• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surau dan Dayah: Pengalaman Minangkabau dan Aceh

Surau Minangkabau di Sumatera Barat mengalami proses yang serupa dengan pesantren di Jawa. Sebagai salah satu aspek terpenting dalam kehidupan pedesaan di Minangkabau, surau menjadi pusat penyebaran dan perkembangan Islam ke daerah-daerah pedalaman Sumatera Barat. Seperti pesantren di Jawa, surau bertindak sebagai sebuah saluran penting bagi Islamisasi yang intensif di daerah-daerah terpencil dari pelabuhan-pelabuhan pantai barat Minangkabau, yang telah terislamkan pada dekade kedua abad ke-16, bersamaan dengan keterlibatan mereka dalam perdagangan internasional (Dobbin 1983: 119).1

Juga, seperti halnya pesantren di Jawa, surau menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung interaksi mendalam dan hubungan yang dekat antara Islam dengan masyarakat desa di Minangkabau. Karena telah ada sejak masa pra-Islam sebagai sebuah biara agama Budha (Dobbin 1983: 121), surau memudahkan Islam menembus jantung kebudayaan Minangkabau di wilayah-wilayah pedalaman (darek).

Peran sentral surau tersebut didukung oleh fakta bahwa suisme menjadi satu elemen penting dalam berdirinya surau khususnya di daerah-daerah pedalaman. Ajaran-ajaran dan praktik-praktik Islam di surau-surau dengan mudah disesuaikan dengan adat lokal, sehingga dapat menawarkan semangat yang dekat dengan sistem budaya kaum petani di desa-desa di Minangkabau. Selain menoleransi elemen-elemen budaya pra-Islam yang tetap kuat dalam masyarakat Muslim, surau menghadirkan gagasan-gagasan dan praktik- praktik yang disesuaikan dengan ritme kehidupan masyarakat petani di wilayah pegunungan Minangkabau. Oleh karena itu, berbeda dengan Islam yang telah mapan di daerah pelabuhan dagang, di daerah-daerah pinggiran di luar pusat (rantau), perkembangan Islam di darek dirumuskan untuk menjaga budaya

masyarakat desa.2 Tidak mengejutkan bahwa beberapa praktik keagamaan di

surau memiliki kesamaan dengan yang dipraktikkan oleh dukun, tokoh penting agama pra-Islam yang dianut petani Minangkabau.3

Surau Ulakan, surau terkenal di Minangkabau, layak memperoleh perhatian khusus. Surau ini dibangun di masa-masa akhir abad ke-17 oleh Syekh Burhanuddin (1646-1704), tokoh paling penting dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut (Yunus 1979: 20-21). Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab dua, setelah belajar Islam dengan ulama terkenal al-Sinkili, Burhanuddin kembali ke Ulakan dan mulai terlibat dalam pendidikan Islam di sana. Surau Ulakan menjadi pusat utama pengajaran Islam di bawah bimbingan Syekh Burhanuddin, yang dipercaya sebagai “pemimpin di dunia ini dan alam akhirat

bagi฀semua฀makhluk฀di฀segala฀penjuru฀wilayah฀tersebut”฀(Dobbin฀1983:฀124).4

Selain itu, Surau Ulakan pada saat yang sama muncul sebagai pusat paling pertama dari Tarekat Syattariyah, dengan Syekh Burhanuddin menjadi pemimpin resmi tertinggi dari persaudaraan sui (khalifa) di Minangkabau (van Ronkel 1914: 289-290; Azra 1990: 67-68).

