• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pesantren: Basis Institutionalisasi Ulama

Tampil sebagai kelompok elit di kota kerajaan, ulama tentu saja memiliki pengaruh penting dalam kehidupan keagamaan ma syarakat. Sistem sosial- politik dan budaya yang berpusat pada raja (Milner 1982), selanjutnya semakin memperkuat keberadaan dan otoritas ulama di tengah masyarakat. Mereka bertindak tidak saja sebagai penterjemah nilai-nilai Islam dalam masyarakat, tapi sekaligus tampil sebagai elit kebesaran kerajaan. Di hampir semua kerajaan di Melayu-Nusantara, ulama senantiasa hadir sebagai kelompok elit yang memiliki tugas-tugas pokok di bidang keagamaan (Milner 1983: 34-35). Lebih dari itu, juga di bawah lindungan pihak kerajaan para ulama menulis sebagian buku- buku keagamaan, yang disebut kitab kuning, selain tentu saja sejumlah kegiatan lain yang sesuai dengan posisi formal yang diembannya di lingkungan kerajaan. Namun demikian, sistem politik dan budaya yang berpusat pada raja (the rajaship) pada saat yang sama menjadikan keberadaan ula ma sangat rentan terhadap berbagai perubahan sosial-politik di kerajaan. Kasus pelarangan– bahkan pengharaman—karya-karya dan pemikiran suisme wahdat al-wujud

Hamzah Fanshuri di kerajaan Aceh merupakan satu bukti penting dari hal demikian. Pembaharuan Islam neo-Suisme—jika kita memang setuju istilah Azra (1992)—yang dibawa Nuruddin al-Raniri yang belajar antara lain pada Ibrâhîm al-Kûrânî di Mekah memang telah memberi satu pemikiran baru yang

menggantikan pemikiran suisme wahdat al-wujud yang dinilai menyimpang dari ajaran asli Islam (sharî‘ah). Hanya saja, bila mempertimbangkan konteks

sosial-politik kerajaan Aceh abad ke-17, pembaharuan al-Raniri tampaknya sulit bisa diterima tanpa kehendak politik raja. Maka dari sudut pandang ini pula, pemikiran politik keagamaan para ulama Melayu-Nusantara, setidaknya hingga abad ini, berada pada jalur yang mendu kung pihak kerajaan. Istilah ‘raja sui’, untuk menyebut kesitimewa an raja, merupakan satu arus utama dalam pemikiran keagamaan Islam di Melayu-Nusantara (Milner 1983: 38-39; Yunus 1995).

Pengalaman politik ulama di Jawa bahkan menghadirkan bukti lebih kuat dari rentannya hubungan ulama-raja. Ketika Amangkurat I naik tahta (1646- 1677) di kerajaan Mataram, menggantikan Sultan Agung (1613-1646), para ulama yang berbasis di pantai uta ra Jawa harus menghadapi sikap politik yang menentang keberadaan mereka sebagai ulama-plus-raja di wilayah mereka ma- sing-masing (de Graaf dan Pigeaud 1989: 299-304). Sikap politik ini dilakukan sejalan dengan hasratnya menjadikan seluruh wilayah Jawa langsung berada di bawah kontrol kekuasaan Mataram. Pada 1652 Amangkutrat melarang secara resmi setiap bentuk transaksi perdagangan dan memerintahkan penutupan secara permanen seluruh pelabuhan di pantai utara Jawa. Bahkan, Amangkurat

I dianggap bertanggungjawab terhadap pembunuh an para ulama pesisir Jawa yang berjumlah sekitar lima sampai enam ribu, termasuk keluarga dan anak- anak mereka (Ricklefs 1981: 66-67).

