• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legitimasi Islam untuk Kekuasaan Politik: Beberapa Isu Seputar Ulama dan Kerajaan

Semua penjelasan di atas menunjukkan bukti hubungan struktural antara Islam dan politik, yang selanjutnya menjadikan ulama memiliki peran penting di kerajaan. Peran penting ulama di atas juga didukung budaya politik Melayu, yang memang memandang raja sebagai pusat dari seluruh aspek kehidupan rakyat di kerajaan, termasuk kehidupan keagamaan. Raja tidak hanya diyakini sebagai pemilik wilayah dan rakyat kerajaan, tapi juga sebagai pribadi yang tercerahkan (boddhisatva), yang membawa warganya ke arah kemajuan dan peningkatan spiritual (Milner 1983: 31-2). Dengan demikian, kerajaan diartikan

sebagai฀ “kondisi฀ memiliki฀ raja”.฀ Raja฀ dianggap฀ sebagai฀ penjelmaan฀ dari฀

eksistensi kerajaan, dan rakyat hidup di bawah sang raja (Milner 1982; 1983: 31). Budaya politik inilah yang menjadi dasar dari pembentukan wacana intelektual

Islam฀yang฀berkembang,฀yang฀di฀sini฀disebut฀sebagai฀“berorientasi-kerajaan”.฀

Kehadiran Islam di dunia Melayu melahirkan proses reorientasi budaya poilitik pra-Islam. Dan dalam reorintasi inilah peran ulama bisa dijelaskan. Mereka menjadi aktor intelektual dalam penterjamahan Islam dalam kerangka budaya politik Melayu yang berorientasi raja.

Kita mulai dengan Sejarah Melayu.6 Meski kerap dikategorikan sebagai

sastra sejarah (Winsedt 1969: 158-62), tidak diragukan lagi teks ini memiliki makna penting dalam wacana intelektual Islam Indonesia pra-kolonial. Mempertimbangkan baik masa penulisan—yang berlangsung ketika Islam telah menjadi satu kekuatan sosial dan politik di dunia Melayu (Braginsky 1993: 7-10)—maupun substansinya yang sangat akrab dengan terma-terma Islam,

Sejarah Melayu hadir sebagai satu bukti penting dari penterjemahan Islam ke dalam budaya Melayu-Indonesia. Teks ini berakar sangat kuat dan karenanya memiliki makna kultural di lingkungan Melayu yang tengah mengalami proses Islamisasi demikian intensif (Errington 1975: 53; Day 1984: 141).7 Dan karena

itulah, Sejarah Melayu menjadi teks pertama yang dibahas di sini.

“…฀Adapun฀kami฀bukan฀dari฀bangsa฀jin฀dan฀peri.฀Bahwa฀kami฀daripada฀anak฀ cucu฀ Raja฀ ฀ Iskandar฀ Dzulkarnaen”฀ (Winstedt฀ 1969:฀ 55).฀ Demikian฀Sejarah Melayu menuturkan genealogi raja-raja Melayu sebagai berasal dari keturunan

Iskandar฀ Zulkarnain.฀ Dalam฀ teks฀ tersebut฀ Iskandar฀ Zulkarnain฀ digambarkan฀

sebagai seorang raja Muslim yang agung, pemegang kekuasaan politik yang membentang dari barat hingga ke dunia timur; teguh melaksanakan ajaran Islam; dan berjasa melakukan Islamisasi di setiap wilayah yang ditaklukkan. Tegasnya, Sejarah Melayu menuturkan kisah Iskandar ini demikian penting dan rinci, sehingga bagian pertama teks cendrung dianggap sebagai “episode

Iskandar”฀(Ras฀1968:฀129).฀

Raja tidak hanya diyakini sebagai pemilik wilayah dan rakyat kerajaan, tapi juga sebagai pribadi yang tercerahkan (boddhisatva), yang membawa warganya ke arah kemajuan dan peningkatan spiritual.

Dengan demikian, kerajaan diartikan sebagai “kondisi memiliki raja”. Raja

dianggap sebagai penjelmaan dari eksistensi kerajaan, dan

rakyat hidup di bawah sang raja.

