• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salju di Gulmarg

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 50-56)

S

atu hari sebelum terbang ke Khasmir, saya sudah berada di Delhi. Itupun sudah di wanti-wanti oleh Dey, salah satu teman Backpacker yang belum pernah ketemu, karena kami berkenalan dari milis yahoogroups Backpacker Indonesia dan kemudian lanjut di medsos Whatsapp. Tadinya saya ke Khasmir ingin menggunakan kereta api, namun setelah dapat info dari Dey, bahwa akan lebih efektif jika menggunakan pesawat saja, apalagi akan banyak teman yang ikutan nimbrung. Akhirnya saya pun luluh dan segera memesan tiket pesawat di tanggal yang sama dengan keberangkatan Dey dan kawan-kawan ke Khasmir, meski jam penerbangannya tak sama. Saya terbang pukul 08.00, sementara mereka terbang pukul 10.00.

Karena tiba lebih awal, jadi konsekwensinya, saya harus me-nunggu kedatangan mereka. Dan tepat pukul 11.00, saya bertemu dengan Dey, Uni, dan Sesi. Lalu kami keluar Bandara, yang tidak begitu ketat penjagaan dalam pemeriksaan bagasi atau paspor. Kebetulan Dey sudah menghubungi agent

travel di Khasmir untuk rental mobil dan mengantar kami langsung ke Gulmarg. Maka bertemulah kami dengan Raja, sopir mobil rental.

Raja adalah pria yang menyenangkan dan pintar berbahasa Inggris dengan lancar. Selama perjalanan, ia banyak berkisah tentang Khasmir pada kami, terutama tentang persoalan konflik antara India dan Pakistan dalam perebutan Khasmir. Ia juga tak segan membagi hotspot internet pada kami. Dan sambil mendengarkan Raja berkisah, saya tak henti-hentinya mengabadikan suasana kota Khasmir, terutama pakaian orang khasmir yang unik begitu juga bentuk rumahnya.

Tujuan kami adalah Gulmarg, yaitu gunung salju. Hampir 2 jam perjalanan kami dari Bandara ke Gulmarg, namun sebelum ke Gulmarg, kami meminta Raja untuk mampir ke restaurant, lantaran sejak pagi, perut kami belum terisi. Dan akhirnya kami berhenti di sebuah restoran yang berada di sebuah desa, tepat di kaki gunung Gulmarg. Dan di restoran itu, kami diperkenalkan dengan Imtiyas, seorang guide yang nantinya akan mengantar kami ke puncak Gulmarg.

Setelah makan pagi sekaligus makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke Gulmarg, namun sebelum masuk ke area pegu­nungan, kami harus menjalani pemerikasaan oleh pihak penjaga. Seharusnya, kami dan barang bawaan kami diperiksa satu persatu, namun karena Raja sudah cukup kenal dan akrab dengan pihak penjaga, akhirnya kami hanya bersalaman saja, kemudian melanjutkan kembali perjalanan menuju Gulmarg, yang jalanannya mulai menanjak dan

berbelok-belok. Itulah salah satu keuntungan menggunakan jasa rental mobil, selain demi kemudahan, juga demi ke-amanan.

Sesampainya kami di view point, entah pada ketinggian berapa, kami diminta Imtiyas untuk turun dan berjalan ke sebuah gubuk yang tak jauh dari tempat mobil kami berhenti. Gubuk itu adalah tempat penyewaan sepatu boot dan jaket tebal, untuk melindungi kami dari dinginnya salju. Lah disinilah kepekaan kami terhadap penipuan mulai teruji. Maka sebelum sewa, kami harus menanyakan harga sewanya, karena nyatanya, setibanya kami di gubuk, tiga pria yang berada di gubuk itu, langsung memakaikan kami jaket dan sepatu boot, tanpa tanya ini itu. Untungnya Sesi yang sangat peka dengan masalah keuangan, cepat bertindak. Hingga akhirnya, tidak semuanya dari kami yang harus menyewa sepatu boot dan jaket, kecuali saya yang sejak awal memang tidak mempersiapkan hal itu.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Gulmarg, jalan yang semakin menanjak dan cuacanya semakin dingin. Untungnya, di mobil Raja terpasang alat pemanas, sehingga tak terasa dingin banget, dan ternyata, semua mobil di Khasmir itu, ‘AC’-nya ya adalah pemanas. Tak mungkin lah mobil butuh AC di daerah sedingin ini.