Perkembangan ini tentu saja mengakhiri kekuasaan politik ulama di pantai utara Jawa, dan sekaligus melahirkan hubungan yang tidak harmoinis antara ulama dengan pihak kerajaan. Hal terakhir ini bahkan semakin kuat ketika pihak kerajaan kemudian mengangkat sebagian ulama pada posisi formal sebagai penghulu kerajaan, sehingga melahirkan dua corak ulama dengan orientasi so sial-keagamaan yang berbeda: ulama–penghulu yang berada di lingkungan kraton dan menjadi bagian dari elit priyayi Jawa (Hisyam 2001), dan ulama- pesantren yang berbasis di pesantren-pesantren yang tersebar di wilayah pedalaman Jawa (Dhoier 1982). Dan sejak saat itu pula ulama relatif berjarak dengan perkembang an politik di kerajaan; Mereka lebih terkonsentrasi pada proses pembentukan umat yang berbasis di pesantren-pesantren dan juga tarekat-tare kat, khususnya di Jawa. Penting ditekankan bahwa meski memang tidak khas Jawa, di mana lembaga pendidikan Islam de ngan yang serupa juga terdapat di luar Jawa, dayah di Aceh dan surau di Minang kabau (Azra 1988), proses historis yang berbeda dalam pembentuk an pesantren tampaknya telah membuat ulama Jawa mengalami proses pelembagaan yang jauh lebih kuat. Dalam konteks inilah fenomena pesantren kerap dilihat lebih sebagai fenomena khas Jawa.

Berakhirnya kekuasaan ulama-plus-raja di pantai utara Jawa kerap kali dilihat sebagai akhir dari keberadaan Islam pesisir yang kosmopolit, dan sekaligus awal dari proses pembentukan Islam tradisional di pedalaman yang berbasis pesantren. Hary J. Benda (1980: 29-31), misalnya, berpendapat bahwa perubahan politik di atas bukan hanya telah mengakhiri pemukiman Muslim yang bersifat urban, dinamis dan agresif, tapi sekaligus menandai kejayaan Islam sinkretis yang tidak murni, di mana Islam bekerja dalam kerangka sistem budaya tradisional. Hal serupa dalam beberapa segi juga bisa dilihat pada karya Geertz tesebut di atas. Dia berpendapat bahwa pesantren memang telah berfungsi sebagai salur an penetrasi Islam ke wilayah pedalaman Jawa yang lebih luas. Namun, pada saat yang sama, Geertz juga mencatat satu proses pergeseran orientasi keagamaan di mana budaya Islam pesisir yang berorientasi internasional, lebih ortodoks, kosmopolit dan dinamis, telah berubah menjadi hanya sekadar lembaga pendidikan al-Qur’an (Geertz 1959-60: 231-232).

Bila diamati lebih jauh, penggambaran dikotomis Islam pesisir vis-a-vis pedesaan sebenarnya tidak bisa dilakukan secara sederhana, di mana yang pertama mewakili Islam ortodoks dan kosmopolit sementara yang kedua mewakili Islam tradisonal yang bersifat lokal dan sinkretis. Seperti akan dijelaskan berikutnya, pesan tren sebenarnya justru befungsi sebagai pusat ortodoksi Islam, yang

Berakhirnya kekuasaan ulama-plus-raja di pantai utara Jawa kerap

kali dilihat sebagai akhir dari keberadaan

Islam pesisir yang kosmopolit, dan sekaligus awal dari proses pembentukan

Islam tradisional di pedalaman yang berbasis pesantren.

berada sejajr dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam di dunia Muslim secara umum. Hal yang perlu dijelaskan dalam konteks ini adalah tentang konsep kota, yang menjadi basis awal proses perkembangan Islam di Melayu- Nusantara. Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa kota–-tepatnya kota dagang dan sekaligus negara kota—pada masa awal perkembangan Islam tidak bisa dilihat sebagai komunitas dan budaya, di mana nilai-nilai urban dan kosmopolit menjadi satu ciri utama kehidupan masyarakat. Seperti halnya struktur kota Islam abad pertengahan (Lapidus 1969: 47-79), kota-kota yang tumbuh pada masa awal perkembangan Islam di Melayu-Nusantara sebenarnya lebih sebagai ruang (space) yang secara fungsional menjadi tempat dari berbagai kegiatan baik bersifat keagamaan maupun sosial-ekonomi dan politik.

