• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada zaman Islam puisi mengalami perkembangan pesat dalam kesusastraan Melayu. Ia kadang-kadang lebih efektif dalam menyampaikan pengalaman keagamaan dan mistik dibanding prosa. Perkembangan pesat puisi Melayu Islam pada abad XVI dan XVII M, serta keanekaragaman jenisnya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain merupakan sarana yang efektif dalam mengungkapkan perasaan orang Melayu yang telah dipengaruhi nilai-nilai Islam, dan juga selain merupakan sarana yang efektif dalam mengungkapkan pengalaman keagamaan dan mistik, sejak lama orang Melayu–sebagaimana bangsa Nusantara yang lain– menyukai pengucapan puitis dalam menyampaikan gagasan.

Dilihat dari sumbernya, keanekaragaman bentuk puisi Melayu pada zaman Islam dapat dibagi ke dalam empat kelompok: (1) Bentuk puisi yang ditransformasikan dari tradisi lisan menjadi tradisi tulis yang telah berkembang sebelum Islam. Termasuk dalam kelompok ini ialah pantun, gurindam, talibun, seloka, dan mantera. Pantun, gurindam dan talibun hanya berbeda jumlah baris, tetapi

kerangkanya sama terdiri dari sampiran dan isi. Jumlah baris sampiran dan isi sama banyaknya. Pantun terdiri dari empat baris, sampiran 2 baris dan isi dua baris. Gurindam dua baris, 1 baris ampiran dan 1 baris lagi isi. Talibun delapan baris. Seloka adalah bentuk puisi yang berasal dari sastra Sanskerta, biasanya terdiri dari empat baris, tanpa mengenal pembagian sampiran dan isi. Seloka Melayu biasanya berisi sindiran atau ejekan; (2) Bentuk puisi yang bersumber dari tradisi Arab Parsi. Yang populer ialah ‘syair; (3) Bentuk puisi yang bersumber dari sastra Parsi seperti ghazal, nazam, ruba’i, kit`ah dan matsnawi. Bentuk- bentuk puisi ini diperkenalkan oleh para penulis Melayu sebagai sisipan dalam hikayat-hikayat seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Seribu Satu Malam dan

j al-Salâtîn. Sebagian besar bentuk-bentuk puisi ini ditulis mengikuti aturan

yang berlaku dalam persajakan Parsi. Semua bentuk puisi Parsi jarang dipakai setelah abad XVII M, tetapi memberi lahirnya bentuk puisi baru; (4). Bentuk puisi yang ditranformasikan dari sumber Parsi seperti teromba atau puisi berirama. Sumbernya ialah matsnawi, tetapi disesuaikan dengan cita rasa persajakan Melayu. Bentuk puisi lain seperti bidal dan pepatah, mungkin sudah ada sebelum zaman Islam sebagaimana jampi atau mantra. Di antara bentuk puisi yang paling sering digunakan ialah pantun, gurindam, syair, dan teromba atau bahasa berirama.

Pantun. Seperti telah dikemukakan, pantun adalah puisi empat baris yang terdiri dari sampiran dan isi. Tiap baris pada umumnya terdiri dari 8 hingga 12 suku kata, dengan pola sajak akhir AAAA atau ABAB. Sampiran biasanya melukiskan lingkungan alam dan budaya orang Melayu, sedangkan isi memuat maksud atau pesan moral yang ingin diungkapkan. Kaitan antara sampiran dan isi terletak pada persamaan atau kemiripan bunyinya pada setiap kata yang digunakan, kadang pada asosiasi citraan yang dilahirkannya. Pembagian ke dalam sampiran dan isi ini mungkin ada kaitannya dengan estetika Islam yang membagi teks ke dalam surah (bentuk lahir) dan ma`na (bentuk batin atau makna). Tidak diketahui kapan pantun muncul dalam bentuknya seperti dikenal sekarang. Pantun tertulis paling awal yang dijumpai berasal dari abad XVI M dalam naskah tasawuf Asrâr al-`Ârifîn karangan Hamzah Fansuri, yaitu:

Kunjung-kunjung di bukit tinggi Kolam sebuah di bawahnya Wajib insan mengenal diri Sifat Allah pada tubuhnya

Bandingkan dengan pantun yang populer, yang entah kapan ditulis seperti berikut:

Pulau Pandan jauh di tengah Di balik pulau angsa dua

Pantun adalah puisi empat baris yang terdiri dari sampiran dan isi. Tiap baris pada

umumnya terdiri dari 8 hingga 12 suku kata,

dengan pola sajak akhir AAAA atau ABAB.

