji Islam Indonesia yang pernah memberikan perhatian khusus serta menelusuri sejauh mana tradisi dan perkembangan awal penulisan kitab- kitab hadis di Nusantara sejak masa awal tersebut. Akan tetapi karya-karya di bidang hadis sesungguhnya tidak kurang signiikan.

Hidayat al-habib i-al-targhib wa-al-tarhib, atau disebut juga dengan judul lain,

al-Fawa’id al-bahiyah ‘an al-ahadith al-nabawiyah dapat dianggap sebagai kitab hadis Melayu pertama karangan al-Raniri. Minimnya kajian tentang tradisi penulisan karya-karya hadis, termasuk terhadap teks Hidayat al-habib ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh masih terbatasnya akses terhadap sumber- sumber primer berupa naskah-naskah tulisan tangan (manuscript) di bidang ini.

Hidayat al-habib kemungkinan ditulis pada 6 Syawal 1045 H/14 Maret 1636 M. Kitab ini mengandung 831 buah hadis dari berbagai sumber, seperti kitab Bukhari, Muslim, Turmudzi, dll.

Meskipun hampir semua bidang ilmu berkembang pada masa awal di dunia Islam Nusantara, akan tetapi karya-karya di bidang tasawuf tampak lebih dominan, terutama yang terkait dengan ajaran tarekat tertentu seperti Syatariyyah, Qadiriyyah, dan Naqsyabandiyah. Bahkan, beberapa karya tasawuf kontroversial telah menimbulkan pergolakan di masyarakat, seperti akan dikemukakan di bawah.

Meskipun hampir semua bidang ilmu berkembang pada masa

awal di dunia Islam Nusantara, akan tetapi

karya-karya di bidang tasawuf tampak lebih dominan, terutama yang terkait dengan ajaran tarekat tertentu

seperti Syatariyyah, Qadiriyyah, dan Naqsyabandiyah.