• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehabisan Uang

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 145-151)

S

atu pelajaran berharga yang saya dapatkan ketika melakukan backpacker atau traveling di luar negeri, yaitu jangan belanja menghabiskan uang di awal per-jalanan, hingga tanpa sadar, uang telah habis, padahal perjalanan masih panjang. Sementara jika melakukan perjalanan tanpa uang yang cukup, maka semuanya bakal buyar. Hal penting lain yang perlu diperhatikan mengenai keuangan saat berada di luar negeri, jangan meng­kurs-kan harga barang atau transaksi lainnya dengan kurs rupiah (Indonesia). Misalnya begini, ketika saya ingin mereservasi hotel di Bangkok dengan harga 700 Bath, kemudian saya kurs ke rupiah menjadi 280.000 (1 Bath = Rp. 400), lalu otak saya berkata, bahwa harga tersebut, cukup murah jika dibandingkan dengan harga rata-rata hotel di Indonesia, maka saya pun langsung menyepakati transaksi tersebut, padahal cara berpikir yang demikian adalah salah, lantaran tidak mempertimbangkan berapa uang yang saya bawa ke Bangkok.

Saat itu saya membawa uang dua juta untuk empat hari di Bangkok, yang kemudian saya tukarkan ke uang Bangkok, menjadi 5.000 Bath, dan ketika saya mereservasi hotel seharga 700 Bath per malam maka jika diukur dari uang yang saya miliki, harga tersebut sangatlah mahal, sementara ada hotel lain yang harganya 300 Bath per malam, meskipun (lagi-lagi) harga 700 Bath (Rp. 280.00) sangatlah murah jika diukur dari harga hotel di Indonesia. Itulah salah satu kesalahan saya selama berada di Bangkok.

Setibanya di Pattaya, saya dan Rintis mengeksplor pantai Pattaya dengan berjalan kaki, hingga kemudian kami menemukan sebuah pasar malam yang tidak begitu ramai, lantaran malam semakin larut. Di pasar malam tersebut, banyak menjual barang-barang khas Bangkok, dan seperti biasanya, ketika saya ingin membeli sebuah barang, saya menanyakan harga barang tersebut terlebih dahulu ke si penjual. Ketika si penjual mengutarakan harganya, maka saya pun langsung meng­kurs-kan harga tersebut ke rupiah, yang otomatis otak saya langsung membandingkan harga barang tersebut dengan harga Indonesia, tanpa mempertimbangkan berapa uang yang saya miliki saat itu. Karena harganya murah, maka saya pun membeli barang tersebut, dan begitu seterusnya di setiap kali melakukan transaksi.

Satu hari sebelum meninggalkan Bangkok, saya pun tersadar, bahwa uang yang saya miliki hanya tinggal 1000 Batt, sementara saya harus menyiapkan budget untuk taksi menuju bandara esok hari dan untuk membeli oleh-oleh di pasar

Cathuchak, pasar yang menjadi icon Negara Bangkok sebagai pasar termurah dan terluas yang hanya buka setiap hari Sabtu dan Minggu. Saya pun jadi kelabakan. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Saya pun kembali meng-hitung pengeluran dari awal tiba di Bangkok, sampai hari itu, dan ternyata hitungannya benar. Seketika otak saya seakan terhujam, dan hanya bisa mendesah nafas panjang, ketika menyadari kesalahan dan kebodohan saya dalam mengatur keuangan saat itu.

Hati nurani pun berbisik, ‘baiklah! kali ini saya salah! Salah dalam mengelola budget perjalanan, namun hal itu tidak menyurutkan keinginan saya untuk mengunjungi Asiatique, salah satu tempat hiburan malam di Bangkok, meski hanya berkeliling berjalan kaki saja, tanpa membeli apapun, dan pulang dengan tangan kosong. Untungnya saat itu saya tidak sendirian. Ada Rintis yang menjadi patner perjalanan, dan inilah salah satu keuntungan melakukan perjalanan bersama teman, karena jika mengalami ‘kesu­litan’, maka ada teman yang akan memberi ‘pertolongan’.

