• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran isi polis

POLIS ASURANSI

A. Dasar‐Dasar Hukum Perjanjian

2. Penafsiran isi polis

Sebagaimana kita ketahui, bahwa polis asuransi jiwa adalah contracts of adhesion,  yaitu ditulis oleh satu pihak dalam hal ini penanggung saja dan tidak bisa ditawar oleh  pihak pembeli. Walaupun demikian, perusahaan asuransi dalam membuat polis tetap  memperhatikan hak‐hak pemilik polis. Demikian juga regulator atau pemerintah tetap  memperhatikan,  menjamin  dan  melindungi  hak‐hak  pemilik  polis  dan  penerima  manfaat polis asuransi jiwa. 

 

Dalam  Kitab  Undang‐Undang  pasal  304  KUHD  menyebutkan  bahwa  “polis  asuransi jiwa harus memuat:   1. hari ditutupnya pertanggungan;   2. nama si tertanggung;   3. nama orang yang jiwanya dipertanggungkan;  4. saat mulai berlaku dan berakhirnya bahaya bagi si penanggung;   5. jumlah uang untuk mana diadakan pertanggungan;   6. premi pertanggungan tersebut”.    

Sedangkan  isi  polis  asuransi  umum  (kerugian)  menurut  pasal  256  KUHD  menyebutkan  bahwa  ”Setiap  polis,  kecuali  yang mengenai  suatu  pertanggungan  jiwa,  harus  menyatakan:  1.  hari  ditutupnya  pertanggungan;  2.  nama  orang  yang  menutup  pertanggungan  atas  tanggungan  sendiri  atau  atas  tanggungan  orang  ketiga;  3.  suatu  uraian yang cukup jelas mengenai barang yang dipertanggungkan; 4. jumlah uang untuk  diadakan  pertanggungan;  5.  bahaya‐bahaya  yang  ditanggung  oleh  si  penanggung;  6.  pada  saat  mana  bahaya  mulai  berlaku  sebagai  tanggungan  si  penanggung  dan  saat  berakhirnya; 7. premi pertanggungan tersebut, dan 8. pada umumnya, semua keadaan  yang  kiranya  penting  bagi  si  penanggung  untuk  diketahuinya,  dan  segala  syarat  yang  diperjanjikan  antara  para  pihak.  Polis  tersebut  harus  ditandatangani  oleh  tiap‐tiap  penanggung”. 

 

2. Penafsiran isi polis 

Dalam  buku  ”Klaim  asuransi  GAMPANG”  (Ketut  Sendra,  2009  :  73‐80)  menjabarkan  tentang  bagaimana  menafsirkan  isi  polis  asuransi.  Polis  asuransi  diterbitkan  oleh  perusahaan  asuransi  berdasarkan  permintaan/permohonan  yang  102

dilengkapi  dalam  aplikasi  asuransi  (SPPA/SPAJ).    Polis  yang  diterbitkan  harus  sesuai  dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 73 tahun 1992 pasal 19 ayat  (1) tentang ”bentuk dan isi polis”, yang menetapkan bahwa:  

“Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang  merupakan  satu  kesatuan  dengannya,  tidak  boleh  mengandung  kata,  kata‐kata,  atau  kalimat  yang  dapat  menimbulkan  penafsiran  yang  berbeda  mengenai  risiko  yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau  mempersulit tertanggung mengurus haknya”.  

 

Lebih jelasnya diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.  422/KMK.06/2003 Bab‐III tentang ”Polis” mulai pasal 7 – 18. 

o Pasal‐8,  menyebutkan  bahwa  ada  sekurang‐kurangnya  14  (empat  belas)  ketentuan (a sampai dengan n) yang harus dimuat dalam polis;   o Pasal‐9, menyebutkan bahwa: ’Polis asuransi harus dicetak dengan jelas, sehingga  dapat dibaca dengan mudah dan dimengerti baik langsung maupun tidak langsung  oleh pemegang polis dan atau tertanggung’;   o Pasal‐11 menyebutkan bahwa: (1) Apabila dalam polis asuransi terdapat perumusan  yang dapat ditafsirkan sebagai pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang  ditutup  berdasarkan  polis  asuransi  yang  bersangkutan,  bagian...  (2)  Apabila...ditafsirkan  sebagai  pengurangan,  pembatasan,  atau  pembebasan  kewajiban  penanggung,  bagian  perumusan  dimaksud  harus  ditulis  atau  dicetak  sedemikian  rupa  sehingga  dapat  dengan  mudah  diketahui  adanya  pengecualian,  pengurangan, pembatasan, atau pembebasan penangung tersebut’. 