Meski terletak di rantau, dan bukan satu-satunya tarekat sui di Minangkabau,5

Surau Ulakan berkontribusi besar bagi penyebaran Islam di darek. Ia menyandang otoritas tunggal berkenaan dengan soal-soal keagamaan, dari mana cabang-

cabang฀“surau฀Burhanuddin”฀didirikan฀oleh฀murid-muridnya฀di฀daerah-daerah฀

sepanjang rute perdagangan ke desa-desa di Kapas-Kapas dan Mensiangan (Padang Panjang), ke Kota Lawas, dan ke daerah-daerah persawahan di bagian selatan Agam, khususnya ke Kota Tua (Dobbin 1983: 124). Oleh karena itu, dari Surau Ulakan jaringan intelektual ulama Minangkabau terbangun. Kaum Muslim dari beberapa bagian Minangkabau datang ke Ulakan untuk mempelajari Islam. Dan, mengikuti contoh gurunya, mereka mendirikan surau di daerahmasing- masing—kebanyakan di desa—ketika mereka telah menyelesaikan studinya. Syekh Burhanuddin diakui sebagai Tuanku Ulakan, gelar tertinggi bagi seorang guru agama di Sumatera Barat. Sebagai khalifa dari tarekat Syattariyah, setelah kematiannya makam Tuanku Ulakan menjadi sebuah situs suci, tempat kaum Muslim dari Sumuatera datang untuk menjalankan ritual-ritual sui tertentu (Abdullah 1966: 8-9).

Sebagai pusat pengajaran sekaligus tarekat sui, surau memberi fondasi kuat bagi Islamisasi masyarakat Minangkabau berikutnya di wilayah yang lebih pedalaman. Mereka membuat ajaran Islam dapat diterima oleh bentuk pemikiran berbasis-agrikultur di desa-desa, yang menekankan emosi keagamaan dari hati dan spiritual individu ketimbang tindakan-tindakan keagamaan dan kebenaran- kebenaran sosial. Dengan fokus tersebut, surau tidak hanya menoleransi sikap- sikap dan praktik-praktik keagamaan yang berbeda, termasuk orang-orang tak beriman (Marsden 1811: 346), tapi juga menciptakan kondisi yang mendukung

Peran sentral surau sebagai pusat penyebaran dan perkembangan Islam

ke daerah-daerah pedalaman didukung

oleh fakta bahwa suisme menjadi satu elemen penting dalam

berdirinya surau khususnya di daerah- daerah pedalaman. Ajaran-ajaran dan praktik-praktik Islam di surau-surau dengan mudah disesuaikan dengan adat lokal,

sehingga dapat menawarkan semangat

yang dekat dengan sistem budaya kaum petani di desa-desa di

integrasi Islam dengan kehidupan masyarakat desa. Hasilnya, lingkungan pertanian menjadi satu aspek penting dalam surau. Seorang pengamat Belanda yang mengunjungi salah satu surau yang didirikan di darek pada 1886 menegaskan situasi tersebut, mengatakan: “surau-surau kecil semuanya

dibangun฀di฀atas฀tiang-tiang฀tinggi,฀dan฀terlihat฀persis฀seperti฀lapau฀[penginapan฀ kecil฀atau฀kedai].฀Awalnya฀saya฀tak฀berpikir฀bahwa฀itu฀adalah฀surau,฀terutama฀

ketika saya melihat di jendela terdapat gantungan tandan-tandan pisang dan

buah-buahan฀ lain,฀ sungguh-sungguh฀ untuk฀ dijual”฀ (“De฀ Masjdid’s”฀ 1888:฀

321). Dobbin (1983: 122) kemudian menguraikan suasana pedesaan di surau Minangkabau sebagai berikut:

“Para siswa harus membantu guru mereka di kebun atau sawah, dan pelajaran seringkali dihentikan selama masa sibuk bercocok tanam. Untuk memenuhi kebutuhan makanan dan pakaian sendiri, mereka juga terlibat dalam perdagangan barang-barang kecil, khususnya buah-buahan yang tumbuh di sekitar surau seperti pisang, atau barang-barang yang dibutuhkan oleh penduduk lokal, semisal daun pisang. Siswa-siswa yang lebih tua, dan yang merasa telah bertahun-tahun menekuni pelajarannya, terlibat dalam kerajinan seperti kayu, tergantung pada keinginan mereka. Surau terbesar dan paling terkenal dibangun di sebuah desa yang menjadi lokasi bagi pasar yang penting, dan para pelajar menggantungkan hidup mereka pada apa yang bisa mereka jual di pasar mingguan. Surau yang lebih kecil lebih bergantung lagi pada kegiatan-kegiatan cocok tanam mereka, dan para murid diberi pelajaran hanya pada pagi-pagi sekali dan beberapa jam di sore hari, sementara siang hari diabdikan untuk tugas- tugas pertanian dan menggembala ternak.