Sampiran biasanya melukiskan lingkungan alam dan budaya orang Melayu, sedangkan isi

memuat maksud atau pesan moral yang ingin

Hancur badan dikandung tanah Budi baik dikenang jua

Sering pantun disisipkan dalam karangan prosa, misalnya seperti yang terdapat dalam Sejarah Melayu (1607) karangan Tun Sri Lanang:

Telur itik dari Senggora Pandan tergeletak dilangkahi Darahnya titik di Singapura Badannya terlantar di Langkawi

Pantun yang mengandung pesan keagamaan, antara lain,

Kemumu di dalam semak Terbang melayang selaranya Meski ilmu setinggi tegak Tidak sembahyang apa gunanya

Dalam syair tasawuf abad XVII M dari Aceh, karangan Abdul Jamal dan Hamzah al-Fansuri, terdapat perkataan ‘bandun’ yang mirip perkataan ‘pantun’ dan dimaksudkan oleh pengarangnya sebagai sajak dengan aturan tertentu yang dinyanyikan seperti pantun. Dalam beberapa bahasa Nusantara, seperti Madura, nyanyian atau sajak yang dinyanyikan disebut pantun. Berdasarkan isi atau temanya pantun biasa dibagi ke dalam beberapa kelompok: (1) Pantun kanak-kanak; (2) Pantun atau cinta kasih sayang; (3) Tatacara kehidupan dalam masyarakat; (4) Pentun teka-teki; (5) Pantun agama; (6) Pantun puji-pujian; (7) Pantun Nasehat; (8) Pantun Cerita.

Gurindam. Nama gurindam sudah dikenal sejak abad XIII M, tetapi artinya tidak tepat sama sebagaimana arti yang diberikan pada abad XIX M. Pada mulanya gurindam berarti perumpamaan secara umum. Sutan Takdir Alisyahbana (1952) berpendapat bahwa gurindam merupakan puisi dua baris, masing-masing baris bersajak dan mengutarakan suatu gagasan secara berkesinambungan. Isinya biasanya nasihat, pengajaran budi pekerti atau agama, senda gurau, ejekan dan sindiran. Menurut Raja Ali Haji dalam Bustân al-Kâtibîn (abad XIX M) gurindam

adalah perkataan bersajak pada masing-masing pasangan, tetapi perkataannya baru lengkap jika diikuti oleh pasangannya. Baris pertama adalah syarat atau sampiran, baris kedua adalah jawab atau maksud. Contohnya:

Persamaan yang indah-indah Ialah ilmu yang memberi faedah

Raja Ali Haji ingin mengatakan bahwa keindahan yang bermakna dalam karya sastra haruslah juga memberi faedah. Dengan perkataan lain estetika terkait dengan etika. Pada masa yang akhir, gurindam selalu dihubungkan dengan kreativitas Ali Haji. Dialah yang menghidupkan kembali bentuk persajakan lama ini dengan gaya baru, sebagaimana terlihat dalam karyanya Gurindam Dua Belas. Petikan gurindam Raja Ali Haji ialah:

Barang siapa tiada memegang agama Tiada boleh dibilangkan nama

Barang siapa mengenal yang empat Maka yaitulah orang bermakrifat

Barang siapa mengenal Allah Suruh dan tegahnya tiada salah Barang siapa mengenal diri Dia mengenal Tuhan yang bahari Barang siapa mengenal dunia Tahulah ia barang yang teperdaya

Gurindam Raja Ali Haji jelas berbeda dengan gurindam tradisional, yang terdiri dari sampiran dan isi. Pada gurindam Raja Ali Haji terdapat kesinambungan pernyataan dalam baris-barisnya. Contoh gurindam yang biasa ialah:

Tua-tua keladi

Kian tua makin menjadi-jadi

Bentuk gurindam yang sama, yang terdiri dari sampiran dan isi, juga ditulis Raja Ali Haji sebagai berikut:

Dangdut tali kecapi

Kenyang perut senang di hati

Nama gurindam sudah dikenal sejak abad XIII M, tetapi artinya

tidak tepat sama sebagaimana arti yang

diberikan pada abad XIX M. Pada mulanya gurindam berarti perumpamaan secara

umum. Sutan Takdir Alisyahbana (1952) berpendapat bahwa gurindam merupakan puisi dua baris, masing-

masing baris bersajak dan mengutarakan suatu gagasan secara

berkesinambungan. Isinya biasanya nasihat, pengajaran budi pekerti

atau agama, senda gurau, ejekan dan sindiran. Menurut Raja

Ali Haji dalam Bustân al-Kâtibîn (abad XIX M) gurindam adalah perkataan bersajak pada masing-masing

