• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Peraturan

Publikasi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“Undang-Undang Perbankan Syariah”) adalah awal dari berbagai usaha yang didedikasikan untuk mengembangkan kerangka peraturan, yang kemudian diikuti oleh sejumlah peraturan yang beragam mengenai perbankan syariah. Meskipun jumlah peraturan tersebut mampu membantu menciptakan kepastian hukum di pasar, namun juga dapat menciptakan kebingungan bagi pelaku pasar dan konsumen. Keluhan yang lazim ditemui di pasar adalah bahwa kerangka hukum dan peraturan untuk keuangan syariah di Indonesia membingungkan.

Sebagian besar aturan BI dan OJK perlu dikonsolidasikan misalnya buku aturan OJK online, sehingga aturan-aturan yang menyangkut lembaga-lembaga keuangan syariah dapat dipahami secara lebih baik, termasuk keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini akan membantu para investor dan penasihat untuk dapat memahami persyaratan untuk masuk ke pasar dan kewajiban- kewajiban yang ada.

Dalam jangka pendek, ketika ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan Syariah dialihkan menjadi buku aturan OJK online, undang-undang/aturan tersebut akan sangat berguna karena akan menjadi perujukan silang ke peraturan perundang-undangan lain. Contohnya terdapat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yang mengizinkan Bank Umum Syariah untuk melakukan penawaran umum efek sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan mengenai pasar modal. Contoh lain adalah Pasal 34 Undang-Undang Perbankan Syariah, yang mengharuskan rekening untuk dipersiapkan sesuai dengan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum. Dalam buku aturan OJK online, perujukan silang dapat ditelusuri langsung ke Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/26/DPbs tertanggal 10 Juli 2013 tentang Penerapan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia yang berkaitan dengan semua Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Hal ini akan memungkinkan pemain pasar dan penasihat untuk menavigasikan kerangka hukum yang dibutuhkan

secara lebih eisien dan efektif. Hal ini tidak sulit dilakukan karena sebagian besar aturan dan undang-

undang tersebut sudah ada tetapi perlu dihubungkan dan dikonsolidasikan.

Dalam jangka panjang, langkah yang perlu ditempuh setelah melakukan perujukan silang adalah menggabungkan berbagai aturan dan persyaratan untuk pasar modal (misalnya persyaratan prospektus

dan dokumentasi pasar modal lainnya) yang disesuaikan secara spesiik dengan keuangan syariah.

Bidang serupa lainnya berkaitan dengan ketentuan pada Pasal 19.

Lebih lanjut, Undang-Undang Perbankan Syariah hendaknya diperbarui untuk menjelaskan yurisdiksi tentang perselisihan menyangkut keuangan syariah, karena tampaknya sekarang terdapat kebingungan dalam undang-undang tentang pengadilan mana yang memiliki hak prerogatif ini (Pasal 55). Persoalan ini dibahas dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013, yang di dalamnya diputuskan bahwa Pengadilan Agama memiliki yurisdiksi kecuali jika terdapat tindakan penegakan untuk keamanan, misalnya, di bawah perjanjian hipotik. Sebagai alternatif atau bahkan sejajar dengan itu, Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional), yang dibentuk pada 1993 dengan inisiatif MUI – dapat memperoleh lebih banyak dukungan hukum dan kelembagaan untuk mengembangkan badan ini sebagai pusat hukum dalam negeri untuk penyelesaian sengketa keuangan syariah, dengan

kemampuan untuk memilih praktisi dan/atau cendekiawan muslim terkemuka sebagai penengah untuk menyampaikan keputusan yang sesuai. Ketentuan ini dapat dijelaskan untuk menegaskan bahwa hanya hal-hal yang berkaitan dengan persoalan khusus, contohnya penegakan keamanan, akan tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Negeri.

