• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisionalis dan Reformis: Dua Wajah Islam Indonesia

Sketsa pemikiran keagamaan Muhammadiyah dan Persis dapat dipakai sebagai representasi gerakan reformis di Indonesia. Selain memiliki pengikut yang besar, dua organisasi inilah yang secara intensif mengembangkan rumusan-rumusan ke agamaan. Muhammadiyah memiliki Majlis Tarjih yang khusus menangani persoalan keagamaan (Djamil 1995), sementara Persis memiliki Dewan Hisbah, suatu majlis ulama Persisi yang secara khusus merumuskan pemikiran-pemikiran keagamaan bagi para anggota Persis. Rumusan keagamaan ini diberikan baik dalam bentuk bentuk buku, majalah maupun catatan perdebatan (Rosyada 1999). Secara umum kaum reformis mengikuti metode kaum Salaf dalam memahami agama, yaitu mendahulukan nash atau teks suci. Mereka juga mewarisi pemikir an Ibnu Taimiyah yang cenderung litaralis dalam masalah teo- logis dan ritus. Selain itu, pengaruh Ibnu Taimiyah juga tampak pada seruannya untuk berijtihad dan meninggalkan keharusan bermazhab. Pengaruh lain datang dari Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Muhammad bin Abduh Wahhab yang memperkenalkan model keberagamaan purit an dengan menentang segenap unsur budaya dalam praktik keagamaan.

Paduan antara pola-pola ini melahirkan kombinasi antara kecenderungan literalistik dan rasionalistik. Dalam masalah teologis dan ritus kaum reformis cenderung perpegang teguh pada nash dan bersikap literalistik, sedangkan dalam masalah-masalah di luar bidang-bidang tersebut—seperti etika, politik dan ekonomi—mereka cenderung bersikap rasionalis. Tampak nya, kesesuaian antara kaum reformis Indonesia dan Abduh terletak pada kesamaan visi rasional dalam masalah-masalah di luar teologi. Abduh sendiri dapat dikatakan sepenuhnya rasional dalam melihat seluruh aspek agama. Ia menerapkan supremasi rasio atas teks suci secara penuh, sementara reformis Indonesia hanya

Jika kaum reformis mencapai otentisitas tersebut melalui ijtihad

dengan mengakses langsung pada al- Qur’an dan hadits, kaum tradisionalis mencapainya melalui

menerapkannya secara terbatas. Meskipun demikian, dalam konteks gerakan moderen Indonesia, sisi terpentingnya lebih terletak pada seruan berijtihad atau berpikir rasional terhadap masalah aktual yang sedang dihadapi. Bagi kaum reformis, Islam tampil lebih sebagai ideologi dan bukan sebagai susunan teoretik mengenai pengetahuan ketuhanan. Artinya, di Indonesia, daya tarik gerakan moderen lebih banyak terletak pada program-program sosial-politik dibandingkan reformasi keagaman (Prasetyo et al. 2002: 25-7)

Sementara itu, Islam tradisionalis berangkat dari asumsi keagamaan yang berbeda dari Islam reformis, meskipun tujuannya relatif sama, yakni mencapai otentisitas agama. Jika kaum reformis mencapai otentisitas tersebut melalui ijtihad dengan mengakses langsung pada al-Qur’an dan hadits, kaum tradisionalis mencapainya melalui tradisi. Bagi kaum tradisionalis, kandungan al-Qur’an dan hadits tidaklah mudah dimengerti. Diperlukan persyaratan-persyaratan khusus, seperti ilmu bahasa, sejarah dan logika, yang dapat dipakai untuk mencapai arti yang terkandung dalam dua sumber utama Islam tersebut. Akibatnya, umat Islam yang hidup pada masa kini akan menghadapi kendala besar ketika hendak mengakses al-Qur’an dan hadits secara langsung. Selain persyaratan pengetahuan, jarak waktu dan ruang antarkeduanya tidak memungkinkan terjadinya arus komunikasi imbal balik yang lancar. Untuk menjembatani jarak tersebut, menurut kaum tradisionalis, dibutuhkan jembatan yang mampu menghubungkan keduanya, yaitu tradisi yang telah dibangun oleh para ulama terdahulu. Bagaimanapun cerdik-pandai dan ula ma yang hidup pada masa- masa awal Islam lebih mengetahui secara pasti arah dan tujuan ajaran Islam. Mereka masih berkesempatan mengakses saksi-saksi perjalanan hidup Nabi, kejadian-kejadian sosial penting, wacana keagamaan yang dominan, sehingga pemahaman mereka atas teks suci lebih komprehensif (Dhoier 1984).