Selama perjalanan, Imtiyas mewanti-wanti pada kami, untuk tidak menerima tawaran apapun dari orang-orang di Gulmarg. Katanya, “Nanti bilang saja, no, thank you”. Maka kami berempat pun mengangguk. Setelah mobil terparkir

dengan tepat, apa yang dikatakan oleh Imtiyas, benar adanya. Setelah kami keluar dari mobil, tiba-tiba banyak orang yang mendekati kami menawarkan banyak hal. Dari yang naik ini lah, naik itu lah, tiket ini lah, tiket itu lah. Pokoknya seperti fans yang pada mau minta tanda tangan artis. Benar-benar dikerubutin. Tapi kami cuek saja dan menolaknya dengan halus.

Tujuan kami ke Gulmarg adalah naik Gondola ke pun-cak pertama gunung, lalu bermain ski atau menikmati pemandangan gunung bersalju dengan kamera, maka ke-mudian Imtiyas sebagi guide mengurusi pembelian tiket gondola kami seharga RS. 700 per orang. Saya dan Dey spontan saling pandang penuh selidik, karena info yang kami tahu dari beberapa blog, harga naik gondola RS. 1000 per orang. Kok yang ini lebih murah ya? Apa mungkin lagi diskon? Sebenarnya ada dua puncak pemberhentian gondola di Gulmarg. Puncak yang kedua tentu saja lebih tinggi dari puncak pertama, namun kami sepakat hanya sampai pada puncak pertama saja lantaran melihat hari sudah semakin sore dan akan memasuki malam.

Setetelah kami berempat, yang juga didampingi oleh Imtiyas tiba di puncak pertama, Dey dan Uni langsung ke konter penyewaan ski plus dengan jasa untuk mengajari bermain ski, sementara saya dan Sesi hanya berselfie dan memotret.

Saya benar-benar tidak menyangka jika akhirnya saya bertemu dengan salju di India, dan ternyata tidak seperti

yang saya bayangkan. Di Gulmarg tidak terasa dingin banget. Dan setelah semuanya merasa puas dengan kegiatan masing-masing, Imtiyas mendekati kami dan menawarkan dua pilihan untuk turun ke bawah, yaitu dengan ski atau dengan papan kayu peluncur, yang keduanya akan didampingi oleh guide professional dengan harga RS. 1400 per orang. Sesi langsung kaget dan menolak semua tawaran Imtiyas, karena selain ia takut terjadi hal­hal yang tidak diinginkan jika turun ke bawah menggunakan ski atau papan peluncur, juga karena mahalnya harga yang ditawarkannya. Apalagi kami semua masih amatir menggunakan ski atau papan peluncur. Akhirnya Dey pun mempertanyakan tiket gondola pada Imtiyas, “Bukankah tiket gondola itu untuk naik dan turun puncak?” Lalu Imtiyas menjawab, bahwa harga tiket itu hanya untuk naik-nya saja. Sementara turunnya harus bayar lagi.

Sesi semakin sewot sambil berkata, “Ya udah, mending naik gondola saja. Lebih baik saya bayar lagi RS. 700 daripada bayar RS. 1400 dengan nyawa taruhannya”. Imtiyas mencoba menahan kami dengan dalih bahwa kami akan merasakan sensasi dan pengalaman yang luar biasa, yang tak mungkin dilupakan seumur hidup jika menggunakan ski atau papan peluncur. Namun kami tetap memilih gondola untuk kembali turun.

Selama kami turun menggunakan gondola, nampak Imtiyas hanya diam tertunduk malu. Kami berempat yang tadinya excited dan senang dengan Imtiyas, jadi tidak respek padanya, lantaran ternyata, kami tak perlu lagi membayar

tiket gondola untuk turun dari puncak pertama. Ia ketahuan bohong dan mati gaya di depan kami, dan mungkin saja, ia sudah kong-kalikong dengan orang-orang di puncak pertama di sana.

Inilah pengalaman sekaligus pelajaran bagi kami berempat, bahwa yang baik belum tentu baik.

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 50-56)