• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Pengelolaan Zakat di Indonesia

Sejak pengenalan ajaran Islam di Indonesia hingga sekarang, pengelolaan Zakat bersifat sukarela dan berdasarkan penilaian mandiri yang dilakukan oleh Muzakki (pembayar Zakat).[71] Pemerintah mendorong umat muslim untuk membayar Zakat, namun belum menetapkan peraturan untuk menegakkan atau

mempromosikannya sebagai instrumen iskal yang menunjang pajak.

Sekarang ini, umat muslim Indonesia membayar Zakat melalui:

• Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan kantor-kantor perwakilannya; • Lembaga Amil Zakat (LAZ);

• Masjid-masjid dan pesantren; atau

• Menyalurkan langsung ke Mustahiq (fakir miskin).

Pembayaran Zakat yang terpencar-pencar mengurangi manfaat Zakat yang didapat masyarakat akibat kurangnya koherensi dan koordinasi. Pengelolaan dana yang transparan juga menjadi tantangan nyata ketika belum ada legislasi yang mengaturnya.

Pemerintah mulai memberi perhatian pada peningkatan pengelolaan Zakat di Indonesia sejak tahun 1999, yakni saat Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat disahkan. Undang- undang ini menetapkan bahwa pengelolaan Zakat boleh dilaksanakan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) bersama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Undang-undang ini juga menetapkan sanksi pada lembaga Zakat yang tidak melakukan perannya secara efektif dan tepercaya. Namun, Undang-undang tersebut tidak menetapkan kerangka kerja tata kelola sehubungan dengan fungsi pengaturan dan pengawasan dari pengelolaan Zakat di Indonesia.

Sebagai usaha untuk mendorong pembayaran Zakat, pada tahun 2008 Pemerintah mengajukan ketentuan baru pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 yang memperbolehkan individu maupun institusi milik umat Muslim untuk memotong pembayaran Zakat dari penghasilan kena pajak mereka. Sayangnya, karena kurangnya sosialisasi, serta kesadaran mengenai keuntungan di kalangan pembayar

69 Sebelumnya, penelii akademis telah mengeluarkan esimasi berbeda mengenai potensi dana Zakat di Indonesia. Di antara para penelii tersebut, PIRAC (2007) menyatakan bahwa potensi dana Zakat mencapai Rp11,5 triliun pada tahun 2007, sedangkan PEBS FEUI memperkirakan potensinya mencapai Rp12,5 triliun pada tahun 2009 dan Rp15,3 triliun pada tahun 2010.

70 Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI. Indonesia Syariah Economic Outlook 2010. Jakarta: PT

Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009.

71 Pasal 21 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 menyebutkan bahwa apabila Muzakki idak dapat menentukan

Zakat dan pembayar pajak sendiri yang masih sangat sedikit, hingga saat ini masih belum banyak orang yang memanfaatkan fasilitas ini.

Dengan bertujuan untuk menyediakan kerangka kerja yang lebih baik pada pengelolaan Zakat di Indonesia, maka pada tahun 2011 pemerintah mengenalkan peraturan baru, yakni Undang-Undang

No. 23 Tahun 2011, dengan tujuan untuk meningkatkan efektiitas dan eisiensi pengelolaan Zakat,

mengoptimalkan keuntungan Zakat untuk kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 menjelaskan peran BAZNAS sebagai badan independen yang fungsinya meliputi merencanakan, melaksanakan, mengendalikan proses pengumpulan, penyaluran, dan penggunaan Zakat, serta melaporkan kinerja operasional pengelolaan Zakat. BAZNAS bertanggung jawab langsung pada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Agama. Dengan tujuan untuk mendukung fungsi yang dilakukannya, BAZNAS membentuk sekretariat dan mempekerjakan komite eksekutif yang terdiri dari anggota-anggota komunitas masyarakat yang tidak memiliki kaitan politis, serta bertanggung jawab dan kompeten. Agar dapat mengumpulkan Zakat di seluruh wilayah Indonesia, BAZNAS telah membentuk jaringan perwakilan di tiap provinsi, distrik, dan kota yang berfungsi sebagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ).

