• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buah dari kesadaran baru yang juga tidak kalah menonjol ialah semakin dirasakan pentingnya penulisan karya bercorak sejarah dan undang-undang. Dalam tradisi kecendekiawanan Muslim, penulisan karya sejarah menempati urutan penting karena terkait langsung dengan ajaran agama. Al-Qur’an menyebutkan bahwa ayat-ayat Tuhan terbentang di alam semesta dan diri manusia. Ayat-ayat Tuhan yang di alam semesta bukan hanya fenomena-fenomena alam, melainkan juga berbagai peristiwa sejarah. Berbeda dengan fenomena alam yang kurang melibatkan peranan manusia, sejarah sepenuhnya melibatkan peranan manusia. Pembukaan dan pendirian sebuah negeri, peperangan, naik turunnya sesuatu dinasti atau daulah pemerintahan, penghancuran dan pembangunan kota, pelayaran ke negeri-negeri jauh, pribadi dan akhlak tokoh politik, pemerintahan, agama dan intelektual, yang mengubah jalannya sejarah dan menentukan perkembangan peradaban, sangat menarik perhatian cendekiawan atau sastrawan Muslim sejak abad VII dan VIII M.

Dimulai dengan Hikayat Raja-raja Pasai dan kemudian Sejarah Melayu, yang telah mulai ditulis pada zaman Kesultanan Malaka pada abad XV M, karya bercorak sejarah kemudian ditulis secara intentif di pusat-pusat kegiatan politik Islam pada abad XVII hingga abad XIX M. Selain karya-karya yang telah disebutkan, karya bercorak sejarah yang juga dapat digolongkan awal tarikh penulisannya ialah Hikayat Aceh yang ditulis pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Karya lain yang ditulis sesudah Hikayat Aceh ialah Bustân al-Salâtîn karya

Dalam tradisi kecendekiawanan Muslim, penulisan

karya sejarah menempati urutan penting karena terkait

langsung dengan ajaran agama.

Nuruddin al-Raniri, khususnya Bab II yang fasal-fasal permulaan menerangkan sejarah nabi-nabi dan raja-raja, sedangkan fasal 12 mengenai sejarah Aceh yang mencapai puncak kegemilangannya pada zaman Iskandar Muda dan Iskandar Tsani (1637-1641 M).

Karya bercorak sejarah sangat banyak dijumpai dalam khazanah sastra Melayu dan Jawa pada zaman Islam, melampaui zaman sebelumnya. Di antara karya yang terkenal dalam bahasa Melayu ialah Hikayat Merong Mahawangsa

(tentang sejarah Kedah), Hikayat Banjar dan Kota Waringin, Hikayat Johor, Salasilah Kutai, Hikayat Patani, Hikayat Siak, Misa Melayu, Salasilah Melayu dan Bugis, Salasilah Raja-raja Brunei, Hikayat Pahang, Sejarah Raja-raja Riau, Hikayat Mokoko (Bengkulu), Hikayat Palembang, Hikayat Upu Daeng Manambon, Hikayat Maulana Hasanuddin (sejarah penyebaran agama Islam di Banten),

Tuhfat al-Nafîs (karya Raja Ali Haji), Hikayat Bengkulu, Hikayat Tuanku Imam

Contoh Silsilah Sultanah Nahrisyah dari abad ke-13 – ke- 16 M.

Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.

Bonjol, Hikayat Syaikh Jalaluddin, Hikayat Rasulullah yang Jatuh kepada Sunan Giri Kedaton, dan lain-lain. Dalam sastra Jawa, Sunda, dan Madura karya bercorak sejarah disebut babad. Istilah ini baru muncul sejak berkembangnya agama Islam. Di antara babad yang terkenal ialah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Demak, Babad Mataram, Babad Giyanti, Babad Madura, Babad Pasundan, Babad Cirebon, Babad Sumenep, Babad Besuki, Serat Babad Dipanegara, dan lain-lain.

Sejauh mengenai sejarah sebuah kerajaan atau beberapa negeri yang merupakan sebuah kerajaan besar, terdapat ciri umum yang sama atau mirip di antara karya-karya bercorak sejarah itu. Apabila seorang penulis menceritakan masa lampau yang jauh, maka digunakan unsur mitos dan legenda yang hidup dalam masyarakat. Sarana mitos atau legenda kadang digunakan secara simbolik, kadang-kadang sebagai sarana untuk memberikan legitimasi kepada raja dan keturunannya yang berkuasa. Sejarah Melayu misalnya menceritakan

bahwa฀raja-raja฀Melayu฀merupakan฀keturunan฀Iskandar฀Zulkarnain.฀Setelah฀itu฀

baru sejarah yang sebenarnya mulai dipaparkan. Jika dimulai dari sejarah masa lampau yang dekat, unsur mitos dan legenda tidak dipaparkan, seperti misalnya tampak dalam Bustân al-Salâtîn fasal 12 dan Tuhfah al-Nafîs. Ini jelas berbeda

dengan penulisan sejarah zaman Hindu. Raja-raja dalam historiograi Hindu disebutkan sebagai titisan Dewa, khususnya Wisynu. Perbedaannya yang lain ialah dalam historiograi Islam, tarikh mulai disebutkan dengan jelas.

Ciri umum karya bercorak sejarah ialah sebagai berikut: (1) Menceritakan asal- usul raja; (2) Menceritakan keturunan raja-raja; (3) Mengisahkan pembukaan sebuah negeri oleh seorang raja dan asal-usul penamaan negeri yang baru dibuka; (4) Menceritakan bagaimana agama Islam berkembang di negeri bersangkutan, siapa tokoh-tokoh yang memainkan peranan penting dalam penyebaran itu dan bagaimana kemudian Islam dipraktikkan dalam berbagai aspek kehidupan; (5) Menceritakan keadaan negeri, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dari awal hingga masa paling akhir ketika buku itu ditulis. Kadang pemaparan peristiwa yang lebih akhir ditambahkan oleh para penyalin kitab itu. Berkenaan dengan kedatangan dan perkembangan agama Islam, hikayat- hikayat itu dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama ialah seperti Hikayat Aceh, Misa Melayu, Hikayat Pahang, dan Hikayat Johor. Hikayat- hikayat ini tidak mengemukakan kisah kedatangan agama Islam karena pada waktu ditulis, Islam sudah dianut oleh masyarakat luas dan telah pula berkembang pesat. Sebagai gantinya yang diceritakan ialah adat istiadat dan kebiasaan raja serta masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan ajaran Islam, penyelenggaraan upacara keagamaan dan hari raya. Kelompok kedua, termasuk

Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawi, dan lain-lain. Kitab- kitab ini dimulai dengan menceritakan jauh sebelum agama Islam datang dan kemudian bagaimana agama Islam mula-mula berkembang.

Dalam Sejarah Melayu, misalnya, berbagai hal yang berkenaan dengan agama Islam dipaparkan secara agak rincu. Setelah upacara pengislamannya, raja lantas pergi mempelajari agama kepada seorang ulama terkemuka Makhdum Syaikh Abdul Aziz. Pelajaran paling awal ialah tatacara salat. Berkenaan dengan adat istiadat dan larangan, disebutkan, misalnya, bagaimana raja berangkat ke masjid di bulan Ramadan, salat tarawih dan kemudian salat Id. Dikemukakan beberapa kutipan hadis dan pepatah Arab berkenaan dengan dosa dan pahala. Juga diceritakan datangnya ulama penting dari negeri Arab yang menetap di Malaka untuk mengajar agama, serta singgahnya dua orang ulama dari Jawa dalam perjalanan menuju Pasai dan Makkah. Dua tokoh tersebut kelak menjadi wali terkemuka, yakni Sunan Giri dan Sunan Bonang.

Kadang juga diceritakan hubungan kerajaan Islam yang satu dengan yang lain. Hikayat Banjar, misalnya, menyebutkan bagaimana Demak menerima agama Islam dan bantuan apa yang diberikan raja Demak dalam mengislamkan Banjarmasin. Diceritakan pula peranan orang Jawa dalam mendirikan Kota Waringin. Demak menerima Islam setelah Raja Majapahit kawin dengan putri raja Pasai yang beragama Islam.

Dalam periode terakhir dari gelombang kedua pemikiran Islam, yaitu setelah mantapnya kerajaan-kerajaan Islam, maka mulailah sastra kenegaraan dan undang-undang ditulis. Di antara sastra kenegaraan yang ditulis pada zaman kejayaan Aceh selain j al-Salâtîn ialah Bustân al-Salâtîn (diuraikan nanti).

Karya-karya kenegaraan sebenarnya tidak banyak, namun pengaruhnya sangat besar bagi penulisan karya bercorak sejarah dan undang-undang, Dalam sastra sejarah, sering nasihat-nasihat tentang pemerintahan dikutip dari sastra kenegaraan. Misalnya dalam Salasilah Kutai, raja Majapahit yang dimintai nasihat

Peta pengaruh kekuasaan Demak meliputi Pulau Jawa, selatan Sumatra dan Kalimantan.

Sumber: Indonesia Dalam Arus Sejarah, 2012.

oleh raja Kutai yang baru memeluk agama Islam tentang seluk-beluk memimpin pemerintahan yang baik, dengan senang hati mengutip bagian-bagian yang relevan dari j al-Salâtîn. Bagi sastra undang-undang sendiri, sastra kenegaraan

merupakan rujukan utama di samping adat istiadat yang berlaku serta sumber- sumber al-Qur’an, hadis, dan ikih dari madzab Sunnah wa al-Jamaah.

Sastra undang-undang tidak kalah banyaknya ditulis seperti karya bercorak sejarah. Berdasarkan cara pengambilan keputusan, sastra undang-undang dibagi dalam dua kelompok, yaitu: (1) Kumpulan Undang-undang Adat Tumenggung, dan (2) Kumpulan Undang-undang Adat Perpatih. Sedangkan mengenai isinya dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) Undang-undang berkaitan dengan raja, pembesar kerajaan dan administrasi pemerintahan; (2) Undang- undang tentang kriminalitas dan hukumannya; (3) Undang-undang berkenaan dengan aturan dalam masyarakat seperti perkawinan, perceraian dan waris; (4) Adat istiadat raja-raja dan pembesar kerajaan. Penyusunan undang-undang ini tidak sepenuhnya diambil dari tradisi Islam, sering juga memasukkan unsur lokal dan Hindu.28

Dalam Adat Tumenggung keputusan dilakukan dari atas dan tidak didasarkan musyawarah. Dalam Adat Perpatih keputusan didasarkan atas musyawarah. Termasuk dalam Undang-undang Adat Tumenggung ialah Hukum Kanun Malaka (banyak versi), Undang-undang Palembang, Undang-undang dalam Pegangan Moko-moko (Bengkulu), Undang-undang Aceh, Undang-undang Johor, Undang-undang Jambai, Adat Raja-raja Melayu, Adat Aceh, Undang- undang Kedah, Undang-undang Laut Melaka, dan lain-lain. Yang ditulis pada abad XIX : Tamarat al-Muhimmah, Muqaddimah fî Intizâm, Itqân al-Muluk bi

Ta`dîl al-Suluk. Sedangkan yang termasuk Undang-undang Adat Perpatih ialah

Undang-undang Minangkabau, Tambo Minangkabau, Kitab Kesimpanan Adat Minangkabau, Undang-undang Sembilan Puluh Sembilan (Negeri Sembilan, Malaysia), dan lan-lain.

Penulisan kitab undang-undang ini mengandung banyak unsur sastra. Misalnya uraian tentang ‘kawin semenda’ dalam Undang-undang Adat Perpatih. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa suami mesti tinggal di rumah istri dan disebut orang semenda atau penumpang. Yang berkuasa di rumah itu mamak, saudara dari istrinya. Hubungan orang semenda dengan ninik mamak

diumpamakan฀ sebagai฀ “Mentimun฀ dengan฀ durian”,฀ dan฀ dinyatakan฀ sebuah฀

prosa berirama:

Orang semenda di tempat semenda Jika cerdik teman berunding

Jika bodoh disuruh arah Tinggi banir tempat berlindung Rimbun daun tempat berlindung

Disuruh pergi, dipanggil datang,

Yang patah disuruh menunggu jemursan Yang pekak disuruh mencucuh meriam Yang berani dibuat kepala lawan Kalau kaya hendakkan emasnya Kalau alim hendakkan ilmunya

Dalam sastra undang-undang yang membicarakan seluk pemerintahan, dibicarakan misalnya cara-cara seorang raja tampil sebagai pemegang tampuk pemerintahan. Dalam kitabnya Tamarat al-Muhimmah Raja Ali Haji misalnya mengatakan bahwa ada tiga sebab munculnya seorang raja dan kemunculannya sah dilihat dari hukum Islam: (1) Bay`at dari para ulama; (2) Istikhlaf, telah ditetapkan untuk menggantikan raja sebelumnya; (3) Taghlab, dengan cara merebut kekuasaan dari raja sebelumnya. Jika raja yang diturunkan takhta itu tidak adil atau zalim, maka cara demikian diperbolehkan. Dalam buku itu juga dikemukakan tata tertib pengadilan, tugas seorang qadi.