• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memperbaiki Kerangka Kerja Pengaturan

Meluncurkan sistem pengelolaan Zakat nasional dengan cara mengubah peranan BAZNAS dan LAZ

• Fungsi BAZNAS harus diperkuat dengan cara menyatukan semua fungsi yang berhubungan dengan Zakat, termasuk fungsi yang dijalankan oleh Direktorat Zakat pada Kementerian Agama, dengan BAZNAS, sehingga BAZNAS menjadi otoritas tunggal di bidang Zakat di Indonesia;

• BAZNAS harus bertanggung jawab menyusun kebijakan, panduan dan kewajiban yang jelas untuk LAZ. Hal ini dilakukan untuk membangun transparansi yang menyeluruh pada semua kegiatan Zakat di Indonesia. Persyaratan harus mencakup kerangka kerja tata kelola, pemeliharaan tingkat kompetensi minimum, serta pelaporan keuangan rutin;

• BAZNAS harus melanjutkan fungsinya sebagai pengatur, pengawas dan pelaksana (pengumpul dan penyalur) Zakat. Tetapi, dalam jangka waktu 3 tahun, fungsi BAZNAS harus berubah secara bertahap menjadi pengumpul tunggal, selain menjadi pengatur dan pengawas. Maksudnya, BAZNAS harusnya

tidak lagi terlibat langsung dalam penyaluran Zakat untuk menghindari konlik kepentingan yang

berpotensi muncul. Sebaliknya, BAZNAS harus lebih berfokus pada penyusunan dan pengelolaan program pengentasan kemiskinan yang komprehensif yang didanai Zakat, dan menyalurkan dana tersebut secara tepat waktu dan tepat sasaran melalui LAZ;

• Dalam jangka waktu 3 tahun, semua Zakat harus dikumpulkan hanya oleh BAZNAS, kemudian dialihkan ke LAZ agar disalurkan secara efektif kepada fakir miskin dan pelaksanaan program lokal yang diluncurkan oleh BAZNAS saat itu;

• Pada saat itu, seharusnya sudah ada pemisahan kewajiban yang jelas antara BAZNAS dan LAZ: BAZNAS harus mengumpulkan Zakat dan meluncurkan program lokal, sedangkan LAZ menyalurkan dan menjalankan program lokal. Kedua pihak dapat mengambil bagian amil Zakat untuk menutup pengeluaran yang diperlukan;

• LAZ akan diperbolehkan untuk mengumpulkan dan menyalurkan dana Sedekah dan Infak, namun harus melaporkan semua transaksi pada BAZNAS secara teratur;

• Semua LAZ harus menerima dana hanya melalui rekening masing-masing, agar semua dana yang diterima melalui Sedekah dan Infak dapat diperiksa dan dilacak dengan mudah melalui proses audit; • Semua LAZ harus diaudit oleh auditor independen eksternal agar tata kelola dan transparansi

operasi berjalan dengan baik;

• Semua LAZ harus mendaftar pada BAZNAS dalam jangka waktu 12 bulan, BAZNAS kemudian akan mengawasi LAZ melalui pelaporan keuangan yang menggunakan pola standar pelaporan secara teratur.

Mengenalkan peraturan pelaksanaan pengelolaan Zakat

• Kriteria ‘kelayakan dan kepatutan’ yang terperinci, ditambah dengan dasar yang lebih tegas untuk

diskualiikasi badan penasihat dan tim pengelola BAZNAS;

• Menerapkan tanggung jawab kerahasiaan dan pengungkapan wajib terhadap benturan kepentingan; • Menempatkan kekuatan dan kendali yang lebih besar pada BAZNAS untuk mendaftar, mengatur,

• BAZNAS harus memublikasikan laporan rinci tahunan yang berisi kinerja keuangan, operasi, kesesuaian dengan hukum syariah, dan tata kelola internal secara transparan;

• Semua dana Zakat (beserta dana Sedekah dan Infak) harus disimpan dalam rekening bank syariah (jika dimungkinkan) secara praktis, lebih disukai menggunakan rekening tabungan agar mendapatkan keuntungan;

• Sesuai dengan rekomendasi pada Bagian E dari laporan ini (Kebijakan Umum dan Kerangka Kerja): o Untuk kemudahan bagi masyarakat, bank konvensional harusnya dapat menerima pembayaran

Zakat secara tunai dengan menggunakan rekening terpisah, tetapi bank tersebut harus segera memindahkan dana yang diterima ke rekening bank syariah milik BAZNAS dan LAZ;

o Bank konvensional harus dilarang menggunakan atau menyimpan dana ini; dan

o OJK harus mengeluarkan instruksi untuk mengatasi permasalahan ini dengan persyaratan prosedur, pelaporan dan pengawasan yang jelas. Bank konvensional yang melanggar instruksi akan dikenai sanksi.

Memperbaiki Kerangka Kerja Tata Kelola BAZNAS

• Restrukturisasi kerangka kerja tata kelola BAZNAS harus dilakukan dengan menambahkan dewan penasihat dan tim pengelola profesional, dengan pemisahan tanggung jawab yang jelas. Dewan penasihat diisi oleh tidak lebih dari tiga orang anggota yang memiliki latar belakang akademis dan penelitian di bidang Zakat. Peran dewan ini hanya sebagai penasihat untuk menjaga agar persyaratan syariah terpenuhi di tiap tingkat. Anggota dewan ditunjuk untuk menempati posisi tersebut selama tiga tahun (per periode) dan tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri pengelolaan dana; • Tim pengelola harus direkrut sebagai karyawan tetap dengan menggunakan tes ‘kelayakan dan

kepatutan’ seperti layaknya lembaga keuangan lain. Pengelola harus bertanggung jawab atas berjalannya fungsi BAZNAS secara profesional dan harus bekerja untuk memenuhi target;

• Pemerintah mungkin harus menyediakan dana awal untuk BAZNAS agar dapat memenuhi kebutuhan keuangannya (yaitu, merekrut sumber daya manusia yang kompeten, memperkuat sistem, dsb.) hingga BAZNAS dapat mengumpulkan cukup banyak dana Zakat untuk digunakan sebagai penopang kebutuhannya sendiri dengan menggunakan bagian yang diperbolehkan untuk amil Zakat (hal ini seharusnya dijadikan target untuk tim pengelola).

Membangun kredibilitas BAZNAS dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem pengelolaan Zakat nasional

• Mengumumkan kebijakan baru Pemerintah mengenai pengelolaan Zakat dengan peta rencana/ jalan yang menjelaskan perubahan yang akan dilakukan;

• Mengumumkan perubahan struktur tata kelola BAZNAS, ketransparansiannya, dan dampak potensial dari pendekatan yang menyeluruh;

• Fokus pada peluncuran program pengentasan kemiskinan dengan tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang. Program arahan BAZNAS ini harus dapat diimplementasikan di tingkat lokal dan melibatkan LAZ untuk memfasilitasi pemberdayaan masyarakat di lingkungan yang lebih besar; • Menunjukkan perkembangan nyata pada sistem pengelolaan Zakat nasional dengan mengumumkan

• Melaksanakan kampanye pemasaran yang dirancang dan dikelola secara profesional untuk mempromosikan BAZNAS dan manfaat sistem pengelolaan Zakat nasional;

• Menekankan transparansi, profesionalisme, sinergi dan eisiensi yang dimiliki BAZNAS dalam semua komunikasi yang dilakukan, juga menekankan pada manfaat pemotongan penghasilan kena pajak apabila Zakat dibayarkan melalui BAZNAS.

