TRANSFORMASI BERFIKIR STRATEGIS
4.3. Pemahaman Manajerial
Orang-orang yang berfikir strategis menggunakan pengalaman mereka dari pribadi mereka, bisnis dan keahlian fungsional untuk menyampaikan pilihan mereka. Hal ini berhubungan dengan bagaimana para manajer memproses informasi dan menganalisanya dalam kaitannya dengan situasi yang baru. Proses ini diketahui sebagai pemahaman manajerial yang diuraikan berikut ini.
4.3. Pemahaman Manajerial
Pemahaman manajerial berhubungan dengan kapasitas dan kecenderungan untuk menganalisa permasalahan secara terperinci menggunakan intuisi proses strategis. Hal ini merupakan kemampuan untuk memproses informasi yang kompleks, dan berfikir analitis. Kemampuan mengidentifikasi apa yang paling dibutuhkan merupakan kemampuan untuk mengubah maju dan mundurnya suatu perusahaan atau organisasi. Dalam praktek, kemampuan merubah dari satu proses strategi ke lainnya (pengalaman lampau ke situasi kini) dapat dilakukan selama informasi dapat dikumpulkan, diorganisir, diproses dan dievaluasi. Setiap individu menggunakan cara yang berbeda untuk memproses informasi. Berdasar pada cara memproses perbedaan-perbedaan tersebut, kita sebaiknya bertanya apakah ada perbedaan pendekatan yang membuat keputusan strategis tergantung dari lingkungan, sasaran dan pilihan pribadi. Suatu perusahaan mengambil keputusan strategi sebagai hasil langsung dari suatu pilihan pengambil keputusan yang sangat dipengaruhi oleh masyarakat, sektor-sektor publik, lingkungan sekitar dan faktor perusahaan. Apabila para manajer memilih pendekatan yang tergantung pada lingkungan pribadi mereka, maka terkesan bahwa berfikir strategis merupakan proses mental individu yang disadari kepribadian masing-masing manajer perusahaan.
Hal ini didasarkan pada teori kognitif di mana individu membangun makna dan memahami permasalahan yang muncul dengan membangun representasi mental yang membimbing pemikiran mereka dalam pengambilan keputusan. Mereka memvisualisasikan situasi yang memungkinkan mengambil tindakan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Bagaimanapun, masalah bisa timbul ketika terdapat terlalu banyak informasi yang diproses dan individu menjadi kelebihan beban dengan informasi yang kompleks tersebut. Individu memiliki keterbatasan pada memori mereka dan berapa banyak informasi yang dapat mereka proses. Kondisi ini membatasi kemampuan mereka untuk memimpikan alternatif tujuan yang hendak dicapainya. Hal ini disebabkan karena individu jatuh kembali pada pembelajaran masa lalu dan pengalamannya dalam keadaan bisnis yang beragam. Manajer memiliki informasi yang banyak untuk menolong mereka membuat keputusan yang tepat, tetapi pilihan-pilihan strategis sering mencerminkan pandangan pribadi mereka terhadap sifat dari strategi dan bagaimana memformulasikannya berdasarkan pengalaman masa lampau. Bagaimanapun juga, mereka bergantung pada pengalaman individu yang dapat menghasilkan hasil yang bias sesuai keyakinannya. Ini karena ketika menghadapi dilema, seorang pembuat keputusan strategis bergantung pada perspektif/cara pandang strategi mereka masing-masing dan bagaimana hubungannya dengan perusahaan dan lingkungan. Untuk itu, strategi berhubungan dengan pandangan seorang manajer tentang bagaimana perusahaan seharusnya beroperasi dan berfungsi dan perannya yang menjadi bias seperti masalah kompleks yang diperlakukan berdasarkan pada keputusan lampau yang simpel.
