• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menu Makanan India

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 62-68)

S

etiap kali makan makanan menu India, selalu saja saya foto, kemudian di-upload ke media sosial, dengan harapan bisa memberi informasi pada teman-teman ten-tang makanan khas India. Meskipun kenyataannya, mereka tidak tahu, betapa menderitaan saya selama berada di India, lantaran perut yang tak bisa beradaptasi dengan makanan India. Tiba-tiba saya kangen soto, gado-gado, atau bahkan makanan yang tidak saya sukai sekalipun. Terutama kangen sama masakan ibu.

Awalnya sih begitu excited dengan makanan India, sampai-sampai setiap kali masuk restoran, saya memesan menu makanan yang berbeda dengan menu yang sudah saya pesan sebelum-sebelumnya. Tapi setelah tiga hari di India, saya sudah mulai pilah­pilih menu untuk makan.

Sebenarnya, saya memilih menu makanan yang berbeda lantaran tidak tahu seperti apa bentuk makanannya, karena memang tidak ada contoh gambar di buku daftar menu

tersebut, jadinya asal beli. Maka wajar jika kadang-kadang dapat menu makanan yang tak enak banget di lidah. Menu makanan yang sering saya pesan adalah nasi Biryani, lantaran perut saya adalah perut Madura, yang belum sah, kalau belum makan nasi. Sementara di India hanya menu nasi Biryani-lah yang menggunakan nasi, selebihnya menggunakan roti. Namun setelah tiga hari berada di India, saya baru sadar, ternyata porsi menu nasi itu sangat banyak dan memang disajikan untuk dua atau tiga orang. Jika hanya dinikmati seorang diri, maka akan mubazir. Saya yang tidak tahu sebelumnya, memang selalu melakukan kemubaziran itu, namun setelah tahu kebenarannya, akhirnya jika ingin makan nasi, saya harus memesan menu paket untuk satu orang saja.

Tiga hari memang terasa cukup untuk ‘coba-coba’ makanan. Akhirnya, saya sudah bisa ngomong agak cerewet pada pelayan restoran ketika memesan makanan. “Sir, saya pesan nasi biryani porsi kecil untuk satu orang. Terus ditambah dengan potato curry dengan tanpa masala.” Padahal sebelumnya, tinggal menunjuk menu tanpa bacot ini itu.

‘Masala’ adalah semacam campuran bumbu khas India, yang terdiri dari cengkeh, kapulaga, kayu manis, daun cassia, biji pala, dan fuli. Biasanya dicampur di masakan curry (kari), baik kari ayam, kari kentang, dll. Rempahnya terasa banget. Kalau cuma makan sekali dua kali sih masih oke-oke aja, tapi lama-kelamaan terasa aneh dan tak enak di lidah. Jadi bikin kangen masakan Indonesia. Namun sekalinya pesan kari tanpa ‘masala’, seketika itu lupa dengan masakan Indonesia,

karena rasanya persis banget dengan masakan padang. Kalau soal porsi, harus lihat-lihat bentuk restorannya terlebih dahulu. Ada restoran yang memang tidak bisa mengurangi porsi nasinya, namun menyediakan paket nasi untuk satu orang, tapi tidak bisa memilih lauknya. Ada juga restoran yang porsi nasinya bisa di-request, seperti restoran hotel. Sebenarnya memesan menu nasi di India itu sangat tepat dan bisa hemat jika bersama teman, dan ketika saya berada di Khasmir bersama tiga sahabat backpacker, bisa memangkas pengeluaran, karena bisa memesan nasi dua porsi untuk empat orang.

Enaknya menjadi seorang ‘pejalan’ itu, tidak sekedar menikmati keunikan dan keindahan kotanya saja, tapi juga menjadi ‘pemakan’ yang ‘rakus’ dengan melakukan wisata kuliner. Salah satunya adalah menikmati jajanan kaki lima, seperti Golgappa. Di setiap kota yang saya singgahi, pasti beli Golgappa, meski hanya satu porsi. Golgappa adalah semacam kue sus kering, yang dilubangi tengahnya, terus diisi rebusan kacang ijo, lalu ditambah dengan madu, atau cabe. Sebelum diberikan ke pembeli, Golgappa di dicelupkan terlebih dahulu ke dalam panci besar berisi air berwarna hijau yang rasanya sedikit manis dan asin. Saya pun lupa menanyakan satu persatu bahan Golgappa. Tapi kadangkala isi Golgappa di setiap kota itu berbeda-beda. Dan menurut saya, Golgappa yang paling enak adalah di Agra, manis dan asinya, pas banget di lidah.