pasangan, tetapi perkataannya baru lengkap jika diikuti oleh

pasangannya. Baris pertama adalah syarat

atau sampiran, baris kedua adalah jawab

Syair. Syair adalah sajak empat baris, biasanya dengan pola bunyi akhir AAAA, tetapi ada juga yang pola bunyi akhirnya ABAB, AABB, AABC, dan AABA Jumlah suku kata pada setiap barisnya pada umumnya antara 8 sampai 12. Dalam bentuknya seperti dikenal sekarang, syair Melayu pada mulanya diperkenalkan oleh Hamzah al-Fansuri pada akhir abad XVI M dan karena jumlah barisnya empat, Syamsuddin al-Sumatrani (wafat 1630 M) dalam bukunya Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri menyebut syair ala Hamzah al-Fansuri sebagai ruba`i, artinya puisi empat baris yang pernyataan dari baris-barisnya berkesinambungan. Pada abad XVII M, murid-murid Hamzah al-Fansuri menyebut ruba`i Melayu sebagai

sya`ir, sedangkan Hamzah al-Fansuri sendiri dalam risalah tasawufnya Asrâr al-

rifîn menyebutnya฀“sajak฀empat฀secawang”.฀Perkataan฀syair฀yang฀awal฀antara฀

lain dijumpai dalam salah satu dari empat versi Syair Perahu karya pengikut Hamzah Fansuri yang hidup pada abad XVII M. Dalam puisinya itu kata syair dipertukarkan dengan ‘madah’ (dari kata Arab madih, kata jamaknya madâ`ih,

yang artinya puisi pujian), seperti berikut:

Inilah gerangan suatu madah Mengarangkan syair terlalu indah Membetuli jalan tempat berpindah Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah Wahai muda kenali dirimu

Ialah perahu tamsil tubuhmu Tiadalah berapa lama hidupmu Ke akhirat jua kekal diammu

Pada mulanya, syair digunakan untuk menyampaikan ajaran tasawuf atau ilmu suluk, yaitu metode keruhanian dalam Islam mencapai makna terdalam Tauhid, kesaksian bahwa Allah itu Esa. Tetapi kemudian juga dipakai sebagai media menyampaikan kisah percintaan, sejarah, hikayat, dan lain-lain. Berdasarkan isi atau temanya, sastra syair dapat dibagi ke dalam kelompok seperti berikut: (1) Syair Tasawuf; (2) Syair Nasihat Keagamaan; (3) Syair Nasihat Budi Pekerti dan Adat istiadat (4) Syair Sejarah; (5) Syair Hikayat; (6) Syair Percintaan; (7) Syair Ibarat; (8) Syair tema-tema lain di luar yang telah disebutkan.

Syair Tasawuf. Memuat ajaran tasawuf atau pengalaman sui, misalnya mengenai tahap-tahap perjalanan ruhani (maqâm) menuju Tuhan atau

Kebenaran Tertinggi dari tauhid. Biasanya memakai kias dan tamsil antromoris, kosmologis, ontologis dan erotik. Kecuali karya-karya Hamzah al-Fansuri, yang termasuk syair jenis ini ialah syair-syair anonim dan syair-syair yang jelas nama pengarangnya. Syair-syair yang jelas nama pengarangnya ialah: Syair Tajalli

(Hasan Fansuri), Syair Ta`ayyun Awwal, Syair Keindahan, Syair Sifat-sifat Tuhan, Syair Mubtadi, Syair A`yan Tsabitah, Syair Cahaya, Syair Alif (Abdul Jamal), Syair

Syair adalah sajak empat baris, biasanya

dengan pola bunyi akhir AAAA, tetapi ada juga yang pola bunyi akhirnya ABAB, AABB, AABC, dan AABA

Jumlah suku kata pada setiap barisnya pada

umumnya antara 8 sampai 12.

Syair Tasawuf. Memuat ajaran tasawuf atau

pengalaman sui, misalnya mengenai tahap-tahap perjalanan ruhani (maqâm) menuju Tuhan atau Kebenaran

Tertinggi dari tauhid. Biasanya memakai kias dan tamsil antromoris, kosmologis, ontologis

Ma`rifah, Syair Martabat Tujuh (Syamsuddin al-Sumatrani), Syair Ma`rifat Allah

(Abdurrauf al-Singkili), Syair Mekah Madinah, Syair Sunu (Syaikh Daud abad XIX M), dan lain-lain. Salah satu syair Abdul Jamal yang memengaruhi Amir Hamzah, penyair abad XX, ialah:

Wahdat itulah bernama bayang-bayang Di sana nyata wayang dan dalang

Muhit-Nya lengkap pada sekalian padang Musyahadah di sana jangan kepalang

Syair-syair tasawuf yang anonim, antara lain, Syair Dagang, Syair Perahu (ada tiga versi yang berbeda-beda), Ikat-ikatan Bahr al-Nisa’ (Lautan Perempuan),

Syair Ta`rif al-Huruf, Syair Perkataan Alif, Syair Unggas Bersoal Jawab, Syair Burung Pingai dan lain-lain.