 

Bahasa  maupun  tata  letak  dari  tulisan‐tulisan  yang  dicantumkan  dalam  polis  harus  mudah  dimengerti  dan  tidak  menyesatkan  pemegang  polis  atau  konsumen.  Dalam  UU  No.  8  tahun  1999  tentang  ”Perlindungan  Konsumen”,  pasal  18  ayat  (2)  menyebutkan  bahwa:  “Pelaku  usaha  dilarang  mencantumkan  klasula  baku  yang  letak  atau  bentuknya  sulit  terlihat  atau  tidak  dapat  dibaca  secara  jelas,  atau  yang  pengungkapannya  sulit  dimengerti”.  Adapun  konskuensi  yuridisnya  terhadap  pelanggaran pasal 18 UUPK ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam ayat (3) pasal ini yaitu  “dinyatakan batal demi hukum”. 

 

Realitanya  masih  saja  terdengar  keluhan  klasik  tentang  polis  asuransi  yang  menggunakan bahasa dan kalimat berbelit‐belit, istilah‐istilah yang sulit dipahami dan  hurufnya  yang  kecil‐kecil.  Akibatnya  para  tertanggung  menjadi  enggan  untuk  membaca  polis  dan  seandainya  mereka  membaca,  mereka  tidak  menghubungi  penanggung untuk kejelasannya. 

 

Saat  pertanggungan  berakhir.  Tanggal  berakhirnya  suatu  pertanggungan  memang jelas tertera di dalam polis, tetapi orang bertanya: Pada jam berapa dan  di  tempat  mana?.  Tentang  jam  berapa,  rasanya  tidak  perlu  dipersoalkan  karena  akhir dari setiap hari adalah jam 24.00. Tentang di tempat mana, perlu penegasan  dalam  polis  dengan  menyatakan  misalnya,  ”jam  24.00  waktu  di  tempat  polis  diterbitkan”  atau  pilihan  lain  ialah  ”waktu  di  tempat  obyek  pertanggungan  berada”. Jika dikehendaki waktu yang lain, maka waktu yang lain itu harus ditulis,  POLIS ASURANSI

misalnya  ”jam  12.00  siang  waktu  ditempat  polis  diterbitkan”  atau  ”waktu  di  tempat obyek pertanggungan berada”. 

 

”waktu”  dapat  menimbulkan  sengketa,  Contoh  kasus:  Polis  asuransi  perawatan  kesehatan  kontrak  berakhir  hari  ini  (pastinya  jam  24  malam  nanti),  dalam  polis  ditetapkan biaya perawatan dijamin penanggung selama 60 hari terhitung mulai  hari  pertama  tertanggung  dirawat  di  RS.  Tertanggung  masuk  Rumah  Sakit  (RS)  hari ini jam 16.00, berdasarkan ketentuan dalam polis bahwa polis masih berlaku,  sehingga  hak  atau  jaminan  wajib  didapatkan,  tetapi  karena  kekurangpahaman  tentang  waktu,  hak  jaminan  yang  seharusnya  diterima  tertanggung  tidak  dibayarkan, dengan alasan kontrak dinyatakan berakhir pada hari itu. Benar dari  segi  waktu  kontrak  berakhir  hari  ini  jam  24.00,  tetapi  jaminan  tetap  harus  dibayarkan  karena  tertanggung  dirawat  di  RS  pada  saat  polis  masih  berlaku  (inforce). 

