• Tidak ada hasil yang ditemukan

Thawaf dan Sa’i

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 95-100)

S

ebenarnya untuk berdoa kepada Allah, tidak harus mengunjungi ka’bah di kota Mekkah dengan mengi-kuti program ibadah umrah atau haji. Apalagi biaya umrah lumayan menguras tabungan yang selama ini benar-benar dijaga. Belum lagi dengan biaya sosial yang dikemas dalam acara selamatan sebelum keberangkatan, juga setelah datang dari tanah suci, yang tentu saja akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Artinya kalau cuma berdoa, cukup di rumah saja dan kapan saja, namun yang menjadi pertanyaan, mengapa banyak orang, terutama masyarakat Madura, begitu menjadikan umrah atau haji, sebagai tujuan hidupnya? Tidak mungkin jika hanya untuk berdoa saja pada Allah.

Otak saya terus diserang oleh tanya, mengapa dan mengapa, hingga Allah pun memberi saya jawaban lang-sung dengan peristiwa yang saya lihat dan saya rasakan sendiri ketika melaksanakan ibadah umrah bersama bebe-rapa peziarah dari Madura.

Memang benar, jika hanya ingin berdoa atau solat saja, tidak perlu harus ke tanah suci, cukup di rumah saja, namun dari semua rangkaian ibadah umrah, yang paling berbeda dari ibadah yang biasa dilakukan di rumah, adalah ibadah Thawaf dan Sai yang dirangkum dalam rukun umrah.

Setelah melaksanakan niat umrah di Miqot, kami menuju Masjidil Haram di sekitar ka’bah untuk melaksanakan Thawaf, yang dimulai dari bagian ka’bah yang terdapat Hajar Aswad, atau disebut dengan Multazam. Dulu, ketika Rasulullah akan melaksanakan ibadah Thawaf, selalu memulai dengan memegang Hajar Aswad terlebih dahulu, kemudian mulai mengelilingi ka’bah. Jika putaran tersebut kembali lagi ke Hajar Aswad, maka dihitung 1 kali putaran, kemudian menyentuh Hajar Aswad kembali untuk memulai putaran selanjutnya sampai tujuh kali putaran. Namun saat ini, lantaran jumlah peziarah yang melaksanakan Thawaf sangat banyak dan sulit untuk bisa menjangkaunya, maka cukup melambaikan tangan mengucap salam pada Hajar Aswad dari kejauhan.

Ibadah seperti ini yang tidak ada di rumah, dan me-mang tidak bisa dilakukan di rumah. Lalu pertanyaannya, untuk apa kita mengelilingi ka’bah? Mengapa harus tujuh kali putaran? Apa Pentingnya? Apa makna dari itu semua?

Saya yang selalu terjebak dengan kerumitan berpikir, selalu penasaran dengan makna dan tujuan dari semua hal yang sudah ditetapkan. Saya hanya tidak ingin menerima ketetapan tersebut sebagai taken for granted alias menerima apa

adanya, tanpa mengetahui substansinya. Begitu juga dengan ibadah Sa’i yang dilakukan setelah melaksanakan Thawaf.

Sa’i adalah kegiatan lari-lari kecil dari bukit Shofa ke bukit Marwah selama tujuh kali. Lokasinya terletak tak jauh dari Multazam. Mungkin di zaman dulu, lokasi tersebut terbuka dan panas, namun sekarang, kerajaan Saudi sudah merenovasi lokasi tersebut menjadi ruangan berlantai dan tertutup dengan kipas angin yang tak pernah berhenti, bahkan lokasi tersebut kemudian dibangun menjadi tiga lantai, lantaran tak mampu menampung peziarah yang akan melaksanakan Sa’i.

Berbeda dengan Thawaf yang merupakan perintah lang­ sung dari Allah, Sa’i adalah kegiatan yang meniru apa yang dilakukan Siti Hajar saat mencari sumber air, untuk bayinya, Nabi Ismail yang sedang kehausan. Siti Hajar kebingungan mencari sumber air dari Bukit Shofa ke Bukit Marwah berulang-ulang hingga tujuh kali, hingga kemudian ketika lelah mulai menghinggapinya, ia kembali menemui sang bayi, yang ia letakkan di sebuah gua, dan betapa terkejutnya Siti Hajar manakala melihat air memancar dari tanah tepat di kaki bayinya, lantaran sang bayi tak henti-hentinya menangis dengan menghentak-hentakkan kakinya ke tanah tersebut. Maka sumber air tersebut kemudian diberi nama dengan air Zamzam.

