• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tenaga Kerja Indonesia

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 156-161)

S

etiap kali mendengar negara Malaysia, pasti ingatan saya tertuju pada nasib TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang bekerja di Negara Malaysia. Banyak sekali masya-rakat Madura yang memilih untuk bekerja di negara tersebut. Entah muda maupun tua, dan rata-rata mereka bekerja sebagai buruh. Para perempuan, bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pelayan rumah makan, sementara para laki-laki, bekerja sebagai buruh bangunan. Ada yang nasibnya baik, hingga menjadi jutawan dengan membangun rumah yang begitu besar di kampung hala-mannya, bahkan mampu membantu kerabatnya yang ingin juga mengadu nasib di negeri Jiran. Namun ada pula yang bernasib tidak baik, seperti mendapatkan perlakukan buruk dari majikannya, atau mengalami kecelakaan kerja.

Nasib buruk yang menimpa mereka, juga dikarenakan statusnya yang ilegal sebagai tenaga kerja Indonesia. Biasanya mereka ke Malaysia dengan pura-pura sebagai turis yang

mengunjungi kerabat, namun nyatanya mereka malah bekerja secara ilegal, sehingga ketika mereka mengalami musibah, maka pihak pemerintah Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa. Ujung­ujungnya mereka dipu­langkan secara paksa ke kampung halamannya oleh pihak Malaysia. Terkadang kita mendengar kabar mereka yang terlunta-lunta nasibnya di kapal laut yang membawa mereka pulang, namun terkendala oleh izin lantaran ilegal.

Entah mengapa mereka begitu tergiur dan terobsesi bekerja di negeri orang daripada di negerinya sendiri? Apakah Indonesia, atau lebih tepatnya Madura, tidak lagi memberi harapan bagi kehidupan yang layak dan sejahtera bagi masyarakatnya? Bahkan kerabat saya sendiri pun juga menjadi tenaga kerja di Malaysia.

Untuk menghemat budget, maka setibanya di Malaysia, saya langsung menghubungi salah satu kerabat yang sudah lama menjadi tenaga kerja, untuk menumpang tinggal bersama mereka selama di Malaysia. Saya bertemu dengan kerabat yang biasa saya panggil Om Hasan itu di KL (Kuala Lumpur) central. Kemudian Om Hasan membawa saya ke rumahnya dengan menggunakan monorail. Ternyata Om Hasan bekerja sebagai buruh di sebuah wedding organizer, dan tinggal di sebuah rumah kecil, yang tak jauh dari gudang, tempat penyimpanan barang-barang pernikahan milik majikannya.

Om Hasan tinggal bersama istri dan seorang anak perempuan remaja, yang baru lulus SMA. Terus terang, saya tidak begitu mengenal Om Hasan dan keluarganya. Kata

ayah, Om Hasan merupakan kerabat dekat, namun sejak kecil hingga saat itu saya tidak pernah bertemu dengannya. Ayah hanya memberikan nomer HP Om Hasan pada saya, dan itulah pertemuan pertama saya dengan Om Hasan dan keluarganya.

Setelah kami berbincang banyak, akhirnya hari itu, saya memutuskan untuk beristirahat di rumah Om Hasan yang sangat sempit. Saya jadi tidak enak hati, karena gara­gara kedatangan saya, Om Hasan malah tidur di luar rumah. Mungkin beginilah nasib para pekerja di sini. Hidupnya hanya apa adanya. Bagi mereka yang penting bisa bekerja dan dapat menghasilkan uang. Istri Om Hasan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah majikan Om Hasan, sementara anak perempuannya, bekerja sebagai penjaga toko di salah satu mall yang tidak jauh dari rumahnya.

Atas informasi dari Om Hasan, akhirnya saya men-dapatkan nomer kontak kerabat lainnya yang tinggal tak jauh dari rumah Om Hasan. Maka keesokan harinya, saya pamit pergi untuk mengunjungi rumah kerabat lainnya. Tadinya Om Hasan melarang saya pergi, katanya lebih baik saya tinggal bersama mereka, namun karena saya merasa tidak enak hati dan berpikir, siapa tahu rumah kerabat lainnya lebih besar dan luas dari rumah Om Hasan untuk saya tinggali, hingga kedatangan saya itu tak mengganggu para kerabat.

Setelah naik taksi selama 30 menit, tibalah saya di sebuah perkampungan di daerah Taman Sara dengan rumah yang semuanya terbuat dari kayu berukuran sangat kecil dan

sempit. Ternyata perkampungan itu dihuni oleh orang Madura, dan kebanyakan berasal dari Sampang. Di tengah perkampungan itu terdapat mushalla, yang saat itu terdapat enam orang laki-laki yang sedang tidur-tiduran beristirahat. Saya mendatangi mereka dan menanyakan rumah kerabat saya. Lalu salah satu dari mereka menunjuk sebuah rumah yang tak jauh dari mushalla, yang berjarak tiga rumah sebelah barat dari mushala. Saya pun segera beranjak menuju rumah kerabat, namun nyatanya rumah itu sedang kosong, lantaran semua orang sedang bekerja.

Saya pun kembali ke mushalla untuk sekedar ber-bincang dengan para lelaki tadi, dan ternyata mereka adalah pekerja ilegal yang sedang tidak bekerja lantaran bermasalah dengan statusnya, sementara istri-istri mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, oleh karena itu mereka memilih bertahan di Malaysia dan tidak pulang ke Madura. Katanya lagi, lebih baik di sini dengan keadaan melarat, daripada di kampung halaman yang selain sulit mendapatkan kerja, juga tidak tahan dengan omongan orang tentang dirinya.

Mereka pun berbagi kisah dengan saya tentang suka dukanya tinggal di Malaysia sebagai pekerja. Kata mereka, pernah suatu ketika terjadi razia besar-besaran terhadap pekerja ilegal. Kemudian mereka langsung lari ke hutan untuk bersembunyi selama berhari-hari dengan tanpa makan. Bahkan ada yang bersembunyi ke rumah salah satu orang Madura yang legal, atau yang menikah dengan warga lokal. Biasanya polisi tidak berani menggeledah rumah-rumah

warga lokal atau pekerja legal.

Dari kisah mereka, justru lebih banyak dukanya daripada sukanya bekerja dan tinggal di negeri Jiran. Saya masih berharap agar mereka mau pulang ke kam-pung halamannya, namun lagi-lagi mereka menolak. Katanya lebih tenang di Malaysia, daripada di kampung halamannya. Dan saya hanya bisa tersenyum sambil ber-bisik pada nurani, ternyata kejahatan paling dahsyat adalah omongan orang, yang membuat orang lain ingin pergi dari kampung halamannya.

Omongan orang itu adalah sebuah keniscayaan. Jangankan hal buruk, hal yang baik saja juga tak luput dari objek omongan orang. Itulah mengapa Tuhan menciptakan dua tangan pada manusia, untuk menutup kedua telinganya dari omongan orang. Karena kedua tangannya, takkan mampu menutup mulut semua orang.

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 156-161)