Rekomendasi:

Mengkonsolidasi kerangka peraturan yang ada

Berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2011, OJK berwenang untuk menerbitkan peraturan-peraturan di sektor keuangan, sehingga OJK hendaknya mulai mengonsolidasi semua undang-undang dan peraturan menjadi Buku Aturan OJK online (tersedia lengkap dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia) yang dikelola dan diperbarui setiap tiga bulan dan dibagi menjadi modul-modul topik bahasan (misal: Modul Aturan Materi Pemasaran, Modul Aturan Pelaksanaan Usaha, dan lain-lain). Hal ini akan amat berharga dalam memfasilitasi pertumbuhan industri keuangan syariah.

Akan cukup mudah bagi Modul Keuangan Syariah dari Buku Aturan OJK untuk merujuk silang ke aturan dan peraturan yang sudah ada, yang telah dikembangkan untuk industri perbankan konvensional non-Islam dan kemudian mengubah aturan-aturan seperti itu agar sesuai dengan kerangka kerja yang memiliki kepatuhan syariah. Hal ini juga akan meningkatkan kerangka hukum keuangan syariah secara keseluruhan. Contoh dari hal ini berupa Modul Keuangan Syariah dari Peraturan OJK yang memiliki submodul tentang kejahatan keuangan, dengan membuat rujukan khusus ke perundang-undangan umum Indonesia dalam bidang ini.[40]

Dalam undang-undang terkait sekarang ini, OJK dan Bank Indonesia memiliki kuasa untuk menerbitkan peraturan seperti itu dan OJK akan dapat menciptakan lahan yang seimbang antara sektor Islam

dan sektor konvensional, dan dengan mudah mengidentiikasi bidang-bidang yang membutuhkan

perubahan pada tingkat legislatif.

Meningkatkan kerangka peraturan yang ada lewat amandemen (umum dan kebijakan khusus) Terkait tolok ukur internasional di atas, Undang-Undang Perbankan Syariah hendaknya diamandemen untuk:

∞ Memperkenalkan persyaratan wajib bagi para anggota Dewan Direksi untuk menghadiri minimal 75% dari seluruh Rapat Dewan Direksi serta persyaratan untuk menghadiri rapat setidaknya sekali sebulan (catatan: sudah ada persyaratan bagi Dewan Komisioner bank untuk rapat sekali sebulan dengan kuorum setidaknya 2/3 berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/2009 tentang Tata Kelola Korporasi yang Baik);

∞ Memasukkan pedoman dan aturan internasional utama yang relevan (jika tepat dan dapat dilakukan), seperti yang berasal dari Komite Basel, IFSB, AAOIFI, dan IFRS dengan berbagai amandemen sesuai dengan peraturan DSN-MUI dan IAS (baik akuntansi maupun tata kelola usaha, termasuk standar dan tata kelola syariah);

∞ Memberikan daftar terperinci yang lebih ekstensif tentang layanan perbankan yang telah diregulasi, dan pedoman tentang penafsiran masing-masing layanan;

∞ Memperkenalkan kriteria untuk bank korporasi/wholesale syariah serta bank investasi syariah (berkolaborasi dengan perubahan yang diajukan terhadap Undang-Undang Pasar Modal);

∞ Memperkenalkan persyaratan bagi bank syariah untuk memublikasikan dan mengadopsi pedoman tata kelola korporasi secara tertulis, mempertahankannya di situs mereka, dan melaporkan kepada OJK tentang penjelasan sejauh mana hal tersebut berbeda atau tidak mematuhi persyaratan- persyaratan tersebut;

∞ Memperkenalkan syarat dan ketentuan minimal bagi perjanjian/akad Murabahah, serta perjanjian/ akad lain, melalui Peraturan Pelaksanaan, sesuai dengan peraturan DSN-MUI (catatan: sekarang terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24/POJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Namun, hal ini membutuhkan pengembangan yang jauh lebih besar);

∞ Menjelaskan pengadilan mana yang memiliki yurisdiksi eksklusif bagi perselisihan keuangan syariah dan dalam keadaan apa;

∞ Meningkatkan peran Basyarnas untuk dapat menangani perselisihan keuangan syariah melalui Peraturan Pelaksanaan (catatan: seiring berjalannya waktu, diperkirakan bahwa dengan makin banyaknya kasus yang diselesaikan Basyarnas, lembaga ini akan mengembangkan reputasi yang kuat untuk menangani perselisihan keuangan syariah, yang seiring waktu dapat membantu mengembangkannya dari pusat arbitrase domestik menjadi pusat arbitrase internasional untuk perselisihan-perselisihan serupa);

