• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesinambungan dan Perubahan: Catatan Penutup

Wajah Islam tradisionalis dan refomis, yang menjadi arus utama Islam Indonesia, terus berlangsung bahkan hingga dewasa ini. Belum ada institusi yang secara langsung mempertemukan, apalagi mempersatukan, kedua kelompok ini. Pada tataran politik keduanya masih berseteru melalui partai masing-masing. Sementara pada tataran budaya keduanya juga belum beranjak banyak. Dualisme pendidikan, misalnya, masih terlihat nyata. Pada masa ini baru tumbuh keinginan untuk memodernisasi pesantren melalui pembentukan madrasah dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang nantinya berubah menjadi IAIN. Hal yang sama juga terjadi pada pengelompokan sosial, desa-kota, karena mobilitasnya masih sangat rendah, sehingga peluang akulturasi atau urbanisasi tidak begitu besar.

Suasana kondusif bagi pertemuan Muslim tradisionalis-reformis baru tercipta secara nyata ketika pemerintahan digantikan oleh Orde Baru. Proses de- ideologisasi dan de-politisasi yang diterapkan pemerintah Orde Baru secara langsung maupun tidak telah membuka peluang terjadinya interaksi—terpaksa ataupun tidak—antara tradisionalis-reformis dalam berbagai bidang. Keputusan untuk menyederhanakan parta menjadi tiga, Parpai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), membuat kalangan tradisionalis maupun reformis tidak bisa mengekspresikan kepentingan politik mereka dalam wadah mereka sendiri.

Namun, tidak adanya peluang tersebut justru memaksa mereka untuk berhimpun bersama di PPP atau masuk pada partai lain yang pada dasarnya tidak membedakan mereka. Tentu saja intrik dan konlik tidak bisa dihindari ketika mereka berhimpun dalam satu wadah, tetapi dengan wadah tersebut mereka juga berkesempatan untuk berinteraksi. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada akhir nya kalangan reformis lebih mendominasi PPP, sementara di Golkar kelompok terakhir juga menonjol. Mes kipun demikian, ketidakseimbangan ini bukan lagi karena kalangan tradisionalis kurang kompeten dibandingkan reformis, tetapi lebih disebabkan oleh penguasa Orde Baru yang le bih favorable terhadap reformis dibandingkan tradisionalis yang memiliki basis massa kuat. Sempitnya kesempatan untuk berpolitik tidak hanya dialami oleh kalangan tradisionalis, tetapi juga oleh hampir semua kalangan. Keberadaan PDI, misalnya, tidak kalah sulitnya dibandingkan dengan PPP. Jika PPP hanya menjadi wadah fusi partai-partai Islam, PDI harus mengakomodasi partai-partai agama di luar Islam dan partai-partai sekuler lainnya yang jumlahnya tidak sedikit. Akibatnya, dalam tubuh PDI sering terjadi konlik sebagaimana juga dalam PPP. Hanya Golkar yang merupakan partai pemerintah yang terlihat solid serta mampu mengatasi kedua pesaingnya. Atas dasar kenya taan ini kalangan Muslim tidak

lagi bergairah untuk mengeks presikan kepentingan mereka melalui jalur politik, dan bersamaan dengan itu perseteruan antara tradisionalis-reformis dalam politik menyusut.

Depolitisasi dan de-ideologisasi Orde Baru pada saat yang sama dibarengi dengan program-program pragmatik, baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan. Melalui program pembangunan, Orde Baru sedikit banyak berhasil mengarahkan energi massa pada kegiatan ekonomi. Hasilnya, rata- rata pertumbuhan mencapai 5% per tahun untuk jangka waktu beberapa dasawarsa. Terlepas dari disparitas pendapatan dan korupsi yang akut, program ekonomi Orde Baru telah menciptakan peluang bagi proses modernisasi dan urbanisasi. Dalam konteks hubungan tradisionalis-reformis, dua proses sosial ini sangat penting artinya, karena dengan proses tersebut sekat-sekat sosial yang memilah keduanya semakin tipis. Realitas lain yang juga turut berperan besar dalam mendekatkan keduanya adalah pendidikan, dimana program pendidik an massal Orde Baru telah membuka ruang, khususnya bagi masyarakat pedesaan, untuk masuk dalam wacana modernitas. Beberapa lembaga dalam dunia pendidikan, khususnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan IAIN, secara khusus berperan sebagai penjembatan bagi dua komunitas tersebut. HMI yang independen tidak saja menampilkan ciri-ciri kemoderenan, tetapi juga mampu menampung kalangan tradisio nalis yang sedang belajar di berbagai Perguruan Tinggi. Semen tara itu, IAIN, yang kebanyakan mahasiswanya dari pesan tren, juga berjasa besar dalam mentransformasikan kalangan tradisionalis untuk masuk ke dalam arus utama pendidikan moderen. (lihat Anwar 1995).

