• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika Jogjakarta Menjadi Kenangan

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 183-188)

S

udah berkali-kali saya ke kota Jogjakarta dengan ber-bagai tujuan, namun yang masih tertinggal di benak saya adalah bagaimana pertama kali saya berkunjung ke kota itu. Saat itu, saya sedang jatuh cinta pada laki-laki yang menghabiskan masa kuliahnya selama enam tahun di kota itu. Ia adalah laki-laki yang tak bisa saya miliki lantaran perbedaan yang begitu curam antara kami berdua, sehingga saya hanya bisa mencintai kota yang ia cintai. Ia begitu mencintai kota Jogja. Katanya, Jogja adalah dirinya. Dan karena penasaran, maka berangkatlah saya ke kota Jogja dari Jakarta dengan menggunakan kereta api ekonomi, yang saat itu masih menyediakan tiket tanpa kursi. Bayangkan saja, saat itu saya harus berbagi lembaran koran sebagai alas duduk dengan beberapa penumpang lainnya di area toilet kereta api. Entah kekuatan apa yang menghinggapi pikiran dan hati saya, hingga mau melewati ‘penderitaan’ semacam itu, hanya untuk bisa mengunjungi kota Jogja, kota yang dicintainya.

Seperti biasa, setelah tiba di kota Jogja, saya menghu-bungi seorang sahabat yang kebetulan menjadi mahasiswi di salah satu kampus tertua di Jogja. Di tempat kosnya-lah, saya tinggal selama di Jogja, dan darinya pula saya meminjam motor untuk berkunjung dan mencoba mengi-tari kampus laki­laki yang saya cintai itu.

Di kampusnya, saya duduk di bawah pohon besar tepat di depan gedung serba guna. Saya mencoba merasakan dan menghirup energi dari sekitar pohon dengan meme-jamkan mata, mencoba mencari tahu mengapa ia begitu mencintai kampusnya dan mencintai kota Jogja. Namun dari peristiwa itu, tiba-tiba saya dikejutkan oleh seorang pria bertubuh sedikit berisi, bermata sipit, dan kulit ber-warna kuning bersih. Ia menyapa saya dan berbincang tentang pohon yang merindangi kami berdua. Laki-laki itu bernama Sandi, seorang mahasiswa filsafat semester akhir yang berasal dari salah satu kota di pulau Sumatra.

Obrolan kami berlanjut ke tempat ngopi Blandongan, yang tak jauh dari lokasi kami bertemu. Ternyata Blando-ngan itu, tempat ngopi favorit bagi mahasiswa kebanyakan. Saat pertama kali saya memasuki Blandongan, hampir saja saya tidak mendapatkan tempat duduk, lantaran mahasiswa memenuhi semua sudut Blandongan. Ada yang sekedar ngobrol, atau bermain kartu, atau sibuk sendiri mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Sementara saya dan Sandi hanya ngobrol ngalor ngidul tentang sebuah perjalanan dan cinta.

sekaligus ‘tukang ojek’ yang mengantar saya mengelilingi kota Jogja. Ia pun menjadi guide mengenalkan saya pada warung kopi lainnya yang terkenal, seperti Kopi Joss yang berada tidak jauh dari Stasiun Tugu, dan lain-lain. Hingga membuat saya lupa pada tujuan awal datang ke kota Jogja. Ya, saya jatuh cinta pada Sandi, dan entah apakah Sandi merasakan hal yang sama dengan apa yang saya rasakan. Hingga suatu malam, Sandi mengajak saya untuk makan malam bersama teman perempuannya. Ia bernama Ana, dan ternyata Ana sedang bermasalah dengan kekasihnya yang kebetulan kekasih Ana adalah sahabat karibnya Sandi. Sementara posisi saya saat itu seperti seekor nyamuk yang kebingungan. Saya tidak mengenal Ana, dan tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

Tiba-tiba datang seorang pria menghampiri meja kami, yang ternyata mantan kekasih Ana, sebelum berpacaran dengan sahabatnya Sandi. Pria itu bernama David. Tubuh-nya kurus tinggi namun lebih tampan dari Sandi. Saat itu, ia menjadi mahasiswa hukum di salah satu kampus swasta di Jogja. Untung saja ada David, sehingga saya pun tak lagi menjadi nyamuk. Usut punya usut, ternyata David dikhianati oleh Ana lantaran berselingkuh dengan sahabat karibnya Sandi. Oh God! It’s so complicated.

