• Tidak ada hasil yang ditemukan

Turis Tengik

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 194-200)

M

erayakan pergantian tahun 2016 ke 2017 di Bali adalah pengalaman yang tak terlupakan bagi saya dan sahabat saya, Hikmah. Semuanya dilakukan tanpa rencana, atau lebih tepatnya meleset dari rencana, karena awalnya saya dan beberapa teman akan merayakan tahun baru di Bali dengan menggunakan mobil, namun satu hari sebelum hari H, semua teman membatalkan perjalanan kecuali Hikmah. Sementara saya begitu bersemangat untuk melakukan perjalanan ini, lantaran seumur hidup belum pernah ke Bali. Ragu sempat menyelimuti pikiran, apakah saya mampu menyetir mobil seharian dari Pamekasan ke Bali bolak-balik dalam waktu hanya dua hari...?

Seperti biasa, Hikmah tidak banyak berkomentar ten-tang rencana perjalanan ini. Pokoknya ia ikut saja, tapi yang penting, lusa dia harus balik ke Pamekasan, karena harus masuk kantor. Lagipula ia sudah dua kali berlibur ke Bali.

rumah-nya. Tidak lama kemudian dalam perjalanan ke Surabaya, saya mengutarakan keragunan menyetir mobil ke Bali padanya, dengan menawarkan sebuah solusi, “Bagaimana kalau kita naik pesawat saja?” Seketika Hikmah mengecek aplikasi pembelian tiket pesawat untuk rute Surabaya-Bali esok hari pada tanggal 1 Januari, yang ternyata harga tiketnya sangat murah. Namun kami menemukan kendala, lantaran pesawat dari Bali-Surabaya untuk lusa, full booking. Kembali saya tanyakan pada Hikmah, “Gimana say? Jadi kita ke Bali?” Dan Hikmah pun menjawab, “Jadi dong! Tar pulangnya kita pakai bis saja”

Akhirnya setelah merayakan malam tahun baruan bersama teman lainnya di rooftop hotel di Surabaya, saya dan Hikmah langsung bergegas ke Bandara Juanda untuk penerbangan ke Bali pukul 05.00, sementara, mobil saya parkir di bandara.

Sekitar pukul 07.00, kami tiba di Bali, dan karena ini adalah pengalaman dadakan tanpa persiapan matang, akhirnya kami sedikit kebingungan, mau naik apa nih ke pantainya? Untung saja saya punya aplikasi taksi dan segera menuju Pantai Kuta. Beberapa jam menikmati angin laut di pantai Kuta dengan sedikit pelayan pijat oleh tukang pijat pantai, saya mulai mencari informasi hotel murah dekat pantai. Dan setelah tanya sana-sini, akhirnya kami menemukan sebuah hotel berbentuk dorm, yaitu enam kasur dalam tiga susun di satu kamar yang bebas untuk laki-laki atau perempuan, dengan harga murah. Setelah melakukan check in, ternyata kamar yang akan kami tempati berada di lantai tiga, dan telah ada

dua turis, yaitu turis perempuan dari China, dan turis laki-laki dari Israel. Kami pun memilih kamar dekat jendela tepat di depan turis dari China. Hikmah di kasur bawah, sementara saya di kasur atas. Kebetulan kedua turis itu sedang tidur saat kami memasuki kamar, namun tiba-tiba turis China terbangun sempat menyapa kami dengan bahasa Inggris, yang tidak saya hiraukan lantaran kantuk mulai menyerang dengan sangat.

Kami langsung beristirahat lantaran semalaman belum tidur, dan terbangun saat sore hari. Setelah mandi dan berpakaian selayaknya turis, kami pun keluar hotel untuk makan dan sewa sepeda motor untuk berkeliling kota Bali semalaman, karena besok sore, kami sudah kembali pulang ke Pamekasan.

Setelah asyik berkeliling kota Bali dan membeli bebe-rapa oleh-oleh, kami sepakat kembali ke hotel untuk meletakkan oleh-oleh, kemudian melanjutkan perjalanan menikmati suasana malam kota Bali. Setibanya di hotel, ternyata ada turis Israel di lobby yang sedang asyik merokok dan berbincang dengan resepsionis hotel. Kami pun berkenalan dan sedikit berbincang. Ternyata si turis Israel sedang berkeluh kesah pada si resepsionis atas perilaku turis China yang tidak tahu diri. Lalu saya dan Hikmah pamit ke kamar untuk meletakkan oleh-oleh.

Di kamar, kami melihat turis China berada di atas kasur-nya dengan gorden tertutup. Entah apa yang ia lakukan di sana. Kami pun datang dengan perlahan dan berusaha tidak

gaduh agar tidak mengganggunya. Namun ketika kami sedang membereskan barang ke dalam lemari, si turis China mulai bertingkah menyanyikan lagu bahasa China dengan suara yang cukup berisik, tapi kami tidak peduli, sampai akhirnya kami pun turun kembali dan melanjutkan perjalanan.

Pada saat tengah malam, dan hujan mulai mengguyur kota Bali, kami pun kembali ke kamar, kemudian tidur.