Sampai di sini realitas dikotomis antara tradisionalis-reformis mulai mengendor. Selain politik, perbedaan sosial dan kultural keduanya juga semakin mendekat. Sempitnya ruang gerak politik juga mendorong munculnya respons kalangan Muslim untuk menyalurkan perhatian pada gerakan kultural. Bentuknya bisa bermacam-macam mulai dari gerakan swadaya masyarakat, pendidikan, dakwah, ekonomi sampai budaya. Dalam kancah inilah tradisionalis-reformis juga mendapat kesempatan untuk bekerja bersama-sama. Seiring dengan berjalannya waktu, kerangka besar tradisionalis-reformis yang berdimensikan politik, sosial dan budaya lambat laun mulai pudar. Saat itu tidak bisa lagi ditemukan perbedaan yang jelas antara politik kelompok tradisionalis dan reformis. Kedua nya telah tersingkir oleh kekuatan Orde Baru. Dalam pentas nasional kelompok-kelompok yang diasosiasikan dengan reformis memang lebih menonjol dibandingkan mereka yang berailiasi dengan tradisionalis. Namun kenyataan itu semata-mata konsekuensi dari kebijakan pragmatik pemerintah yang lebih memberikan tempat kepada teknokrat dan kaum terampil lainnya daripada mereka yang memiliki basis massa.

Dalam kancah pemikiran agama kedua kelompok juga mencatat perubahan- perubahan penting, meskipun sebagian besar masih bertahan pada pola lama. Misalnya, doktrin ahlus sunnah waljama‘ah masih tetap menjadi pegangan sebagian besar warga NU dan tradisi Wahhabiayah jug masih menjadi patokan keagamaan kalangan Muhammadiyah. Akan tetapi, pada kurun waktu ini muncul angkatan baru (new breeds) dari keduanya yang mampu mengatasi dikotomi tersebut. Tokoh yang paling penting untuk disebut adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Nurcholish acap kali disebut Na tsir Muda untuk menggambarkan kedekatan dan pewarisan tradisi reformis, sedangkan Abdurrahman lahir dan besar dari kalangan tradisionalis. Meskipun demikian, kedua tokoh ini mampu mengambil jarak dari narasi besar yang melingkupi diri mereka, dan memunculkan suatu bentuk pemikiran yang berbeda, yakni neo-modernis atau neo-tradisionalis. Pemikir an keduanya cukup menjanjikan karena dapat menjadi alternatif bagi kebekuan paradigma tradisionalis-reformis, sekaligus memberikan landasan bagi kehidupan berbangsa secara lebih luas (Lihat Ali dan Effendy 1986).

Pemikiran alternatif yang muncul oleh kedua kubu semakin mendapat respons positif karena pada bidang-bidang yang lain, khususnya pendidikan, sosial dan komunikasi, juga terjadi transformasi yang searah. Peluang pendidikan yang tercipta selama Orde Baru memungkinkan tidak saja kalangan reformis untuk terus masuk ke arus utama pentas kehidupan nasional, tetapi juga membuka peluang bagi kalangan tradisio nalis untuk berbuat serupa. Oleh karenanya, sarjana-sarjana Muslim santri yang mulai bermunculan sejak pertengahan 1980an tidak saja berlatarbelakang reformis melainkan juga tradisionalis. Seiring dengan itu, mobilitas sosial dan jaringan komunikasi yang semakin meluas turut mempercepat terjadi nya transformasi dalam tubuh dua komunitas tersebut. Meskipun demikian tidak berarti suasana kehidupan berbangsa yang diciptakan Orde Baru benar-benar telah menghapus dikotomi tradisionalis-reformis. Pola pragmatis dan anti politik serta ideologi yang diterapkan Orde Baru sedikit banyak lebih menguntungkan kalangan reformis dan merugikan tradisionalis. Akomodasi pemerintah terhadap kalangan reformis jauh lebih menguntungkan, karena mereka lebih terlatih untuk mengisi posisi-posisi yang memang dibutuhkan untuk program-program pragmatik. Kalkulasi politik yang lebih pen- ting adalah mudahnya kontrol terhadap kelompok ini, karena kalangan reformis tidak memiliki basis massa sekuat tradision alis. Akibatnya, kalangan tradisionalis tersingkir hampir di segala sektor, seperti Departemen Agama, PPP dan bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang seharusnya dipegang mereka.

