• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. KAJIAN PUSTAKA 1. Teori Belajar Kognitivisme

Ahli teori kognitif mempercayai bahwa pembelajaran melibatkan integrasi dari pengalaman dan peristiwa ke dalam sistem penyimpanan aktif yang disebut schemata (Baron & Byrne, 1987). Cook (1997) menyampaikan bahwa schema adalah representasi mental dari pengetahuan yang bersifat umum. Teori skema menunjukkan bahwa seseorang dapat memahami pengalaman baru dengan mengaktifkan skema yang relevan (juga disebut 'schemata') dalam pikiran mereka.

Cara kerja schemata dapat dipahami dengan adanya asumsi bahwa pengalaman baru yang diperoleh sesuai dengan representasi skematis yang telah mereka miliki sebelumnya. Pemrosesan skematis memungkinkan orang untuk menafsirkan pengalaman baru dengan cepat dan ekonomis, membuat dugaan cerdas tentang apa yang mungkin terjadi, bahkan sebelum mereka memiliki bukti eksplisit.

Schemata sangat berperan dalan proses kognitif seseorang dalam menyimpan informasi dari pengalaman dan peristiwa yang dialami sebelumnya ke dalam memori jangka panjang. Pengalaman dan peristiwa tersebut selanjutnya dikaitkan dengan pengalaman dan peristiwa baru sehingga menjadi pertalian hubungan berupa struktur kognitif yang baru. Kognisi sendiri dapat dipahami sebagai proses mental yang terlibat dalam upaya pemerolehan pengetahuan dan pemahaman (Cherry, 2020). Proses kognisi termasuk di dalamnya yaitu berpikir, mengetahui, mengingat, menilai, dan memecahkan masalah. Dengan demikian, terjadinya proses kognisi sangat dipengaruhi oleh skema yang telah dimiliki seseorang.

Erisen, Sahin, dan Celikoz (2016) menyebutkan perbedaan teori belajar kognitif dengan teori behavioris terletak pada adanya keterlibatan proses kognitif dalam proses pembelajaran. Manusia dipandang memiliki kemampuan berpikir sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya, tidak hanya sekedar mengikuti stimulus yang diberikan kepadanya. Grider (1993) menyimpulkan teori kognitif memandang bahwa kemampuan seseorang untuk

13 commit to user

(2)

belajar berasal dari cara seseorang memandang, mengatur, menyimpan, dan mengambil informasi. Pendekatan kognitif dapat diterapkan untuk disiplin ilmu apapun. Penekanan utama pada teori ini adalah melibatkan pemecahan masalah dan fasilitasi penyimpanan dan pengambilan informasi untuk diterapkan pada kondisi lain yang sesuai. Proses pemerolehan pengetahuan yang terus berlangsung sebagai proses mental ini menjadikan seseorang untuk belajar secara lebih efisien dan efektif.

Teori ini memiliki asumsi filosofis yaitu the way in which we learn (pengetahuan seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran). Menurut aliran ini, manusia belajar disebabkan oleh kemampuannya dalam menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam lingkungan belajarnya. Teori Kognitivisme berusaha menjelaskan dalam belajar bagaimana orang-orang berpikir. Oleh karena itu dalam aliran kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri, karena menurut teori ini pendidikan dihasilkan dari proses berpikir yang kompleks.

Teori belajar dan tokoh psikologis yang bertalian dengan teori antara lain: teori perkembangan kognitif oleh Jean Piaget,teori kognitif sosial oleh Lev Vygotsky, teori pengalaman belajar dari John Dewey, teori penemuan oleh Jerome Bruner, dan teori belajar bermakna oleh David Ausubel. Teori belajar kognitif tersebut dijadikan sebagai landasan pokok bagi perancangan dan pengembangan model pembelajaran matematika PINTER.

Lefa (2014: 1) menyatakan bahwa teori belajar Piaget mengasumsikan bahwa semua anak melewati urutan perkembangan yang sama, tetapi mereka melakukannya dengan laju yang berbeda. Guru harus melakukan upaya khusus untuk menyediakan kegiatan kelas untuk individu dan kelompok kecil, daripada total kelompok kelas. Penilaian harus didasarkan pada kemajuan individu, bukan pada standar normal rekan sebaya. Individu membangun pengetahuan mereka sendiri selama interaksi dengan lingkungan. Piaget (1983) sebagaimana disampaikan Lefa (2014: 1) menyatakan bahwa implikasi penting dari teori Piaget adalah adaptasi pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan pembelajar. Isi pengajaran harus konsisten dengan tingkat perkembangan pelajar.

commit to user 13

(3)

Selanjutnya Lefa (2014: 1) menjelaskan bahwa implikasi lebih lanjut untuk pengajaran sesuai dengan teori Piaget adalah penggunaan pengalaman nyata untuk membantu peserta didik belajar.

Moreno (2010), Sigelman & Rider (2012), dan Hockenbury &

Hockenbury (2011) sebagaimana ditulis oleh Babark, Mohamedamin, dan Kakamad (2019: 518) mengatakan bahwa Piaget menyebutkan bahwa perkembangan belajar siswa melalui tahapan sensorimotor, praoperasi, operasi konkret, dan tahap pengembangan operasi formal yang terus berubah secara kualitatif dan berkesinambungan dari tahap satu ke tahap berikutnya sesuai dengan konteks dan lingkungan belajarnya. Pandangan ini dapat dipahami karena seiring bertambahnya usia maka sistem syaraf yang mengkontrol kegiatan berpikir juga terus berkembang secara kompleks. Artinya, semakin bertambah umur maka semakin bertambah kompleks susunan syarafnya dan akan meningkat pula kemampuannya dalam memahami sesuatu hal. Anak usia SMP menurut Piaget dikategorikan pada tahap operasional formal (umur 12 – 18 tahun).

Franzoi (2011), Feldman (2011), dan Pastorino & Doyle-Portillo (2013) sebagaimana disadur oleh Babark, Mohamedamin, dan Kakamad (2019: 520) menyatakan bahwa ketika anak-anak mendekati usia 11 tahun, mereka mencapai tahap akhir perkembangan kognitif, yang mana pada tahap ini pemikiran dan pemahaman seseorang berkembang secara signifikan sehingga dapat berpikir secara logis dan berurusan dengan konsep yang abstrak seperti matematika.

Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Proses pembelajaran berdasarkan teori ini terbagi dalam 3 tahapan, yaitu Asimilasi (proses penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki individu), Akomodasi (proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru), Ekuilibrasi (penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi).

Berdasarkan pada pandangan dan pendapat tersebut di atas, pembelajaran berdasarkan teori Piaget haruslah menyesuaikan dengan tahap perkembangan dan penyediaan lingkungan belajar yang tepat. Konsep materi yang dipelajari siswa commit to user

(4)

hendaknya dikaitkan dengan informasi, pengetahuan, konsep yang sudah dimiliki oleh siswa sebelumnya (proses asimilasi). Selanjutnya konsep tersebut ditanamkan dengan baik sehingga menjadi pemahaman konsep yang kokoh dimana siswa dapat membedakan satu konsep dengan konsep yang lain (proses akomodasi). Pada akhirnya siswa diajak untuk menggunakan pemahaman konsep tersebut pada situasi lain atau masalah baru yang saling berkaitan (proses ekuilibrasi).

Elliot, et al (2000) menyebutkan bahwa perkembangan kognitif sesuai dengan teori Vygotsky diperoleh melalui proses dasar secara biologis dan proses psikologi yang bersifat sosio budaya. Sri Wulandari (2015: 194) menuliskan bahwa hasil riset Vygotsky fokus pada hubungan antara manusia dan konteks sosial budaya di mana mereka berperan dan saling berinteraksi dalam berbagi pengalaman atau pengetahuan. Berdasarkan pada hal di atas, teori Vygotsky lebih dikenal sebagai teori perkembangan sosiokultural yang mana memberikan penekanan pada interaksi sosial dan budaya dalam kaitannya dengan perkembangan kognitif seseorang.

Perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan social yang aktif pula. Oleh karena itu, Vygotsky juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang yang ingin dipelajari oleh seseorang. Dengan demikian, peranan orang dewasa dan anak-anak (siswa) lain sangat diperlukan dalam upaya mengembangkan kognitif atau pengetahuan seseorang. Dalam proses pembelajarannya, Vygotsky mengenalkan istilah "The Zone of Proximal Develop". Vygotsky (1978) sebagaimana ditulis oleh Verenikina (2010: 2) menyatakan bahwa "the ZPD is the distance between what a person can do with and without help. It is defined as the difference between actual level of development as determined by independent problem solving and the higher level of potential development as determined through problem solving under guidance or in collaboration with more capable peers". Dalam praktik pembelajaran merujuk pada teori ini, pembelajaran hendaknya dilaksanakan dengan melibatkan interaksi sosial baik antara guru commit to user

(5)

dengan siswa ataupun siswa dengan siswa lainnya dalam bentuk klasikal maupun kelompok kecil dimana penekanannya adalah dengan pemberian bantuan kepada siswa yang belum paham. Bantuan dapat diberikan melalui berbagai cara, antara lain: penemuan terbimbing, pemberian contoh, diskusi (brainstorming), dan pemberian petunjuk yang tidak mengarah langsung pada pengetahuan yang dicari sesuai dengan kadar kemampuan yang telah dimiliki oleh siswa. Berdasarkan pada teori ini, dapat dikatakan bahwa praktik pembelajaran terbaik adalah melalui diskusi kelompok kecil dengan guru berperan sebagai fasilitator yang menjamin terjadinya transfer pengetahuan dan pemberian bantuan kepada siswa lain yang masih membutuhkan.

Sikandar (2015: 191) menyebutkan pandangan Dewey terhadap pendidikan sebagai berikut: Dewey menolak struktur otoriter dan metode pengajaran tradisional di sekolah. Dewey mempercayai bahwa hal yang utama dalam pembelajaran adalah pendidikan progresif dan menganjurkan reformasi dalam aspek pedagogis pengajaran dan kurikulum sekolah dengan memandang siswa sebagai pusat seluruh aktivitas akademik. Dewey (1938) sebagainana ditulis Williams (2017: 92) menyatakan bahwa “Progressive education should include socially engaging learning experiences that are developmentally appropriate for young children”. Dengan demikian, siswa haruslah menjadi fokus dari semua kegiatan belajar dan bebas berinteraksi secara sosial dengan lingkungan kelasnya.

Schiro (2013) menjelaskan bahwa teori Dewey memandang ruang kelas sebagai entitas sosial bagi siswa untuk belajar dan menyelesaikan masalah bersama sebagai sebuah komunitas. Di kelas, siswa harus dipandang sebagai individu yang unik, siswa terus didorong untuk sibuk bekerja membangun pengetahuan mereka sendiri melalui makna pribadi, daripada pengetahuan yang dipaksakan guru dan kegiatan yang diarahkan oleh guru. Williams (2017: 93) menegaskan bahwa dalam lingkungan sekolah, siswa akan terlihat belajar sambil melakukan (learning by doing) dan mereka akan memecahkan masalah melalui pendekatan langsung. Proses pembelajaran yang mendorong siswa aktif membangun pengetahuannya sendiri dengan cara melakukan kegiatan belajar secara langsung akan memberikan pengalaman belajar yang efektif untuk siswa. commit to user

(6)

John Dewey melalui teori pengalaman belajar menyatakan bahwa belajar bergantung pada pengalaman dan minat belajar siswa. Pengalaman dan minat belajar ini akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga siswa terdorong untuk dapat berpikir proaktif dan mampu mencari pemecahan masalah yang diberikan. Berdasarkan pada teori ini, pengalaman belajar haruslah dibentuk melalui pembelajaran aktif (learning by doing). Pengalaman belajar juga dapat terbentuk dengan mengaitkan konsep materi dengan pengalaman keseharian siswa. Hasil akhir yang diharapkan dari teori ini adalah terciptanya keaktifan belajar siswa dalam berpikir untuk memecahkan masalah dengan cara mengkonstruksi masalah dengan pengetahuan dan pengalaman belajar yang telah diperoleh sebelumnya. Kegiatan pemecahan masalah haruslah menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan sehingga siswa dapat merasa nyaman dan optimal dalam berpikir sehingga memperoleh pemecahan masalah. Oleh karena itu, kegiatan pemecahan masalah harus menjadi bagian terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran secara keseluruhan.

