• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akhir masa peralihan Hindu ke Islam sebenarnya tidak bisa dibatasi secara jelas. Hal ini disebabkan karena karya-karya dari abad XV dan XVI M masih terus digubah kembali pada abad-abad berikutnya. Penyaduran dan penciptaan kembali hikayat-hikayat itu juga dilakukan secara intensif dalam bahasa-bahasa Nusantara lain, seperti Jawa, Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Sasak, Banjar, Minangkabau, Makassar, dan Mandailing hingga abad XIX M. Tetapi pada akhir abad XVI M dan awal abad XVII M, bersamaan dengan berkembangnya Kesultanan Aceh Darussalam sebagai pusat baru kegiatan penulisan sastra Melayu, gelombang kedua pemikiran Islam bermula. Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya.

Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan untuk memusatkan diri pada renungan-renungan tasawuf. Terutama dalam ikhtiar menjawab masalah hubungan manusia dengan Yang Abadi. Gejala dominan kedua ialah upaya untuk merumuskan sistem kekuasaan

berdasarkan cara pandang Islam. Kecenderungan kedua ini memunculkan hasrat untuk menyusun teori kenegaraan yang ideal.19 Pada masa inilah muncul

tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang berpengaruh bagi perkembangan intelektual Islam di Nusantara dalam abad-abad selanjutnya. Tokoh-tokoh Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani (disebut juga Syamsuddin Pasai) bersama murid-muridnya dapat dikatakan mewakili gejala dominan pertama. Sedangkan gejala dominan kedua diwakili oleh Bukhari al- Jauhari dan Nuruddin al-Raniri. Dua tokoh yang disebut terakhir ini muncul pada paruh pertama abad XVII M, ketika Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat keagamaan, kebudayaan dan kegiatan politik Islam. Pada masa inilah kitab-kitab keagamaan–ikih, teologi dan tasawuf–untuk pertama kalinya ditulis secara sistematis dan ilmiah.

Ciri lain dari gelombang kedua ini ialah suburnya penulisan puisi-puisi keagamaan, khususnya syair-syair tasawuf. Para penyair Melayu tidak lagi sekadar menyadur dan menggubah kembali karya-karya Arab dan Parsi, melainkan mulai benar-benar melahirkan karya yang orisinal dan ekspresif. Pengaruh dari munculnya karya-karya semacam ini ialah bangkitnya sebuah kesadaran baru, khususnya kesadaran pentingnya individualitas. Karya-karya para penulis Aceh ini memperlihatkan bahwa, diakui atau tidak, Islam telah merupakan bagian dari ’diri yang sah’ dan utuh dalam sejarah peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa Nusantara. Seperti dikatakan Tauik Abdullah,

”Dalam฀gelombang฀kedua฀ini,฀teori฀kekuasaan฀yang฀bertolak฀dari฀pendekatan฀

suistik mulai dirumuskan. ’Negara’ tidak lagi sekadar releksi dari kedirian sang raja tetapi juga pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan

yang฀harmonis฀antara฀’raja’฀dan฀’rakyat’,฀dan฀antara฀makhluk฀dan฀Khalik”20

Masjid Indrapuri merupakan peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam.

Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.

Hamzah al-Fansuri. Tokoh utama gejala pertama ialah Hamzah al-Fansuri, seorang sui terkemuka, ahli agama, sastrawan besar dan pengembara. Dia lahir di tanah Fansuri atau Barus, dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad XVI dan XVII M. Sejak akhir abad XVI M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali al-Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.

Hamzah al-Fansuri mempelajari tasawuf dalam tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syaikh Abd al-Qadîr al-Jîlanî.

Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Makkah, Madinah, dan Yerussalem, dia kembali ke tanah airnya dan mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Dia juga pernah mengembara ke Iran, Afghanistan, India, Siam, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumbawa, dan Kalimantan. Sebagai sui, dia menempuh jalur pemikiran wujûdiyah Ibn `Arabî, Sadru al-Dîn al-Qunawi, dan

Fakhr al-Dîn `Iraqî. Sedangkan karangan-karangan sastranya diilhami terutama

oleh karya-karya Farîd al-Dîn al-`Attâr, Jalâl al-Dîn al-Rûmî dan Abd al-Rahmân

al-Jâmi’. Semua nama itu merupakan sui terkemuka Arab dan Parsi pada abad

XIII–XV M.