Tentu saja, Sejarah Melayu bukan satu-satunya teks yang memuat cerita Iskandar. Hampir semua teks klasik Melayu, khususnya yang termasuk dalam teks sastra kraton, memasukkan cerita Iskandar dan mengklaimnya sebagai asal keturunan dari raja-raja Melayu.8 Bahkan, terdapat hikayat yang secara khusus berisi

cerita Iskandar, Hikayat Iskandar Zulkarnain (Winstedt 1969: 92-5).9 Di sini, hal

penting฀untuk฀ditekankan฀adalah฀bahwa฀kisah฀Iskandar฀Zukarnain—khususnya฀

sebagaimana terdapat dalam teks Sejarah Melayu—memiliki makna politik sangat penting dalam rangka memberi legitimasi politik untuk raja-raja Melayu, yang didasarkan pada tradisi Islam. Genealogi, seperti dicatat Milner (1982: 83), merupakan salah satu unsur penting dari perangkat kebesaran kerajaan. Dan cerita Iskandar adalah salah satu wujud konkretnya. Ia merupakan salah satu upaya raja-raja Melayu membangun citra kepahlawanan, yang memang diperlukan dalam rangka mengukuhkan budaya politik berorientasi-raja di tengah masyarakat yang telah beralih menjadi Muslim (Renard 1993: 261-4). Oleh karena itu, cerita Iskandar memang menekankan watak supranatural seorang penguasa yang sakral dan sangat berkuasa.

Di Melayu-Nusantara, citra kepahlawanan ini muncul sebagai satu ciri penting dalam tradisi sastera dan politik yang berkembang pada periode yang menjadi pembahasan ini (Winstedt 1969: 92-134). Untuk menyebut hanya beberapa contoh, bisa dicatat bahwa teks Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanaiyah merupakan teks Melayu yang muncul hampir bersamaan dengan

Hikayat Iskandar (Winstedt 1969: 95-7; 105-7; Brakel 1975). Lebih dari itu, seperti halnya Hikayat Iskandar, dua teks di atas juga mengedepankan igur penguasa Muslim yang memiliki watak sejajar dengan yang terdapat dalam cerita Iskandar. Amir Hamzah digambarkan dalam teks tersebut sebagai seorang tentara yang perkasa jauh sebelum masa nabi Muhammad (Winstedt 1969: 96). Hal serupa selanjutnya bisa dilihat dalam Hikayat Muhammad Hanaiyah. Teks tersebut sengaja diarahkan untuk mengagungkan kematian Hasan dan Husain, cucu Khalifah Ali, dalam perang Karbala yang terkenal ketika melawan penguasa dinasti Umayyah, tepatnya Khalifah Yazid ibn Abi Sufyan (Brakel 1975: 1-6). Dari

sini,฀bisa฀dikatakan฀bahwa฀cerita฀Iskandar฀Zulkarnain––dan฀dua฀tokoh฀tersebut฀

di atas––membentuk satu isu penting dalam tradisi politik Islam dunia Melayu. Dan cerita tersebut telah memberi landasan keagamaan bagi kekuasaan politik Melayu yang berorientasi pada raja.

Sejalan dengan cerita Iskandar, wacana politik Islam-berorientasi kerajaan juga bisa dilihat pada konsep baru berkenaan dengan kekuasaan, yang dirumuskan dalam bahasa politik yang sudah demikian terlembaga di Islam, atau––mengutip A.

Bausuni฀(1975:฀13)––฀“bahasa฀Muslim”.10 Dalam hal

ini, ketimbang menganggap raja sebagai “reinkrnasi

dewa”฀ di฀ bumi,฀ dunia฀ Melayu฀ merumuskannya฀

Naskah Hikayat Amir Hamzah.

Sumber: Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam, 2011.

dalam daulat, satu konsep yang diadopsi dari tradisi politik Islam. Daulat di dunia Islam digunakan mengacu pada eksistensi kekuasaan suatu negara. Berasal dari bahasa Arab, d-w-l,฀ berarti฀ “beriputar฀ atau฀ mengganti”,฀ istilah฀daulat telah berkembang menjadi sebuah konsep politik yang jelas mengacu pada kekuasaan seorang penguasa di suatu dinasti, dan akhirnya suatu negara di dunia Muslim (Lewis 1988: 35-36).11

Dalam politik Melayu, istilah daulat digunakan mengacu pada kekuasaan kerajaan, dengan tentu saja terdapat sejumlah muatan lokal yang mewarnai digunakannya istilah tersebut. Daulat pada dasarnya berarti “elemen keagamaan dalam sistem

kerajaan”฀ (Wilkinson฀ 1932a:฀ II,฀ 261).฀ Karena฀ itu,฀ istilah฀ tersebut฀ menunjuk฀

pada unsur-unsur politik yang bersifat supranatural dan konsekuensinya erat berhubungan dengan kekuasaan sakral raja. Istilah daulat diperkenalkan dalam politik Melayu lebih diarahkan untuk mengganti––atau tepatnya memberi makna baru––konsep andeka฀dari฀budaya฀politik฀Hindu-Budha฀––”satu฀istilah฀yang฀berarti฀

bahwa kekuatan Dewa senantiasa hidup dalam kedaulatan raja dan menjaganya dari gangguan orang jahat yang berusaha melecehkan raja (Wilkinson 1932b: 80). Dalam teks-teks Melayu klasik, istilah daulat umumnya diungkapkan dalam bentuk do’a, yang diarahkan untuk memberkati raja yang baru naik tahta (Winstedt 1947: 137). Daulat dalam hal ini dibacakan dalam satu upacara ritual politik yang mengharapkan bahwa raja yang baru berkuasa mampu memimpin kerajaan dan masyarakat dalam bimbingan Tuhan. Do’a tersebut berbunyi, “Daulat Tuanku,

semoga฀jaya฀selamanya฀memimpin฀kerejaan฀ini”฀(Wilkinson฀1932b:฀79).฀Dalam฀

Hikayat Raja-Raja Pasai, penggunaan istilah daulat seperti demikian nampak sangat jelas. Teks tersebut menggambarkan bahwa istilah daulat digunakan dalam satu upacara penganugrahan Sultan Malik al-Saleh, raja Samudra Pasai, yang memeluk Islam (Hill 1960: 58). Istilah daulat digunakan dalam konteks ini pada upacara politik bagi raja yang baru naik tahta dan menyatakan diri masuk Islam.

Karena itu, memperhatikan kondisi di mana daulat digunakan, bisa dipasikan bahwa istilah tersebut memiliki makna penting bagi eksistensi kekuasaan politik suatu kerajaan. Dan ini berarti bahwa istilah daulat dalam praktik-praktik politik raja-raja Melayu merupakan landasan ideologis yang memberi justiikasi bahwa mereka, raja-raja Melayu, legitimate untuk berkuasa di kerajaan dan menjadi pelaksana politik terhadap masyarakat. Pada titik ini, daulat bahasa politik yang sangat esensial. Daulat mengandung aspek keagamaan yang berfungsi menambah aura kebesaran kerajaan. Dengan demikian, raja yang berkuasa, ber-

daulat, berlandaskan sebuah ideologi keagamaan.

Asumsi ini selanjutnya diperkuat kenyataan bahwa istilah daulat digunakan sejalan dengan gelar-gelar kebesaran kerajaan yang telah demikian berkembang dalam tradisi Islam, khususnya gelar zill Allāh fī al-‘ālam (bayangan Allah di bumi). Gelar kebesaran ini ––bersama dengan gelar khālifah dan sultān–– telah berkembang

dalam politik Islam sebagai mengacu terutama pada unsur-unsur Tuhan yang

Daulat di dunia Islam digunakan mengacu

pada eksistensi kekuasaan suatu negara. Berasal dari bahasa Arab, d-w-l,

berarti “beriputar atau mengganti”, istilah daulat telah berkembang menjadi sebuah konsep politik yang jelas mengacu

pada kekuasaan seorang penguasa di suatu dinasti, dan akhirnya suatu negara

inheren terdapat dalam sistem politik kerajaan: bahwa kekuasaan politik raja- raja Muslim berasal dari Tuhan (Lewis 1988: 45-6). Dalam wacana politik Melayu, pengadopsian dan pemakaian gelar-gelar kebesaran Islam tersebut tentunya memiliki dampak penting bagi kekuasaan politik kerajaan. Gelar-gelar tersebut digunakan untuk menekankan kebesaran dan kemuliaan sang raja dengan atribut- atribut ketuhanan, memberinya berbagai hak dan previlase, serta menjadikannya berbeda dari rakyat pada umumnya.

Dari perspektif ini, istilah daulat฀tidak฀bisa฀diartikan฀semata฀sebagai฀“kedaulatan”฀

(sovereignty)฀ atau฀ “kekuasaan”฀ (power) dalam pengertian dewasa ini. Istilah tersebut lebih merupakan kualitas ketuhanan yang inheren melekat dalam diri raja-raja Melayu (Errington 1975: 118). Diartikan demikian, dalam konsep daulat

raja฀memiliki฀semacam฀“kekuasaan฀yang฀dianugrahkan฀Tuhan”฀atau฀pulung dalam

tradisi Jawa, yang menjadikan mereka mampu menjalankan kekuasaan di kerajaan (Khalid-Thaib 1981: 309). Dengan ungkapan lain, dalam daulat kekuasaan raja eksis dan juga dengan daulat raja berkuasa secara legitimate di kerajaan. Oleh karena itu, isilah daulat digunakan berlawanan dengan durhaka. Berasal dari kata dalam bahasa Sankrit, drohaka, berarti dosa, durhaka memiliki makna politik spesiik yang mengacu pada sikap tidak setia (disloyalty) terhadap kekuasaan yang syah, yang ber-daulat (Wilkinson 1932a: 275-6). Istilah durhaka dalam wacana politik Melayu berkembang sebagai satu konsep politik yang bermakna satu kondisi menentang kekuasaan politik sang raja.