Malam semakin larut, dan saya pun harus pulang, lantaran esok pagi, saya harus mengejar kereta api yang akan membawa saya pulang kembali ke Jakarta.

Sandi dan membuat saya kembali lagi ke kota Jogja. Na-mun nyatanya, Sandi malah membuat sebuah pengakuan bahwa ia akan menikah dengan perempuan lain yang sedang mengandung anaknya. Saya hanya menelan lu­dah kering dan memeluknya sambil berkata, ‘semuanya akan baik-baik saja’, ketika ia mulai gelisah lantaran tak sanggup menghadapi masa depannya yang mulai kacau. Saya mencoba menjadi teman baik untuknya dan berjanji akan selalu ada untuknya.

Jogja selanjutnya adalah sebuah kisah antara saya dengan David. Kami menjalin komunikasi yang indah dan membuat saya harus kembali mengunjungi kota Jogja. Kami berbincang tentang sesuatu yang lucu dan menyenangkan. Berjalan kaki mengitari area Malioboro sambil tertawa. Sesekali kami istirahat di depan mini market, kemudian menikmati malam di Pantai Parangtritis, hingga pagi menjelang. Namun kisah itu cepat berakhir, lantaran di siang hari saya harus kembali pulang ke Jakarta dengan menggunakan kereta api.

Jogja selalu menciptakan kisah cinta bagi saya dengan beberapa pria. Di sanalah kenangan tertancap dengan indah. Di Jogja pula saya bertemu dengan seorang pria yang kukejar mati-matian untuk sebuah ‘pelampiasan’ dari putus cinta yang baru saya alami. Namun ketika si pria mulai membuka hati, saya pun mundur secara perlahan dan kemudian menghilang darinya. Saat itu saya tersadar, betapa jahatnya diri ini atas dirinya. ‘Mengejar’ dirinya hanyalah sebuah upaya menyelamatkan saya dari kesepian setelah putus cinta, sementara saya tidak begitu mencintainya.

Di Jogja pula, saya pernah melarikan diri dari kekasih yang datang ke kota saya, dengan tujuan ingin memutuskan hubungan kami, yang terjalin hampir setahun. Entah mengapa saya harus lari dan memilih Jogja sebagai kota pelarian, namun saya sangat berterima kasih pada Jogja, karena kemudian saya tersadar, bahwa semakin saya lari dari kenyataan, justru tidak akan menyelesaikan apa­apa.

Saya tidak pernah tinggal lama di kota Jogja. Paling lama, hanya satu minggu, bahkan saya pernah berada di Jogja hanya sehari saja. Bagi saya Jogja bukan kota yang tepat untuk saya tinggali, namun jejak kenangan di kota itu berhasil membuat saya ingin kembali dan kembali. Tiba-tiba saya teringat pada laki-laki yang membuat saya ingin pergi ke Jogja untuk pertama kalinya. Pantas saja, ia begitu mencintai Jogja, karena saya pun juga begitu.

Setiap kali saya ingin menyendiri atau ingin menghilang dari semua rutinitas yang membosankan, maka Jogja-lah destinasi utama yang saya tuju. Entah kenapa, saya pun mendapatkan ketenangan di kota itu. Apalagi sejak saya pulang kampung dan masih berada pada masa adaptasi. Setiap bulan saya pasti ke kota Jogja, meski hanya tiga hari, dan kembali lagi ke kampung. Jogja seperti charger energi bagi saya, lantaran setelah dari Jogja, saya kembali mampu menguasi dan mengontrol diri dalam menghadapi realita, hingga kemudian saya tersadar, bahwa seseorang yang selalu pergi dan pergi, bukan untuk mencari sesuatu, tapi untuk menghindari sesuatu, dan itu yang terjadi pada saya.

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 183-188)