• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterbatasan dan Masalah Potensial KPS – kegagalan pelaksanaan

KPS

KPS dapat menghasilkan perbaikan eisiensi dalam penyediaan infrastruktur sebagaimana dijelaskan di atas. Akan tetapi, menciptakan insentif untuk meraih keuntungan eisiensi, dan memastikan masyarakat dan pengguna akan menikmati manfaatnya, akan tergantung pada kemampuan pemerintah untuk menyusun struktur, melaksanakan pengadaan dan pengelolaan proyek KPS secara efektif sepanjang periode proyek tersebut – untuk memastikan tercapainya tekanan persaingan, transfer risiko yang nyata, dan memastikan perbaikan kinerja yang diantisipasi benar-benar terwujud dalam praktiknya. Hal ini mungkin sulit dicapai apabila lemahnya kapasitas sektor pemerintah menyebabkan pemerintah tidak memiliki sumber daya dan keahlian yang memadai untuk menyusun struktur KPS dan mengelolanya dengan baik.

Menerapkan proses pengadaan KPS yang kompetitif mungkin sulit dilakukan. Sebagaimana dijelaskan secara terperinci dalam Modul 3 dalam Panduan Referensi ini, pemerintah perlu melakukan pendekatan pasar melalui proyek KPS yang terstruktur dengan baik dengan proses lelang yang tepat. Apabila hal ini tidak dapat dicapai, peserta lelang mungkin menolak untuk berpartisipasi; atau mengajukan penawaran yang tidak dapat diperbandingkan satu sama lain (karena disusun berdasarkan asumsi yang berbeda- beda) atau mengajukan penawaran yang sengaja dibuat terlalu rendah, dengan ekspektasi untuk menyelesaikan ketidakpastian melalui negosiasi setelah proses lelang selesai. Hal ini dapat menjadi tantangan sulit, bahkan bagi negara-negara yang memiliki pengalaman luas dalam KPS. Sebagai contoh, kajian House of Lords mengenai KPS di Kerajaan Inggris [#248, halaman 20-21] menjelaskan bagaimana negosiasi pada tahap pemenang lelang mengakibatkan kenaikan harga dalam banyak proyek KPS.

Kajian komprehensif Guasch mengenai penerapan KPS di Amerika Latin [#123] menyoroti tantangan

lain dalam mencapai manfaat persaingan – frekuensi negosiasi ulang dalam kontrak KPS. Dari sampel sebesar lebih dari 1.000 konsesi yang diberikan di Amerika Latin dan Karibia selama periode antara tahun 1985 hingga tahun 2000, Guasch menemukan bahwa 10 persen dari konsesi listrik, 55 persen dari konsesi transportasi, dan 75 persen dari konsesi air mengalami negosiasi ulang. Negosiasi ulang ini rata-rata terjadi dalam waktu 2,2 tahun setelah konsesi terkait diberikan. Guasch mengajukan teori bahwa tingginya frekuensi negosiasi ulang segera setelah pemberian konsasi mungkin mencerminkan kekurangan dalam proses awal lelang, regulasi yang lemah, atau oportunisme pihak swasta atau pemerintah. Sebagian besar negosiasi ulang menguntungkan pihak operator – contohnya, menghasilkan kenaikan tarif, atau pengurangan atau penundaan kewajiban investasi. Dalam kasus-kasus tersebut, penghematan eisiensi dari kedisiplinan biaya mungkin tidak diteruskan ke sektor pemerintah.

Kajian Abrantes de Sousa mengenai program KPS di Portugal juga menggambarkan kecenderungan

yang serupa [#1, halaman 9-10]. Abrantes de Sousa mencatat bahwa kesediaan pemerintah yang jelas terlihat untuk melakukan negosiasi ulang kontrak menghambat proses persaingan, menyebabkan

peserta lelang menerapkan pengajuan penawaran strategis untuk memenangkan kontrak dengan tujuan melakukan negosiasi ulang setelahnya tanpa adanya kompetisi.

Terlebih lagi, manajemen transaksi KPS yang efektif hanyalah tahap awal dari proses KPS. Mencapai KPS yang berkelanjutan dalam jangka panjang membutuhkan tingkat komitmen dan kapasitas pemerintah dan pihak swasta yang konsisten sepanjang waktu. Apabila kondisi tersebut tidak dapat dicapai, entah karena prioritas pemerintah yang berubah-ubah atau tekanan dari luar, KPS mungkin berakhir dengan kegagalan – sebagaimana dijelaskan dalam Kotak 1.6: Ketika KPS Mengalami Kegagalan – Kasus konsesi air tahun 1993 di Buenos Aires.

Kotak 1.6: Ketika KPS Mengalami Kegagalan – Kasus konsesi air tahun 1993 di Buenos Aires. Pada tahun 1990, Argentina menerapkan program konsesi berskala besar di sektor air. Perjanjian konsesi air dan sanitasi dengan pihak swasta ditandatangani di 28 persen dari total kotamadya negara tersebut, yang mencakup 60 persen dari populasi Argentina. Kontrak yang lebih dikenal adalah konsesi layanan air dan saluran buangan umum untuk Greater Buenos Aires, ditandatangani pada tahun 1993 dengan sebuah konsorsium yang dipimpin oleh perusahaan Prancis, Suez. Konsesi tersebut menunjukkan hasil yang positif dalam waktu singkat – produktivitas pekerja meningkat hampir tiga kali lipat, cakupan layanan meningkat, keandalan dan ketanggapan meningkat, dan harga layanan menurun. Akan tetapi, masalah implementasi awal juga timbul – kurangnya ketersediaan informasi bagi pengguna dan masyarakat, kurangnya transparansi dalam keputusan perundang-undangan, dan intervensi pemerintah yang bersifat ad hoc. Konsumen tidak mendapatkan keyakinan bahwa kesejahteraan mereka dilindungi, dan keberlanjutan konsesi tersebut diragukan.

Terdapat bukti bahwa operator swasta meningkatkan investasi dan memperluas akses – Suez mengklaim bahwa mereka telah memberikan akses terhadap air kepada 2 juta penduduk, dan akses terhadap sanitasi kepada satu juta penduduk. Pada tahun 1999, Suez memulai program untuk menyediakan akses bagi kawasan kumuh – akan tetapi krisis ekonomi Argentina segera menghentikan rencana tersebut.

Setelah krisis ekonomi pada tahun 2001, pemerintah Argentina membekukan tarif air, menyebabkan sebagian besar konsesi harus dinegosiasi ulang, dan beberapa di antaranya diakhiri lebih awal – sebagaimana halnya konsesi Buenos Aires, yang diakhiri pada tahun 2006.

Sumber: Claude Crampes and Antonio Estache, Regulating water concessions: Lessons from the Buenos Aires concession, Public Policy for the Private Sector, Viewpoint Note n.91, September 1996; Omar Chisari, Antonio Estache and Carlos Romero, Winners and losers from utility privatization in Argentina, World Bank Policy Research Working Paper 1824, September 1997; Lorena Alcázar, Manuel A. Abdala and Mary M. Shirley, The Buenos Aires water concession, World Bank Policy Research Working Paper 2311, April 2000; Michael Cohen and Alexandre

Brailowsky (eds.)

Citizenship and governability: The unexpected challenges of the water and sanitation concession in Buenos Aires, The New School University, New York, 2004

Aset infrastruktur seringkali tidak terpelihara dengan baik, karena pemeliharaan tidak direncanakan dengan matang, atau karena ditundanya pemeliharaan yang telah direncanakan. Pertimbangan politik atau kecenderungan untuk mengejar keuntungan pribadi seringkali menimbulkan bias, sehingga belanja modal infrastruktur cenderung condong kepada aset baru dibandingkan pemeliharaan, sebagaimana dijelaskan dalam analisa IMF mengenai korupsi dalam infrastruktur [#225].

Pemeliharaan yang tidak memadai menyebabkan peningkatan biaya sepanjang umur aset, serta mengurangi manfaat yang dapat diambil. Pemeliharaan secara teratur pada umumnya merupakan jalan berbiaya rendah untuk mempertahankan aset infrastruktur pada kondisi terpelihara, dibandingkan dengan alternatif yang ada, yaitu membiarkan kualitas aset terus menurun hingga pada akhirnya diperlukan pekerjaan rehabilitasi besar-besaran. Studi diagnostik World Bank mengenai infrastruktur

Afrika memperkirakan bahwa pemeliharaan preventif dalam sektor jalan di Afrika dapat menghemat belanja modal untuk rehabilitasi sebesar $2,6 miliar per tahun [#106, halaman 15]. Di Afrika Selatan, sebuah kajian mengenai pemeliharaan jalan yang dilakukan oleh Badan Jalan Nasional Afrika Selatan atau South African National Roads Agency mengindikasikan bahwa penundaan pemeliharaan jalan selama tiga tahun menyebabkan peningkatan biaya sebesar enam kali lipat dari biaya pemeliharaan preventif yang seharusnya. Apabila pemeliharaan jalan ditunda selama lima tahun, biaya meningkat sebesar 18 kali lipat dari biaya preventif [#218, halaman 36].

Kinerja yang buruk dari infrastruktur yang tidak terpelihara dengan baik juga memakan biaya bagi pengguna. Sebagai contoh, laporan yang diterbitkan sebuah asosiasi insinyur di Amerika Serikat [#2, halaman 1-4] memperkirakan bahwa kondisi jalan yang buruk menyebabkan pengendara motor harus mengeluarkan biaya sebesar $67 miliar per tahun untuk perbaikan dan peningkatan biaya operasional, sementara kebocoran pipa menyebabkan kerugian yang diperkirakan bernilai tujuh miliar galon air minum per hari.