Dengan demikian, seperti halnya pesantren di Jawa, di bawah kepemimpinan ulama surau menjadi sangat terlibat dalam ekonomi pertanian masyarakat desa. Dalam kondisi itulah, surau menjadi cara efektif untuk mengintensifkan Islamisasi di masyarakat desa di darek, pusat kebudayaan Minangkabau. Dan di bawah kepemimpinan ulama, rumusan baru adat Minangkabau yang telah terislamkan mulai mendapat perhatian, seperti yang tampak dalam peribahasa terkenal, “adat basandi syara, syara basandi kitabullah”฀(adat฀didasarkan฀pada฀syariah,฀

syariah didasarkan pada Alquran). Hal itu menunjukkan bahwa adat dan Islam adalah dua entitas yang tak terpisahkan, masing-masing saling memiliki. Selain itu, seperti halnya pesantren di Jawa, surau berkembang menjadi institusi ulama. Gelar tuanku diasosiasikan dengan surau-surau di sejumlah wilayah tertentu. Tuanku Ulakan untuk Syekh Burhanuddin adalah sebuah contoh tentang situasi tersebut.

Fenomena surau bisa juga ditemukan dalam dayah di Aceh, yang melaluinya Islamisasi masyarakat pedesaan di pedalaman Aceh dapat berlangsung. Ulama

dayah dilaporkan telah memberikan “pencerahan yang dibutuhkan orang-

orang฀di฀wilayah฀tersebut”฀(Snouck฀Hurgronje฀1906:฀II,฀21).฀Dayah฀berkontribusi฀

bagi perkembangan keagamaan seperti yang telah dilakukan oleh surau dan pesantren, masing-masing di Minangkabau dan Jawa. Ulama dayah mengajarkan Islam yang telah disesuaikan dengan bentuk kehidupan pedesaan penduduk Aceh, dan secara perlahan membimbing mereka mempraktikkan Islam dalam kehidupan seharai-hari.

Dalam kaitan inilah, Dayah Batu Karang, Dayah Tanoh Abay, dan Dayah Tiro adalah dayah-dayah yang paling terkenal di Aceh. Snouck Hurgronje menyebut ketiga dayah ini dalam karyanya tentang Aceh, menganggap dayah-dayah tersebut—khususnya dayah Batu Karang dan Dayah Tiro—berkontribusi dalam perkembangan pengajaran Islam di Aceh. Ulama dari dua dayah ini adalah “di antara guru-guru yang paling dihormati di negeri itu, memberi kita ukuran

yang฀ bagus฀ untuk฀ mengetahui฀ tingkat฀ pengajaran฀ di฀ Aceh.”฀ Sementara฀ itu,฀

karya-karya keagamaan yang mereka hasilkan diakui “memiliki signiikansi dan

nilai฀yang฀besar฀di฀luar฀batas-batas฀sempit฀ranah฀mereka”฀(Snouck฀Hurgronje฀

1906: II, 21). Lebih jauh, Dayah Tanoh Abay memberi kita koleksi kitab-kitab, mencakup hampir semua aspek pengetahuan Islam tradisional (Abdullah dan al-Fairusy 1980: 2 vol).

Oleh karena itu, dayah menjadi faktor yang berkontribusi besar dalam perkembangan Islam di Aceh selanjutnya. Dayah menjadi pusat pendidikan yang terorganisasi yang menyebar secara luas ke hampir semua daerah di Aceh. Tidaklah mengejutkan bahwa ketika Snouck Hurgronje datang ke Aceh pada akhir abad ke-19, dia menyaksikan terdapat cukup banyak dayah yang didirikan di seantero negeri, dengan pengaruh besar dan langsung terhadap masyarakat lebih dari “orang-orang yang menulis buku tentang teologi dan hukum pada masa kejayaan sultan-sultan di Banda Aceh, ... yang pengaruhnya di luar Aceh tidak sebesar sebagaimana di dalam Aceh (Snouck Hurgronje 1906: I, 166). Dayah, seperti halnya surau dan pesantren, berpusat di daerah-daerah terpencil. Dayah Tanoh Abay, misalnya, dibangun dekat Gunung Seulawah, sekitar 50 km dari Banda Aceh (Abdullah dan al-Fairusy 1980: i). Hal yang sama terjadi dengan Dayah Tiro. Ia dibangun di Pidie di Kampung Tiro, oleh seorang ulama bernama Syekh Faqih Abdul Wahab al-Haitami, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Tiro (Hasjmy 1975: 9-10). Dayah memberi ulama kesempatan yang luas untuk menghadirkan rumusan Islam yang mendalam kepada para penduduk kampung. Ulama dayah dipercaya memiliki kekuatan spiritual “untuk mendatangkan berkah atau kutukan, dan memiliki kekuatan untuk menyebabkan sakit atau memberi kesembuhan. Mereka mengetahui formula-formula yang diakui dari Allah untuk berbagai macam tujuan, dan cara hidup mereka cukup saleh untuk memberi kekuatan kepada kata-kata yang

Meski tak secara langsung berhubungan dengan dayah, Islam-bercorak budaya tani dapat ditemukan dalam penggunaan ajaran-ajaran Islam tertentu untuk mengatur kehidupan ekonomi di Aceh, di mana “pertanian adalah raja dari

semua฀ nafkah”฀ (Snouck฀ Hurgronje,฀ 1906:฀ I,฀ 245).฀ Sebagian฀ besar฀ penduduk฀

Aceh menandai perubahan musim pada waktu-waktu tertentu dengan menghubungkannya secara dekat dengan praktik-praktik ritual Islam. Mereka sebagai contoh percaya bahwa sebuah garis yang menggabungkan kemunculan tiga bintang dalam lingkaran oval griddle orion—sebagai saat ketika padi harus ditanam—mengindikasikan kiblat, arah Mekkah, ke arah mana mereka harus menghadap ketika shalat (Snouck Hurgronje 1906: I, 247). Selain itu, orang Aceh juga percaya bahwa padi harus ditanam sambil mengucap baseumalah

(bismi Allah, dengan nama Allah) dan ke arah angin barat, titik yang menjadi arah kaum Muslim menghadap ketika shalat (Snouck Hurgronje 1906: I, 263). Mereka menganggap bahwa arah ini akan memberi sejenis jaminan bahwa padi yang baru ditanam akan tumbuh subur, sehingga mereka dapat memperoleh hasil yang diharapkan dalam usaha cocok tanam ini.

Munculnya corak keagamaan di atas merupakan hasil penerjemahan Islam ke dalam bingkai kultural masyarakat petani di desa-desa di Aceh. Dalam penerjemahan ini, ulama dayah memainkan peran penting. Mereka memberi masyarakat sejenis formula Islam untuk meningkatkan produk-produk pertanian mereka. Hasilnya, ulama menjadi golongan utama dari orang-orang yang menerima zakat dari hasil bumi. Ulama memperoleh dan menikmati banyak keuntungan dari zakat. Pada akhir abad ke-19, seperti dicatat oleh Snouck Hurngronje (1906: I, 270), zakat menjadi “basis dari kekuasaan kelompok

ulama฀yang฀terus฀meningkat”.฀Selain฀itu,฀ulama฀dayah฀memperoleh฀untung฀dari฀

tanah yang diberi oleh raja, dalam bentuk wakeueh (wakaf)—tanah-tanah yang diberikan untuk tujuan-tujuan pendidikan dan keagamaan—dan bibeueh, distrik khusus yang dibebaskan dari segenap beban dan tugas, dan dari otoritas para pemimpin lokal (Snouck Hurgronje 1906: I, 121-122). Tanah-tanah pemberian itu sama dengan desa perdikan di Jawa.

Dengan demikian, ulama dayah, seperti halnya para ulama pesantren di Jawa dan ulama surau di Sumatera Barat, memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat desa. Pusat-pusat pendidikan Islam ini terus berkembang, menjadi jantung perkembangan intelektual Islam di Nusantara.

Legitimasi Islam untuk Kekuasaan Politik: