• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Terkait Keuangan Mikro Syariah di Indonesia

• BPRS dan BMT memiliki varian produk yang terbatas dibandingkan dengan BPR konvensional sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan target nasabah mereka.

• Kekurangan modal dari lembaga keuangan mikro syariah secara umum, menciptakan sejumlah keterbatasan, termasuk keterbatasan kemampuan memperluas layanan yang ditawarkan dan menjangkau lebih banyak nasabah, sistem TI yang tidak memadai sehingga mengorbankan keamanan rekening, serta manajemen yang buruk karena ketidakmampuan untuk membayar profesional yang sangat berkualitas.

• Meskipun linkage program memberikan sumber pendanaan untuk lembaga keuangan mikro untuk memperluas operasi mereka, biaya pendanaan yang relatif tinggi meningkatkan biaya yang harus dibayarkan oleh nasabah, dan oleh sebab itu biaya pendanaan perlu ditekan dengan memperluas

linkage program untuk menciptakan lebih banyak kompetisi dan meningkatkan eisiensi pasar.

• Walaupun terdapat persyaratan modal minimum untuk keuangan mikro (Pasal 9 UU Lembaga Keuangan Mikro), persyaratan khusus tersebut harus ditetapkan oleh Peraturan OJK (Pasal 10). UU Lembaga Keuangan Mikro menyatakan bahwa peraturan turunan akan diterbitkan dalam waktu

dua tahun sejak diundangkan (yaitu Januari 2015). Selama fase transisi, terdapat persyaratan bagi

OJK untuk bekerja sama dengan Kementerian lainnya, termasuk Kementerian Koperasi & UKM. • Meskipun UU Lembaga Keuangan Mikro mengacu pada dukungan pada lembaga keuangan mikro

yang harus disiapkan sesuai dengan ‘standar akuntansi keuangan yang berlaku’, standar yang sebenarnya tidak ditentukan.

• Berkaitan dengan kepemilikan, terdapat pembatasan bagi warga negara/lembaga asing untuk memiliki lembaga keuangan mikro, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga secara

signiikan akan menghambat investasi asing dan keahlian yang banyak dibutuhkan.

• Walaupun UU Lembaga Keuangan Mikro Pasal 12 ayat 3 memungkinkan DPS keuangan mikro syariah untuk digunakan bersama oleh lebih dari satu lembaga keuangan mikro, tidak terdapat kejelasan mengenai bagaimana hal ini akan dilaksanakan dan apakah terdapat batas maksimal

untuk mencegah potensi konlik kepentingan.

• Meskipun UU Lembaga Keuangan Mikro memberikan peran penting pada DSN-MUI dan membutuhkan persetujuan untuk jenis akad/perjanjian baru yang digunakan, hal ini kemungkinan

akan berimplikasi adanya penundaan yang signiikan dalam peluncuran produk baru.

• Akhirnya, walaupun UU Lembaga Keuangan Mikro telah membuat ketentuan untuk skema perlindungan simpanan minimal, terdapat pilihan bagi lembaga keuangan mikro untuk membangun

sendiri entitas penjaminan simpanan mereka (Pasal 19). Namun, ini berarti bahwa deposan masih

Rekomendasi

Lembaga keuangan mikro syariah telah memainkan peran penting dalam membangun fondasi keuangan

syariah di tingkat bawah di Indonesia. Namun, sektor ini membutuhkan beberapa perbaikan. Berikut

langkah-langkah yang diperlukan:

Meningkatkan Kerangka Regulasi

• Mendorong UU Lembaga Keuangan Mikro untuk memberikan waktu selama 6 bulan kepada semua koperasi syariah/BMT untuk mendaftarkan diri sebagai koperasi kepada Kementerian Koperasi & UKM, yang hendaknya diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi terhadap setiap kegagalan dalam mematuhi persyaratan ini;

• Kementerian Koperasi & UKM melakukan pendaftaran hanya untuk koperasi syariah/BMT, sementara OJK mengatur dan mengawasi mereka;

• Terkait analisis yang diberikan dalam kerangka hukum di atas, UU Lembaga Keuangan Mikro hendaknya:

o Menyediakan aturan prudensial, khususnya untuk lembaga keuangan mikro syariah;

o Mendorong penggunaan standar akuntansi dan transparansi syariah yang diakui secara internasional, seperti IFRS, yang diadaptasi untuk lembaga keuangan mikro syariah, dan persyaratan audit bagi BMT yang telah mencapai batas keuangan tertentu dalam hal modal; o Membuat kerangka pengawasan khusus yang dirancang untuk lembaga keuangan mikro

syariah dengan persyaratan untuk mempertahankan tingkat kompetensi manajemen minimum, keamanan TI, tata kelola, pelaporan keuangan, pelatihan, peraturan dan kepatuhan syariah, serta audit;

o Mendukung kewajiban keterbukaan informasi publik (public disclosure) serta transparansi harga dengan memberlakukan aturan keterbukaan informasi publik dan memastikan bahwa aturan keterbukaan informasi publik tersebut ditegakkan dalam rangka meningkatkan perlindungan konsumen;

o Pembentukan program penjaminan simpanan keuangan mikro (sebagai kelanjutan dari Pasal 19 UU Lembaga Keuangan Mikro);

o Terkait dengan pembatasan kepemilikan asing, memperkenalkan ketentuan untuk

memungkinkan dana APEX untuk bertindak sebagai ilter bagi modal asing yang memasuki pasar. Setelah jangka waktu tertentu, boleh jadi memungkinkan adanya aplikasi ke OJK untuk kepemilikan asing secara kasus per kasus, secara ketat. Hal ini akan memungkinkan pemain

keuangan mikro syariah yang berpengalaman dari luar negeri untuk masuk ke pasar Indonesia secara patungan (joint venture) dengan lembaga di Indonesia yang tetap memegang kepemilikan mayoritas, jika mereka (asing) terbukti sanggup memberikan nilai tambah;

o Mendorong perlindungan nasabah dengan penyediaan brosur pertanyaan yang sering ditanyakan (FAQ) dalam bahasa Indonesia (atau bahasa daerah, contohnya seperti yang diterapkan dalam sistem Pakistan), serta persyaratan untuk keterbukaan informasi publik atas Dokumen Informasi Investor Utama (Key Investor Information Document – KIID) untuk dana keuangan mikro syariah;

o Mengubah ambang batas untuk lembaga keuangan mikro agar didasarkan pada ukuran neraca

lembaga, ukuran simpanan, atau jumlah nasabah, dan bukan berdasarkan wilayah geograis,

o Menetapkan aturan dan pedoman untuk kegiatan terkait keuangan inklusif, menyediakan pembiayaan khususnya untuk petani, menyediakan fasilitas kredit usaha tani khusus, dan

menawarkan pembukaan rekening dengan setoran awal yang sangat rendah. Kegiatan terkait

keuangan inklusif hendaknya juga menyediakan jalur pembiayaan bagi petani penggarap; o Membuat rujukan silang ke Peraturan E-Money (Peraturan No. 11/12/PBI/2009, sebagaimana

telah diamandemen dengan Peraturan 16/8/PBI/2014) (yang harus diamandemen dengan tepat) untuk menawarkan fasilitas perbankan elektronik yang terbatas kepada BMT, yang akan

dapat memperpanjang distribusi jasa keuangan melalui operator jaringan seluler; dan

o Melalui peraturan lebih lanjut, OJK dapat menjadi regulator keuangan mikro syariah atau sebuah departemen khusus;

• Usulan amandemen Peraturan OJK No. 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Lembaga Keuangan mikro:

o Menerbitkan regulasi untuk mengklariikasi tata cara persyaratan 60% kepemilikan pemerintah daerah dalam lembaga keuangan mikro karena akan berdampak terhadap lembaga keuangan mikro yang telah ada (existing);

o Berdasarkan rekomendasi dalam bagian Tata Kelola Syariah pada masterplan ini, diperlukan adanya batas/jumlah maksimum bagi seseorang untuk dapat duduk (menjabat) dalam DPS; o Memperkenalkan daftar lengkap akad/perjanjian untuk keuangan mikro yang didukung dan

disahkan oleh DSN-MUI;

o Mendorong OJK agar dalam memberikan persetujuan mengenai merger atau akuisisi lembaga keuangan mikro, mempertimbangkan dampak keseluruhan merger terhadap komunitas lokal

dan masyarakat; dan

o Sesuai dengan perubahan yang direkomendasikan dalam UU Lembaga Keuangan Mikro,

menggantikan batasan geograis bagi lembaga keuangan mikro untuk kewajiban berubah

menjadi bank, dengan batasan/ambang batas objektif kualitatif (misalnya jumlah nasabah, nilai aset di bawah kontrol, dll.).