 

Saat pertanggungan dimulai. Tanggal mulainya suatu pertanggungan juga tertera  dengan  jelas  di  dalam  polis,  tetapi  apakah  pertanggungan  benar‐benar  telah  dimulai  sejak  detik  pertama  pada  hari  yang  tanggalnya  disebutkan  dalam  polis.  Polis  asuransi  jiwa  belum  mulai  berlaku  jika  penanggung  belum  menyatakan  menerima  premi  pertama  yang  disepakati.  Pada  Asuransi  Umum,  pemberlakuannya  agak  berbeda  dan  beragam.  Ada  polis  yang    memberikan  tenggang waktu pembayaran premi selama 14 hari, 30 hari atau bahkan 90 hari.  Oleh  sebab  itu  pertanggungan  sudah  mulai  berlaku  sejak  tanggal  yang  disebutkan  dan  akan  terus  berlaku  jika  premi  dibayarkan  dalam  masa  tenggang  waktu  (grace  period).  Ada  juga  polis  yang  tidak  mengatur  tentang  tenggang  waktu pembayaran premi dan oleh karenanya pertanggungan belum berlaku jika  premi  belum  diterima  penanggung.  Sengketa  timbul  ketika  terjadi  klaim  tetapi  premi belum dibayar sesuai ketentuan polis. 

  

Ketentuan  tentang  grace  period  merupakan  jangka  waktu  tambahan  untuk  membayar premi setelah jatuh tempo. Selama jangka waktu tersebut, polis akan  tetap  berlaku  (inforce)  dan  premi  tetap  terhutang  dan  jika  tertanggung  meninggal  dunia  penanggung  harus  tetap  membayar  dengan  dikurangi  premi  yang  terhutang.  Jika  grace period  berakhir  dan  premi  belum  dibayar maka  tidak  ada proteksi yang berlaku. 

 

Saat premi benar‐benar telah diterima. Premi dapat dibayar dengan berbagai cara  yaitu  tunai,  cek  tunai,  giro,  transfer  melalui  kantor  bank  atau    melalui  ATM.  Pembayaran dengan tunai, cek tunai dan melalui ATM kiranya tidak bermasalah,  akan  tetapi  bagaimana  dengan  transfer  melalui  kantor  bank?  “Tertanggung  bisa  berpendapat bahwa ia telah membayar premi ketika proses transfer di kantor bank  selesai  dilakukan”,  padahal  saat  itu  rekening  bank  penanggung  belum  terisi  dengan jumlah uang yang ditransfer itu. Oleh sebab itu bagi penanggung, premi  masih  belum  dibayar  dan  akibatnya  klaim  ditolak  dengan  alasan  tersebut.  Polis  seharusnya  dengan  tegas  menyatakan  bilamana  premi  sungguh  telah  diterima  apabila  dibayar  dengan  berbagai  cara  disebut  diatas.  Polis‐polis  standar  AAUI  104

dewasa  ini  pada  umumnya  telah  mencantumkan  ketentuan  mengenai  hal  ini,  akan  tetapi  masih  terdapat  banyak  polis  lain  yang  belum  mengaturnya,  contoh  lain  yaitu:  “Pembayaran  premi  melalui  broker  asuransi  dan  belum  diteruskan  kepada penanggung adalah sama dengan belum membayar”. 

 

Penggunaan  obyek  pertanggungan  (okupasi).  Tertanggung  tidak  atau  kurang  menyadari  bahwa  perubahan  fungsi  atau  penggunaan  obyek  pertanggungan  (bangunan atau mobil) yang diasuransikan dapat berdampak terhadap tanggung  jawab polis. Oleh karenanya, mereka tidak melaporkan kepada penanggung jika  terjadi  perubahan  itu.  Rumah  tinggal  telah  berubah  menjadi  toko,  gudang  atau  bengkel  mobil.  Mobil  yang  awalnya  untuk  penggunaan  pribadi  kemudian  disewakan.  Masalah  ini  sering  terjadi  ketika  tertanggung  tidak  memiliki  polis  asuransi  melainkan  sertifikat  asuransi,  dan  oleh  karenanya  ia  tidak  dapat  mengetahui  syarat‐syarat  dan  ketentuan‐ketentuan  polis,  karena  ia  membeli  mobil dengan cara leasing. 

 

Dalam  asuransi  jiwa  pemegang  polis  tidak  memberitahukan  adanya  perubahan  (penambahan,  penggantian)  penerima  manfaat  atau  termaslahat,  sehingga  dapat  mempersulit  penyelesaian  haknya  dikemudian  hari.  Jika  ada  perubahan  penerima  manfaat,  pemegang  polis  wajib  mengajukan  permohonan  tertulis  kepada  penanggung,  yang  selanjutnya  penanggung  akan  mengeluarkan  adendum polis sebagai bagian tidak terpisahkan dari polis tersebut. 