Ada kejadian menarik saat pulang dari Asiatique dengan menggunakan bis menuju Khan San Road, tempat hotel kami berada. Tadinya saya pikir, ongkos naik bis ke semua jurusan di kota Bangkok itu sama yaitu 10 Bath, sehingga saya pun menyiapkan uang sepas-pas-nya sebelum be-rangkat ke Asiatique, namun ternyata dugaan saya salah. Sebenarnya sebelum naik bis, nurani dan otak saya kompak memberi signal, bahwa ongkos bis kali ini akan berbeda dengan ongkos bis yang sebelum-sebelumnya saya naiki mengelilingi

kota Bangkok, untuk itu saya pun membuat strategi dengan mendekati salah satu turis yang sama­sama akan ke Khao San Road di halte bis

Saya pun berbasa-basi bertanya, nomer berapa bis yang menuju ke Khan San Road? Kemudian Si turis berjenis kelamin laki-laki dengan tubuh kurus dan berambut pirang kerinting itu menjawab dengan senyum, “Kebetulan saya juga akan ke Khan San road. Bareng saja! “ Saya dan Rintis saling memandang memberi signal untuk melakukan pendekatan yang lebih intens lagi dengan si turis tersebut, berharap bisa membantu kami jikapun kami kekurangan ongkos nantinya.

Hampir sekitar 30 menit kami menunggu kedatangan bis dan cukup juga bagi kami untuk melakukan pendekatan pada si turis tersebut. Terbukti, dengan tertawa bersama memberikan keyakinan pada saya, bahwa turis ini memang diutus Tuhan untuk membantu kami berdua.

Setelah bis tiba, kami bertiga pun menaiki bis dan duduk di bagian belakang. Pokoknya dimana turis itu berada, di situlah kami mengikutinya, karena uang kami hanya tinggal 20 Bath, dan jika ternyata ongkos bisnya bukan 10 Bath per orang, maka mampuslah kami sebagai turis.

Deg-degan belum juga reda. Kami pun tak bisa lagi berbincang dengan si turis lantaran, suara bising bis mendominasi. Kebetulan di depan kami, ada seorang ibu yang berumur sekitar 50 tahunan dengan wajah jutek yang tak pernah senyum. Saat memandang ke arah kami, spontan kami berdua ketakutan, ditambah dengan kedatangan kernit

bis yang mulai meminta ongkos pada para penumpang. Kami berdua mencoba untuk menguping saat si kernit bis yang berjenis kelamin perempuan itu meminta ongkos pada penumpang di depan kami, dan ternyata ongkosnya 14 Bath per orang. Mampuslah saya! kami berdua pun saling memandang dan mencoba berbicara pada si turis, namun si turis seakan tak mau tahu dan sepertinya tak ingin membantu kami, sementara si kernit mulai men­dekati kami.

Saat si kernit meminta ongkos pada kami, teman saya langsung memberi uang 20 Bath kepadanya. Si kernit memandang kami berdua dengan wajah yang sedikit menakutkan dan kami hanya bisa berkata, “No money… No money..”, namun si kernit tetap meminta uang pada kami dengan bahasa Thailand-nya, yang tak bisa kami pahami. Saya sempat melirik si turis, yang terlihat acuh atas apa yang kami alami, dan kami hanya bisa berkata, “No money…No money…” dengan wajah memelas. Namun tiba-tiba, ibu berwajah jutek yang duduk di depan kami, memberi uang 10 Bath pada si kernit, dengan menggunakan bahasa Thailand bernada keras. Si kernit pun juga membalasnya dengan suara bernada keras, sementara kami berdua hanya bisa diam ketakutan melihat kedua perempuan beda umur itu sedang berdebat. Kami juga merasa malu lantaran menjadi pusat perhatian para penumpang di sekitar kami. Saat itu, saya seperti tertimpa reruntuhan gedung tinggi, karena malu dan takut menjadi satu dalam otak dan hati saya.

ke bagian depan bis meninggalkan kami. Setelah semuanya terasa cukup tenang, kami berdua mendekati si ibu tua, untuk mengucapkan terima kasih, namun responnya tetap dingin. Ia hanya memandang wajah kami tanpa senyum dan tanpa ucapan. Tiba-tiba nurani saya berbisik, ternyata orang baik itu tidak bisa diukur dengan raut wajah dan perilakunya ya...

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 145-151)