Keesokan harinya, kami berniat akan pergi ke pantai, namun tertunda lantaran hujan belum jua reda. Saya hanya memandang hujan lewat jendela dan kembali tidur, namun sebelumnya saya ke kamar mandi untuk kencing.

Saat saya menarik selimut melanjutkan tidur, tiba-tiba si turis China yang tingginya sekitar 170 m dengan tubuh yang sangat kurus itu membangunkan saya sambil berkata, “Tolong bersihkan kamar mandi” Saya yang masih didera kantuk, mencoba untuk meresponnya, “Emang kotor? Apanya yang kotor?” Saya pun acuh dan berniat melanjutkan tidur, namun si turis China itu mulai ngamuk-ngamuk, hingga terpaksa saya harus bangun dan turun ke bawah.

Saya katakan padanya, “Kalau memang toiletnya kotor, mari kita berdua ke sana dan tunjukkan pada saya mana yang kotor,” Si turis China tetap ngotot tidak mau ke toilet bersama saya, sementara Hikmah ikut terbangun dan duduk di samping saya, di atas kasurnya. Si turis China tetap nyerocos dan ngamuk-ngamuk. Saya hanya diam saja sambil memandang matanya. Tiba-tiba si turis Israel terbangun dan ikut dalam pertengkaran. Ia menyalahkan si turis China. Sepertinya

ia menemukan momen untuk mengungkapkan emosinya kepada si turis China yang selama ini ia tahan. Akhirnya saya dan Hikmah malah menonton pertengkaran keduanya.

Tidak lama kemudian, si turis China mulai melanjutkan kembali pertengkarannya dengan saya, dan saya tetap pada pendirian awal, saya tidak akan ke toilet jika tidak bersama si turis China itu. Dan kemudian ia pun luluh dan mau ke toilet bersama saya.

Setibanya di toilet, saya katakan padanya, “Tunjukkan pada saya, mana yang kotor?!” Si turis China dengan rambutnya yang keriting itu menjelaskan bahwa setelah menggunakan toilet, seharusnya saya membersihkan deng-an sabun dan mengeringkannya dengan tisu. Mendengar penjelasannya, Saya hanya tertewa kecil dan menolak, karena itu bukan urusan saya. Namun si turis China tetap bersikukuh akan kebenarannya. Saya pun mulai tidak tahan dan berkata padanya, “Hei, kalau kamu ke toilet dan melihat toilet itu kotor, maka bersihkan saja langsung. Lagipula teman saya dan turis lainnya, tidak ada masalah dengan toilet ini. Berarti itu adalah masalahmu, bukan masalah saya...”, Saya pun berlalu meninggalkan si turis China itu di toilet yang masih ngoceh tak jelas. Tiba-tiba dia mengancam, “Akan saya laporkan kamu ke manager hotel,” tanpa berpikir panjang saya pun menjawab, “Silahkan lapor! Saya gak takut.”

Si turis China turun ke lantai dasar untuk komplain ke resepsionis. Saya pun tidak tahu apa yang ia laporkan, namun yang jelas, berdasarkan info yang saya dapatkan dari cerita

resepsionis semalam, bahwa sudah berbagai strategi yang dilakukan oleh pihak hotel untuk mengusirnya, namun si turis China itu tetap tidak mau meninggalkan hotel. Tidak hanya turis Israel saja yang tidak betah di kamar lantaran sering diganggu oleh si turis China tersebut, tapi juga beberapa turis sebelumnya yang lebih memilih pindah hotel daripada sekamar dengan turis China tersebut.

Saya yang akan check out hari itu, mulai berkemas-kemas bersama Hikmah. Tiba-tiba si Turis China kembali memasuki kamar setelah mengajukan komplain pada resepsionis hotel. Ia hanya memandang kami dengan mata benci, sementara saya dan Hikmah juga tak mau kalah memandang matanya dengan tajam. Dia pikir kami takut? Seandainya ia tahu bahwa kami berdua adalah perempuan Madura, mungkin tidak akan bertingkah resek. Pantang bagi perempuan Madura untuk takut dan menyerah pada keadaan, apalagi hanya urusan remeh-temeh begini. Untung saja dia tidak mengajak saya tengkar, kalau iya, saya pasti ladeni tuh Turis.

Saat menemui resepsionis hotel, mereka berkisah pada kami berdua tentang apa yang baru saja si turis China laporkan tentang kami. Kami hanya tertawa saja. Apalagi pihak hotel malah mendukung saya. “Terusin aja Mbak, biar dia kapok dan segera keluar dari hotel ini. Kami sudah muak sama dia. Sampai-sampai gak enak sama tamu lainnya.”

Akhirnya, kami berdua kembali pulang ke Madura dengan menggunakan bis dari terminal Bali. Dari perjala-nan singkat dan tanpa rencana itu, oleh-oleh yang paling berkesan,

hanyalah dimana pertengkaran antara saya dan si turis China itu. Selebihnya biasa-biasa saja, seperti jalan-jalan di kota wisata lainnya meski baru pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah Bali. Namun yang tak habis saya pikir, kenapa si turis China begitu? Ada apa dengannya? Dan dipikir-pikir, ternyata ada juga ya manusia kayak gitu di dunia ini…!

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 194-200)