Pada kenyataannya pembuat keputusan akan membawa dasar kognitif dan nilai-nilai individu dalam rangka membuat dasar sebuah keputusan. Ini dapat menciptakan penghalang/ rintangan antara kondisi aktual dan persepsi pada suatu kondisi. Rintangan pada
pembuatan keputusan yang efektif merupakan hal yang penting dalam mempertimbangkan mengapa keputusan-keputusan tertentu telah atau belum dibuat. Secara psikologis beberapa penghalang pada pengambilan keputusan yang efektif merupakan efek dari nilai-nilai dan keyakinan individu maupun perusahaan (nilai perusahaan).
Satu elemen yang telah jelas dalam literatur manajemen bahwa keputusan manajer dipengaruhi oleh keyakinan dan nilai-nilai seorang individu manajer tersebut. Nilai-nilai sebagai pernyataan-pernyataan yang diinginkan, sasaran-sasaran, tujuan-tujuan atau perilaku yang lebih pada situasi tertentu dan yang diaplikasikan sebagai standar normatif untuk menilai dan memilih diantara alternatif mode perilaku. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dua fungsi penting. Pertama, mereka merupakan kondisi yang abadi dan lebih penting. Nilai-nilai dapat menyediakan hubungan dan pengertian dari maksud pada perilaku individu. Kedua, nilai-nilai dapat membentuk dasar untuk menggerakkan perilaku yang sesuai dengan kebutuhan kelompok atau unit sosial yang lebih besar.
Nilai-nilai menyediakan arahan peraturan informal yang kuat ketika membuat kepu-tusan, mempengaruhi proses kognitif seperti pemahaman/kognitif manajerial. Sebagai contoh, nilai menentukan mode perilaku yang secara sosial diterima dan menyajikan sebagai petunjuk aturan normatif bagi individu pekerja dan mereka memiliki tradisi pembentukan yang lama, mengarahkan dan membimbing perilaku manusia dan pembuatan keputusan kedalam dan keluar perusahaan.
Pemahaman manajerial mempengaruhi pembuatan keputusan dan strategi bersaing. Aspek-aspek kognitif dari para manajer merupakan kunci untuk pemahaman mereka tentang bagaimana perusahaan yang kompetitif dikembangkan. Model kognitif memandang pembuat keputusan sebagai upaya mencoba untuk menghasilkan sebuah pandangan total tentang lingkungan. Para manajer mencoba menyederhanakan informasi yang tidak lengkap yang mereka miliki berdasarkan pengalaman lalu dan type kognitif masing- masing. Beberapa keputusan yang dibuat dapat dibuat berdasarkan nilai-nilai yang dimiliki oleh para manajer, keyakinan dan pengalaman mereka, yang pada akhirnya dapat membatasi pilihan yang mereka buat. Kemudian nilai menyajikan informasi sebagai cetak biru untuk membuat keputusan, menyelesaikan masalah dan memecahkan konflik. Keadaan ini terjadi ketika nilai-nilai menjadi sebuah halangan untuk membuat keputusan ketika masalah timbul.
Setiap perusahaan diarahkan oleh nilai-nilai individual pemimpin mereka, baik apakah nilai ini secara sadar dimengerti atau secara tidak sadar berpengaruh, terucap atau tak terucap, tertulis atau tak tercatat. Bagaimanapun sebuah nilai yang dimiliki manajer membatasi wilayah pandangan mereka, mempengaruhi persepsi seleksi mereka, mempenga-ruhi interpretasi informasi mereka dan mencerminkan pilihan yang mereka buat. Hal ini seharusnya menjadi batasan rasionalitas dimana individu membuat keputusan berdasar pendekatan pada aturan, dimana perhitungan rasional dibuat dan keputusan yang muncul menjadi kepentingan terbaik mereka sendiri. Untuk itu, para manajer seharusnya memahami bagaimana komitmen-komitmen mereka pada tugas dan tanggungjawab mengikat mereka pada nilai-nilai yang sangat penting dan bagaimana mereka berperan secara optima dalam mencapai tujuan sesuai nilai-nilai perusahaan.