RS. 10, tapi jumlahnya berbeda. Ada yang jumlahnya enam biji, ada pula yang cuma dapat tiga biji. Dan tidak menutup kemungkinan untuk mencoba jajan jalanan lainnya, seperti misalnya saat berada di Vrindavan. Saya membeli Samosa, dengan tambahan bumbu kari kentang. Samosa, adalah semacam kue pastel yang didalamnya ada campuran kentang, daging, dll yang dibungkus dengan pastry. Tapi tetap saja, Golgappa paling top, selain enak juga memiliki cara makan yang sangat unik.

Saat makan bersama Mr. Feroze di hotel tempat ia menginap, saya pun segera mengambil kesempatan untuk bertanya soal makanan khas India. Apa namanya dan juga bagaimana cara saya memesannya. Darinya saya mendapatkan informasi, bahwa mayoritas masyarakat India adalah vegetarian. Jadi menu makanannya lebih banyak mengandung sayuran, atau kacang-kacangan. Tak jarang juga menggunakan yogurt sebagai menu tambahan pada menu parantha (roti).

Pertemuan saya dengan seorang perempuan muda bernama Sweeta di Kereta api dalam perjalanan menuju Delhi dari Jaisalmer, juga menambah wawasan saya tentang makanan khas India. Kebetulan saat itu, Sweeta yang bersama ibunya baru datang dari Jodhpur setelah melaksanakan ritual ibadah Hindu, sedang sarapan, dan mengajak saya untuk ikut makan bersama mereka. Kata Sweeta, makanan yang mereka makan dimasak sendiri oleh ibunya. Kebetulan ibunya memiliki hobi yang sama dengan ibuku, yaitu memasak, so, semua

nama makanan yang ingin saya ketahui, akhirnya mendapat jawaban dengan detail dari Sweeta dan ibunya. Setidaknya, setelah itu, saya bisa dengan sombong memesan makanan dengan sok tahu dan tak lagi asal nunjuk-nunjuk. Bahkan tak lagi geleng-geleng kepala sambil menelan ludah kering saat melihat menu makanan yang terhidang, lantaran makanan yang dipesan malah hanya selembar roti tanpa apapun.

Hari-hari terakhir di India, lidah saya mulai terbiasa dengan masakan India, yang tentu saja tanpa bumbu masala. Sepertinya masala tetap menjadi masalah buat saya. Sementara yogurt yang tadinya terasa tak enak di lidah, malah justru tak ingin ketinggalan setiap kali menikmati makanan. Begitu juga dengan nasi Biryani, yang sejak awal datang ke India, saya selalu memesannya, namun belakangan, saya lebih memilih menu parantha paneer yang disempurnakan dengan tambahan kari kentang dan yogurt sebagai menu handalan saat sarapan.

Sekembalinya ke Indonesia, tepatnya di Surabaya, saya langsung memesan lalapan dua porsi dengan berbagai lauk, yaitu gurami, lele, tahu tempe, dan terong. Bukan hanya lapar, tetapi lantaran saking rindunya dengan masakan Indonesia. Maklumlah, selama di India, saya tidak pernah makan ikan dan sambal. Hingga tiba-tiba saya pun menjadi ‘monster’. Dan dengan tawa mengejek, Kak Rintis yang saya ceritakan tentang penderitaan saya atas masakan India pun berkata, “Haaaa… saya pikir kamu enak-enak saja dengan masakan India. Ternyata postingan foto makanan di Medsos itu tak menggambarkan realita sesungguhnya ya…?!”

Tiba-tiba saya teringat dengan persiapan sebelum berang-kat ke India, manakala saya mencatat semua nama-nama makanan India, khususnya food street, dan tak lupa pula menonton vlog masakan India di You Tube. Berharap saya bisa menikmati semua makanan India, namun nyatanya masakan Indonesia jauh lebih enak di lidah, apalagi masakan ibu.

Dalam dokumen Novie Chamelia. Sulur Pustaka (Halaman 62-68)