• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meluncurkan Kampanye Kesadaran Nasional untuk Sosialisasi Wakaf

• Mengorganisasi kampanye nasional untuk pemberian edukasi mengenai Wakaf (terutama Wakaf tunai). Kementerian Agama dan BWI harus berkolaborasi dengan LSM Islam dan organisasi profesi ekonomi syariah untuk menarik minat masyarakat untuk berkontribusi pada Wakaf tunai. Semua usaha pemasaran harus dioptimalkan dengan menjangkau semua jaringan hubungan dan menggunakan dukungan beberapa lembaga keuangan syariah (untuk membantu pembiayaan kampanye dengan mempermudah cara untuk berpartisipasi di program Wakaf tunai menggunakan mesin ATM, debit langsung, pembayaran via SMS pembayaran via internet, dll.);

• Untuk mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam Wakaf tunai, maka semua jumlah Wakaf tunai seharusnya dipotong dari penghasilan kena pajak dengan menunjukkan bukti pembayaran asli yang dikeluarkan oleh BWI beserta pengembalian pajaknya;

• BWI perlu untuk membangun hubungan yang kuat dengan lembaga Wakaf di negara lain (seperti

Kuwait Awqaf Public Foundation, General Authority of Islamic Afairs and Endowments of UAE,

Yayasan Waqaf Malaysia, Awqaf SA of South Africa, MUIS Wakaf Administration of Singapore, Central Waqf Council of India, dan Awqaf Properties Investment Fund (APIF) dari Islamic Development Bank[78]) untuk lebih mempelajari cara mereka beroperasi dan kisah sukses mereka.

78 APIF menyediakan pembiayaan untuk pengembangan properti Wakaf yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia.

Tujuan Rekomendasi:

• Memperkuat transparansi, akuntabilitas, rasa memiliki, dan profesionalisme ke dalam pengelolaan Wakaf;

• Meningkatkan eisiensi pengelolaan Wakaf untuk mengoptimalkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia;

• Mengedukasi masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam operasi Wakaf dengan fokus pada dampak penting yang dapat diberikan untuk kehidupan masyarakat; dan

• Membangun kapasitas pemain Wakaf Indonesia untuk memaksimalkan manfaat Wakaf dengan cara mempelajarinya dari negara lain yang lebih maju dalam sektor Wakaf.

Tata kelola syariah merupakan salah satu pilar penting dalam keuangan syariah. Untuk memenuhi kebutuhan penting ini, tiap negara telah mengembangkan model yang berbeda satu sama lainnya. Model tata kelola syariah milik Indonesia terlihat begitu menonjol di antara model yang lain karena

memiliki kemandirian dan kebebasan dari munculnya konlik kepentingan langsung yang bisa terjadi

antara ahli syariah dan pemangku kepentingan industri. Meskipun model ini memang unik dan secara teknis lebih baik dibandingkan dengan model-model lain yang dikenal, tetapi model ini juga memiliki berbagai kekurangan yang dapat berdampak pada industri keuangan syariah di negara ini.

Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) adalah otoritas tertinggi di Indonesia yang mengawasi pelaksanaan hukum syariah, menyetujui produk-produk keuangan syariah, dan memberikan pengarahan, juga opini dan fatwa yang berhubungan dengan urusan keuangan syariah. Berlainan dengan Malaysia, yang memiliki National Shariah Council sebagai bagian dari Bank Negara Malaysia, DSN-MUI berdiri secara independen dan terbebas dari semua entitas pemerintahan dan merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia.

Saat ini DSN-MUI terdiri dari 40 ulama atau ahli syariah dari berbagai daerah di Indonesia dan mewakili berbagai kelompok Islam di Indonesia. Berbeda dengan Malaysia yang mengelompokkan semua umat muslim ke dalam satu kelompok etnis “Melayu” dan hampir seluruhnya mengikuti mazhab Syai’i,[79] Indonesia memiliki komposisi agama yang sangat berbeda dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia memiliki populasi sepuluh kali lipat lebih banyak daripada populasi Malaysia dan tersebar di berbagai daerah dengan sejumlah etnis, kelompok agama, dan pemikiran yang terkadang sangat berbeda satu sama lainnya. Karena keanekaragaman ini, maka akan lebih sulit menentukan sebuah konsensus mengenai urusan agama yang sensitif di Indonesia dibandingkan di Malaysia, dengan pengambilan keputusan yang lebih mudah untuk dilakukan karena tidak banyak pendapat yang berbeda.