Clabaugh (2010: 3) menyatakan bahwa

According to Bruner, the learner must instigate experiences, seek out the information necessary to solve problems, and reorganize what they already know to achieve new knowledge. In order to comprehend the material the learner must actively manipulate the information either concretely or abstractly, and use inductive reasoning to draw inferences and make generalizations.

Proses mencari pengetahuan dan pemecahan masalah sebagaimana disebutkan di atas oleh Bruner (2018) dinyatakan bahwa “children construct their knowledge through three modes, they are: 1) enactive (actions, real word), 2) iconic (images and pictures), and 3) symbolic (words and symbols)”. Tiga tahapan pembelajaran ini diadopsi oleh para pakar pembelajaran matematika dengan istilah Concrete-Pictorial-Abstract (CPA), Concrete-Representation-Abstract (CRA), atau juga dengan istilah Concrete-Semiconcrete-Abstract (CSA).

Pendekatan pembelajaran dengan CPA/ CRA/ CSA dalam berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pendekatan ini sangat membantu dalam mempelajari matematika khususnya aljabar. Aljabar secara umum merupakan konsep abstrak yang sangat menyulitkan bagi siswa. Oleh karena itu, untuk commit to user

(7)

memudahkan dalam pembelajarannya siswa diajarkan dari hal-hal konkret (menggunakan benda nyata) lalu dibawa secara perlahan dalam bentuk yang mewakilinya (pictorial) dan akhirnya disampaikan secara abstrak.

Agra et. al (2019: 249) menyebutkan bahwa fokus utama dalam Teori Ausubel adalah bahwa dari semua faktor yang mempengaruhi pembelajaran, yang paling penting adalah apa yang diketahui siswa sebelumnya (proir knowledge).

Pengetahuan sebelumnya dianggap sebagai pondsi utama untuk belajar lebih lanjut. Proses pemerolehan pengetahuan baru hendaknya didukung penguatan pada pengetahuan sebelumnya sehingga siswa dapat membuat kaitan antar pengetahuan. Hal inilah yang disebut kebermaknaan belajar, bahwa semua pengetahuan terkait satu sama lain sehingga semua pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang bermakna atau penting.

David Ausubel dalam teori belajar bermakna memberikan penekanan pada pentingnya pembelajaran bermakna dan pengulangan sebelum dilakukan pembelajaran. Ausubel menyebutkan bahwa belajar bermakna ditandai dengan pengkaitan konsep-konsep baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa sebelumnya. FPMIPA UPI menyebutkan "to learn meaningfully, individuals must relate new knowledge to relevant concepts they already know. New knowledge must interact with the learner‟s knowledge structure"

(http://fpmipa.upi.edu/data/report_activity/9875881844.pdf). Pembelajaran bermakna yang dimaksudkan Ausubel bukan merupakan konsep yang diterima dan dihafal begitu saja namun harus terjadi adanya keterkaitan konsep baru dengan konsep sebelumnya sehingga menimbulkan struktur kognitif yang akan tersimpan dalam ingatan jangka panjang siswa yang sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk diinteraksikan dengan struktur kognitif baru lainnya. FPMIPA UPI menegaskan bahwa dalam pembelajaran bermakna akan dihasilkan: well organized relevant knowledge structures, emotional commitment to integrate new with existing knowledge, and conceptual clear subject matter. Penerapan teori belajar Ausubel terletak pada adanya tahap persiapan dan pelaksanaan pembelajaran. Pada tahap perencanaan guru harus mampu menjelaskan tujuan pembelajaran yang dapat dikaitkan dengan manfaatnya dikehidupan sehari-hari, commit to user

(8)

mempersiapkan struktur materi dan pengetahuan awal yang dapat dikaitkan dengan materi yang akan dipelajari sehingga memunculkan adanya keterkaitan antar konsep materi. Pada tahap pelaksanaan guru harus memperhatikan penyampaian konsep pada hal-hal yang bersifat umum terlebih dahulu yang selanjutnya diperluas atau diperdalam menjadi konsep yang lebih rinci hingga penggunaannya dalam pemecahan masalah yang lebih kompleks.