Dilihat฀sebagai฀“ruang”,฀kota฀memang฀menjadi฀pusat฀transaksi฀perdagangan,฀

bahkan berskala internasional (Meilin-Reolofsz 1962; Reid 1993: II) di mana para pedagang internasional banyak ditemukan; dan juga di kota kekuasaan politik tumbuh dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (Pigeaud dan de Graaf 1989; Ricklefs 1981: 14-19); demikian pula adalah di kota ulama datang dan bertindak sebagai agen Islamisasi yang berbasis di mesjid di lingkungan kerajaan. Dan pada saat yang sama kita juga menyaksikan tempat-tempat pertapaan yang menjadi basis bagi tumbuhnya praktek-praktek keagamaan mistikal (Pires 1944: I, 177). Dengan demikian, gambaran tentang kota membuat kita sulit untuk sampai pada kesimpulan bahwa ia mewakili Islam kosmopolit dan ortodoks seperti disebutkan di atas.

Oleh karena itu, berdasarkan perspektif di atas, apa yang terjadi menyusul runtuhnya kerajaan-kerajaan Islam pesisir lebih merupakan pergeseran pusat ortodoksi Islam dari kerajaan ke lembaga-lembaga pendidikan, khususnya pesantren yang tersebar luas di luar wilayah inti kerajaan. Dengan demikian, peristiwa historis di atas justru telah menjadikan ulama memiliki posisi sosial yang sema kin sentral di tengah masyarakat. Melalui pesantren dan tarekat yang didirikan, para ulama kemudian menjadi satu kekuat an sosial-politik tersendiri yang bebas dari kontrol politik pihak kera jaan. Pendirian pesantren, seperti akan dijelaskan nanti, merupakan satu bentuk paling konkrit dari apa yang disebut

sebagai฀ “institusionalisasi”฀ dan฀ bahkan฀ “professionalisasi”฀ ulama฀ (Gilbert฀

1980: 105-134). Dibanding misalnya dengan peran dan kedudukan ulama pada abad ke-17 dan juga awal abad ke-18, di mana mereka berada di bawah patronase kerajaan, ulama pada abad ke-19 telah memiliki bentuk lembaga dan selanjutnya orientasi kegi atan yang sedemikian mapan yang berbasis di pesantren-pesantren.

Di atas sebidang tanah wakaf, biasanya diberikan seorang elit desa, para ulama—di Jawa juga biasa disebut kyai—membangun komplek pesantren, yang umumnya terdiri dari mesjid, rumah kyai, dan asrama untuk para santri (Dhoier 1982: 44-59). Di dalam kompleks bangunan itulah, ulama mendidik santri-santri tentang berbagai ilmu dan praktek keagamaan; mulai dari masalah ibadah, tata

bahasa Arab, akidah, sampai pada masalah tasawuf. Peran inilah yang disebut

oleh฀Geertz฀dalam฀karyanya฀yang฀telah฀disebut฀di฀atas฀sebagai฀“pialang฀budaya”฀

(Geertz 1959-60: 233-234), yang sekaligus membawa mereka menjadi elit desa yang berperan melampaui batas-batas keagamaan; para ulama juga terlibat dalam masalah-masalah sosial dan politik, setidaknya untuk masyarakat di mana pesantren didirikan.

Hingga saat ini, kita tidak bisa mengetahui secara pasti kapan pesantren mulai berdiri dan atas dasar apa model pendidikan pesantren dibangun. Sebagian sarjana Belanda awalnya cenderung memandang pesantren sebagai berasal dari tradisi Indonesia pra-Islam, mandala yang biasa digunakan sebagai tempat pertapaan (de Graaf dan Pigeaud 1989: 246). Sarjana lain melihat keberadaan pesantren sebagai memiliki hubungan erat dengan desa perdikan —desa yang diberi kesitimewaan karena memang dirancang untuk tugas-tugas keagamaan (Steenbrink 1984: 1965-172). Berdasarkan survey Belanda tentang pendidikan pribumi pada 1819, pesantren Tegal Sari, didirikan pada 1742, dianggap sebagai pesantren tertua di Indonesia (van der Chijs 1864: 215; lihat pula van Bruinessen 1995: 25). Selain itu, referensi terhadap pesantren juga ditemukan dalam Serat Centini, salah satu sumber penting tentang sejarah dan budaya Jawa. Teks tersebut mencatat sebuah pesantren di Gunung Karang, Banten, yang digambarkan sebagai tempat belajar agama Islam yang sangat terkenal di Jawa (Drewes 1969; juga van Bruinessen 1995: 25-26).