Begitu banyaknya anggota dewan yang bertempat tinggal di area terpencil di berbagai wilayah Indonesia merupakan tantangan logistik yang serius bagi DSN-MUI, yang perlu mengusung seluruh anggotanya ke Jakarta untuk menghadiri pertemuan untuk mendiskusikan dan memberi persetujuan akan beberapa hal. Hal ini sangat merugikan pembiayaan dan seringkali menyebabkan diundurnya proses persetujuan. Tantangan lain adalah, DSN-MUI tidak memiliki alokasi anggaran dari Pemerintah. DSN-MUI bersandar sepenuhnya pada kontribusi kecil yang diterima dari para pelaku keuangan syariah yang jauh dari kata ideal dari sudut pandang tata kelola dan juga tidak cukup untuk menutup pengeluarannya. Akibatnya, DSN-MUI tidak mampu menggaji anggotanya dengan layak dan juga tidak sanggup memiliki staf administratif pendukung.

Kurangnya dana semakin lama akan semakin memperlambat proses karena para ulama atau ahli syariah akhirnya harus menerima penawaran lain yang mampu mendatangkan pendapatan yang kemudian

mengurangi kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam aktiitas DSN-MUI. Terlalu banyaknya

jabatan yang dipegang oleh para anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan permasalahan yang umum terjadi di industri keuangan syariah di seluruh dunia. Permasalahan ini juga semakin lama semakin mengundang kritikan.

Beberapa negara telah mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah ini. Oman telah mengambil langkah jelas dalam hal ini dan telah membatasi jumlah jabatan ulama atau ahli syariah di Oman. The Islamic Banking Regulatory Framework (Kerangka Kerja Pengatur Perbankan Syariah) yang dikeluarkan oleh the Central Bank of Oman (Bank Sentral Oman) mengharuskan ulama atau ahli syariah untuk menerima penunjukan dari hanya satu lembaga saja per kategori[80] untuk menghilangkan timbulnya

konlik kepentingan yang mungkin terjadi, atau untuk menghilangkan risiko kerahasiaan yang mungkin

ada.

79 Salah satu dari lima aliran yurisprudensi syariah

Praktisi industri di Indonesia juga mengkhawatirkan kelayakan dan transparansi proses dalam penunjukan para ulama atau ahli syariah sebagai anggota dewan di kelembagaan DPS. Hal lain yang diperhatikan oleh profesional industri adalah tingkat pemahaman teknis yang dimiliki oleh para ulama atau ahli syariah mengenai instrumen keuangan dan tantangan operasional yang dihadapinya. Ada begitu banyak ulama atau ahli syariah yang berkualitas dan memiliki pengalaman luas di bidang keuangan syariah dan urusan bisnis. Tetapi, diperlukan lebih banyak lagi ulama atau ahli syariah sekaliber ini untuk memfasilitasi pertumbuhan industri. Beberapa negara, termasuk Oman, Pakistan, dan Malaysia telah menetapkan kriteria kelayakan dan kepatutan untuk anggota DPS, dan tren ini semakin berkembang seperti berkembangnya keuangan syariah di seluruh dunia.