Syair Nasihat Keagamaan. Memuat rincian ajaran agama meliputi syariah, ikih, usuluddin, eskatologi, adab atau tentang rukun iman, rukun Islam dan lain-lain. Misalnya Syair Naik Haji, Syair Sifat Dua Puluh, Syair Kiamat, Syair Ibadat, Syair Rukun Nikah, Syair Neraka, Syair Isra’ Mi`raj, Syair Maulid Nabi, Syair Cerita Dalam Kubur dan lain-lain.

Syair Nasihat Umum.Termasuk dalam kelompok ini antara lain Syair Nasihat, Syair Amanat, Syair Pengajaran, dan lain-lain. Jumlah syair semacam ini sangat banyak dalam khazanah sastra Melayu.

Syair Sejarah. Syair sejarah juga sangat banyak jumlahnya. Seperti karya bercorak sejarah, ia juga mengungkapkan sejarah sebuah negeri dengan tokoh-tokoh utamanya atau sejarah perjuangan seorang tokoh penting dalam sejarah politik dan intelektual Islam. Tetapi terdapat perbedaan antara syair sejarah dan prosa sejarah. Perbedaannya antara lain: bagian-bagian yang tidak diuraikan panjang lebar dalam prosa, diungkapkan secara panjang lebar dalam syair sejarah. Misalnya adegan peperangan. Begitu juga uraian kepribadian dan watak seorang tokoh yang tidak begitu diuraikan dalam karya bercorak sejarah, diuraikan panjang lebar dalam syair sejarah. Dengan demikian aspek estetika sangat ditekankan dalam syair sejarah. Termasuk dalam kelompok ini ialah Syair Perang Mengkasar, Syair Perang Banjarmasin, Syair Perang Aceh, Syair Sultan Mahmud, Syair Singapura Terbakar Api, Syair Raja Haji, Syair Sultan Maulana, Syair Perang Siak, Syair Kompeni Belanda Berperang Dengan Cina, Syair PerangWangkang, Syair Pangeran Syarif Hasyim, Syair Maharaja Abu Bakar, Syair Awang Semaun, Syair Sultan Zainal Abidin, Syair Sultan Yahya, Syair Lampung Karam, Syair Moko-moko, Syair Perang Betawi, Syair Timur, dan lain- lain.

Syair Nasihat Keagamaan. Memuat rincian ajaran agama meliputi syariah, ikih, usuluddin, eskatologi, adab atau tentang rukun iman, rukun Islam dan lain-lain. Syair Nasihat Umum.

Termasuk dalam kelompok ini antara

lain Syair Nasihat, Syair Amanat, Syair Pengajaran, dan lain-

lain. Syair Sejarah mengungkapkan sejarah sebuah negeri

dengan tokoh-tokoh utamanya atau sejarah

perjuangan seorang tokoh penting dalam

sejarah politik dan intelektual Islam. Tetapi

terdapat perbedaan antara syair sejarah dan prosa sejarah. Perbedaannya antara

lain: bagian-bagian yang tidak diuraikan panjang lebar dalam prosa, diungkapkan secara panjang lebar dalam syair sejarah.

Syair Hikayat. Isinya sama dengan hikayat. Misalnya Syair Siti Zubaidah Perang dengan Cina, Syair Haris Fadilah, Syair Bidasari, dan lain-lain.

Syair Percintaan. Isinya kisah percintaan bercampur petualangan yang biasa digolongkan sebagai roman dalam sastra Eropa. Misalnya Syair Badr al-Zaman, Syair Nakhoda Asyiq, Syair Badr al-`Asyiq, Syair Taj al-Muluk, Syair Ken Tambuhan, Syair Dandan Setia, Syair Johar Manik, Hikayat Andaken Penurat, Syair Yatim Nestapa, Syair Si Lindung Delima, Syair Siti Zawiyah, Syair Gul Bakawali, dan lain-lain.

Syair Ibarat. Isinya kisah perumpamaan yang menggunakan tokoh binatang atau tumbuh-tumbuhan. Tujuannya sebagai sindiran. Misalnya Syair Ikan Terubuk, Syair Burung Nuri, Syair Burung Pungguk Merindukan Bulan, Syair Lalat dan Nyamuk, Syair Kumbang dan Melati, Syair Ikan, dan lain-lain.