• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macet di Jakarta

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 188-194)

B

agi saya keberuntungan ketika berada di Jakarta itu adalah saat tidak terjebak macet dan selalu menda-patkan lampu hijau setiap melintas lampu lalu lintas di perempatan jalan. Itu sungguh sebuah berkah yang tak ternilai harganya, karena disaat begitulah, ungkapan ‘waktu adalah uang’ memiliki kebenarnanya.

Sejak tahun 2004 sampai 2013, saya tinggal di Ibu Kota Jakarta. Tepatnya di daerah Ciputat, yang kemudian masuk pada wilayah Tangerang Selatan, namun aktivitas saya sering berlangsung di Jakarta. Setelah tahun 2013, saya memutuskan untuk pulang kampung, di Pamekasan Madura, namun sesekali saya masih berkunjung ke Jakarta untuk keperluan bisnis.

Sejak dulu saya sering menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi saat bepergian ke beberapa tempat di Jakarta. Bukan karena alasan macet yang membuat saya tidak mau menggunakan mobil, tapi nyatanya saya memang tidak

punya mobil, meski sesekali saya menggu-nakan angkutan umum, seperti bis atau commuter line (kereta api dalam kota) dengan alasan sedang tidak mengejar waktu.

Macet di Jakarta memang tidak bisa dihindari, berbagai strategi dan analisa untuk mengatasi kemacetan ibu kota, hanya tinggal wacana yang tak terealisasikan. Hampir saja saya jenuh dengan keadaan itu, namun lama kelamaan, saya pun tersadar, jika saya hanya bisa berkeluh kesah tanpa mengubah cara pandang mengenai kemacetan itu sendiri, maka saya pun akan semakin hancur. Akhirnya, saya mencoba untuk berdamai dengan kemacetan, misalnya, jika saya ada janji bertemu dengan klien atau menghadiri sebuah acara, maka saya harus berangkat dari rumah dua jam sebelum acara dimulai, meski lokasinya tidak begitu jauh. Dua jam bagi saya, adalah standar waktu yang paling aman dan efektif dalam bepergian melintasi kemancetan Ibu Kota Jakarta.

Selain itu, saya mulai mencatat jam-jam macet di Jakarta, yang biasa terjadi pada pukul 07.00-09.00, lalu pukul 12.00-14.00, dan terakhir pukul 16.00-19.00, maka selain jam tersebut, saya bisa bepergian dengan tanpa macet, meski tak lupa memperhatikan hari apa saya bepergian, karena macet akan terjadi sepanjang waktu di hari Senin dan Jumat, selebihnya hanya macet di waktu yang tertulis sebelumnya.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah mengenai rute perjalanan. Setidaknya jika ingin bepergian, pilihlah rute yang melawan arus. Atau dengan kata lain, jangan memilih rute dimana orang-orang yang sedang bepergian ke arah

yang kebanyakan dipilih, sementara kita memilih arah dimana orang-orang beranjak pergi. Misalnya, jka ingin ke daerah Blok M, maka berangkatlah jam 17.00 via Pondok Indah Mall, karena banyak orang (pekerja) yang akan bepergian (pulang ke rumah) ke arah Ciputat, Cinere, Parung, atau Kabayoran. Dan dalam hal ini, tidak akan mudah dipahami selain melakukan riset dan observasi sendiri. Bukankah satu-satunya cara untuk tahu adalah mencobanya?

Strategi lain, jika ingin segera tiba di lokasi yang dituju dengan tanpa macet, maka jadilah ‘ekor’ bis Kopaja. Bis kopaja adalah ‘singa’-nya jalanan. Ia sangat paham dan lihai bagaimana cara mengusai jalanan, lantaran ia tak sekali dua kali melewati rute tersebut dalam sehari, sehingga tahu kapan ia harus menyerobot kendaraan lain yang terjebak oleh macet. Setidaknya ia mengetahui kapan lampu merah itu menjadi hijau, hingga ia harus mengambil jalan khusus busway, tanpa mengganggu dan menghalangi busway yang sedang beroperasi.