Hamzah al-Fansuri menulis banyak kitab, tetapi yang dijumpai hingga kini ialah tiga risalah tasawufnya, masing-masing Syarab al-`Âsyiqîn (Minuman Orang

Berahi), Asrâr al-`Ârifîn (Rahasia Ahli Makrifah) dan al-Muntahî. Syarab al-‘Âsyiqîn

dianggap sebagai karyanya yang pertama dalam bahasa Melayu dan sekaligus risalah tasawuf pertama dalam bahasa Melayu.21 Versinya yang lain diberi judul

nat al-Muwahhidîn (Perhiasan Ahli Tauhid). Sedangkan syair-syair tasawufnya

yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian.22 Syair-syairnya

dianggap sebagai ’syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya.23

Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai

ruba’i, yaitu sajak empat baris dalam dua misra’.24

Syair-syairnya punya ciri-ciri khusus yang sebagian darinya kemudian ditransformasikan menjadi konvensi puitika dan estetika sui Melayu. Banyaknya kata-kata dan istilah Arab, khususnya dari al-Qur’an dan Hadis, dalam syair- syairnya menunjukkan bahwa pada masa hidupnya proses islamisasi kebudayaan Melayu berlangsung dahsyat. Dan sang penyair sudah memainkan peranan utama sebagai pelaku dari proses islamisasi itu. Ciri-ciri penting syair-syair Hamzah al-Fansuri ialah:

Pertama, pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, `asyiq, dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan

Syekh Abdulqadir Jailani.

dari gagasan sui tentang peringkat ruhani (maqâm) tertinggi di jalan

keruhanian atau ilmu suluk.

Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sui Arab dan Parsi. Di antara tamsil atau citraan konseptual yang diambil dari al-Qur’an dan dijadikan pusat renungan sui ialah al-bayt al-ma`mur (QS al-Tûr/52: 4) untuk menyebut

Ka’bah dan kalbu; qaba qawsayn awadna (QS al-Najm/53: 9) yang artinya:

“jarak฀ lingkaran฀ dua฀ busur”,฀ menggambarkan฀ dekatnya฀ Tuhan฀ dengan฀

manusia; ayna-ma tuwallû fa tsamma wajh Allâh (QS al-Baqarah/2:115),

“ke฀mana฀pun฀kau฀memandang฀akan฀tampak฀wajah฀Allah”;฀kuntu kanzan.

Ketiga, dalam setiap bait terakhir ikat-ikatan syairnya sang sui selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota tempat dia dibesarkan. Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan pengalaman kesuian yang dicapainya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya individualitas dalam penciptaan puisi.25

Keempat, penggunaan tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang melukiskan pengalaman dan gagasan kesuian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifah, tatanan wujud, dan lain-lain. Misal anggur atau arak adalah lambang kemabukan mistik. Simbol lain yang digunakan penyair ialah burung (untuk ruh), ikan yang menyatu dengan lautan (persatuan mistik); kekasih atau Mahbûb (Tuhan);

kapal yang berlayar ke Bandar Tauhid (perjalanan ruhani seorang beriman); bukit rantang atau puncak gunung tempat seorang syiq bertemu dengan

Kekasihnya; Ka’bah (lambang hati seseorang yang imannya teguh) dan lain-lain. Tamsil-tamsil ini ditransformasikan ke dalam lingkungan budaya dan alam kehidupan Melayu. Anggur diubah menjadi arak dan serbat, gelas anggur diubah dengan takir dari daun pisang. Selain itu terdapat cukup banyak tamsil yang diambil dari alam kehidupan dan budaya Melayu, seperti kayu, kapur barus, perahu dengan perlengkapannya dan masih banyak lagi tentunya.

Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitis lainnya, syair-syair Hamzah al-Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sui melakukan wirid, zikir, dan

samâ’, yaitu konser musik keruhanian yang disertai dengan zikir, nyanyian

Ciri lain yang menonjol dalam pembaharuan Hamzah al-Fansuri dalam sastra Nusantara ialah penekanannya terhadap individualitas. Penekanan terhadap individualitas berkenaan dengan hakikat pengalaman kesuian itu sendiri. Schimmel26 mengatakan, bahwa “Tasawuf berarti, pada periode perumusannya,

terutama sebagai pendalaman ajaran Islam secara ruhaniah, suatu pengalaman pribadi tentang rahasia inti dari agama Islam, yaitu tauhid, ‘penyaksian (musyâhadah)฀bahwa฀Tuhan฀itu฀Esa”.฀