Nilai-nilai perusahaan juga merupakan penggerak yang kuat dari kinerja individu dan perusahaan dan menyediakan kriteria dimana keputusan dibuat. Nilai individu dan perusahaan yang tak sejenis dapat merusak kepemimpinan strategis, seperti para manajer dapat tidak percaya pada nilai dan keyakinan perusahaan, dan mungkin tidak dapat bekerja di dalamnya. Perusahaan mungkin tidak mencatat nilai dan keyakinan para manajer, membuat kondisi yang sulit ketika membuat keputusan strategis yang akan mempengaruhi
Berfikir Strategis
43 baik bagi para manajer dan perusahaan. Untuk itu para manajer harus mengarahkan nilai yang sejenis dimana tidak ada konflik antara sistem nilai.
Manajer dan pembuat keputusan perlu untuk dapat beradaptasi dan berubah dalam memenuhi permintaan pasar, dan juga memotivasi dan mendorong karyawan untuk memiliki komitmen perubahan dan kerja terhadap visi dan misinya. Manajer juga perlu dapat berkomunikasi dan mengarahkan karyawan untuk maju pada visi strategis dengan mengubah kebijakan-kebijakan, menyediakan tambahan sumber daya dan dengan menjelaskan visi dalam masa-masa pencapaian tujuan dan sasaran sesuai dengan pernyataan-pernyataan visi dan misi. Mereka perlu memastikan kesesuaian nilai antara perusahaan dan tujuan personal agar membuat proses operasional perusahaan berjalan lebih lancar. Ketidakselarasan antara nilai individual dan perusahaan dapat menimbulkan masalah dalam lapisan internal perusahaan, seperti tidak mengikuti perilaku dan kinerja standar perusahaan yang memimpin tidak dipenuhinya tugas pekerjaan, dan juga dalam lapisan eksternal perusahaan yang fokus pada level layanan yang disediakan oleh perusahaan.
Tujuan dari berfikir strategis dan pengambilan keputusan merupakan upaya untuk memastikan ketahanan perusahaan dalam persaingan pasar. Upaya ini dibutuhkan agar berfikir strategis dan pengambilan keputusan yang efektif dapat mengendalikan perusahaan pada tujuan yang paling tepat. Untuk itu, menjadi penting proses pembuatan keputusan, yang mana manajemen melakukan pendekatan secara terperinci terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan strategis yang didiskusikan baik dalam literatur manajemen maupun psikologis. Dengan menguji literatur baik dengan disiplin ilmu manajemen maupun psikologis mempertimbangkan pemahaman bagaimana keputusan dibuat, kompetensi yang disyaratkan dan campur tangan yang dikembangkan yang memungkinkan para manajer untuk mengatasi halangan atau hambatan. Kompetensi yang dikenal dengan pendekatan manajemen mensyaratkan validasi. Sekali kompetensi divalidasi, sebuah tehnik seperti model pengambilan keputusan dapat dikerjakan. Model ini menopang pemilihan dan pengembangan manusia dalam tugas-tugas pekerjaan. Ini memungkinkan untuk suatu penilaian dari pengambilan keputusan strategis maupun identifikasi dari individu yang memiliki kelemahan pada satu area kompetensi (seperti dampak dari nilai dan keyakinan pengambilan keputusan). Program-program pengembangan untuk setiap kele-mahan kompetensi dapat diimplementasikan sehingga setiap individu dapat mengembang-kan kemampuan mereka pada area tersebut. Dengan menggunamengembang-kan metode ini dimungkin-kan untuk menilai dan memprediksi seorang pemikir keputusan strategis dan kinerja pembuat keputusan.
Kompetensi yang diperlukan seorang manajer maupun pengambil keputusan, walaupan secara literatur tidak atau belum ditetapkan, yang secara umum dapat dinyatakan oleh beberapa ilmuwan dapat diketahui dan yang paling tepat diperlukan dalam proses pengambilan keputusan strategis. Kompetensi dalam berfikir strategis dapat dipahami dari dua pendekatan yaitu pendekatan manajerial dan pendekatan psikologis. Pendekatan manajerial fokus pada proses berfikir strategis dan pengambil keputusan dimana terdapat dua kegiatan yaitu perencanaan dan pemikiran. Sedangkan pendekatan psikologis fokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi berfikir strategis dan pengambilan keputusan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan strategis dalam hal ini terdiri dari pemahaman manajerial (manajerial cognition), nilai-nilai (individu dan perusahaan) dan keyakinan. Kedua pendekatan ini perlu dipertimbangkan bersama sehingga pemahaman tentang faktor yang menjadi dasar sebuah pengambil keputusan yang baik dapat diketahui.