Meski demikian, lepas dari berbagai pendapat di atas, gambar an lengkap tentang pesantren di Indonesia baru diperoleh melalui sumber-sumber Belanda pada abad ke-19. Berdasarkan statistik resmi pemerinteh kolonial, pada abad ke-19 terdapat sekitar lima belas ribu (15.000) pesantren yang tersebar di

Snouck Hurgronje sedang memberikan nasehat kepada pemerintah Hindia Belanda.

Sumber: Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid III, 2012.

Jawa dan Madura, dengan jumlah santri sekitar 230.000 orang (van den Berg 1886: 518-519). Data ini selanjutnya diperkuat catatan perjalanan Snouck Hurgronje, juga di abad ke-19, ke berbagai daerah di Indonesia. Dari catatan perjalanan ini, tergambar dengan jelas bahwa pesantren pada abad ini telah berkembang sedemikian rupa menjadi satu-satunya sarana pendidikan bagi Muslim Indonensia. Dae rah yang dikunjungi antara lain adalah Garut di Jawa Barat, di mana dia mencatat Pesantren Caringin yang dipimpin Haji Muhmmad Rai‘i, Pesantren Sukaregang (Kiyai Adrangi). Daerah lain di Jawa Barat adalah Cianjur, Bandung, Bogor, Cirebon, dan sejumlah daerah lain yang memang memiliki pesantren. Selain itu, catatan perjalanan ini juga merekam pesantren di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Timur. Sebagaimana halnya di Jawa Barat, pesantren-pesan tren yang dikunjungi umumnya dipimpin haji atau kiyai, bahkan tidak sedikit di antara mereka pernah menunut ilmu di Mekah (Wijoyo 1997: 36-45).

Lebih dari itu, aspek terpenting dari sumber-sumber terakhir ini adalah identiikasi tentang karya-karya keagamaan, atau kitab kuning, yang tersirkulasi dan digunakan di dunia pesantren. Kitab-kitab yang beredar bahkan sudah bisa diklasiikasi berdasarkan bidang-bidang ilmu keislaman tradisional, seperti ikih, tasawuf, tauhid atau ushuluddin, tafsir, bahasa Arab, dan sebagainya (van den Berg 1886: 524-555; van Bruinessen 1995: 131-171; Steenbrink 1984: 154- 157). Kita tidak perlu menulis ulang nama-nama kitab dan pengarangnya di sini. Satu hal yang sangat penting ditekankan adalah bahwa tradisi intelektual di pesantren pada abad ke-19 sudah terintegrasi sedemikian rupa dalam tradisi intelektual Islam di dunia Muslim, khususnya Mekkah dan Madinah. Oleh karena itu, dimensi internasional memang menjadi penting dipertimbangkan dalam rangka memahami dinamika serta perkembang an pesantren di Indonesia. Penelitian lebih belakangan tentang pesantren memang berusaha melihat dimensi internasional tersebut (van Bruinessen 1995: 17-40), yang selama ini relatif terabaikan dari kajian para sarjana tentang lembaga pendidikan Islam tradisional ini (Dhoier 1982; Steenbrink 1986). Mempertimbangkan jaringan yang sudah terbentuk bahkan sejak abad ke-17 (Azra 1994), perkembangan Islam di Timur Tengah, khususnya Mekkah dan Madinah, dan juga Kairo di Mesir, memang memiliki peran sangat penting dalam pembentukan wacana intelelktual Islam Melayu-Indonesia, termasuk dunia pesantren. Di abad ke- 19, peran Timur Tengah ini, khususnya Mekah, memang demikian sentral dalam pembentukan wacana sosial-intelektual Islam di Melayu-Nusantara. Bertambahnya jumlah jemaah haji akibat perbaikan sistem transportasi laut (Vredenbregt 1962: 91-154; Mcdonnel 1986), telah membuat Mekkah menjadi jantung dari dinamika Islam di Melayu-Nusantara abad ke-19 (Hurgronje 1931: 291). Para pelajar Melayu-Nusantara di Mekah, ‘komunitas Jawi’, telah membentuk satu kelompok sosial tersendiri yang, meski terbagi ke dalam berbagai etnis, telah membawa mereka terlibat dalam interaksi intensif dan diskusi mengenai topik-topik yang berkenaan dengan perkembangan Islam di