Untuk menjelaskan bahwa yang diungkapkannya dalam puisi-puisinya merupakan pengalaman pribadi, dalam bait-bait penutup untaian syairnya (terdiri dari 13 sampai 21 bait) penyair selalu membubuhkan nama dan takhallus-

nya. Dalam konvensi sastra sui ini dimaksudkan sebagai pembebasan jiwa, yang bentuknya antara lain ialah fanâ(hapusnya nafsu rendah disebabkan menyatu

dengan Kehendak Yang Abadi). Bentuk lain pembebasan jiwa ialah makrifah. Kutipan berikut ini menunjukkan hal tersebut:

Hamzah Fansuri di negeri Melayu Tempatnya kapur di dalam kayu Asalnya manikam di manakan layu Dengan ilmu dunia di manakan payu Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus Seperti kayu sekalian hangus Asalnya laut tiada berarus Menjadi kapur di dalam barus

(Ikat-ikatan XXVI, MS Jak. Mal. 83)

Dalam฀฀syair฀“Hamzah฀Fansuri฀di฀negeri฀Melayu/Tempatnya฀kapur฀di฀dalam฀kayu...”฀

dia menggunakan tamsil pohon barus yang merupakan penghasilan utama kota kelahirannya. Tamsil itu digunakan untuk menggambarkan pengalaman

fanâ,฀seperti฀dikatakannya฀“Seperti฀kayu฀sekalian฀hangus”.฀Kadang-kadang฀ia฀

menggantikan citraan kayu dengan tubuh jasmaninya sendiri sebagai tempat yang batin (jiwa) melakukan `uzlat sehingga akhirnya mendapat pencerahan dan menyaksikan bahwa dirinya sebenarnya lebih merupakan makhluq ruhani

dibanding makhluq jasmani:

Hamzah `uzlat di dalam tubuh Ronanya habis sekalian luruh Zahir dan batin menjadi suluh Olehnya itu tiada bermusuh

Kadang perjalanan seorang ahli tasawuf digambarkan sebagai pelayaran menuju Bandar Tauhid. Perjalanan tasawuf pada hakikatnya juga merupakan penyelaman ke dalam lautan wujud. Untuk itu ditampilkan tamsil-tamsil penyelaman ke dalam lautan. Penyiar menggunakan tamsil kenaikan di antaranya juga memperlihatkan akrabnya penyair dengan budaya dan kehidupan masyarakat Melayu. Keindahan pakaian wanita Melayu yang tinggal di rumah yang berpatam birai dan pintu-pintunya penuh dengan ukiran indah, dijadikan tamsil untuk menyampaikan gagasan tasawufnya.

Subhan Allah terlalu kamil Menjadikan insan alim dan jahil Dengan hamba-Nya da’im Ia washil Itulah mahbub yang bernama adil

Mahbubmu itu tiada berlawan Lagi alim lagi bangsawan Kasihnya banyak lagi gunawan Olehnya itu beta tertawan Bersunting bunga lagi bermalai Kainnya warna berbagai-bagai

Tahu ber(sem)bunyi di dalam sakai (=makhluq) Olehnya itu orang terlalai

Ingat-ingat kau lalu lalang

Berlekas-lekas jangan kau mamang Suluh Muhammad yogya kaupasang Supaya salim jalanmu datang

Rumahnya `ali berpatam birai Lakunya bijak sempurna bisai Tudungnya halus terlalu pingai Da’im ber(sem)bunyi di balik tirai Jika sungguh kau `ashiq dan mabuk Memakai khandi pergi menjaluk Ke dalam pagar yogya kaumasuk

Barang ghayr (=yang selain) Allah sekalian kau amuk

Gambaran perjalanan naik dari tempat rendah ke tempat tinggi untuk melukiskan perjalanan ruhani sui dari nafsu rendah menuju Diri Hakiki ini sesuai dengan gambaran tentang tatanan wujud dalam ontologi sui. Tatanan tersebut dari bawah ke atas ialah: Pertama, alam nâsût (alam jasmani, disebut juga alam al-

mulk, alam syahâdah); kedua, alam malakût (alam kejiwaan, psyche, disebut

juga alam mîtsâl; ketiga, alam jabarût (alam ruhani); dan keempat alam lâhût

(alam ketuhanan).27 Seseorang yang mengenal tatanan alam yang sedemikian

itu akan dapat menyempurnakan dirinya secara maksimal dan berpeluang pula mengenal hakikat dirinya.