• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah Aceh, muncul beberapa pusat kegiatan penulisan sastra Islam yang lain pada abad XVIII M. Pusat-pusat baru ini seakan-akan berlomba melahirkan ulama besar. Pusat-pusat baru yang paling aktif pada zaman baru ini ialah Palembang, Banjarmasin, dan Patani. Palembang tumbuh sebagai pusat kegiatan penulisan sastra Melayu Islam menjelang pertengahan abad XVIII. Karya-karya yang dihasilkan penulis Palembang berbeda dari karya-karya penulis Aceh, walaupun sama-sama bertolak dari ilmu tasawuf. Karya-karya Aceh terutama membawakan aliran wujûdiyah Ibn `Arabî, yang sangat kental dengan persoalan metaisika

dan estetika. Karya-karya Palembang lebih berorientasi pada pemikiran Imam al-Ghazâlî, yang menekankan pada masalah akhlak dan berusaha mengaitkan

ikih dengan tasawuf seerat mungkin.

Di antara penulis-penulis sastra kitab terpenting dari Palembang beserta karyanya ialah Syihabuddin ibn Abdullah Muhammad al-Palimbani (Syarah yang Latif atas Kitab Mukhtasar Jawhaat al-Tawhîd, Risalah dan Kitab `Aqidat

al-Bayan; Kemas Fakhrudin al-Falimbangi (Fath al-Rahmân, Futûh al-Syam,

Tuhfah al-Zamân, Kitab Mukhtasar; Abdussamad al-Palimbani (Ulasan Ihya

`Ulum al-Din, Ratîb Syaikh Sammân, Zuhrat al-Murid, Hidâyah al-Sâlikîn, Sayr

al-Sâlikîn); Muhammad Muhyiddin ibn Syihabuddin (Hikayat Syaikh Muhammad

Samman); Kemas Muhammad ibn Ahmad (Nafahât al-Rahmân, Bahr al-Ajâ’ib);

Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah Khatib (Uraian tentang Tariqat Qadiriyah dan Naqsabandiyah); Syaikh Daud Sunur (Syair Mekkah dan Madinah, Syair Sunur. Selain juga muncul penulis karya-karya imajinatif Sultan Mahmud Badaruddin (Hikayat Martalaya, Hikayat Raja Budak, Syair Kumbang, Syair Burung Nuri, Pantun Badaruiddin); Pangeran Panembahan Senapati (Syair Air Mawar, Syair Patut Delapan); Ahmad ibn Abdullah (Hikayat Andaken Penurat), Kiai Rangga Setyanandita (Hikayat Mareskahek), Pangeran Tumenggung Karta Menggala dan Demang Muhiddin.

Selain Kemas Fakhrudin dan Abdussamad al-Palimbani, penulis yang menonjol dari Palembang ialah Sultan Mahmud Badaruddin (1766-1852). Ia memegang tampuk pemerintahan antara tahun 1804-1821, merupakan seorang sultan yang terpelajar, cerdik dan berbakat sastra. Dia mengangkat senjata melawan kolonial Belanda dan dibuang ke Ambon. Dalam pengasingannya itulah dia menulis karyanya yang terkenal Syair Burung Nuri, sebuah alegori bertemakan kerinduan dan percintaan. Keindahan bahasa syair ini dapat dirasakan melalui kutipan berikut:

Nuri berangkat masuk peraduan Rebah berbaring memanggil kawan Dayang nin datang menghadap tuan Nuri berbisik kata merawan

Ayuhai dayang pergilah diri

Segera menghadap Simbangan bestari

Memohonklan seketika paksi Muri (Murai, pen.) Kepala sakit tiada terperi

(Koster 1996)