Penting bagi seorang ulama atau ahli syariah untuk memahami aspek-aspek bisnis lembaga keuangan dan transaksi keuangan agar dapat membuat keputusan yang tepat waktu, berbobot, dan objektif

mengenai kepatuhan terhadap ketentuan syariah. Meskipun memiliki kualiikasi di bidang syariah,

sebagian dari mereka bisa saja tidak/belum pernah mengenyam pendidikan formal atau pelatihan di

bidang perbankan atau operasi keuangan. Tidak ada kualiikasi standar, sertiikasi atau sistem akreditasi

untuk anggota DPS yang dapat menjamin kualitas dan menjaga perkembangan. Langkah inisiatif telah diluncurkan oleh pihak swasta untuk memberikan pelatihan pada ulama atau ahli syariah ini di bidang keuangan dan bisnis, sebagai contoh: IFAAS dan BIBF (Bahrain Institute for Banking & Finance) telah meluncurkan program pelatihan yang berjalan hingga saat ini.[81] Tetapi, tidak ada satu negara pun yang

mengeluarkan kualiikasi profesional untuk para ulama atau ahli syariah atau program CPD (Continuous Profesional Development) atau PKB (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan).

Standar IFSB dan AAOIFI menjelaskan bahwa audit syariah merupakan bagian penting dari kerangka kerja tata kelola syariah untuk lembaga keuangan yang menawarkan produk dan pelayanan berbasis syariah.

Surat Edaran Bank Negara Malaysia BNM/RH/GL_012_3 (Shariah Governance Framework for Islamic Financial Institutions atau Kerangka Kerja Tata Kelola Syariah untuk Lembaga Keuangan Syariah) menetapkan audit syariah sebagai persyaratan hukum, dan memercayakan fungsi tersebut pada auditor internal dalam lembaga keuangan syariah. Kerangka kerja tersebut mendorong lembaga keuangan syariah untuk memiliki auditor syariah di luar lembaga (eksternal), namun hal tersebut belum menjadi persyaratan wajib.

Negara lain, termasuk Oman,[82] Kuwait, dan Pakistan telah terlebih dahulu mengambil langkah maju dan menetapkan audit syariah eksternal yang berdiri independen sebagai persyaratan wajib untuk lembaga keuangan syariah. Pasal 7 Kerangka Kerja Syariah SBP untuk Lembaga Keuangan Syariah— April 2014 telah mewajibkan semua bank maupun unit syariah pada sektor perbankan agar menjalani audit syariah eksternal sesuai dengan ketentuan yang telah diatur pada pasal yang sama. Pendekatan yang sama sedang dipertimbangkan oleh aparat pengatur di banyak negara lain, termasuk Bahrain, UAE, dan Malaysia. Hal ini merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk memasukkan audit syariah eksternal sebagai elemen kunci perbaikan menyeluruh pada kerangka kerja tata kelola syariah dalam industri keuangan syariah, dengan menggunakan Masterplanini.

81 http://uk.ifaas.com/ifaas-bibf-advance-international-islamic-inance-education-training-research-inno- vative-professional-training-courses.html

82 Islamic Banking Regulatory Framework of Central Bank of Oman (Kerangka Kerja Pengaturan Per-

Kerangka Kerja Peraturan Perundangan

Saat ini, Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 mengenai Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang Baik olehBank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, telah mengatur bahwa tiap Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah harus mempunyai satu direktur untuk menjamin pelaksanaan ketetapan Bank Indonesia dan undang-undang dan peraturan lain (Pasal 52).

Pendekatan ini tidak memfasilitasi kemampuan teknis yang sama (akuntansi, bisnis, hukum, syariah), yang kesemuanya diperlukan untuk mengatasi permasalahan ini dengan baik. Pendekatan ini juga tidak mengakomodasi hubungan langsung dengan DPS (Dewan Pengawas Syariah) yang akan melakukan pemeriksaan syariah pada bank dan unit bisnis tersebut, sehingga terdapat potensi buruk koordinasi antara berbagai bidang bank yang terlibat dalam proses pemantauan tata kelola korporasi.

Peraturan Bank Indonesia No.14/6/PBI/2012 menetapkan uji dasar ‘kelayakan dan kepatutan’ untuk anggota DPS bank dan Unit Usaha Syariah. Saat ini, peraturan pelaksanaan tersebut masih terlalu

umum dan tidak cukup spesiik untuk menyediakan prosedur yang kokoh dan/atau uji yang layak untuk

penunjukan DPS. Adanya kriteria dan prosedur penunjukan yang tegas dan mendetail akan berguna untuk kejelasan dan kelengkapannya.