∞ Memperkenalkan berbagai aturan arbitrase Islam, berdasarkan Hukum Model UNCITRAL, yang akan membantu menfasilitasi penggunaan Konvensi New York untuk penegakan arbitrase asing, dengan menerapkan Peraturan Pelaksanaan;[41]

∞ Memberikan aturan terperinci tentang cara “pemisahan diri” Unit Usaha Syariah dari bank umum konvensional yang akan berlangsung;

∞ Memperkenalkan Pengembangan Profesional Berkelanjutan dan persyaratan pelatihan wajib untuk semua lembaga keuangan syariah, lewat Peraturan Pelaksanaan; dan

∞ Memperkenalkan rincian yang berkaitan dengan persyaratan pengungkapan untuk dana syariah, dana Investasi Kolektif Syariah, dan Dana Investasi Real Estate Syariah, untuk membantu pertumbuhan sektor-sektor ini lewat Peraturan Pelaksanaan dan perujukan silang.

41 Konvensi tentang Pengakuan dan Penegakan Putusan Arbitrase Asing, juga dikenal sebagai “Konvensi

Arbitrase New York” atau “Konvensi New York,” adalah salah satu instrumen kunci dalam arbitrase internasional. Konvensi New York memberlakukan pengakuan dan penegakan putusan arbitrase asing dan perujukan oleh pengadilan ke arbitrase. Semua negara penanda tangan telah sepakat untuk saling menyetujui putusan arbitrase yang berasal dari sesama negara penanda tangan, dan mengizinkan arbitrase seperi itu untuk diterima oleh pengadilan setempat, yang kemudian dapat menerbitkan putusan pengadilan yang dapat menegakkan putusan lembaga arbitrase. Negara-negara biasanya memiliki hak untuk menolak penegakan berdasarkan kebijakan publik. Indonesia menjadi negara penanda tangan Konvensi New York pada tahun 1981.

Tujuan Rekomendasi:

∞ Meningkatkan kejelasan, potensi penerapan, dan saling kebergantungan semua peraturan keuangan syariah;

∞ Memfasilitasi penerapan semua peraturan secara tepat oleh semua pemain;

∞ Meningkatkan kematangan keseluruhan peraturan dengan menutup kesenjangan yang ada;

∞ Meningkatkan standar keseluruhan tata kelola usaha, pengungkapan, dan pelaporan dalam lembaga keuangan syariah; dan

∞ Menyetarakan kerangka peraturan Indonesia dengan kerangka peraturan terkemuka dunia.

Manajemen Risiko

Penerapan kerangka manajemen risiko secara komprehensif sangat penting untuk memastikan stabilitas sektor perbankan di Indonesia. Meskipun berbagai peraturan yang ada sekarang mengandung unsur yang mengulas tentang manajemen risiko, namun tidak ditemukan adanya persyaratan wajib dalam peraturan tersebut untuk melakukan evaluasi rutin terhadap prosedur kebijakan dan manajemen risiko kredit, yang sekarang ini hanya dilangsungkan ketika:

I. bank diminta untuk melakukan hal tersebut;

II. berbagai masalah ditemukan dalam proses pembiayaan yang ada; atau III. peraturan perbankan diamandemen.

Oleh karena itu, kerangka manajemen risiko sekarang ini tampaknya memiliki pendekatan reaktif bukan proaktif (yang terjadi dalam berbagai lembaga keuangan di banyak yurisdiksi).

Meskipun bank-bank diharuskan membentuk Komite Manajemen Risiko, tidak terdapat keharusan lebih lanjut untuk menyusun pemisahan dan pembedaan tugas yang jelas antara unit operasional perbankan dan fungsi administrasi risiko kredit dalam struktur organisasi. Hal ini berarti bahwa fungsi administrasi risiko kredit dalam aktivitas pembiayaan dapat tetap dikelola oleh para anggota unit operasional bank. Dengan demikian, terdapat potensi bahaya bahwa aspek administrasi dari manajemen risiko kredit bukan merupakan unit kendali back-oice yang independen.

Lebih lanjut, sehubungan dengan pengendalian risiko kredit, tidak ada keharusan dalam Kebijakan Pencadangan (Reserve Policy) untuk mempertimbangkan berbagai faktor penting tertentu selain piutang tertagih, seperti kondisi usaha dan ekonomi makro, atau arus uang tunai.

The State Bank of Pakistan telah menerbitkan “Pedoman Manajemen Risiko untuk Lembaga Perbankan Syariah” (Risk Management Guidelines for Islamic Bank Institutions/Pedoman SBP), yang mengadopsi “Prinsip Panduan Manajemen Risiko untuk Lembaga (selain Perusahaan Asuransi) yang Hanya Menawarkan Layanan Perbankan Syariah” dari IFSB. Pedoman SBP tersebut harus dipertimbangkan, selain pedoman manajemen risiko yang ada dalam perundang-undangan Pakistan. Panduan SBP mempertimbangkan publikasi terkait dari Komite Basel tentang Pengawasan Perbankan, serta banyak publikasi yang dikeluarkan oleh berbagai badan penetapan standar internasional yang lain. Pedoman SBP tersebut merupakan contoh yang baik dari praktik-praktik terbaik untuk mengelola risiko dalam

lembaga perbankan syariah, dan memberikan panduan spesiik untuk masing-masing bidang berikut:

I. risiko kredit;

II. risiko investasi ekuitas; III. risiko pasar;

IV. risiko likuiditas;

V. risiko tingkat pengembalian; dan VI. risiko operasional.

Di samping itu, Pedoman SBP mengakui tentang isu risiko reputasi, yang terutama berkaitan dengan tata kelola serta proses dan strategi usaha, terutama dalam hal publisitas negatif bagi ketidakpatuhan

syariah, yang merupakan risiko spesiik berkaitan dengan bank syariah. Beberapa persyaratan umum

dalam Pedoman SBP mencantumkan antara lain:

I. Manajemen Senior (senior management) harus membuat rencana darurat dan kontingensi yang disetujui oleh Dewan Direksi untuk menangani berbagai risiko dan masalah dari peristiwa yang tidak terduga;

II. Untuk masing-masing kategori risiko, lembaga perbankan syariah didorong untuk menetapkan

sistem/model yang memperhitungkan proil risiko mereka, untuk dinilai oleh fungsi peninjauan

risiko independen; dan

III. Staf harus dilatih secara memadai tentang prosedur dan prinsip syariah, dengan penekanan berkelanjutan terhadap perencanaan pengembangan dan pelatihan staf, melalui koordinasi dengan DPS.

Di samping itu, dalam hal manajemen risiko teknis, Korporasi Asuransi Simpanan Federal Amerika Serikat (US Federal Deposit Insurance Corporation/FDIC) memiliki Manual Manajemen Risiko tentang Kebijakan Pemeriksaan yang amat komprehensif, matang, teknis, dan tersedia bagi publik, sebagai bagian dari kerangka kerja yang lebih luas dari prosedur dan manual Pemeriksaan Bank. Selain itu, FDIC memiliki manual yang lebih disesuaikan untuk proses pemeriksaan bagi bank lokal skala kecil (Small Community Bank). OJK, berkolaborasi dengan IDC, dapat menciptakan manual terkonsolidasi serupa yang

menguraikan berbagai pertimbangan manajemen risiko spesiik yang diperhitungkan ketika memeriksa

perlindungan, kontribusi, dan premi asuransi deposito. Hal ini hendaknya dilakukan untuk beragam lembaga perbankan syariah, termasuk Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Pendanaan Darurat

Di bawah perundang-undangan Indonesia, Bank Indonesia adalah Pemberi Pinjaman Terakhir (Lender of Last Resort/LoLR) menurut Pasal 11 Undang-Undang No. 23 tahun 1999 (sebagaimana yang diamandemenkan oleh Undang-Undang No. 6 tahun 2009). Saat ini sedang disusun Rancangan Undang- Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan sekaligus untuk menggantikan PERPPU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

Berkaitan dengan bantuan jangka pendek, Peraturan Bank Indonesia No. 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Jangka Pendek untuk Bank Syariah (sebagaimana diamandemen oleh Peraturan Bank Indonesia No. 14/20/PBI/2012) (Peraturan BI 11/09), memberikan bantuan keuangan jangka pendek berbasis

Mudarabah bagi bank-bank syariah yang menghadapi kesulitan keuangan jangka pendek.

Kerangka Kerja Kebangkrutan (Bankruptcy Framework)

Berkaitan dengan kebangkrutan, sekarang ini, menurut Pasal 2 (3) Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, aplikasi aktual terhadap kebangkrutan hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia. Berhubung sebagian besar kerangka keseluruhan dan kekuasaan untuk peraturan telah dialihkan dari Bank Indonesia ke OJK, Undang-Undang Kebangkrutan mungkin perlu diperbarui untuk mencerminkan perubahan ini dan untuk memberi OJK kekuasaan hukum secara resmi dalam bidang khusus ini. Lebih lanjut, undang-undang ini berlaku bagi semua bank, dan tidak ada ketentuan khusus diberikan untuk menangani berbagai persoalan unik dalam lembaga- lembaga perbankan syariah. Sebagai tambahan, saat ini tidak ada peraturan teknis yang membahas kebangkrutan potensial Bank Perkreditan Rakyat.

Rekomendasi

Meningkatkan kerangka kerja regulasi

∞ Perbarui Undang-Undang Kebangkrutan untuk menerbitkan aturan insolvensi (ketidakmampuan membayar utang) yang khusus dan disesuaikan untuk lembaga perbankan syariah, mencakup Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dan Unit Usaha Syariah dari bank konvensional;

∞ Lakukan peninjauan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan untuk mengatasi permasalahan demi meningkatkan peraturan ini menjadi undang-undang;

∞ Bank Indonesia hendaknya menerbitkan peraturan untuk fasilitas darurat jangka panjang bagi lembaga perbankan syariah yang mengalami kesulitan;

∞ OJK hendaknya menerbitkan Pedoman Manajemen Risiko untuk Lembaga Perbankan Syariah, serupa dengan pedoman yang terdapat dalam Panduan SBP, untuk dibaca bersama dengan persyaratan regulasi dan hukum Indonesia yang ada, serta Pedoman Umum Tata Kelola Korporasi yang Baik Indonesia. OJK dapat mengharuskan lembaga perbankan syariah untuk membuat pernyataan bahwa mereka telah mematuhi ketentuan dalam pedoman-pedoman ini, dan jika bank belum mematuhinya, pernyataan harus diberikan beserta alasannya;

∞ OJK hendaknya mewajibkan lembaga perbankan syariah untuk membuat rencana darurat dan kontingensi yang kemudian disetujui oleh OJK dan ditinjau setiap tahun;

∞ Hendaknya terdapat persyaratan bagi penerapan sistem/model tertentu untuk setiap kategori risiko, sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Pelaksanaan, dan sistem/model tersebut harus dinilai setiap tahun oleh fungsi peninjau risiko independen (dan temuan dalam penilaian tersebut harus dilaporkan ke OJK secara teratur);

∞ OJK hendaknya mengharuskan semua bank syariah untuk memberikan kepada staf mereka seperangkat pelatihan minimum setiap tahun tentang prosedur dan prinsip syariah; serta manajemen risiko ketidakpatuhan (yang biayanya dapat dikurangi dari pajak untuk memberi insentif bagi tersedianya pelatihan dengan tingkat yang lebih tinggi dan untuk mengurangi beban regulasi);

∞ OJK hendaknya mengharuskan semua bank syariah memiliki kebijakan untuk memastikan bahwa fungsi-fungsi administrasi dalam manajemen risiko beroperasi secara independen dan terpisah dari bagian operasional organisasi yang bersangkutan;