Melayu-Nusantara (Hurgronje 1931: 260). Komunitas Jawi inilah yang kemudian menjadi aktor terkemuka dan menentukan dalam per kembangan Islam Melayu- Indonesia. Mereka, seperti telah disinggung sebelumnya, menjadi pendiri dan sekaligus pemimpin pendidikan pesantren.

Dalam konteks perkembangan pesantren abad ke-19, penting ditekankan, pengaruh Mekah tampaknya bukan terletak pada model pendidikan yang menjadi dasar pendidikan pesantren. Karya klasik Snouck Hurgronje, yang hingga kini merupakan terlengkap dalam membahas komunitas Jawi di Mekah, hanya me nyatakan bahwa komunitas Jawi belajar di halaqah-halaqah yang terdapat di Masjid al-Haram di bawah bimbingan shaykh Mekah, yang biasa disebut Shaykh al-‘Ulamâatau Rektor (Hurgronje 1931: 153-175; dan 1996: 59-

102; Yatim 1999: 205-212). Oleh karena itu, aspek paling penting dari Mekah adalah bahwa melalui komunitas Jawi, tradisi pembelajaran Islam di pesantren, dan juga Islam di Melayu-Indonesia secara umum, semakin terintegrasi secara intensif ke dalam arus utama perkembangan Islam yang berbasis di Timur Tengah. Salah satu bukti penting dari hal itu adalah semakin banyak jumlah dan beragamnya kitab-kitab yang digunakan di pesantren di Indonesia, yang juga dipakai secara luas di berbagai lembaga pendidikan Islam di dunia Muslim, khususnya mereka yang berailiasi dengan mazhab Syai‘i (van den Berg 1886). Oleh karena itu, sejauh menyangkut dimensi internasional pesantren, pengalaman di negara Muslim lain menjadi penting diperhatikan. Dalam hal ini, saya berpendapat peran al-Azhar di Kairo, Mesir tampaknya perlu dibahas. Hingga saat ini kita memang tidak memiliki data memadai tentang komunitas Jawi di al-Azhar pada abad ke-19. Data yang ada selama ini berasal dari paruh pertama abad ke-20 (Roff 1970: 73-88). Namun, karena beberapa alasan yang akan dijelaskan, hal itu bukan berarti bahwa al-Azhar tidak memiliki makna penting dalam perkembangan Islam di Indonesia abad ke-19. Meski tidak memberi pembahasan rinci, Snouck Hurgronje mengakui pentingnya al-Azhar sebagai pusat keilmuan mazhab Syaf‘i (Hurgronje 1931: 185). Pengakuan serupa juga dikemukakan sarjana lain, van den Berg (1886: 523), di mana dia melihat kemungkinan para ulama Indonesia menuntut ilmu di Kairo, selain tentu saja di Mekah. Hal yang hampir sama juga bisa dilihat pada Veth (1868: 2, 438). Dia mencatat bahwa keberadaan komunitas Jawi di Kairo sebenarnya sudah dikenal. Selain memberi beberapa catatan tulisan sejumlah sarjana Barat tentang riwâq al-Jâwî, tempat belajar dan mondok komunitas Melayu di Kairo,

tulisan Veth memberi kesan kuat bahwa sejumlah masyarakat Muslim Indonesia sudah sedemikian akrab dengan al-Azhar. Veth menulis bahwa Mesir adalah tempat yang baik untuk menuntut ilmu, meski hanya sedikit Muslim Indonesia yang belajar di sana.