Terakhir, adalah dengan memperbanyak informasi mengenai ‘jalan tikus’, yang mudah dilintasi. ‘Jalan tikus’ tidak hanya memperpendek jarak tempuh perjalanan, tapi juga bisa terhindar dari kemacetan. Biasanya informasi ‘jalan tikus’ tersebut dapat kita peroleh dari tukang ojek yang merupakan warga setempat. Jadi sesekali jangan sungkan untuk menggunakan transportasi ojek, meski harganya mahal. Dan beruntungnya, sejak tahun 2015 hingga saat ini, kita bisa mengakses transportasi online (mobil dan sepeda

motor) untuk bepergian.

Berdasarkan dari semua informasi yang saya peroleh, saya selalu menggunakan strategi di atas, agar terhindar dan tidak terjebak oleh macet. Bahkan jika sedang melaku-kan janji bertemu dengan seseorang, saya selalu meminta pertemuan itu dilaksanakan pada pukul 10.00-12.00 atau setelah pukul 21.00, di lokasi yang tak jauh dari tempat tinggal saya, atau di lokasi yang melawan arus.

Cara pandang lain tentang kemacetan adalah dengan menjadikan macet sebagai media untuk menyelesaikan tugas yang hampir terlupakan, juga sebagai terapi men-golah emosi diri. Cara pandang yang demikian itu akan berdampak positif bagi kita semua dalam mengatasi persoalan hidup lainnya. Siapa sih yang tidak lelah dengan macet? Namun pertanyaannya, sudah tahu macet, tapi kok masih mau terjebak juga? Saya yakin pasti ada sesuatu yang menarik dari macet, lantaran tidak sedikit orang yang tidak kapok membawa kendaraannya dan kemudian menjadi bagian dari kemacetan itu setiap hari. Namun jika kita berpikir positif, maka macet akan menjadi berkah buat kita, dan saya pun merasakan sendiri keberkahan itu.

Suatu ketika saya harus ke Taman Ismail Marzuki di Cikini Jakarta Pusat, namun sebelumnya saya harus mengambil beberapa perlengkapan di Blok M untuk acara diskusi buku yang menjadi tanggung jawab saya sebagai ketua panitia, sementara acaranya dimulai pada pukul 10.00, sehingga saya harus berangkat dari rumah (Ciputat) sekitar pukul 07.00

agar sampai di lokasi acara sebelum pukul 10.00, lagipula saat itu, saya menggunakan mobil, yang dipastikan akan terjebak macet di jalan.

Semua aktifitas saya lakukan di dalam mobil saat mulai terjebak macet, dari menelpon semua panitia untuk mengingatkan tugas-tugasnya, dan beberapa pihak yang berkaitan dengan acara, juga ber-make up dan merapikan jilbab, hingga semuanya sempurna saat mobil terparkir di depan gedung TIM, dan acara dapat berjalan dengan lancar. Artinya, macet bisa menyediakan cukup waktu untuk menyelesaikan tugas atau urusan yang belum terselesaikan, atau bahkan terlupakan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, macet juga bisa menjadi alat terapi untuk mengontrol emosi diri, yaitu bersabar, karena saat terjebak macet, kita tidak bisa melakukan apa-apa selain bersabar. Semakin sering sese-orang bersabar, maka ia akan terbiasa dengan hal-hal yang menuntutnya untuk bersabar. Bahkan saking sabarnya, terkadang dianggap meremehkan atau menyepelekan sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Macet di Jakarta, telah membuat saya akrab dengan sabar, hingga ketika pulang kampung, disaat terjadi sebuah peristiwa yang membuat semua orang panik atau heboh, maka dengan santainya saya tetap asyik membaca buku tanpa mau tahu apa yang telah terjadi. Bagi saya, apapun bentuk peristiwa atau masalahnya dapat segera diselesaikan tanpa berlarut-larut.

bukan menahan, tapi tidak merespon. Jika sabar dimaknai dengan ‘menahan’, maka ia seperti bom waktu, yang ketika terpicu, ia akan meledak dengan mengungkit­ungkit masa lampau”.

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 188-194)