Di Bahrain, dalam CBB Rulebook (Buku Pedoman CBB) Volume 2, terdapat 13 poin kriteria yang rinci bagi anggota DPS. Hal ini meliputi pemeriksaan terhadap:

I. Catatan kelakuan baik, termasuk tuduhan/pelanggaran pidana; II. Hasil penyelidikan negatif dalam tuntutan sipil;

III. Penipuan, penyalahgunaan, dll.; IV. Prosedur kedisiplinan hukum;

V. Pelanggaran peraturan/hukum keuangan; VI. Pembatalan perizinan terdahulu;

VII. Pemecatan;

VIII. Diskualiikasi dari pengadilan, penegak, atau badan penegak; IX. Kepemimpinan di perusahaan-perusahan yang bangkrut; X. Kejujuran terhadap atasan;

XI. Kepantasan kualiikasi; XII. Lama pengalaman; dan

XIII. Kegagalan untuk memenuhi panggilan pengadilan.

Selain itu, terdapat pula pengukuran kriteria umum untuk integritas pribadi, kejujuran, reputasi yang

baik, dan juga panduan dalam memahami arti konlik kepentingan (LR-1A.2.5). Di Pakistan dan Oman,

kriteria kelayakan dan kepatutan diperjelas lagi dengan peraturan lokal yang mencakup persyaratan mengenai pengalaman minimum yang dimiliki untuk mengeluarkan fatwa dan/atau riset dan ajaran dalam yurisprudensi Islam.

Panduan Bank Negara Malaysia mengenai Komite Tata Kelola Syariah untuk Lembaga Keuangan Syariah

(BNM/RH/GL/012-1) berisi kualiikasi dan prosedur yang sama rincinya untuk DPS dan anggota DPS baru.

Namun, panduan tersebut menyebutkan bahwa diperlukan pengetahuan yurisprudensi Islam (usul

al iqh) dan hukum transaksi syariah/komersial (iqh al muamalat). Panduan ini juga mencatat bahwa

persyaratan gelar resmi (berdasarkan dokumen tertulis) dapat diakomodasi, dan dengan dasar ilmu dan pengalaman yang teruji. Terdapat pula persyaratan bahwa lembaga keuangan syariah harus memiliki sekretariat (dan lebih diharapkan bila memiliki pengetahuan syariah) untuk DPS.

Terdapat beberapa rincian ketetapan untuk diskualiikasi anggota DPS, termasuk di antaranya gagal

wajib di Malaysia untuk lembaga keuangan syariah, yaitu memiliki Manual Pelaksanaan Syariah (untuk disahkan oleh DPS). Manual ini menjabarkan garis besar hal-hal yang membutuhkan persetujuan DPS, serta metodologi pertemuan dan proses pembuatan keputusan oleh DPS. Akhirnya, panduan ini juga menyediakan formulir proforma untuk pendaftaran anggota DPS yang akan diserahkan pada Direktur Perbankan Syariah dan Takaful, Bank Negara Malaysia.

Rekomendasi:

DSN-MUI telah memainkan peran dalam penyediaan instrumen untuk perkembangan dan pertumbuhan industri keuangan syariah di Indonesia. DSN-MUI telah menjaga kemandiriannya dalam model tata kelola syariah yang unik, namun nampaknya sudah saatnya menjabarkan ulang peran DSN-MUI dan memperbaiki kerangka kerja tata kelola syariah secara keseluruhan untuk memfasilitasi perubahan yang terjadi di seluruh industri keuangan syariah demi masa depan yang berkesinambungan. Dasar

pemikirannya adalah untuk memberikan ulama atau ahli syariah kemandirian, kebebasan inansial,

dan kompetensi yang beragam, serta sekaligus meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam pelaksanaan hukum syariah secara menyeluruh dalam industri keuangan syariah dengan aktif melahirkan para ulama atau ahli syariah baru untuk masa depan.