Adapun kompetensi yang mendasari kemampuan berfikir strategis diyakini dapat muncul dari pengalaman, kemampuan, nilai, sifat, aspek pribadi maupun sosial. Kompetensi yang diperlukan dalam berfikir strategis terdiri dari 6 jenis kompetensi yaitu: teknis, bisnis, pengetahuan, manajemen, kepemimpinan, sosial dan intrapersonal. Sedangkan untuk pengambilan keputusan terdapat 5 karakteristik dimana digaribawahi salah satunya merupakan kompetensi pemahaman manajerial. Berfikir strategis dan pengambilan keputusan didasarkan pada pengambilan sebuah pandangan tentang posisi perusahaan, yaitu dimana perusahaan telah berada (masa lampau), dimana perusahaan sekarang berada (saat ini) dan bagaimana perusahaan dapat bertahan di tengah lingkungan yang dinamis (masa akan datang). Pemahaman manajerial, nilai-nilai perusahaan maupun nilai dan keyakinan individu dapat memberikan pengaruh terhadap pilihan pengambilan keputusan strategis. 4.4. Transformasi Berfikir Strategis dalam Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan sebuah program yang terencana dan tersistem dengan baik. Program yang melibatkan sejumlah komponen yang bekerjasama dalam sebuah proses untuk mencapai tujuan yang diprogramkan. Sebagai sebuah program, pendidikan merupakan aktivitas sadar dan sengaja yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai sebuah upaya bersama dari beberapa komponen yang ada, pengelolaan sistem kelembagaan tidak dapat lepas dari konsep-konsep manajemen maupun administrasi yang baik. Dalam konsep manajerial, program-program pendidikan yang ada baik pendidikan umum maupun Pendidikan Islam, tidak dapat lepas dari upaya pengembangan. Tanpa ada upaya pengembangan lembaga pendidikan kita akan tertinggal dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada di negara barat. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan pengembangan dengan baik, seorang pemimpin lembaga pendidikan sebagai leading sector, perlu mencermati isu-isu strategis yang ada dengan selalu berfikir strategis. Dalam hal ini, berfikir strategis mencakup bagaimana membuat perencanaan strategis dan implementasinya dalam pengembangan kelembagaan.
Perencanaan dan implementasi strategi pada lembaga pendidikan, merupakan kerangka kerja pengembangan dalam kurun waktu yang cukup panjang, berkisar antara 3 – 10 tahun. Berfikir untuk sebuah perencanaan jangka panjang (strategis) seperti ini,merupakan hal yang tidak mudah. Seringkali kita akan dihadapkan pada persoalan yang rumit dalam menangkap isu-isu strategis yang ada, terlebih lagi dalam memprediksi masa depan. Dalam memprediksi masa depan, terdapat asumsi dasar yang harus dijadikan landasan, diantaranya; masa depan akan berbeda dengan masa lalu, masa depan akan lebih sulit untuk diprediksi, dan tingkat perubahannya akan lebih cepat dibanding sebelumnya. Sehingga, untuk dapat melakukan prediksi dan analisa terkait masa depan, seorang pemimpin lembaga pendidikan perlu berfikir strategis dan berencana strategis. Perencanaan dan berfikir strategis pada dasarnya tidak sama, namun, keduanya sangat dibutuhkan dalam keseluruahan proses menuju kesusksesan.