Oleh karena itu, meskipun pola dikotomi lama sudah mengalami banyak perubahan, periode ini tetap menyisakan perbedaan-perbedaan yang mungkin akan bangkit lagi—meski tidak sama seperti sebelumnya. Satu hal yang pasti

adalah kenyataan bahwa apa yang disebut tradisionalis-reformis tidak bisa lagi dipahami seperti yang ada pada 1940, 1950 dan 1960an. Meski sudah berubah, sebagai identitas kultural dan pengelompok an sosial, dikotomi tersebut belum bisa dihapus sama sekali. Lebih dari itu, mereka telah berjasa meletakkan landasan kokoh bagi pembentukan Islam bagi Muslim Indonesia, yang kemudian mengalami proses penafsiran ulang dan perumusan kembali seiring dengan perubahan yang terus berlangsung. Dengan kata lain, masinstream Islam telah menjadi basis bagi tampilnya Islak baru yang mulai berkembang belakangan ini.

Endnotes

1 Wilayah pesisir barat Minangkabau yang pertama kali terislamkan adalah Tiku, pelabuhan

dagang utamanya; Pariaman dan Ulakan mengikuti setelah ditetapkannya pengawasan Aceh atas pantai tersebut. Untuk pembahasan yang lebih rinci mengenai topik ini, lihat juga Azra (2003: 43-44); Winstedt (1917: 170-175).

2 Penting untuk ditegaskan di sini, jenis hubungan antara rantau dan darek, yang menunjukan

pertentangan dan penyesuaian antara Islam dan kebiasaan setempat (adat), dan merupakan salah satu ciri utama dinamika dan perkembangan Islam di Minangkabau. Untuk pembahasan yang menyeluruh tentang hal ini, lihat Abdullah (1966: 1-24; dan 1971: 1-25).

3 Dobbin (1983: 121) menyatakan bahwa praktik-praktik sui dengan penyebutan nama Tuhan berulang-ulang, bernyanyi, dan menari dengan musik adalah juga di antara praktik agama perdukunan. Lihat juga Winstedt (1969: 20-25); Rinkes 1909: 9-10).

4 Kutipan di atas berasal dari Hikayat Jalaluddin, satu-satunya naskah Melayu yang memuat

sejarah Islam di Minangkabau. Dalam Hikayat ini, Faqih Saghir Sami’ Syekh Jalaluddin Ahmad Kuto Tuo menghubungkan sejarah Islam dari masa ketika pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Minangkabau hingga masa pembaruan Islam oleh gerakan Padri. Naskah ini kemungkinan ditulis pada 1824 dalam bahasa Melayu. Studi-studi tentang naskah ini, lihat J.J. Hollander (1857); juga Steenbrink (1984: 37-43).

5 Mesti dicatat bahwa pada saat Syekh Burhanuddin mendirikan Tarekat-Surau Ulakan, di

Minangkabau telah muncul tarekat Sui lain, yaitu tarekat Naqsyabandiyah dan Qādiriyah. Tarekat Naqsyabandiyah kemungkinan besar didirikan pada dekade pertama abad ke-17 oleh seorang ulama dari Pasai. Tarekat ini menyebar terutama di Lima Puluh Koto dan Tanah Datar. Tarekat lainnya, Qādiriyah, terutama berpusat di wilayah pesisir pantai dan Agam. Lihat Azra (2003: 63-64); Dobbin (1983: 121); juga Steenbrink (1984: 177-185).

6 The Sejarah Melayu atau Malay Annals dianggap sebagai satu teks terbaik dan terpenting dalam karya sastra Melayu kaslik (Winsedt 1969: 111). Text ini besar kemungkinan ditulis oleh seorang anggota keluarga Bendahara, elit politk kerajaan Malaka, Tun Mu ham mad or Tun Sri Lanang (Roolvink 1967: 301-12; Iskandar 1967: 38-40). Ini didasakan pada bagian pendahuluan man- u script Sejaah Melayu yang ditransliterasi oleh W.G. Shell abear (1967: 3), di mana dikatakan bahwa Tun Sri Lanang sebagai pengranag, dan juga dalam Busta n as-Salati n, karangan al- Raniri (Jilid ll Bab 12, yang berkenaan dengan geneology of raja-aja Malaka, Johor, dan Pahang (Iskandar 1967: 40; Grinter 1979: 38). Sementara waktu penulisanya, disepakai bahwa eks esebu selesai ditulis pada 1612 (Winsedt 1969: 158).

7 Sekadar contoh, teks Sejarah Melayu memulai dengan pujian dan shalawat kepada Allah, Rasul dan para sahabatnya. Selanjutnya, penulis teks tersebut mendiinsikan dirinya seorang

fakir,฀ “yang฀ insaf฀ akan฀ lemah฀ keadaan฀ dirinya฀ dan฀ singkat฀ pengetahuan฀ ilmunya”,฀ dan฀

karena iu dia memohon “tauik ke hadirat Allah sani al-‘alam dan kepada nabi sayyid al-

anam”฀(Winstedt฀1938:฀42).฀Ini฀umumnya฀dilakukan฀para฀ulama฀untuk฀menulis฀buku-buku฀

keagamaan (kitab).

8 Cerita Iskandar ini juga terdapat antara lain dalam Misa Melayu, Hikayat Palembang, Hikayat Andalas, Hikayat Aceh, dan Undang-Undang Malaka. Lihat Khalid-Thaib (1981: 227-229).

9 Dalam bab pendahuluan, Soeratno (1992: xiii) berpendapat bahwa text ini kemungkinan besar

dikarang di Malayu pada abad ke-15, seperi text klasik Melayu lain, Hikayat Amir Hamzah dan

Hikayat Sri Rama. Untuk pembahasan tentang periode penulisan teks ini, lihat juga Brakel (1979: 18), dan kajian tekstual lihat Soeratno (1991).

10 Dengan฀ istilah฀ “bahasa฀ Muslim”฀ Bausani฀ mengartikannya฀ sebagai฀ “suatu฀ bahasa฀ yang,฀

pada momen sejarah tertentu, tampil dengan dipengaruhi secara mendalam, secara leksikal, geograpis, dalam dalam beberapa segi secara morpologis sera ponetis, oleh bahasa budaya

Islam:฀฀Arab฀dan฀Peria”.฀

12 Tentang biograi dan pemikiran Hamzah ansuri dan Shamsuddin al-Sumatrani, lihat antara lain al-Attas (1970); van Nieuwenhuijze (1945). Untuk pembahasan tentang suisme di dunia Melayu secara umum, lihat juga Archer (1937); John (1957); al-Attas (1963); Bousield (1983: 92-129).

13 Meski dalam kontes Jawa, penjelasan tentang raja sui ini bisa dibaca dalam M.C. Ricklefs

(1998:฀….).

14 Lihat pula al-Attas (1966: 44).

15 Untuk pembahasan tentang pemikiran para ulama di atas, lihat antara lain Lubis (1996), Faturrahman (1999).

16 Di sini, pembahasan Taj al-Salatin didasarkan terutama pada edisi yang diselenggarakan Khalid Hussain (1992), meski dalam sejumlah kutipan juga diambil dari edisi lain yang lebih pendek, yang diselenggarakan Jamsari Jusuf (1979). Mengenai teks Taj al-Salatin, lihat antara lain Winstedt (1969: 95-7; 1920: 37-38), Iskandar (1965), Hussain (1992: xvii- xxv).

17 Meski dalam formulasi berbda, prinsip yang sama juga bisa dibaca dalam edisi Hussain (1992: 56-57).

18 Liha pula Hussain (1992: 47-8)

19฀ Lihat฀“As’adiyah”,฀dalam฀Ensiklopedi Islam di Indonesia, h. 902-903. Departemen Agama, 1992/1993.

20 Lihat Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang, Direktori Pondok Pesantren Proyek Peningkatan Pondok Pesantren, Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2000, h. 476-477.

BAB II

Sejarah Awal Pemikiran