Lagi-lagi otak saya menjadi rumit dan bertanya-tanya, mengapa saya harus melakukan Sa’i? Untuk apa saya capek­ capek berjalan dari Bukit Shofa ke Bukit Marwah, dengan jarak yang tak dekat itu? Bahkan harus sampai tujuh kali,

untuk apa coba? Apa untungnya buat saya?

Saya mencairkan kerumitan otak tentang Thawaf dan Sa’i dengan bertanya ke beberapa orang yang dianggap memiliki kompetensi keilmuan tentang umrah dan haji, termasuk pada ayah saya yang memiliki jam terbang tinggi dalam urusan ini, namun jawaban mereka tidak mampu memuaskan rasa penasaran saya. Mereka hanya menjawab, bahwa ini adalah sebuah rukun atau perintah yang wajib di patuhi, dengan menyematkan dalil Alquran dan hadits sebagai penguat dalil dalam penjelasannya. Bagi saya, kalau cuma jawabannya seperti itu, mungkin cukup bertanya ke mbah google saja. Tapi, di hati yang paling dalam, saya yakin bahwa tidak ada yang sia-sia, yang Allah perintahkan pada manusia. Pasti ada maksud dan makna tersirat dalam praktek ibadah Thawaf dan Sa’i ini.

Dalam proses pencarian, saya pun menemukan sebuah buku berjudul ‘Haji’, karya Ali Syariati. Saya mulai autis membacanya hingga tamat. Saya mulai tersenyum lantaran akhirnya saya memahami akan makna substansi dari ibadah Thawaf dan Sa’i. Buku tersebut tidak hanya menyematkan dalil Alquran dan hadits saja, namun juga terdapat pendekatan sufistik (tasawwuf) atas ibadah umrah dan haji, terutama Thawaf dan Sa’i.

Ibadah umrah dan haji itu adalah proses penghambaan diri pada Sang Illahi. Hamba itu adalah sikap tunduk atas segala ketentuan dan perintahNya. Bahkan apapun yang hamba miliki, harus ia berikan pada Sang Illahi, sekalipun

Sang Illahi tidak memintanya. Seorang hamba tidak boleh angkuh dan sombong, karena yang berhak untuk sombong hanya Sang Illahi, dan Thawaf atau Sa’i adalah bukti dari kehambaan manusia terhadap Sang Illahi. Tak perlu mencari tahu tentang tujuan dari ibadah itu, karena seorang hamba akan melakukan perintah tersebut dengan hati yang tulus, bukan dengan otak yang rumit.

Selain sebagai bentuk penghambaan diri pada Sang Illahi, Sa’i mengajak kita untuk menyelami ketulusan dan keikhlasan hati seorang Siti Hajar yang patuh dan tunduk atas perintah Sang Illahi. Inilah yang dinamakan dengan ikhlas, dimana setiap kebaikan yang kita lakukan, tidak mengharap imbalan apapun, sekalipun surga untuknya di akhir masa nanti. Jika ingin berbuat baik, maka lakukanlah tanpa mengharap akan dibalas dengan kebaikan lainnya pada dirinya.

Setelah mengetahui ini semua, maka ketika saya melak­ sanakan Thawaf mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali, tidak lain lantaran saya sedang menghamba memasrahkan diri seutuhnya pada sang Illahi, dan ketika saya melakasanakan Sa’i, saya pun ikhlas tanpa mengeluh kelelahan, lantaran hal ini adalah sebuah latihan menekan ego dalam diri, hingga menjadi manusia yang lebih baik di hari selanjutnya. Maka jangan pernah memaknai ibadah umrah atau haji, selain dengan pendekatan spitualitas, dimana saya memaknai ibadah tersebut sebagai bentuk latihan mengenal dan mengontrol diri dalam bersikap, berpifikir, dan berbicara.

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 95-100)