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia saat ini, baik yang berbentuk pesantren, madrasah, sekolah maupun perguruan tinggi masih jauh dari apa yang diharapkan umatnya (umat muslim). Bahkan secara kualitatif, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sekarang ini muncul serta dinilai terkemuka (outstanding), masih jauh dari penilaian ideal. Kondisi pendidikan Indonesia pada saat ini tak ubahnya seperti sebuah mobil tua, dengan kondisi mesin bermasalah, sedang berada di tengah arus lalu lintas pada jalur bebas hambatan. Hal itu disebabkan kondisi pendidikan saat ini menghadapi tiga masalah besar, yaitu: (1) mutu
Berfikir Strategis
45 pendidikan yang masih rendah, (2) sistem pembelajaran yang masih belum memadai, dan (3) krisis moral yang melanda masyarakat. Kondisi pendidikan Indonesia saat ini sedang menghadapi problematik paradoks di alam globalisasi: di satu sisi harus membangun mutu pendidikan sesuai dengan rujukan-mutu (benchmarking) kompetensi global agar tidak tersisih dari persaingan antar bangsa, sedangkan di sisi lain dituntut menimbang mutu dalam keragaman dan kearifan lokal agar siswa hidup dengan menapak di bumi sendiri.
Beberapa persoalan di atas mengisyaratkan bahwa sudah selayaknya lembaga pendidikan Islam terutama pemimpin (leader) yang ada senantiasa berfikir strategis terutama dalam mengembangkan lembaganya. Tanpa ada upaya menjawab persoalan secara strategis dan sitematis sulit kiranya meminimalisir tantangan zaman yang semakin hari semakin besar. Globalisasi, pasar bebas, dan liberalisasi di berbagai sektor menuntut kemampuan lulusan Lembaga Pendidikan Islam guna memiliki kompetensi dan kekuatan untuk bersaing. Untuk itu, hal-hal yang perlu dilakukan dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam; Pertama, bagaimana berfikir strategis dan bagaimana penerapannya dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam. Kedua, langkah-langkah strategis terkait pengembangan kelembagaan pendidikan Islam.
Aktivitas kependidikan Islam pada dasarnya telah ada sejak adanya manusia itu sendiri (Adam dan Hawa), bahkan ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad bukan merupakan perintah sholat, puasa, atau yang lainnya, akan tetapi perintah iqra’ (membaca, merenungkan, menelaah, meneliti, atau mengkaji) atau perintah untuk mencerdaskan kehidupan manusia yang merupakan inti dari aktivitas pendidikan. Dalam dunia modern, pelaksanaan pendidikan Islam tidak hanya sebatas kegiatan informal, akan tetapi merupakan kegiatan formal yang dikelola sebuah lembaga yang disebut lembaga pendidikan Islam. Dalam perkembangannya di Indonesia lembaga pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis, yaitu: (1) pendidikan pondok pesantren; (2) pendidikan madrasah; (3) pendidikan umum yang bernafaskan Islam; dan (4) pendidikan agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.
Pendidikan Islam di luar sekolah (nonformal) juga merupakan lembaga nonformal yang mendukung keberhasilan pembelajaran agama islam. Pendidikan tersebut dilaksanakan baik dalam keluarga maupun di tempat ibadah, dan/atau di forum-forum kajian keislaman, majelis ta’lim dan sebagainya. Pendidikan ini dapat dicapai secara maksimal apabila lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki modal human-capital dan social-capital yang memadai dan juga memiliki tingkat keefektifan dan efisiensi yang tinggi.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab lembaga pendidikan Islam terpinggirkan meliputi faktor internal dan eksternal lembaganya. Faktor internal lembaga pendidikan islam diantaranya; manajemen pendidikan islam yang belum efektif dan berkualitas, kompensasi guru yang masih rendah, dan kepemimpinan yang belum profesional. Sedangkan faktor eksternalnya merupakan adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam, paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional, dan adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam.
Sejalan dengan pandangan di atas, salah satu persolan klasik yang dihadapi lembaga pendidikan Islam, yaitu kelemahan manajemen. Kelemahan manajemen pendidikan Islam ditunjukkan oleh sifatnya yang tertutup dan tidak berorientasi ke luar, sehingga perkembangannya menjadi lamban, bahkan statis saja, praktek manajemen di madrasah sering menggunakan manajemen tradisional, yaitu manajemen paternalistik atau feodal.