∞ OJK hendaknya menetapkan persyaratan bagi lembaga-lembaga perbankan syariah untuk memiliki Kebijakan Komunikasi untuk memastikan bahwa kebijakan manajemen risiko disampaikan kepada semua pegawai, untuk membantu mendukung budaya manajemen risiko internal (hal ini dapat disertai dengan persyaratan bagi lembaga-lembaga perbankan syariah untuk menyebutkan dalam berkas pengajuan rutin tahunan mereka ke OJK bahwa persyaratan Kebijakan Komunikasi telah dipenuhi);

∞ OJK dan LPS hendaknya mengembangkan buku pedoman pengelolaan risiko terkait Kebijakan Pemeriksaan yang mencakup lembaga keuangan syariah, serupa dengan model FDIC, untuk menguraikan persyaratan manajemen risiko dan prosedur pemeriksaan. Manual tersebut harus mencakup antara lain risiko kredit, risiko investasi ekuitas, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko tingkat pengembalian, risiko gadai, dan risiko reputasi; dan

∞ Lewat Peraturan Pelaksanaan, OJK hendaknya mengharuskan bank syariah melakukan hal-hal berikut:

o menguraikan persyaratan dan faktor teknis minimal untuk penilaian risiko kredit dengan mempertimbangkan, seperti antara lain, kondisi usaha dan perekonomian makro, aliran uang tunai, di samping piutang tertagih;

o memastikan sedapat mungkin terdapat perlindungan asuransi (takaful) memadai yang memenuhi syariah terhadap nilai berbagai aset;

o memperkenalkan prosedur pemeringkatan internal wajib terhadap penyimpan dana (depositor) dan pengujian stres untuk mengecek kecukupan modal dan likuiditas serta menyelidiki potensi risiko kredit;

o memastikan bahwa lembaga-lembaga perbankan syariah memiliki teknik mitigasi risiko kredit yang memiliki kepatuhan syariah, yang cocok untuk masing-masing instrumen pembiayaan syariah;

o persyaratan untuk pengujian stres untuk mengecek kecukupan modal dan likuiditas; dan o memastikan bahwa kebijakan internal yang berkaitan dengan manajemen risiko reputasi dan

risiko ketidakpatuhan terhadap syariah dikelola setiap tahun, dan dikomunikasikan ke semua anggota staf terkait. Departemen audit syariah internal terpisah dan DPS dapat melaksanakan hal ini.

Mengembangkan Jaring Pengaman Keuangan Syariah

∞ KNKS hendaknya memberikan kepada salah satu subkomitenya tugas mengembangkan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) khusus untuk bank syariah dan lembaga keuangan mikro. Subkomite tersebut perlu bekerja erat dengan semua pemangku kepentingan termasuk OJK, Bank Indonesia, LPS, dan DSN-MUI, untuk mengembangkan berbagai strategi dan rencana aksi untuk menangani berbagai peristiwa yang dihadapi oleh bank syariah atau lembaga keuangan mikro dalam situasi kesulitan, penutupan usaha, atau ketidakmampuan melunasi utang;

∞ JPSK Syariah tersebut hendaknya secara proaktif menangani risiko sistemik yang akan berkembang pada masa mendatang dengan tumbuhnya pangsa pasar perbankan syariah dan harus dapat memberikan dana talangan kepada bank syariah atau lembaga syariah mikro yang bermasalah, dengan cara yang memiliki kepatuhan syariah, atau dalam skenario kasus terburuk membubarkan lembaga sesuai dengan persyaratan syariah dan peraturan pemerintah.

Tujuan Rekomendasi:

∞ Menegakkan struktur manajemen risiko dalam industri keuangan syariah;

∞ Mempersiapkan untuk menangani berbagai peristiwa yang mungkin terjadi ketika industri ini

tumbuh dan pangsa pasarnya menjadi signiikan dalam sektor keuangan;

∞ Menanamkan budaya manajemen risiko dalam praktik industri; dan

∞ Mengembangkan Jaring Pengaman Sistem Keuangan untuk mengelola risiko sistemik yang berkaitan dengan lembaga-lembaga keuangan syariah dalam cara yang memiliki kepatuhan syariah.