• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika Kata “Putus” Berujung Kekerasan Budi Firdaus

Televisi adalah media informasi audio visual yang sudah tidak asing bagi masyarakat global di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Terdapat banyak stasiun dan program yang bisa kita jumpai melalui pesawat televisi yang kita punya, dari pagi menuju pagi lagi dan seterusnya. Akan tetapi, dari semua program yang ada di televisi tersebut apakah pantas dan layak kita tonton sesuai dengan waktu dan isi dari program tersebut bagi anak-anak yang masih di bawah umur.

Pada saat ini media televisi dijadikan media penghibur sekaligus media untuk memperoleh informasi selama 24 jam. Biasanya orangtua menyediakan televisi di rumah bahkan di kamar sang anak dengan tujuan agar mereka betah tinggal di rumah dan tidak mengganggu orangtua yang sedang istirahat melepaskan lelah setelah bekerja seharian di luar rumah(Desti, 2005: 1). Pada saat ini hampir seluruh stasiun televisi swasta banyak menyajikan progam-progam acara yang memang tidak layak untuk dikonsumsi oleh anak-anak, yang jam tayangnya justru pada saat anak-anak sedang membutuhkan hiburan setelah pulang sekolah atau pada sore hari. Seperti salah satu program reality show “Katakan Putus”.

Reality show yang ditayangkan oleh Trans Media ini berdurasi satu jam, dari pukul 15.00 hingga 16.00 WIB.

Program yang dipandu oleh Komo Ricky dan Conchita Caroline ini menceritakan tentang sekelompok crew TransTV dan dipandu oleh dua orang host untuk membantu para kliennya yang ingin memutuskan hubungan dengan pasanganya. Pada episode ini menceritakan tentang seorang laki-laki yang sedang menyelidiki kegiatan sehari-hari pacarnya yang berprofesi sebagai vokalis sebuah band dan seorang foto model. Setelah diselidiki secara diam-diam oleh tim acara tersebut, ternyata si perempuan tersebut tengah menjalin asmara dengan manajernya sendiri. Dengan segala kecurigaan si laki-laki tersebut, akhirnya dia berniat akan memutuskan si perempuan dan bekerja sama dengan personil bandnya

yang ternyata juga tidak suka dengan tingkah laku kekasihnya tersebut. Dalam program reality show “Katakan Putus” banyak menggambarkan atau memperlihatkan adegan–adegan mesra atau bahkan memperlihatkan adegan kekerasan seperti makian dan berbicara dengan nada kasar yang tidak pantas dikonsumsi oleh anak – anak. Disini orangtua memainkan peran penting untuk memantau apakah acara itu pantas untuk dikonsumsi anak-anak mereka setiap hari, dan juga seberapa banyak manfaat yang ada dari isi acara tersebut. Sesuai dengan peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Pasal 11 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik, serta pada Pasal 12 ayat 2 yang menyatakan Lembaga penyiaran berhak menentukan format, konsep atau kemasan program layanan publik sesuai dengan target penonton atau pendengarnya masing-masing.

Gambar 5.3 Adegan ketika target sedang beradu mulut dengan nada keras. Dari gambar di atas menunjukan sepasang kekasih yang sedang beradu mulut dengan nada keras seakan si perempuan itu sedang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, sedangkan dari jam tayang program tersebut menurut Pedoman Perilaku Penyiaran dan (P3SPS) pada pukul 15.00 hingga pukul 18.00 program acara yang di tayangkan harus yang memiliki nilai didik untuk anak, akan tetapi di acara tersebut memperlihatkan hal yang tidak mendidik seperti makian dan bersuara dengan nada keras.

Media massa adalah sarana pendidikan bagi khalayaknya (mass education). Karena media massa banyak menyajikan hal-hal yang sifatnya mendidik. Salah satu ciri mendidik yang di lakukan media massa adalah

melalui pengajaran nilai, etika, serta aturan-aturan yang berlaku kepada pemirsa atau pembaca (Karlinah,2007:18).

Sebuah studi di Amerika Serikat bisa menjadi pelajaran berharga. Tahun 1969 Kementrian Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan telah memberi kuasa pembentukan komite penasehat ilmiah televisi dan perilaku sosial dari the Surgeon General untuk meneliti secara ilmiah efek yang merugikan,jika memang ada kejahatan dan kekerasan yang disiarkan televisi terutama yang menimbulkan perilaku anti sosial dan khususnya yang berhubungan dengan anak (Wright: 1988). Sebagian ahli yakin bahwa isi media massa tentang akibat yang ditimbulkan sangat merugikan sudah begitu jelas, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi, tetapi ahli-ahli yang lainnya agak keberatan mengenai pengaruh media massa pada kenakalan remaja, lebih mencemaskan lagi bahwa ketakutan masyarakat dapat mengalihkan perhatian dari penyebab lain kenakalan seperti hubungan keluarga yang terganggu, pengaruh kelompok anak muda tetangga, gangguan emosional individu dan perasaaan tidak aman(Desti,2005:1).

Dalam etika yang berbasis pada ajaran agama, apa yang ada dalam

reality show ini juga perlu dipertanyakan, seperti yang terkandung dalam ayat suci Al-Quran:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang- orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl 16:125).

Besarnya pengaruh televisi terhadap perilaku pemirsanya membuat televisi dituding sebagai biang keladi dari maraknya tindak kekerasan yang terjadi dimasyarakat, seperti perkelahian massa, pemerkosaan, pembunuhan, perampokan dan lain – lain (Rachmat,2003:147). Bila dalam satu hari jumlah adegan tersebut ditayangkan di televisi, mungkinkah anak – anak akhirnya akan merasa bahwa memang tidak akan memiliki risiko kalau memukul atau menganiaya orang lain.

Gambar 5.4 Adegan target sedang memergoki pasangannya.

Darigambar di atas menunjukan adegan melabrak/memergoki pasangannya sedang bermeraan dengan laki-laki lain, dari adegan tersebut mengandung makian dan saling tuduh menuduh ditambah dengan adu argumen dan pihak crew TransTV mengambil gambar secara diam-diam. Hak setiap orang wajib dihormati, dari adegan tersebut memperlihatkan bagaimana mencari informasi dengan cara diam-diam, dan tentu itu bisa merusak nama baik orang tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Undang-Undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Kajian yang dilakukan Nobelmencatat bahwa hubungan antara apa yang dilihat oleh anak pada layar televisi dengan bagaimana ia berperilaku sangat kompleks, tidak jelas dan tidak langsung. Nobel melihat segi lain yang positif dari ekspose tindak kekerasan di televisi itu. Menurut Nobel,melihat tindak kekerasan di televisi dapat memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menyalurkan impuls-impuls agresivitasnya yang tidak dapat ia salurkan secara langsung karena dibatasi oleh nilai-nilai etis moral yang diyakininya (Supriadi, 1997:129).

Kekerasan Bertopeng Reality Show