Meluncurkan kampanye kesadaran nasional untuk sosialisasi Zakat

• Melaksanakan kampanye nasional mengenai Zakat guna mendidik masyarakat mengenai:

o Persyaratan Zakat, perubahan pada fungsi BAZNAS, dan cara hal tersebut akan memengaruhi

transparansi dan eisiensi pengumpulan Zakat dan penyalurannya;

o Pentingnya sistem pengelolaan Zakat nasional dan manfaat yang diperoleh untuk masyarakat secara menyeluruh;

o Legislasi yang ada terkait dengan pemotongan Zakat dari penghasilan kena pajak; dan

o Instrumen pasar modal syariah baru yang ditawarkan di pasar, yang mungkin dikenai wajib Zakat agar menjadi bagian dari Nisab[73] (seperti misalnya saham berbasis syariah dan sukuk).

Tujuan Rekomendasi:

• Memperkuat transparansi, akuntabilitas, rasa memiliki dan profesionalisme dalam pengelolaan Zakat;

• Meningkatkan eisiensi pengelolaan Zakat untuk mengoptimalkan manfaat bagi Mustahiq;

• Mengembalikan kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap sistem pengelolaan Zakat nasional;

• Mendorong masyarakat Indonesia untuk menggunakan sistem pengelolaan Zakat nasional karena banyaknya manfaat baru yang bisa didapat; dan

• Mendukung industri keuangan syariah menggunakan sistem keuangan yang komprehensif.

Sepanjang sejarah Islam, Wakaf memainkan peranan penting dalam pelayanan keagamaan (seperti pembangunan masjid, pembiayaan kegiatan keagamaan, dan membantu mereka yang ingin menunaikan ibadah haji) dan membangun kesejahteraan sosial ekonomi melalui adanya pelayanan sosial (seperti perawatan kesehatan dan pemberian makanan pada rakyat miskin). Wakaf akan disebut berhasil apabila dikelola dengan aktif dan sesuai dengan Tujuan Syariah.

Di Indonesia, Wakaf telah lama digunakan untuk berbagai tujuan seperti pendirian masjid, pesantren, dan fasilitas pemakaman. Namun, potensi lain dari Wakaf belum sepenuhnya digunakan, karena hingga saat ini, mayoritas Wakaf adalah berupa tanah yang digunakan sebagai fasilitas sosial nirlaba.

Upaya pertama untuk mengatur Wakaf adalah pada tahun 1960, ketika Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Namun, undang-undang tersebut hanya memberikan panduan kerangka kerja hukum dasar untuk Wakaf dalam bentuk tanah.[74] Untuk merevitalisasi upaya penggalangan potensi Wakaf, Pemerintah Indonesia dan DPR mengeluarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004.

Undang-undang baru ini memperluas kerangka kerja hukum Wakaf dan memasukkan beberapa jenis Wakaf yang berbeda dari sebelumnya, yang hanya dalam bentuk tanah saja. Undang-undang ini juga mengenalkan prasyarat baru untuk mengelola kas Wakaf dengan profesional, transparan, dan terpercaya. Undang-undang ini juga memperluas sumber pendanaan Wakaf (dengan memasukkan properti, tanah, uang dan sumber lainnya) dan memperluas cara penyaluran Wakaf (dengan mengikutsertakan pendidikan, kesehatan, komunitas dan peningkatan ekonomi sebagai cara lain, selain cara penyaluran tradisional yang digunakan untuk tujuan keagamaan atau sosial).

Salah satu perbaikan utama yang dihasilkan oleh Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 adalah pendirian Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada Juli 2007 sebagai badan independen yang mempromosikan dan mengembangkan Wakaf di Indonesia. BWI membuka kantor perwakilan di tingkat provinsi dan/atau kabupaten[75] untuk menjalankan fungsinya dan menambah jangkauannya. Para petugas di kantor perwakilan BWI diangkat dan diberhentikan oleh BWI. Setiap petugas ditunjuk untuk mengabdi selama tiga tahun, dan masa pengabdian hanya boleh diperpanjang satu kali saja.