Kentalnya dominasi senioritas jelas mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Sehingga, munculnya kreativitas dan inovasi dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi ini mengarah pada penilaian negatif, sehingga muncul kesan bahwa meluruskan atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap sebagai sikap yang jelek. Melihat kondisi lembaga maupun praktek kelembagaan serta harapan masyarakat di atas, maka reformasi birokasi lembaga pendidikan Islam merupakan salah satu agenda wajib terkait upaya mengejar bebagai ketertinggalan yang ada. Sudah saatnya lembaga pendidikan Islam melakukan perubahan-perubahan strategis dalam bidang manajemen dan bidang-bidang lainnya. Pemimpin lembaga pendidikan Islam diharuskan memiliki visi, tanggung jawab, wawasan, dan keterampilan menajerial yang tangguh. Lebih lanjut, seorang pemimpin harus dapat berperan sebagai lokomotif perubahan menuju terciptanya lembaga pendidikan Islam berkualitas.
Berpikir secara strategis berangkat dari refleksi atas inti utama yang terdapat dalam suatu persoalan yang ditangani dan tantangan-tantangan utama yang dihadapi. Dengan demikian, berpikir secara strategis lebih berupa proses untuk memahami dua hal pokok yang saling terkait: yaitu fokus dan kesadaran atas waktu (timing). Fokus lebih mengacu pada kemampuan kita dalam menempatkan perhatian kita. Sedangkan kesadaran waktu (timing) mengacu pada pemahaman akan dinamika perubahan yang sangat erat kaitannya dengan panjang-pendeknya waktu yang dibutuhkan untuk suatu perubahan. Berpikir strategis sangat erat kaitannya dengan kesediaan untuk melatih diri membiasakan melihat persoalan dari berbagai sudut pandang. Kemampuan berpikir strategis pun tercermin dalam mengangkat beragam dilema yang mendasar, baik dalam kehidupan individual maupun perusahaanonal. Dilema ini selalu menunjukkan adanya konflik atas pilihan mana yang mesti di ambil antara dua alternatif yang tampaknya sama-sama menarik. Kemampuan berpikir strategis mengangkat beragam dilema seperti ini ke permukaan, dan memakainya sebagai katalisasi atas imaginasi dan inovasi yang bisa ditawarkan untuk mengusung perubahan.
Perubahan dalam makna pengembangan pada dunia pendidikan, merupakan bagian dari konsep perencanaan. Dimana, perencanaan pendidikan merupakan proses perkiraan dan penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan dalam pendidikan untuk masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan. Secara substansial perencanaan pendidikan mengandung tiga hal, yaitu; (1) tujuan pendidikan, (2) perhitungan atau pengembangan kebijakan, dan (3) pelaksanaan rencana pendidikan. Formulasi strategi, dalam hal ini yang merupakan kerangka berfikir strategis dalam pengembangan pendidikan, memiliki lima langkah pokok, yaitu; (1) perumusan misi (mission determination), (2) asessmen lingkungan (environmental assesment), (3) asesmen perusahaan (organizational assesment), (4) peru-musan tujuan (objective setting), dan (5) penentuan strategi (strategy setting).
Berfikir strategis dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam merupakan sebuah proses formulasi rencana dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hal-hal vital, pervasif, dan berkesinambungan. Langkah-langkah yang harus ditempuh diantaranya; merumuskan misi lembaga, melakukan asessmen lingkungan internal maupun eksternal lembaga, merumuskan tujuan lembaga, dan menentukan/memilih strategi yang sesuai dengan kondisi. Pengembangan lembaga pendidikan Islam melalui langkah-langkah berfikir serta berencana secara strategis menjadikan arah dan tujuan (visi dan misi) dapat tercapai secara sistematis. Selain itu upaya pencapaian target kelembagaan dapat dikontrol sedemikian rupa sehingga persoalan-persoalan atau problem-problem penghambat perkembangan dapat disikapi serta diselesaikan dengan cepat dan tepat sasaran.
47