Berdasarkan pada teori-teori belajar di atas, maka dalam penelitian ini akan diadopsi beberapa pokok implementasi pembelajaran sebagai berikut: 1) Terbentuknya pengalaman belajar aktif sehingga menciptakan suasana pembelajaran yang nyaman, 2) terwujudnya pembelajaran bermakna dengan melibatkan pengkaitan suatu konsep dengan konsep lain hingga terbentuk struktur kognitif yang lebih kompleks, 3) pembelajaran dapat dilakukan melalui kegiatan penemuan dengan menerapkan pendekatan CPA/ CRA/ CSA, 4) pembelajaran harus melibatkan proses berpikir aktif melalui kegiatan pemecahan masalah matematika, dan 5) siswa harus memperoleh bantuan dan dukungan dari guru dan siswa lain dalam bentuk kegiatan belajar diskusi kelompok kecil.

2. Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (HOTs)

a. Definisi Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (HOTs)

Literatur mengenai keterampilan berpikir mengantarkan pada 2 (dua) pengertian yang berbeda, yaitu: berpikir tingkat rendah (Low Order Thinking/

LOT) dan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking/ HOT). Schmalz (1973) dikutip oleh Thompson (2008: 96) memberikan catatan bahwa “LOT tasks requires a student ―… to recall a fact, perform a simple operation, or solve a familiar type of problem; it does not require the student to work outside the familiar”. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Senk et al. (1997) dimana

“characterized LOT as solving tasks where the solution requires applying a well- known algorithm, often with no justification, explanation, or proof required, and where only a single correct answer is possible”, berpikir tingkat rendah merupakan keterampilan yang ditampakkan pada kemampuan siswa dalam menyelesaikan operasi sederhana yang melibatkan algoritma yang telah dikenal

commit to user

(9)

baik oleh siswa. Selain itu, ditandai juga dengan penyajian masalah yang hanya memiliki satu jawaban tunggal.

Pembagian ranah berpikir ke dalam dua tingkatan Low Order Thinking dan High Order Thinking (HOT) juga berlaku pada taksonomi kognitif Bloom.

Dewasa ini, klasifikasi taksonomi Bloom yang disebutkan telah mengalami revisi (penyempurnaan). Pecka (2014: 36) mengutip dari Krathwohl (2002) menyebutkan bahwa “Terms in taxonomy are action verbs that increase in complexity as the hiearrachy progresses. Main heading of taxonomy include remember, understand, apply, analyze, evaluate, and create”. Kaitannya dengan berpikir tingkat tinggi, Zoller (1993) menyatakan bahwa “the three higher levels of Bloom‟s (analyze, evaluate, and create) require higher-order cognitive skills”.

Heng dan Ziguang (2015: 68) turut menyebutkan bahwa “In This Taxonomy (Bloom), skills involving analysis, evaluation, and synthesis (creation of new knowledge) are thought to be a higher order thinking”. Dengan demikian cukup jelas bahwa taksonomi Bloom yang diidentifikasi sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi meliputi ranah menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mengkreasi (C6). Deskripsi dari masing-masing ranah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Tabel 2.1. Level Taksonomi Bloom yang Direvisi

Tingkatan Deskripsi

Analysis/

Menganalisis

1. Menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya

2. Mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit.

3. Mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan Evaluating/

Mengevaluasi

1. Memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.

2. Membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian

3. Menerima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan

Creating/

Mengkreasi

1. Membuat generalisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu 2. Merancang suatu cara baru untuk menyelesaikan masalah

3. Mengorganisasikan unsur-unsur atau bagian-bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada sebelumnya

13

commit to user

(10)

Barak & Shakhman (2008) sebagaimana ditulis oleh Guest (2011 :26) menyebutkan bahwa “Higher order thinking concepts are not easy to define and there is no universal agreement to its exact meaning”. Pemikiran ini sesuai dengan pendapat Resnick (1987) yang dikutip oleh Brierton (2011 : 1) menyatakan bahwa “Higher Order Thinking as an „umbrella‟ term, including concepts such as creative, systemic and critical thinking encompassing various forms of thinking such as critical, systemic, and creative thinking”.

Resnick (1987) disadur oleh Heong, dkk (2011: 121) dan Brierton (2011 :25) menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi digolongkan sebagai non algorithmic, complex, self regulative, meaningful, effortful and providing multiple solutions, nuanced judgments, multiple criteria and possessing a degree of uncertainty. Lewis & Smith (1993), Chang & Tan (2005), Mohamed (2006), dan Rajendran (2008) sebagaimana dikutip oleh Heong, dkk (2011: 121) menyatakan bahwa “Higher order thinking is defined as the expanded use of the mind to meet new challenges. It requires someone to apply new information or prior knowledge and manipulate the information to reach possible answer in new situation”. Blosser (1985) dikutip oleh Guest (2011: 2) mendefinisikan “Higher order thinking involves; evaluation, creativity, analysis, problem solving strategies, and critical thinking”. Center for Development and Learning (2013) sebagaimana dikutip oleh Goethal (2013: 2) mendefinisikan HOT sebagai

“concept formation, concept connection, getting the big picture, visualization, problem solving, questioning, idea generation, analytical (critical) thinking, practical thinking, and creative thinking”. Goethals (2013: 3) meringkas beberapa definisi mengenai keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai berikut:

Tabel 2.2. Berbagai Definisi Higher Order Thinking

Pakar Definisi

King et al. (1998) “(It) includes critical, logical, reflective, metacognitive, and creative thinking. (It is) activated when individuals encounter unfamiliar problems, uncertainties, questions, or dilemmas.”

NCTM (2000) “Solving non-routine problem.”

Anderson and

Krathwohl (2001)

The processes – analyze, evaluate, and create commit to user

(11)

Lanjutan Tabel 2.2.

Pakar Definisi

Lopez and Whittington (2001)

“(It) occurs when a person takes new information and information stored in memory and interrelates and/or rearranges and extends this information to achieve a purpose or find possible answers in perplexing situations.”

Thompson, T. (2008) “Non-algorithmic thinking.”

Thomas, A. and Thorne, G. (2010)

“… (it) takes thinking to higher levels than just restating the facts. (It) requires that we do something with the facts. We must understand them, connect them to each other, categorize them, manipulate them, put them together in new or novel ways, and apply them as we seek new solutions to new problems.”

Kruger, K. (2013) It involves “concept formation, critical thinking, creativity/brainstorming, problem solving, mental representation, rule use, reasoning, and logical thinking.”

Berdasarkan pendapat dari para pakar di atas, maka definisi keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam penelitian ini adalah keterampilan seseorang untuk menafsirkan atau merepresentasikan masalah matematika melalui berbagai keterampilan berpikir matematis sehingga mampu mengembangkan berbagai strategi untuk memecahkan masalah tersebut.

Suatu soal atau situasi dapat dipandang sebagai masalah merupakan hal yang relatif. Hal ini sangat bergantung dengan kemampuan tiap individu atau siswa. Ada siswa yang menganggap suatu soal sebagai masalah namun sebagian yang lain beranggapan soal tersebut bukan merupakan masalah untuk mereka.

Masalah matematika secara umum terbagi dalam dua hal, yaitu masalah rutin dan masalah tidak rutin (non rutin). Kaitannya dengan penelitian ini, pencapaian keterampilan berpikir tingkat tinggi hendaknya dilakukan melalui penyajian masalah non rutin. Masalah non rutin merupakan masalah yang tidak biasa dihadapi siswa dimana prosedur penyelesaiannya belum diberikan atau diajarkan sebelumnya. Masalah non rutin disusun secara menarik dan menantang sehingga membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam dalam proses pemecahannya.

