• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika Ibadah Menjadi Sia-sia

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 90-95)

S

aya selalu merasa kewalahan menghadapi masyarakat Madura, khususnya di Sumenep ketika para peziarah akan berangkat melaksanakan ibadah umrah dari kota asalnya. Mereka tidak mau berhenti menciumi tangan para peziarah dan juga memeluknya, meski para peziarah sudah duduk manis di dalam bis. Sebagian masyarakat memaksa masuk ke dalam bis dengan berbagai alasan, sehingga bis tidak bisa segera berangkat dan molor dari jadwal. Saya yang bertanggung jawab akan hal itu seringkali sewot, lantaran khawatir telat tiba di Bandara Juanda Surabaya.

Usut punya usut, ternyata ada sebuah kepercayaan di dalam masyarakat Madura, khususnya di Sumenep, bahwa siapa pun yang mencium atau memeluk peziarah paling terakhir, maka ia akan berangkat ke tanah suci Mekkah, untuk melaksanakan umrah atau haji dalam waktu cepat. Sementara bagi masyarakat Madura, kota Mekkah bukan sekedar tempat untuk beribadah semata, namun menjelma sebagai sebuah

cita-cita suci dalam perjalanan hidupnya. Maka tak heran jika mereka berani bertaruh nyawa untuk bisa mendapatkan keberkahan itu, padahal saya dan panitia lainnya sudah marah-marah dengan memasang wajah galak, namun tetap saja, nyali mereka jauh lebih galak daripada wajah kami. Kami pun terpaksa memperbolehkan mereka untuk masuk ke dalam bis menemui si peziarah, dengan syarat, tak lebih dari satu orang yang masuk ke dalam bis.

Selain itu, sebagian orang menyakini bahwa keberang-katan ke tanah suci adalah sebuah perjalanan yang dipenuhi dengan pengorbanan dan perjuangan hingga nyawa se-bagai taruhan. Jika pun mereka kembali hanya tinggal nama, dianggapnya sebagai khusnul khotimah. Maka tak jarang, jika mereka bercita-cita ingin meninggal di kota suci Mekkah. Sementara saya yang nilai spritualitasnya sangat rendah, selalu sinis dengan keinginan dan kepercayaan mereka atas ‘kedahsyatan’ tanah suci Mekkah.

Selama perjalanan dari Madura ke kota Madinah, seringkali saya melihat para peziarah tak henti-hentinya berdzikir atau membaca Alquran, baik di dalam bus (Madura-Surabaya), atau juga di dalam pesawat (Surabaya-Madinah). Saya yang hanya bisa jalan-jalan ke bagian depan dan ke bagian belakang pesawat untuk melepaskan lelah dan bosan, lantaran 10 jam perjalanan yang ke-mudian berdampak sistemik pada tubuh dan psikologi, terselip rasa iri dan bangga pada mereka. Betapa bahagia dan bangganya mereka ketika mampu memenuhi hajat untuk bisa sampai dan beribadah di kota

suci Rasulullah, sementara banyak orang yang mampu secara ekonomi, dan sehat tubuhnya, namun belum mampu memenuhi hajat ke kota suci dengan berbagai alasan.

Saya kembali dikejutkan perilaku peziarah manakala melihat peziarah melakukan sujud syukur ketika turun dari pesawat dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah suci, padahal itu masih berada dalam area Bandara Madinah. Bahkan perilaku sujud mencium tanah pun, juga mereka lakukan ketika pertama kali memasuki Masjid Nabawi dan pertama kali saat melihat Ka’bah. Di situlah terkadang saya menangis karena terharu melihat perilaku peziarah sebagai ungkapan syukur kepada Sang Illahi. Namun yang menjadi kerumitan di otak saya selama ini, mengapa ketika melaksanakan ibadah umrah atau haji di tanah suci malah dianggap sebuah perjuangan? Berjuang melawan apa? Siapa lawannya? Apakah ibadah ini tentang kalah-menang?

Salah satu syarat dalam melaksanakan ibadah umrah adalah membaca niat umrah di Miqot. Miqot adalah tempat bermulanya pelaksanaan ibadah umrah, meski hotelnya dekat dengan Masjid Haram, tetap saja harus melaksanakan niat umrah di Miqot. Ada banyak tempat yang dijadikan Miqot Umrah berdasarkan hadits Nabi, namun saya sering menggunakan empat Miqot dalam pelaksanaan umroh, yaitu Miqot Masjid Bir ‘Ali di kota Madinah, Miqot Masjid Aisyah di Tan’im, sekitar 30 menit dari Masjid Haram, Miqot Masjid Hudaibiyah, sekitar 1 jam dari Masjid Haram, dan terakhir Miqot Masjid Ji’ronah, sekitar 45 menit dari Masjid Haram.

Awalnya saya menganggap bahwa Miqot hanyalah formalitas syarat sahnya ibadah umrah yang merujuk pada sunnah Nabi, namun kemudian setelah membaca buku “Haji’ karya Ali Syariati, saya pun mulai memahami makna spiritual dari sebuah Miqot.

Miqot tidak hanya sekedar sebagai tempat terucapnya niat umrah, namun juga sebagai tempat terlepasnya iden-titas diri yang kita bangun sejak lahir. Saya harus meletakan ke-Novie-an saya di Miqot dke-Novie-an mulai berke-Novie-anjak dengke-Novie-an menggunakke-Novie-an kain ihram sebagai simbol kesucian diri sebagai manusia seutuhnya. Tidak ada lagi Novie, kecuali sebuah diri. Novie yang ini, Novie yang itu. Novie yang begini, dan Novie yang begitu, semuanya harus dilepaskan dan diletakkan di Miqot. Maka dalam pelaksanaan ibadah umrah, yang ada bukanlah Novie, tapi manusia sebagai manusia. Yang thawaf bukanlah Novie dan yang Sa’i juga bukanlah Novie. Diri sebagai manusia inilah yang dalam pelaksanaan ibadah umrah harus melawan diri sendiri yang berbentuk ego dan malas. Bukankah Rasulullah per-nah bersabda dalam sebuah hadits, bahwa musuh yang paling besar adalah diri sendiri.

Saya pun menjadi sadar, mengapa ibadah umrah atau haji di tanah suci membutuhkan perjuangan dan pengor-banan yang besar. Semua itu lantaran kita melawan musuh terbesar, yaitu diri kita sendiri, dan benar-benar membutuhkan keyakinan dan kesungguhan yang kuat. Jika kita kalah dari diri kita sendiri, maka yang tersisa dari ibadah ini, hanyalah kesia-sian, seperti menganggap umrah hanya sebagai pelesiran

samata, dan jika kembali ke Tanah Air, kesombongan menggerogoti hatinya, dengan meminta para kerabat dan tetangga memanggilnya dengan sebuatan ‘Haji’.

Doa-doa yang dilantunkan oleh para kerabat dan tetangga di Tanah Air untuk peziarah, tak lain bertujuan agar si peziarah mampu melawan dirinya sendiri, karena jika ia menang dalam peperangan batin selama berada di tanah suci, maka ia akan terhindar dari hal-hal buruk, seperti sakit, kehilangan barang, nyasar, dll.

Seorang sahabat pernah berkata padaku, jika pulang dari tanah suci dan ia semakin rendah hati, maka ibadahnya diterima oleh Sang Illahi, namun sebaliknya, jika marah-marah karena tidak dipanggil ‘Haji’ oleh orang lain, maka ia telah melakukan kesia­siaan yang paling akut.

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 90-95)