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 juga membahas permasalahan mengenai keberadaan LAZ di bawah rezim baru. LAZ berbasis masyarakat diperbolehkan untuk terus beroperasi, asalkan terdaftar sebagai

badan nirlaba resmi dan dapat menunjukkan kualiikasi dan kompetensi dalam menjalankan program-

program yang dimiliki. LAZ juga diwajibkan untuk memiliki Badan Pengawas Syariah dan mengadakan audit secara berkala pada aspek keuangan dan syariah mereka.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 juga menjelaskan bahwa LAZ tidak lagi setingkat dengan BAZNAS, karena dalam undang-undang ini LAZ diwajibkan untuk menyerahkan laporan kinerja secara periodik dan laporan audit kepada BAZNAS. Dengan demikian, BAZNAS menjalankan tiga fungsi secara bersamaan:

sebagai pelaksana, pengatur, dan pengawas, seperti yang digambarkan pada graik berikut. Namun

Graik No. L1: Struktur Kelembagaan Zakat di Indonesia

Sumber: http://www.irti.org/English/Research/Documents/Report-2.pdf

Dukungan lain dari Pemerintah untuk meningkatkan pengumpulan dana Zakat adalah melalui Inpres No. 3 Tahun 2014 yang baru-baru ini dikeluarkan, yang memperbolehkan pengumpulan Zakat dari pegawai negeri termasuk mereka yang bekerja di lingkungan kementerian, sekretariat jendral provinsi, pemerintah lokal, serta badan usaha milik negara maupun milik daerah melalui BAZNAS.

Perkembangan Hingga Saat Ini

Pengumpulan Zakat di Indonesia telah bertambah dari tahun ke tahun dan catatan BAZNAS menunjukkan

bahwa Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (LPMT) antara 2011 dan 2015 adalah sebesar 25,7%. Graik

Graik No. L2: Dana Zakat yang Terkumpul (2011 – 2015)

Sumber: Laporan Bulanan BAZNAS 2011-2015

Walaupun potensi Zakat diperkirakan berjumlah antara Rp11,5 triliun hingga Rp19,3 triliun, BAZNAS hanya berhasil mengumpulkan Rp98,5 miliar pada tahun 2015. Kesenjangan dramatis ini dapat disebabkan oleh gabungan dari beberapa sebab, antara lain, tidak adanya basis data komprehensif yang berisi seluruh jumlah Zakat yang dikumpulkan dari lembaga formal Zakat (BAZNAS dan LAZ), pengelola Zakat informal (seperti masjid, pesantren dan akademisi Islam individual), atau yang dibagikan langsung oleh Muzakki pada Mustahiq. Namun, ada faktor lain yang dapat juga berkontribusi pada buruknya pengumpulan Zakat melalui lembaga Zakat,[72] yaitu:

1. Kesadaran dan pemahaman yang rendah dari Muzakki, terutama mengenai penghitungan Zakat; 2. Kepercayaan publik yang rendah terhadap lembaga Zakat;

3. Persepsi umum para Muzakki bahwa Zakat merupakan kewajiban agama yang hanya dapat dipenuhi bila dibayarkan langsung pada Mustahiq; dan

4. Tidak adanya atau kurangnya insentif untuk para Muzakki untuk membayar Zakat melalui lembaga Zakat formal.

Permasalahan utama BAZNAS adalah rendahnya kepercayaan masyarakat Indonesia yang tidak memandang BAZNAS sebagai lembaga yang paling dapat dipercaya untuk mengumpulkan dan menyalurkan Zakat mereka. Mereka lebih memilih untuk membayar Zakat mereka langsung atau melalui LAZ yang mereka percayai, karena organisasi-organisasi ini bersifat lokal dan berbasis masyarakat. Kurangnya tata kelola dan transparansi yang memadai telah menghambat BAZNAS dari melakukan peran utamanya sebagai pengelola Zakat. Kurangnya kredibilitas semakin diperburuk oleh kurangnya kewenangan yang dimiliki BAZNAS karena lemahnya pengaturan Zakat.

Tantangan pertama dan utama adalah membangun kredibilitas BAZNAS, mengembalikan kepercayaan publik pada badan ini sebagai Badan Zakat Nasional, serta membuktikan kemampuan badan ini

72 Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI. Indonesia Syariah Economic Outlook 2011. Jakar- ta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

dalam mengelola Zakat secara efektif dan eisien untuk kepentingan Muzakki dan Mustahiq. Untuk itu, diperlukan beberapa tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan BAZNAS tersebut. Tujuan BAZNAS dibagi atas jangka pendek, menengah, dan panjang.