• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memasuki abad ke-20, institusi ulama seperti digambarkan di atas menghadapi tantangan sangat kuat. Bahkan, dalam beberapa segi tertentu, tantangan tersebut melampaui apa yang mereka alami saat mereka berhadapan dengan kaum priyayi yang didukung pihak kolonial. Tantangan baru ini muncul seiring dengan tumbuhnya gerakan pembaharuan Islam, yang semakin memperoleh tempat di kalangan Muslim Indonesia. Seperti halnya pengalaman Mesir dan Turki, proses pembaharuan atau reformasi Islam telah meng ancam sendi-sendi pokok yang menjadi dasar tegaknya institusi ulama. Dalam konteks Indonesia, pertumbuhan wilayah perkotaan bersama dengan lembaga pendidikan dan pranata sosial modern, yang berlangsung seiring dengan kebijakan politik etis oleh pemerintan kolonial Belanda pada awal abad ke-20 (van Niel 1984), merupakan faktor penting yang ikut mendasari lahirnya berbagai perubahan sosial-politik dan budaya, dan akhirnya menjadi basis bagi lahirnya gerakan reformasi Islam di bumi Indonesia.

Pada awal abad ke-20, sejumlah kota muncul di Indonesia de ngan atribut- atribut tertentu yang bisa diasosiasikan dengan perkotaan. Yogyakarta di Jawa (van Mook 1958; Daban 2000) dan Padang di Sumatra Barat (Columbijn 1994) barangkali bisa dilihat sebagai kota utama di Indonesia pada awal abad ke- 20. Kedua kota tersebut kemudian tampil sebagai basis utama lahirnya gerak- an pembaharuan Islam. Kota tentu saja menciptakan suasana berbeda de ngan wilayah pedesaan, di mana ulama masih bertahan sebagai pemegang otoritas di bidang keagamaan. Di wilayah perkotaan, di mana elit baru didikan Barat mulai mucul seperti berdirinya Budi Utotmo pada 1908 (Nagazumi 1972; Sutherland

Gambar kumpulan mahasiswa yang terhimpun dalam Perhimpunan Indonesia merupakan salah satu gambaran elit baru hasil didikan Barat.

Sumber: Indonesia Dalam Arus Sejarah, 2012.

1979), dan media cetak juga tumbuh sebagai saluran proses intelektual dan juga politik (Adam 1995), hasrat untuk melakukan perubahan dan pembaharuan menjadi sesuatu yang tidak terelakan. Kemajuan berkembang menjadi satu wacana dominan di kalangan masyarakat perkotaan, khusus elit baru didikan Barat.

Bersamaan dengan itu, semangat perubahan juga sudah mulai muncul di kalangan komunitas Jawi di Mekah. Mereka mulai akrab dengan gagasan- gagasan pembaharuan Islam yang diketengahkan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh, dan Rashid Ridha di Mesir (Adams 1933; Hourani 1984), yang memang mulai berkem bang di Mekah. Dalam konteks komunitas Jawi, tumbuhnya kecenderungan baru di atas berhubungan sangat erat dengan tampilnya seorang ulama Indonesia, Ahmad Khatib, yang kemudian sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam di Indonesia awal abad ke-20. Ahmad Khatib memang dikenal tidak hanya sebagai ulama yang menekankan pemurnian praktek-praktek ajarah Islam (Laffan 2003: 112-113), tapi sekaligus ‘guru untuk generasi pertama kaum muda’ (Steenbrink 1984: 145-146) di Melayu-Indonesia. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Asy‘ari di NU adalah di antara murid-murid Akhmad Khatib. Kedua orang ini bahkan dianjurkan membaca karya-karya ulama pembaharu di Mesir, termasuk majalah

al-Manar (Noer 1980: 39), yang memang menjadi sarana utama sosialisasi gagasan-gagasan pembaharuan Islam di hampir seluruh dunia Muslim (Adams 1933: 205-247).

Lebih dari itu, Mesir di penghujung abad ke-19 telah menjadi salah satu tempat tujuan utama komunitas Jawi untuk belajar Islam, selain Mekah. Mereka pada umumnya pergi ke al-Azhar di Mesir setelah sebelumnya belajar beberapa lama di Mekah. Thaher Djalalud din adalah salah seorang dari komunitas Jawi demikian. Setelah belajar sekitar empat belas tahun belajar di Mekah, dia pada 1893 menuntut ilmu di al-Azhar selama sekitar tiga tahun (Othman 1994: 227; Noer 1980: 41). Sejauh menyangkut periode pergantian abad, Thaher Djalaluddin bahkan bisa disebut sebagai yang terpenting dalam memberi orientasi baru pemikiran keaga maan di Melayu-Indonesia. Hal ini terutama melalui kegiatan intelektualnya tidak lama setelah pulang dari Timur Tengah. Bersama sejumlah ulama lain, dia menerbitkan jurnal al-Imam (1906-1908) di Singapura, sebagai jurnal pertama di Dunia Melayu yang mensosialisasikan gagasan-gagasan pembaharuan Islam di Mesir (Hamzah 1991; Noer 1980: 41-42). Bahkan, al- Imam dalam banyak hal dipengaruhi dan mengambil bentuk majalah al-Manar

di Mesir (Roff 1967: 59; Azra 1999: 79-100). Selain Thaher Djalaluddin, tokoh lain dari komunitas Jawi yang belajar di Mesir adalah Ahmad bin Muhammad