Atas dasar asumsi ini kaum tradisionalis memegang erat tradisi Islam yang dibangun para ulama pada masa-masa awal Islam. Oleh karena itu, maksud wajib bermazhab bagi kalang an tradisionalis tidak lain adalah upaya menjalankan perintah agama secara benar sebagaimana yang dijelaskan oleh ula ma awal, pemegang otoritas pentafsiran teks suci. Seperti yang tercatat dalam sejarah, jumlah ulama awal yang merumuskan pehamanan keagamaan cukup banyak, tetapi yang kemudian berpengaruh besar sedikit jumlahnya. Dalam bidang hukum, di antara yang sedikit tersebut adalah Imam Malik, Imam Hanai, Imam Syai’i dan Imam Hanbali. Mereka ini yang oleh kaum tradisionalis Indonesia dijadikan panutan dalam memutuskan perkara hukum. Sementara dalam bidang teologi mereka mengikuti Abu Hasan al-Asy‘ari dan Maturidi dan dalam bidang mistik menganut ajaran Imam Abu Qasim al-Junaid.

Sementara itu, dimensi non-keagamaan juga tampak perlu turut diperhitungkan dalam proses polarisasi reformis-tradisionalis. Pentingnya dimensi ini tentu sangat berakar pada kondisi historis lahirnya gerakan moderen Islam. Mereka secara akrab bersinggungan dengan persoalan yang sedang dihadapi rata- rata umat Islam di seluruh dunia saat itu. Ke nyataan dominan yang menjadi

masalah mereka adalah penjajahan dan keterbelakangan. Bagi wilayah-wilayah yang pernah merasakan keemasan Islam, keterjajahan bukan sekadar hilangnya kemerdekaan tetapi juga musnahnya kebanggaan dan harga diri. Common memory yang tertanam dalam wacana sejarah mereka selalu mengingatkan bahwa Muslim pernah menguasai dunia, dan selama berabad-abad masyarakat Eropa berada di bawah kendali kekuasaan Islam. Akan tetapi, common memory

ini dihadapkan pada realitas yang berbalikan, di mana Muslim adalah bengsa terjajah dan orang Eropa yang menjadi tuannya (lihat Prasetyo et al 2002: 30). Keinginan untuk lepas dari penjajah muncul secara merata dari setiap golongan Muslim. Akan tetapi seruan untuk maju sambil mengadopsi nilai-nilai modernitas hanya lahir dari ke lompok Muslim tertentu. Pilihan terhadap modernitas tampak nya berhubungan dengan peluang seseorang untuk memban dingkan diri dengan masyarakat Eropa. Paling tidak, mereka yang memilih untuk menjadi moderen sadar bahwa modernitas adalah alternatif terbaik. Kesimpulan se- perti ini hanya dapat dirumuskan bila seseorang mempunyai pengetahuan dan informasi mendalam tentang Eropa. Kelompok yang paling memungkinkan adalah kalangan Muslim urban yang tidak saja mengetahui informasi tentang budaya moderen tetapi juga bersentuhan langsung dengannya. Inilah salah satu faktor mengapa gerakan moderen dalam Islam muncul di kota dan cenderung mendapat sambutan baik dari kalangan kota pula. Mereka tidak hanya mementingkan kemerdekaan, tetapi juga kemampuan untuk mengejar keter- tinggalan dari bangsa penjajah yang mereka percayai lebih maju (Prasetyo et al 2002: 31).

Dengan demikian, perbedaan Islam reformis dan tradisionalis tidak hanya terletak pada pandangan keagamaan, tapi juga orientasi budaya. Bahkan perbedaan yang terakhir ini le bih bersifat fundamental dibandingkan perbedaan perspektif keagamaan yang bersifat furu‘iyah. Sebagai mana yang terlihat, sistem kultural menyangkut pandangan hidup, preferensi norma-norma pribadi, struktur dan nilai sosial. Artinya, jika perbedaan antarkeduanya telah menyangkut wilayah kultural, maka sifatnya akan sangat mendasar dikarenakan kepentingan mereka juga berbeda. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh kalangan reformis, seperti keterbukaan, egalitarianisme, system-oriented, atau modernitas juga tampak belum menda pat tempat dalam kehidupan sehari-hari kaum tradisionalis. Sebaliknya, tradisi yang begitu dijunjung tinggi kalangan tradisionalis juga tampak tidak diperlakukan sama oleh kalangan reformis. Bahkan orientasi kehidupan yang terfokus pada wilayah eskatologi sering menjadi sasaran kritik kaum reformis. Luasnya cakupan perbedaan antarkeduanya dalam wilayah kultural ini memberikan pendasaran yang kokoh bagi pembentukan identitas diri serta kelompok bagi masing-masing pihak. Dapat diprediksi kemudian, dikotomi Islam tradisionalis-reformis dalam artian kultural relatif akan bertahan lebih luas dan lama dibandingkan dengan dikotomi dalam wilayah keagamaan. Sebab, wilayah kulturallah yang mengisi identitas dua pihak ini dibandingkan agama (Prsetyo et al 2002: 31-2).

Perbedaan Islam reformis dan tradisionalis tidak hanya terletak pada pandangan keagamaan. Luasnya cakupan perbedaan antarkeduanya dalam wilayah kultural ini memberikan pendasaran yang kokoh

bagi pembentukan identitas diri serta kelompok bagi masing-

masing pihak. Dapat diprediksi kemudian,

dikotomi Islam tradisionalis-reformis dalam artian kultural relatif akan bertahan lebih luas dan lama dibandingkan dengan

dikotomi dalam wilayah keagamaan.