Kenyataan di atas sejalan dengan sumber-sumber sejarah Mesir. Karya sejarah yang ditulis Ali Mubarak sekitar 1880-an, Khitât al-Tawfîqiyyah (1889: 4 vol.),

salah satu sumber lokal terpenting mengenai sejarah Mesir abad ke-19 (Baer

Para pelajar Melayu- Nusantara di Mekah,

‘komunitas Jawi’, telah membentuk satu kelompok sosial tersendiri yang, meski

terbagi ke dalam berbagai etnis, telah

membawa mereka terlibat dalam interaksi

intensif dan diskusi mengenai topik-topik

yang berkenaan dengan perkembangan

Islam di Melayu- Nusantara. Komunitas

Jawi inilah yang kemudian menjadi aktor terkemuka dan

menentukan dalam perkembangan Islam Melayu-Indonesia. Mereka, seperti telah disinggung sebelumnya, menjadi pendiri dan sekaligus pemimpin pendidikan

pesantren.

Snouck Hurgronje.

Sumber: Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid III, 2012.

1968: 13-27) mencatat keberadaan pelajar Melayu-Indonesia di al-Azhar yang tinggal di sebuah riwâq khusus untuk mereka, riwâq al-Jâwî (Mubarak

1888: IV, 20-21; Heyworth-Dunne 1939: 25-28). Sebagaimana diketahui, pada pertengahan abad ke-19 al-Azhar mengalami perkembangan penting, menyusul perubahan sistem ekonomi oleh Ismail Pasha yang mencabut kebijakan untuk memungut pajak atas wakaf lembaga-lembaga pendidikan, yang sempat diberlakukan penguasa sebe lumnya, Muhammad Ali. Meski memang tidak menyentuh sistem dan metode pembelajaran, di mana al-Azhar masih menggunakan sistem pendidikan tradisional (Mitchell 1988: 80-82), kebijakan Ismail Pasha tampaknya cukup membuat al-Azhar mengalami perkembangan dan menarik semakin banyak pelajar internasional untuk belajar Islam di sana. Pada period itu al-Azhar memiliki sekitar tiga puluh enam riwâq, yang dihuni

pelajar-pelajar dari ber bagai negara Muslim (Heyworth-Dunne 1939: 395-405; Dodge 1961: 201-207). Khusus riwâq al-Jâwî, Ali Mubarak bahkan mencatat

seorang bernama Ismail Muhammad al-Jâwî yang bertindak sebagai shaykh,

pemimpin dan sekaligus guru bagi para pela jar yang tinggal di riwâq tersebut

(Mubarak 1888: IV, 22; Abaza 1994: 38-39).

Kita tentu saja dihadapkan pada pertanyaan siapa ulama Indonesia yang pernah tinggal di riwâq al-Jâwî, dan siapa pula sebenarnya Isma‘îl Muhammad al-

wî฀yang฀ditulis฀Mubarak฀di฀atas?฀Laffan฀(2003:฀128-129)฀berusaha฀memberi฀

penjelasan bahwa nama yang disebut Mubarak adalah Shaykh Isma‘îl al-

Minangkabawi, seorang ulama Indonesia di Mekah dan seorang yang pernah terlibat dalam menyebarkan tarekat Naqsabandiyah di Singapura pada 1850. Shaykh Isma‘îl, demikian menurut Laffan, tampaknya se ngaja memilih tinggal

di Kairo guna memperoleh ruang lebih bebas untuk mengekspresikan gagasan- gagasan keagamaannya. Ini tentu saja berhubungan dengan fakta bahwa dia pernah terlibat polemik dengan Akhmad Khatib tentang tarekat Naqshabandiyah, yang kemudian membuatnya terusir dari Mekah dan karya-kar yanya dibakar di sana. Laffan dalam hal ini tampaknya seraya membedakan nama Isma‘îl al-Jâwî

di atas dari Shaykh Ismâîl ‘Abdul Muttalib yang terekan dalam arsip Belanda.