Zain฀ bin฀ Mustafa฀ bin฀ Muhammad฀ al-Fatani,฀ salah฀ seorang฀ ulama฀ terkemuka฀

Patani abad ke-19 (Matheseon dan Hooker 1988: 29-30), dan To’ Kenali atau Muhammad Yusof (Salleh 1975: 87-100) yang menjadi salah seorang tokoh penting di balik berdirinya Majlis Ugama di Kelantan, Malaysia (Roff 1975: 101- 152).

Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah.

Sumber: Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid III, 2012.

Sementara itu di bumi Melayu-Indonesia sendiri, sebagai kiblat keilmuan Islam al- Azhar pada saat bersamaan juga tumbuh. Hal ini bisa dilihat antara lain dengan munculnya sejumlah permintaan fatwa oleh kalangan Muslim Melayu-Indonesia kepada Muhammad ‘Abduh dan Rashid Ridha, lebih khususnya pada ulama yang disebut terakhir, melalui jurnal al-Manar (Bluhm 1983: 35-42; Abaza 1998: 93-111). Permintaan fatwa ini tidak hanya menandai satu pergeseran referensi paham keagamaan, di mana sebelumnya permintaan fatwa ditujukan kepada ulama Mekah (Kaptein 1995: 141-160; dan 1997), tapi sekaligus membuktikan satu dialog yang demikian intensif antara dunia Melayu-Indoneia dengan Mesir, yang menjadi salah satu landasan penting bagi berkembangnya gerakan pembaharuan Islam di Melayu-Indonesia.

Dalam konteks demikianlah di wilayah Jawa, gerakan pembaharuan Islam muncul dengan lahirnya Sarekat Islam pada 1912, dan kemudian yang terpenting adalah Muhammadiyah pada 1916 (Noer 1980: 84-94; Alian 1989; Peacock 1978). Muhammadiyah tampil bersama sejumlah agenda pembaharuan dan pemurnian Islam serta pembangunan lembaga-lembaga pendidikan modern. Sejak itu, pembaharuan kemudian berkembang di sejumlah kota lain di Indonesia, seperti di Padang, Sumatra Barat (Abdullah 1971) dan juga di Palembang (Peeters 1997), dan selanjutnya disusul dengan berdirinya berbagai lembaga lain yang berhaluan reformis seperti Persatuan Islam (Persis) di Bandung (Federspiel 2001). Hal ini selanjutnya diperkuat dengan kepulangan sejumlah pelajar Indonesia di al-Azhar, Kairo (Roff 1970: 73-87; Abaza 1994), di mana mereka memiliki hubungan intensif tidak saja dengan para ulama pembaharu di Mesir, tapi juga gerakan-gerakan politik nasionalisme di Mesir dan negara Arab secara umum. Kepulangan mereka memiliki makna sangat signiikan dalam memperbesar akselerasi dan skala gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.

Kehadiran organisasi pembaharu ini, yang berangsung sejalan dengan perubahan-perubahan sosial akibat modernisasi, pada gilirannya memang melahirkan pola kehidupan dan paham keagamaan baru yang berangkat dari semangat kemajuan. Seruan untuk kembali kepada sumber asli ajaran Islam, al-Qur’an dan Sunnah, dibukanya pintu ijtihad, dan pemurnian praktek-praktek keagama an Muslim yang dianggap terkontaminasi pengaruh-pengaruh budaya non-Islam, merupakan satu wacana dominan di kalangan kaum pembaharu yang berbasis di perkotaan. Bagi mereka, seperti halnya ‘Abduh di Mesir (Hourani 1984: 136), perubahan-perubah an yang terjadi menyusul proses modernisasi tidak hanya dilihat sebagai satu keharusan, tapi lebih dari itu juga sesuatu yang perlu direspon secara positif bagi kemajuan umat Islam. Karena itu, ketimbang mendirikan pesantren, Muhammadiyah dan juga organisasi Islam modernis lain lebih memilih sekolah gaya Barat sebagai model pendidikan. Begitu pula ketimbang mengkaji kitab kuning di bawah bimbingan ulama di pesantren, mereka lebih cenderung menggali ajaran Islam dari al-Qur’an dan Sunnah. Dan, sejalan dengan suasana kota, mereka lebih giat menerbitkan jurnal, majalah dan koran sebagai sarana sosialisasi paham keagamaan.