Semakin kuatnya cengkraman kekuasaan Belanda pada akhir abad XVIII membuat kegiatan penulisan kreatif di banyak tempat di Indonesia mengalami kemunduran, tidak terkecuali di Palembang. Namun demikian tidak berarti kegiatan tersebut terhenti sama sekali. Di Banten, misalnya, yang sejak lama berada di bawah kekuasaan kolonial, para ulamanya tetap melanjutkan kegiatan penulisan sastra kitab hingga akhir abad XIX M. Di antara ulama Banten yang gigih berjuang melawan penjajahan Belanda dan masih terus mengasah kalamnya pada abad XIX ialah Muhammad Nawawi Tanara, yang lebih dikenal sebagai Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1879). Karena menentang pemerintahan kolonial, seperti halnya Sultan Badaruddin al-Palimbani, dia harus meninggalkan tanah airnya dan menetap di Makkah untuk kedua kalinya hingga akhir hayatnya. Di sana dia menulis karya-karyanya dalam bahasa Melayu dan Arab. Di antara karyanya yang masyhur ialah dua kitab tafsir al-Qur’an yang ditulis menggunakan metode ta’wîl atau hermeneutika keruhanian sui. Satu di

antaranya ialah Tafsir al-Munîr dan yang lain ialah Murah Lubaid li Kasyi Ma`nâ

al-Qur’ân al-Majîd atau Kitab besar berisi ungkapan-ungkapan makna yang

dalam dari al-Qur’an.

Kota lain yang memainkan peranan penting sebagai pusat penulisan sastra kitab pada abad XVIII ialah Banjarmasin. Di sini lahir sejumlah ulama yang proliik melahirkan karya-karya Islam dalam bahasa Melayu. Tiga orang yang menonjol dari mereka ialah Muhammad Arsyad al-Banjari, Muhammad Nais ibn Idris al-Banjari dan Utsman al-Fantayani ibn Syahabuddin al-Banjari. Karya Syaikh Arsyad al-Banjari, antara lain, ialah Sabîl al-Muhtadîn, Tuhfah al-Râghibîn dan

Risalah Turunnya Imam Mahdi. Karya Muhammad Nais ialah al-Dur al-Nafîs,

sedangkan Utsman al-Fantayani menulis kitab j al-‘Arus.30

Di Semenanjung Melayu pusat-pusat kegiatan penulisan berada di Patani, sebuah wilayah negeri Melayu yang diduduki tentara Siam pada abad XIX M. Seorang ulama terkenal yang berjuang menentang pendudukan Siam ialah Daud Abdullah al-Fatani. Dia seorang ulama yang brilian dan sangat banyak melahirkan karya dalam bahasa Melayu dan Arab. Karya-karyanya meliputi bidang yang luas seperti tasawuf, ikih, usuluddin, dan syair-syair keagamaan. Seperti ulama Palembang, aliran pemikiran tasawuf yang memengaruhi ulama

Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Patani ialah pemikiran Imam al-Ghazâlî. Karya Syaikh Daud al-Fatani yang awal

adalah terjemahan Bidayâh al-Hidâyah karya al-Ghazâlî dan saduran Ihyâ’ `Ulûm

al-Dîn. Karyanya yang lain dan mengandung kupasan mendalam tentang

tasawuf ialah Kasyf al-Ghimmah. Karyanya yang lain ialah Dhiyâ al-Murîd,

Muniyat al-Masallî, Hidayah al-Muta’alim, Wardu al-Zawahir, Fath al-Manan,

Jawahir al-Saniyyah dan Sulam al-Mubtadî.31Selain Syaikh Daud, penulis Patani

lain฀yang฀terkenal฀ialah฀Muhammad฀Salleh฀ibn฀Zainal฀Abidin฀al-Fatani,฀Umar฀ibn฀ Zain฀al-Abidin฀dan฀Haji฀Wan฀Ngah฀฀

Selain Patani, Kelantan juga memainkan peranan penting pada abad XIX M. Di sini lahir beberapa penulis sastra kitab. Seorang di antaranya yang masyhur ialah Abdussamad ibn Muhammad Salih al-Kelantani alias Tuan Tabal. Karyanya antara lain Jala`al-Qulub, Munyat Ahl Awhah i Bayân al-Tawbah, Munabbih

al-Ghâilîn dan Minhat al-Qarib. Kitabnya ini membicarakan tasawuf, ikih dan