• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suisme: Memperkuat Kedudukan Raja

Suisme di Indonesia telah berkembang seiring proses awal per kem bangan agama tesebut. Bersama sejumlah faktor lain yang bersifat sosial-politik dan ekonomi, suisme menjadi satu unsur penting dalam sejarah Islam Indo nesia. Ia telah berjasa menjadikan Islam memi liki daya lentur dan tingkat adaptasi yang tinggi terhadap sistem sosial-politik budaya Indonesia pra-Islam sehingga, dengannya, Islam bisa diterima dengan mudah dan menjadi bagian dari proses pembentukan dan perkembangan sistem sosial-budaya masyarakat Indonesia (Johns 1961a: 143-160; 1961b: 10-23).

Di samping itu, proses Islamisasi di Indonesia, yang memperoleh momentumnya pada abad ke-13, memang berlangsung ketika suisme tengah berjaya dalam Istilah durhaka dalam

wacana politik Melayu berkembang sebagai

satu konsep politik yang bermakna satu

kondisi menentang kekuasaan politik sang

wacana intelek tual Islam di dunia Muslim. Nama-nama seperti Abu Hamid al- Ghazali (w. 1111), Ibn ‘Arabi (w. 1240), ‘Abdul Qadir al-Jailani (w. 1166), adalah para sui terkenal yang hidup––seperti bisa dilihat dari tahun wafatnya––dalam bentang waktu sejarah yang berdekatan dengan masa berlangsungnya proses Islamisasi di Indonesia. Begitu pula dari zaman sejarah yang sama kita juga mengenal nama-nama seperti Najm al-Din al-Kubra (w. 1221) dan Abu Hasan al-Sadhili (w. 1258)––masing-masing pendiri tarekat Kubrawiyah dan Sadhiliyah di Asia Tengah dan Afrika Utara––serta nama-nama sui lain yang sangat dikenal di dunia Islam.

Oleh karena itu, suisme menjadi satu corak pemikiran terkemuka dalam sejarah Islam Indonesia masa awal. Di dunia Melayu, suisme berkembang demikian kuat pada masa kerajaan Aceh. Pada abad ke-16 kita mengenal dua orang tokoh sui terkemuka, Hamzah Fansuri (w. 1607) dan Shamsuddin al- Sumatrani (w. 630). Mereka merupakan ulama kerajaan Aceh, yang hudup pada masing-masing periode kekuasaan ‘Alauddin Ri’ayat Shah (1589-1602) dan penggantinya, Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Dan kedua Kedua tersebut menduduki jabatan sebagai Shaikh al-Islam yang bertugas sebagai penasihat raja, khususnya di bidang agama.

Mengenai pemikiran dua tokoh sui tersebut, baik Hamzah maupun Shamsuddin sama-sama mewakili aliran suisme wahdat al-wujūd. Aliran suisme ini dinisabahkan kepada seorang sui terkemuka, Ibnu ‘Arabi (1156-1240), yang

menekankan kesatuan Tuhan dan manusi; bahwa manusia memiliki ek sisistensi hanya dalam kaitan dengan Tuhan. Hamzah Fansuri dan Shamsuddin al- Sumatrani adalah pendu kung utama ajaran tersebut. Melalui karya-karya mereka, seperti Jawhar al-Haqā’iq (Esensi Hakikat) oleh Shamsuddin dan Asrār al-’Ārifīn (Rahasia kaum Gnostik) oleh Hamzah Fansuri, pemikiran suisme Ibnu

Arabi sangat dominan. Dua karya di atas sangat menekankan penyatuan

manusia den gan Tuhan” yang dirumuskan dalam konsep martabat tujuh. Tuhan

dalam pandangan mereka melimpahkan wujud-Nya di alam dan manusia secara bertingkat, yang beru jung pada penyempurnaan kesatuan dengan wujud Tuhan (martabat ahadiyat).12

Dalam konteks kajian ini, hal paling penting untuk ditekankan adalah bahwa corak pemikiran suisme ini memiliki makna sangat penting dalam budaya politik Melayu yang berorientasi kerajaan. Dalam hal ini, suisme memberi kontribusi— atau paling tidak sejalan dengan—pemikiran politik yang menekankan keagungan dan kesakralan raja. Salah satu aspek terpenting untuk ditekankan adalah konsep “manusia sempurna (al-insān al-kāmil), yang memang menjadi

salah satu bagian pokok dari suisme wahdat al-wujud. Dan melalui konsep manusia sempurna ini signiikansi suisme dalam budaya politik Melayu bisa dijelaskan (Milner 1983: 40-1). Pengertian manusia sempurna dalam suisme— manusia dengan kualitas spiritual yang bisa mencapai derajat kebenaran Tuhan—paralel dengan konsep raja ideal dalam tradisi politik Melayu-Indonesia,

Di dunia Melayu, suisme berkembang

demikian kuat pada masa kerajaan Aceh. Pada abad ke-16 kita mengenal dua orang tokoh sui terkemuka,

Hamzah Fansuri (w. 1607) dan Shamsuddin

al-Sumatrani (w. 630). Mereka merupakan

ulama kerajaan Aceh, yang hudup pada masing-masing periode kekuasaan ‘Alauddin Ri’ayat Shah (1589-1602) dan penggantinya, Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Dan kedua tokoh sui tersebut menduduki jabatan sebagai Shaikh al- Islam yang bertugas sebagai penasihat raja,

khususnya di bidang agama.

yang฀dirumuskan฀dalam฀istilah฀“raja฀sui”:฀yakni฀seorang฀raja฀yang฀memimpin฀

dan sekaligus membimbing rakyatnya untuk mencapai derajat kesempurnaan hidup, secara material dan spiritual.13

Di dunia politik Melayu, konsep raja sui dengan mudah bisa ditemukan. Konversi raja-raja Melayu menjadi Muslim melalui mimpi bertemu Nabi Muhammad, seperti digambarkan baik Sejarah Melayu (Winstedt 1938: 83) dan Hikayat Raja-Raja Pasai (Hill 1960: 56-7), merupakan salah satu bukti penting untuk diperhatikan. Dalam suisme, mimpi diakui—bahkan dipraktikkan—sebagai bagian penting latihan spiritual para sui. Bahkan, seorang sui terkemuka seperti al-Ghazali (w. 1111), berpandangan bahwa apa yang nampak dalam mimpi adalah simbol (mithāl); ia merupakan sarana dalam proses transmisi pengetahuan keagamaan (Grunebaum 1966: 16). Dan melalui mimpi inilah raja-raja Melayu tidak hanya beralih menjadi Muslim, tapi juga memperoleh legitimasi keagamaan untuk kekuasaan politik mereka. Kedua teks tersebut selanjutnya menghadirkan sejumlah ilustrasi, baik dari kerajaan Malaka maupun Samudra Pasai, di mana raja yang berkuasa memperlihatkan perhatian dan kecendrungan untuk tampil sebagai raja sui (Milner 1983: 40-1).

Raja sui selanjutnya makin kuat mewarnai pemikiran dan praktik politik Islam masa kerajaan Aceh. Hamzah Fansuri, melalui sair suinya, tampak memperoyeksikan raja Aceh yang menjadi patronya, Sulan Alauddin Ria‘ayat Shah (1588-1604) ke dalam posisi tertinggi dalam kerangka suisme. Dia diberi

gelar฀“wali”,฀“kamil”฀dan฀sekaligus฀“kutub”:฀gelar-gelar฀yang฀mengindikasikan฀

derajat tertinggi capaian kesempurnaan manusia dalam domain suisme (Milner 1983: 41-42).14 Lebih dari itu, suisme juga menjadi salah satu dasar bangunan

kerajaan Aceh. Sebagaimana ditunjukkan Brakel (1975: 60-1), satu bangunan di lingkungan istana kerajaan Aceh pada masa kekuasaan Iskandar Tsani, Taman Gairah, sekaligus dirancang sebagai pusat energi spiritual. Bustan al-Salatin

karangan Nuruddin al-Raniri (w. 1658)—sumber informasi tentang Taman Gairah tersebut (Iskandar 1966: 48)—mencatat satu bangunan yang berada tepat di tengah-tengah taman, gunongan, yang bisa ditafsirkan sebagai tempat praktik meditasi raja dalam rangka memperoleh derajat kesempuraan, sebagai raja sui.

Dengan demikian, di dunia Melayu, terutama dalam konteks kerajaan Aceh, suisme telah memberi sumbangan penting dalam memperkuat kedudukan raja. Dan proses itu terus berlangsung bahkan ketika kekuatan baru dalam pemikiran Islam-berorientasi-shari‘ah, neo-suisme, membentuk satu wacana penting dalam peta sejarah intelekual Islam Indonesia. Pada abad ke-17, sejalan dengan peningkatan hubungan dengan Timur Tengah (Reid 1993c: 151-79), pemikiran Islam neo-suisme yang tengah berkembang di Mekkah dan Madinah memasuki Melayu-Indonesia melalui jaringan ulama di kedua dunia Muslim Salah satu aspek

terpenting untuk ditekankan adalah

konsep “manusia sempurna” (al- ins n al-k mil), yang

memang menjadi salah satu bagian pokok dari suisme

wahdat al-wujud. Dan melalui konsep manusia sempurna ini

signiikansi suisme dalam budaya politik Melayu bisa dijelaskan

(Milner 1983: 40-1). Pengertian manusia sempurna dalam suisme—manusia

dengan kualitas spiritual yang bisa

mencapai derajat kebenaran Tuhan— paralel dengan konsep

raja ideal dalam tradisi politik Melayu-

Indonesia, yang dirumuskan dalam

tersebut. Nurud din al-Raniri (w. 1658), Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693), dan Yusuf al-Makassari (1627-1699) merupakan eksponen terkemuka dalam proses transmisi pemikiran Islam tersebut (Azra 1992).15

Di kerajaan Aceh, para ulama ini tidak hanya mendorong pelarangan pemikian suisme wahdat al-wujud oleh Hamzah Fansuri dan Shamsuddin al-Sumarani, tapi juga menggantikan posisi mereka di kraton. Nuruddin al-Raniri dan Abdul Ra‘uf al-Sinkili kemudian menempati posisi sebagai Shaikh al-Islam pada periode kekuasaan masing-masing Iskandar Tsani (1636-41) dan Sultanah Syaiyyat al- Din (1641-75). Hanya saja, berkenaan dengan wacana politik, pemikiran neo- suisme tampaknya tidak memiliki pengaruh yang berarti. Isu pelaksanaan shari‘ah Islam memang mulai diperkenalkan secara eksplisit dalam sejumlah teks Malayu dari kerjaan. Namun, ia masih tetap berada dalam domain pemikiran berorientasi Islam kerajaan. Dalam kaitan ini, Taj al-Salatin menjadi penting untuk dibahas. Sebagaimana ditunjukkan Abdullah (1993: 1993: 35-58), Taj al-Salatin, memiliki kedudukan sentral dalam proses pembentukan tradisi politik dunia Melayu.

Ditulis Bukhari al-Jauhari di lingkungan kerajaan Aceh, sekitar 1603,16 Taj al-

Salatin hadir sebagai nasihat untuk para elit kerajaan, yang “menerangkan pada peri perkataan segala raja-raja dan menteri dan hulubalang dan rakyat

peri฀kerajaan฀…฀dengan฀ibarat฀yang฀ihsan฀dan฀dengan฀rajin฀yang฀sempurna”฀

(Hussain 1992: 5). Bila dibanding teks Melayu lain yang dibahas, khususnya

Sejarah Melayu, teks Taj al-Salatin menunjukkan corak pembahasan yang relatif

Tamansari Gunongan atau Taman Gairah.

Sumber: Dinas Sejarah dan Nilai Budaya, 2013.

Pada abad ke-17, sejalan dengan peningkatan hubungan

dengan Timur Tengah (Reid 1993c: 151-79), pemikiran Islam neo- suisme yang tengah berkembang di Mekkah dan Madinah memasuki

Melayu-Indonesia melalui jaringan ulama di kedua dunia Muslim tersebut. Nuruddin al-Raniri (w. 1658), Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693), dan Yusuf al-Makassari (1627- 1699) merupakan eksponen terkemuka dalam proses transmisi

pemikiran Islam tersebut (Azra 1992).

berbeda. Ketimbang menturkan kisah hidup dan prilaku raja-raja Melayu—sambil tentu saja mengambil pelajaran darinya—Taj al-Salatin justru menghadirkan cerita para Nabi dan khalifah dalam sejarah Islam. Perhatian utama teks tersebut adalah memberikan nasihat moral dan bimbingan dalam rangka membangun suatu kerajaan ideal (Abdullah 1993: 45). Oleh karena itu, nuansa keislaman tampak demikian kentara dalam Taj al-Salatin.

“…pekerjaan฀ nubuwwah฀ [kenabian]฀ dan฀ hukumah฀ [memimpin฀ kerajaan]฀ umpama฀seperti฀satu฀cincin฀dengan฀dua฀permata฀yang฀besar฀harga฀keduanya”฀

(Hussain 1992: 46). Demikian Taj al-Salatin memandang politik sebagai bagian inheren dari agama. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari tugas penguasa kerajaan. Bagi Taj al-Salatin, kekuasaan politik bersifat ilahiah. Tuhan adalah pusat kekuasaan raja, dan selanjutnya kedaulatan sebuah kerajaan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip ajaran Islam menjadi satu keharusan untuk dilaksanakan dalam tugas-tugas politik di kerajaan. Dan hal inilah yang menjadi tekanan Taj al-Salatain. Menurut teks tersebut, eksisistensi suatu kerajaan, daulat, bukan sesuatu untuk dipertanyakan. Permasalahannya, bagaimana daulat dijalankan sehingga bisa mencapai suatu kerajaan ideal.

Dalam kaitan inilah Taj al-Salatin mengetengahkan konsep adil sebagai satu syarat penting bagi tegaknya daulat. Dalam teks tersebut, adil menjadi satu kualiikasi paling mendasar dari raja ideal. Taj al-Salatin mendeinisikan adil sebagai satu kondisi di mana “segala perkataan dan segala perbuatan dan kehendak daripada

ihsan฀itu฀kebajikan฀juga฀dalam฀keduanya฀iu.฀…dan฀barang฀siapa฀daripada฀raja- raja฀yang฀tiada฀ada฀dua฀peri฀ini฀padanya฀tiada฀dapat฀dibilangkan฀raja฀adanya”฀

(Hussain 1992: 64). Konsep adil tampak sedemikian sentral dalam rumusan Taj al-Salatin tentang raja ideal. Selanjutnya, teks tersebut kemudian memerinci

adil ke dalam sejumlah prilaku yang mengindikasikian kondisi kesempurnaan agama dan politik, antara lain: bershabat dengan ulama, mencari kebenaran berdasarkan agama, memiliki perhatian atas kondisi rakyat dan melindungi mereka dari kejahatan, menegakkan kebajikan dan mencegah kemungkaran, dan lain-lain yang dilakukan Nabi dan wali (Hussain 1992: 71-91).

Sejalan dengan itu, Taj al-salatin juga mensyaratkan seorang raja untuk berbudi (ūlī al-albāb) dan berakal, sehingga denganya bisa membedakan antara perbuatan baik dan jahat, bahagia dan celaka, dan selanjutnya keadaan adil dan tidak adil (Hussain 1992: 156-7). “Maka nyatalah tiada dapat tiada akan

segala฀ raja-raja฀ itu฀ daripada฀ budi฀ itu฀ jua”,฀ dermikian฀Taj al-Salatin berujar, “karena raja itu hendaklah mengerti perkataan segala orang supaya dapat

ia฀ menghukumkan฀ antara฀ semuanya฀ itu฀ dengan฀ kebenaran”฀ (Hussain฀ 1992:฀

159). Begitu juga teks tersebut menekankan pentingnya seorang raja untuk

memiliki—atau฀setidaknya฀mengetahui—“ilmu฀kirafah฀dan฀irasah”฀sehingga฀ia฀

bisa mengetahui secara benar watak dasar rakyat, khususnya mereka yang akan diangkat sebagai pejabat kerajaan (Hussain 1992: 14).

Taj al-Salatin mendeinisikan adil sebagai satu kondisi di mana “segala perkataan dan segala

perbuatan dan kehendak daripada ihsan itu kebajikan juga dalam keduanya iu. …dan barang siapa

daripada raja-raja yang tiada ada dua peri ini padanya tiada dapat dibilangkan raja adanya” (Hussain 1992:

Kuatnya nuansa keislaman dalam Taj al-Salatin juga tampak dalam penggunaan gelar-gelar kebesaran raja, seperti sultān, khālifah dan zil Alāah fī al-‘alam. Dalam

hal ini, sejalan dengan konsep adil sebagaimana telah dijelaskan di atas, Taj al- Salatin memiliki pemaknaan berbeda dari sejumlah teks Melayu lain. Meski memang mengakui makna gelar tersebut bagi kebesaran raja, Taj al-Salatin

pada saat yang menekankan pentingnya ajaran Islam dalam praktik-praktik politik raja. Di sini, adil lagi-lagi menjadi kualiikasi yang menentukan. Taj al- Salatin menulis:

Demikian segala wali Allah yang solihin mengerj akan tahta kerajaan, maka jikalau ada raja-raja perbua tannya seperti yang demikian itu, dapatlah dia dikata kan sultan khalifah al-Rahman dan sultan zil Allah i al-alam atau ardi. Maka apabila raja-raja itu lain perinya dan perbuatan nya dengan segala raja-raja yang telah tersebut itu, maka adalah tahta kerajaanya itu mengikuti hawa nafsunya, dan mengerjakan tiada dengan tentunya, dan jahil, dan jika ia tahu melupakan dirin ya, maka raja itulah bayang-bayang iblis dan khalifah setan, seteru Allah taala jua adanya, ialah yang membi- nasakan nama segala raja-raja (Jusuf 1979: 36).17

Hingga di sini, bisa dikatakan bahwa Taj al-Salatin memang menghadirkan suatu corak pemikiran politik yang sangat akrab dengan terma-terma Islam. Dalam

Taj al-Salatin, eksistensi kerajaan dan kekuasaan politik sang raja tidak hanya dirumuskan dalam konsep daulat, seperti halnya Sejarah Melayu. Namun, ia disertai tekanan pada keharusan menjadikan ajaran Islam sebagai satu landasan prilaku politik penguasa di kerajaan, yang dirumuskan dalam konsep adil. Di sini, semangat neo-suisme memang tampak dalam Taj al-Salatin. Setidaknya, teks ini berusaha menjadikan kekuasaan raja berada dalam koridor agama. Hanya saja, tinjauan lebih jauh menujukkan bahwa substansi pemikiran yang diketengahkan teks tersebut tampak berada dalam domain politik-berorientasi- kerajaan. Konsep adil memang menjadi ukuran untuk menentukan kualiikasi raja ideal. Namun, ia tidak pernah berfungsi sebagai sarana untuk evaluasi terhadap riil politik di kerajaan. Seperti halnya Sejarah Melayu, dan teks klasik Melayu lain, kepatuhan dan kesetiaan terhadap raja—bahkan raja zalim—tetap menjadi satu aspek penting dalam pemikiran politik Taj al-Salatin. Dengan argumen menghindari kekacauan (itnah),฀“maka฀kami฀turut฀akan฀hukumnya”฀

(Hussain 1992: 48), demikian Taj al-Salatin bersikap terhadap raja zalim, yang disebutnya berada di bawah bayangan iblis. Untuk lebih lengkapnya, berikut ini adalah kutipan dari Taj al-Salatin (Jusuf 1979: 29-30)18:

Dalam Taj al-Salatin, eksistensi kerajaan

dan kekuasaan politik sang raja tidak

hanya dirumuskan dalam konsep daulat, seperti halnya Sejarah Melayu. Namun, ia disertai tekanan pada keharusan menjadikan

ajaran Islam sebagai satu landasan prilaku

politik penguasa di kerajaan, yang dirumuskan dalam

Adapun yang harus diikui raja itu yang mengikuti hukum Allah ta‘ala dan hukuim Rasul Allah.

Soal: Jikalau raja itu tiada mengikti hukum Allah dan shari‘a Nabi, betapa engkau itu raja durhaka, jah il, dan kair.

Jawab: Yang kami ikut segala raja-raja yang adil melakukan hukum Allah itu dua perkara: pertama, kami ikut perkataannya, kedua, kami ikut segala kerjanya. Adapun segala raja-raja yang salah itu kami iktu katanya dalam tahta kerajaannya, dan tiada kami iktu kerjanya yang salah iu.

Soal: Adapun raja yang salah itu harus kita menyangkal segala katanya dan kerjanya, maka beapa kami ikut kaanya iu.

Jawab: Maka kami ikut katanya itu karena menolak itnah dan fasad dalam negeri jua, jikalau karena bukan kesukaran tiadalah harus kami ikut katanya dan kerjanya.

Bahkan, pemikiran serupa juga dikemukakan Nuruddin al-Raniri, eksponen utama gerakan neo-suisme di Melayu abad ke-17. Seperti tampak dalam kutipan di bawah ini, al-Raniri menegaskan kepatuhan terhadap sebagai satu kehatusan agama, sehingga sikap menetang raja sama sipandang setara dengan khianat kepada Allah. Di sini, lagi-lagi kita melihat bahwa pemikiran neo- suisme al-Raniri tidak berhubungan dengan sikap politiknya terhadap kerajaan. Legitimasi suisme terhadap budaya politik Melayu yang berorientasi-raja, yang dilakukan Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani, tetap eksis dan dipertahankan. Dengan ungkapan lain, kritik al-Raniri terhadap suisme wahdat al-wujud, dan pembaharuan neo-suisme yang dikedepankannya tidak membawa satu perubahan berarti dalam wacana sosial dan intelektual Islam Indonesia pra- kolonial, yang berpihak dan mendukung kerajaan. Melalui Bustan al-Salatin

yang dikarangnya, al-Raniri menulis bahwa “segala yang berbuat khianat akan

segala฀raja-raja฀tak฀dapat฀tiada฀datang฀pula฀ke฀atas฀mereka฀itu฀murka฀Allah”.฀ Selanmutnya,฀dia฀jyba฀menulis.”…฀jangan฀kamu฀berbuat฀khianat฀akan฀segala฀

raja, tak dapat tiada pekerjaan yang demikian itu dinyatakan Allah ta‘ala jua kepadanya (Iskandar 1966: 46).

Al-Raniri menegaskan kepatuhan terhadap sebagai satu keharusan

agama, sehingga sikap menetang raja sama

sipandang setara dengan khianat kepada