Perkembangan inilah yang kemudian mengundang respon ulama, yang berwujud lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 (Noer 1980: 241-254; Anam 1985). Lembaga ini, didirikan antara lain oleh K.H. Hasyim Asy‘ari, merupakan bentuk kebangkitan ulama Indonesia pada awal abad ke-20. NU merupakan model organisasi mo dern yang sengaja didirikan dalam rangka mempertahankan wibawa dan otoritas keagamaan ulama yang tengah berada di tengah ancaman kaum pembaharu. Penting ditekankan, gerakan pembaharuan Islam sebenarnya tidak hanya membawa perubahan pada paham keagamaan, tentu saja beserta sejumlah perangkat modern yang menyertainya. Lebih dari itu, dan bahkan terpenting, adalah bahwa gerakan tersebut sekaligus menghadirkan satu corak baru pemahaman dan akhirnya cara beragama. Meski memang masih terbatas di wilayah perkotaan, kegiatan pe nerbitan buku-buku dan jurnal-jurnal keagamaan oleh kaum pembaharu, yang berjalan sei ring dengan tersedianya teknologi per cetakan oleh pihak kolonial (de Graaf 1969), telah mengancam otoritas tradisional ulama yang sebelumnya dianggap paling otoritatif dalam pemahaman keislam an, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan tersedianya buku-buku keagamaan, maka akses terhadap ajaran Islam bisa diperoleh dengan tidak lagi melalui kitab kuning di pesantren di bawah bimbingan ulama, tapi bisa di sekolah, perpustakaan, juga di berbagai toko buku yang ada di kota-kota Indonesia (Ockeloen 1937). Dengan demikian, gerakan pembaharuan telah melahirkan apa yang disebut sebagai rekonigurasi otoritas keagamaan dalam Islam Indonesia (Eickelman dan Anderson 1999: 1-18). Oleh karena itu, pada awal perkembangannya, NU memang menolak setiap bentuk baru keagamaan—baik menyangkut lembaga pendidikan dan pemikiran intelektual—yang berwujud an tara lain pada sejumlah pedebatan di seputar bidang-bidang tertentu dalam praktek keagamaan kaum Muslim; selain itu, pada saat yang sama kalangan ulama NU juga berusaha mempertahankan lembaga pendidikan pesantren sebagai basis otoritas keagamaan mereka. Namun demikian, pertumbuhan NU tidak memadai hanya dilihat sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan. Pelembagaan ulama di pesantren yang sudah berkembang demikian mapan di abad ke-19, sebagaimana telah dijelaskan di atas, merupakan satu khazanah dan sekaligus berfungsi sebagai landasan historis bagi para ulama untuk terus-menerus mempertahankan otoritas keagamaan mereka. Institusi ulama yang berbasis di pesantren telah memiliki modal yang sangat memadai, baik secara sosial-keagamaan maupun politik, untuk terus bertahan sebagai dasar bagi perkembangan NU. Penelitian yang dilakukan belakang an (Mansurnoor 1987) masih menujukkan ciri-ciri utama institusi keulamaan sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, apa yang kemudian berlangsung di kalangan NU pada dasarnya adalah penemuan dan perumusan kembali tradisi Islam (Hobsbawm 1983: 1-14), yang berangkat dari semangat baru seiring dengan perkembangan sosial-kemasyarakatan.

NU merupakan model organisasi mo¬dern yang sengaja didirikan

dalam rangka mempertahankan wibawa dan otoritas

keagamaan ulama yang tengah berada

di tengah ancaman kaum pembaharu. Penting ditekankan, gerakan pembaharuan

Islam sebenarnya tidak hanya membawa perubahan pada paham

keagamaan, tentu saja beserta sejumlah

perangkat modern yang menyertainya.

Lebih dari itu, dan bahkan terpenting, adalah bahwa gerakan

tersebut sekaligus menghadirkan satu corak baru pemahaman

dan akhirnya cara beragama.

Pelembagaan ulama di pesantren merupakan

satu khazanah dan sekaligus berfungsi sebagai landasan historis bagi para ulama

untuk terus-menerus mempertahankan otoritas keagamaan

Dengan demikian, dalam konteks lembaga pendidikan, sejumlah pesantren yang dipimpin ulama NU pada perkembangan lebih belakangan mulai membuka lembaga pendidikan modern, khususnya madrasah, seraya tetap mempertahankan pesantren di dalamnya.

Tradisionalis dan Reformis: