• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasar Chatuchak

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 151-156)

P

asar Cathucak adalah salah satu pasar terbesar, ter-murah dan terkenal di Bangkok. Sayangnya hanya buka setiap hari Sabtu dan Minggu, maka sejak awal sebelum saya memesan tiket ke Bangkok, saya pastikan hari Sabtu dan Minggu masuk dalam rencana perjalanan, dan kebetulan dua hari tersebut memang saya pilih, lantaran teman seperjalanan, Rintis yang menjadi ‘manusia kantor’ ibu kota, hanya bisa berlibur di weekend saja.

Jadwal kepulangan kami ke Jakarta, adalah hari Minggu pukul 19.00, maka pada pagi hari, kami bergegas untuk menikmati hari terakhir kami di Bangkok dengan mengunjungi pasar Catuchcak, yang berjarak tidak begitu jauh dari Khan San Road, tempat hotel kami menginap. Menurut info resepsionis hotel, kami harus berjalan kaki sebentar ke perempatan jalan, karena bis yang akan mengantar kami ke Chatuchak, akan melintas di sana, bukan tepat di depan hotel kami. Maka kami pun berjalan kaki sambil menikmati

suasana pagi, seperti mengamati aktivitas orang-orang di pinggir jalan, sambil memotret.

Rintis yang hobi banget minum kopi setiap pagi, akhirnya mengajak saya untuk berhenti sejenak di salah satu warung kopi di pinggir jalan, yang tak jauh dari halte bis. Akhirnya kami pun duduk di warung kopi pinggir jalan dengan memesan kopi dan teh khas Thailand, yang berwarna kuning gelap. Saking penasarannya, kami ber-dua pun mencoba mengintip bagaimana orang Bangkok menyajikan kopi dan teh. Ternyata sama saja. Kopi dengan cangkir, sementara teh dengan gelas plastik berukuran besar.

Ketika kami asyik menikmati kopi, teh, dan beberapa kue pasar yang kami beli di pinggir jalan tadi, tiba-tiba kami terkejut dengan aktivitas pemilik warung kopi yang sedang ‘beres-beres’. Padahal hari masih terlalu pagi untuk menutup warung kopi. Maka bertanyalah kami pada penjual kopi yang merupakan pasangan suami istri itu. “Mengapa sudah tutup?”, lalu mereka menjawab dengan bahasa Inggris yang tidak begitu lancar, “Karena waktunya memang sudah harus tutup. Toko yang ada di belakang kami, akan buka sebentar lagi”. Kebetulan posisi warung kopi mereka tepat di depan toko, entah toko apa, karena saat kami di sana, toko tersebut masih belum buka.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Pasar Cat-huchak dengan bis yang tak begitu jauh, karena hanya butuh 15 menit, kami pun telah tiba di pasar Chatuchak.

untuk belanja oleh-oleh, lantaran kami disambut oleh jajanan kaki lima khas Bangkok yang menarik mata dan tenggorokan. Berbagai macam buah segar dijual dengan harga murah, bahkan ada kelapa muda isi es krim dengan berbagai macam toping. Saking asyiknya menikmati jajanan kaki lima itu, kami pun hampir lupa membeli beberapa oleh-oleh untuk keluarga kami berdua, minimal membeli kaos yang tertulis simbol Bangkok, dan beberapa assesoris seperti gantungan kunci.

Setelah selesai membeli oleh-oleh, kemudian kami me-mikirkan apa yang ingin kami beli untuk diri kami sendiri. Seperti biasanya, saya ingin membeli sepatu. Kebetulan saat mengelilingi pasar, saya melihat seorang turis memakai sepatu sandal dengan tali hingga ke betisnya, dan saya ingin sekali memilikinya. Kira-kira beli di mana ya?

Kami pun keliling pasar sambil melihat barang-barang ‘lucu’ dan ‘aneh’, sayangnya harga yang ditawarkan sangat mahal. Mahal dalam arti tak pas dengan sisa uang kami di dompet. Maklumlah, gara-gara tidak bisa mengelola keuangan sejak awal perjalanan ini, akhirnya sisa uang yang kami miliki, tinggal sedikit, padahal seringkali kami menjumpai baju atau celana khas Bangkok yang harganya lebih murah jika dibandingkan dengan harga di Pasar Tanah Abang Jakarta. Sebelumnya saya pernah membeli celana Bangkok di Pasar Tanah Abang dengan harga Rp. 150.000, sementara di Pasar Chatuchak, celana yang sama dengan yang saya beli itu, dijual dengan harga Rp. 75.000, namun lagi-lagi saya harus

menelan ludah kering, karena yang menjadi prioritas saya saat itu adalah sepatu sandal bertali.

Akhirnya kami pun menemukan toko kecil yang men-jual sepatu sandal bertali. Penmen-jualnya seorang laki-laki tua bertubuh subur, namun tidak begitu besar. Matanya sipit menandakan bahwa ia keturunan cina, namun warna kulitnya seperti warna kulit saya, maka kami pun mulai bertanya tentang harga sepatu sandal bertali itu. Ternyata si penjual tidak bisa menggunakan bahasa Inggris. Untung saja kami selalu membawa kalkulator setiap kali belanja atau melakukan transaksi dengan pihak hotel atau sopir taksi, lantaran menurut infomasi yang saya dapatkan dari beberapa blog, bahwa warga lokal Bangkok, tidak begitu banyak tahu bahasa Inggris, maka kalkulator menjadi barang ajaib dan penolong bagi kami berdua.

Nah, karena komunikasi kami menggunakan bahasa kalkulator dalam tawar menawar barang, akhirnya bahasa yang kami gunakan adalah bahasa daerah kami masing-masing. Si penjual dengan bahasa Bangkoknya sementara saya dengan bahasa Madura. Toh kami berdua juga sama-sama tidak paham dengan bahasa kami berdua. Untungnya bahasa angka memiliki makna universal di antara kami.

Satu pelajaran penting saat kita melakukan travelling atau backpacker ke luar negeri, adalah jangan malu dan ragu untuk melakukan tawar menawar setiap melakukan transaksi. Awali tawaran dengan setengah harga, dan ketika si penjual menurunkan harga dari harga awal, maka kita boleh

menyepakatinya. Hal itu dilakukan karena seperti biasa, warga lokal selalu memberikan harga dua kali lipat pada semua turis. Maka sebaiknya kita sebagai turis, melakukan tawar menawar sebelum membeli baran, dan jangan lupa membawa kalkulator, untuk mempermudah komunikasi dalam menanyakan harga atau dalam proses tawar menawar.

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 151-156)