 

Uraian tentang obyek pertanggungan. Seringkali polis tidak menguraikan dengan  jelas  tentang  obyek  yang  dipertanggungan.  Menyebut  “Bangunan”  saja  tidak  cukup  tetapi  perlu  ditambahkan  dengan  “termasuk  semua  perlengkapan  yang  biasanya  melekat padanya, pagar yang mengitarinya,  bangunan  tambahan  yang  berada  di  dalam  halaman  rumah  yang  sama”  atau  keterangan  apa  saja  agar  intensi berasuransi menjadi jelas. “Isi rumah” tanpa uraian, maka sepeda pun bisa  termasuk  di  dalamnya.  Demikian  juga  ketika  menyebut  “Stok”  saja,  maka  akan  berakibat stok apa saja termasuk bahan baku, bahan pembantu, bahan setengah  jadi, bahan jadi, persediaan suku cadang dan lain sebagainya. 

 

Definisi  atas  kata  atau  istilah.  Jika  suatu  kata  atau  istilah  tidak  didefinisikan  di  dalam polis, maka pengertian terhadap kata atau istilah adalah pemahaman yang  berlaku  dan  dianut  masyarakat  umum  dalam  kehidupan  sehari‐hari.  Oleh  karenanya, ketika ada suatu kata atau istilah yang ingin diartikan berbeda dengan  pemahaman  masyarakat  umum,  maka  kata  atau  istilah  tersebut  harus  didefinisikan  dengan  jelas.  Kita  masih  ingat,  industri  perasuransian  umum  Indonesia  mengalami  kegalauan  ketika  perusahaan‐perusahaan  reasuransi  luar  negeri  menolak  membayar  klaim  akibat  kerusuhan  12‐13  Mei  1998.  Tertanggung  melihat kejadian itu sebagai “Kerusuhan” dan oleh karenanya ia menuntut ganti  rugi berdasarkan jaminan klasul SRCC. Perusahaan‐perusahaan asuransi umum di  Indonesia  pun  cenderung  mempunyai  pengertian  serupa.  Inilah  sebabnya  kata‐ kata  dan  istilah‐istilah  seperti  :  “Kerusuhan”,  “Pemogokan”,  “Penghalangan 

POLIS ASURANSI

Bekerja”, “Perbuatan Jahat”, “Huru‐Hara”, “Terorisme”, “Sabotase” dan lain‐lain  telah digunakan oleh AAUI. 

 

Dalam asuransi jiwa banyak istilah‐istilah yang telah ditetapkan menjadi kata‐kata  baku,  padahal  nasabah  asuransi  belum  tentu  membaca  ataupun  memahaminya,  seperti  klausula  tidak  dapat  dibantah  (incontestable  clause),  yaitu  klasula  yang  menyatakan  bahwa  setelah  polis  berlaku  efektif  selama  2  (dua)  tahun  dan  tertanggung  tetap  hidup,  penanggung  tidak  akan  membantah  keabsahan  keterangan  yang  diberikan  tertanggung  yang  dijadikan  sebagai  dasar  terbitnya  polis  tersebut.  Hal  ini  dilakukan  oleh  penanggung  untuk  menguji  kebenaran  keterangan yang diberikan oleh tertanggung (contestable) dengan tujuan untuk  menjaga prinsip itikad baik (utmost good faith). 

 

Dalam  asuransi  kesehatan,  dikenal  dengan  istilah  “pre‐existing  period”  atau  periode  polis  pra‐kondisi  yaitu  masa/periode  tertentu  yang  diberikan  kepada  tertanggung, dimana penanggung tidak akan membayar manfaat/maslahat untuk  setiap  kondisi  kesehatan  (penyakit)  yang  tadinya  sudah  ada  sebelum  polis  diterbitkan dan tidak diungkapkan didalam aplikasi asuransi (SPPA/SPAJ).  

 

Untuk itu pemegang polis/termaslahat harus dapat memahami, mempelajari dan  tahu  benar  tentang  ketentuan‐ketentuan  yang  diatur  dalam  polis  yang  dimilikinya,  antara  lain:  hal‐hal  yang  dijamin,  yang  dikecualikan  atau  adanya  pengurangan,  pembatasan,  atau  pembebasan  penanggung  dari  kewajibannya  untuk  membayar  klaim  asuransi  seperti  polis  dalam  masa  contestable,  pre‐ existing, dan lain‐lain.