Shaykh Ismâîl yang disebut terakhir ini berasal dari generasi lebih belakangan.

Ia lahir di Padang pada 1868/9, dan tiba di Kairo pada 1894 setelah beberapa waktu tinggal dan belajar di Mekah dengan Akhmad Khatib.

Lepas dari semua itu, informasi di atas setidaknya memberi indikasi kuat bahwa, seiring meningkatkanya komunitas Jawi di Mekah sebagaimana digambarkan Snouck Hurgronje, al-Azhar pada saat yang sama juga semakin menarik minat sebagian pelajar Me layu-Indonesia. Kasus Nawawi al-Bantani (1913-1897) memberi bukti kuat terhadap berlakunya kecenderungan demikian. Dia dalah seorang seorang ulama Indonesia di Mekah yang meperoleh penghargaan tinggi dari murid-muridnya dari komunitas Jawi (Hurgronje 1931: 270), seorang yang karya-karyanya digunakan secara luas di dunia pesantren di Indonesia (Wijoyo 1997: 372-380), salah seorang arsitek pesantren (Masud 1997: 97-139); dia pada saat yang sama adalah seorang yang memiliki hubungan dekat dengan

tradisi intelektual di Mesir. Hubungan ini terjalin tidak saja karena sebagian besar karyanya dicetak di sana, tapi justru melalui hal itu dia dikenal sebagai seorang ulama karena reputasi keilmuannya. Dia mendapat sebutan ‘Sayyid ‘ulama al-Hijaz’ (Johns 1980: 176), dan, meski tidak didukung bukti historis, dia diberitakan pernah diundang ulama Mesir untuk memberi ceramah di al-Azhar (Chaidar 1979: 85-86; Masud 1998: 89-90). Lebih dari itu, dalam karyanya, terutama al-Yusûs al-Yaqûtiyya, Nawawi menyebut sektar 24 sumber yang

diidentiikasi ditulis ulama Mesir abad ke-19 (Wijoyo 1997: 124-134).

Selain itu, sejauh menyangkut perkembangan abad ke-19, pen tingnya al- Azhar juga bisa dijelaskan bahwa sistem pendidikan di lembaga tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dari pesan tren. Ini terutama bisa dilihat pada fakta bahwa kitab-kitab yang dipakai dalam kurikulum pembelajaran di al-Azhar (Heyworth-Dunne 1939: 41-84) sebagian besar juga digunakan di Indonesia seperti diidentiikasi van den Berg (1888), kecuali untuk bidang ikih di mana al-Azhar mengajarkan kitab-kitab dari empat mazhab. Dengan demikian, antara Melayu-Indonesia-Mekah-Kairo sangat mungkin sudah terjalin hubungan intensif pada abad ke-19, dan kemudian semakin instensif lagi pada awal abad ke-20. Dan bila mempertimbangkan data-data yang ada, hubungan dengan Kairo tampaknya terjadi setelah komunitas Jawi tinggal di Mekah; dari sana mereka kemudian mengetahui keberadaan lembaga pendi dikan Islam al-Azhar. Asumsi ini didukung fakta bahwa pada abad ke-19, sejumlah ulama Mesir memang datang ke Mekah dan mereka diberitakan bisa berailiasi dengan penduduk asli Mekah. Di antara mereka adalah Hafîz Wahbâh yang bergerak di

bidang intelektual, Fu‘âd Shakîr (sastrawan), Ibrâhim al-Shûrî, Yûsuf Yâsîn, dan

lain-lain (Yatim 1999: 200). Hubungan Mekah-Kairo bahkan semakin intensif pada penghujung abad tersebut. Sebagaimana ula ma-ulama dari negara