Proses pemecahan masalah non rutin akan menghasilkan pengalaman pembelajaran dalam menganalisis informasi dan mengembangkan pandangan

commit to user

(12)

menjadi suatu hubungan matematis yang dapat digunakan dalam konteks soal selanjutnya atau lainnya.

Keterampilan berpikir matematis yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi kemampuan berpikir secara logis, sistematik, menganalisis, mengevaluasi, mengkreasi, menalar, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.

Penggunaan berbagai keterampilan berpikir ini dalam rangka untuk menghasilkan pemecahan dari masalah yang diberikan. Pengembangan berbagai strategi pemecahan masalah dimaksudkan sebagai penyelesaian yang tidak tentu, tidak mudah ditebak, atau tidak seperti yang dicontohkan sebelumnya. Pengembangan strategi pemecahan masalah akan nampak dari hasil pekerjaan siswa, oleh karena itu masalah haruslah disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan dipecahkan melalui proses yang cukup panjang dan dapat mendorong penggunaan dan penguasaan keterampilan berpikir matematis sebagai suatu pengalaman belajar dalam mengembangkan strategi pemecahan masalah.

b. Indikator Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Definisi keterampilan berpikir tingkat tinggi di atas dapat dikategorikan ke dalam 3 komponen, yaitu 1) Keterampilan menafsirkan masalah matematika, 2) Menggunakan berbagai keterampilan berpikir matematika, 3) Mengembangkan berbagai strategi pemecahan masalah. Ketiga komponen tersebut tersebut selanjutnya disusun menjadi indikator capaian keterampilan berpikir tingkat tinggi matematika sebagai berikut.

Tabel 2. 3. Indikator Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

No Komponen Indikator

1 Keterampilan dalam menaf- sirkan masalah matematika

a. Menggunakan prosedur penyelesaian yang tidak biasa atau tidak sederhana

b. Melibatkan beberapa konsep materi 2 Menggunakan berbagai ma-

cam keterampilan berpikir matematika

a. Menunjukkan keterampilan menganalisis b. Menunjukkan keterampilan mengevaluasi c. Menunjukkan keterampilan mengkreasi d. Menunjukkan keterampilan berpikir kritis e. Menunjukkan keterampilan berpikir logis dan

sistematik 3 Mengembangkan berbagai

strategi pemecahan masalah

a. Mendorong penyelesaian yang cukup panjang b. Mendorong munculnya beberapa alternatif

pemecahan masalah commit to user

(13)

Indikator pencapaian keterampilan berpikir tingkat tinggi tersebut selanjutnya dijadikan sebagai acuan untuk menyusun instrumen tes keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Pencapaian keterampilan berpikir tingkat tinggi sesuai dengan definisi yang dimaksud dalam penelitian ini dapat tercapai melalui pemberian masalah matematika non rutin. Cooney, et al. (1975: 242), Krulik dan Rudnick (1988: 2), Mayer (1992: 5), dan Becker dan Shimada (1997) yang dikutip oleh McIntosh dan Jarret (2000: 5) mendefinisikan masalah matematika sebagai pertanyaan yang memberikan tantangan dimana siswa tidak mampu melihat jalan/ prosedur penyelesaian yang jelas untuk menghasilkan jawaban atau dengan kata lain tidak dapat dipecahkan dengan beberapa prosedur rutin yang telah diketahui siswa namun pertanyaan tersebut masih bisa ditanggulangi/ dipecahkan. Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu pertanyaan/ soal dikatakan sebagai masalah apabila: 1) memberikan tantangan, 2) penyelesaiannya tidak langsung diketahui secara jelas/ cepat, dan 3) diselesaikan dengan prosedur yang tidak standar.

c. Karakteristik Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Indikator capaian keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagaimana disampaikan sebelumnya mengantarkan pada pemahaman bahwa ada perbedaan antara berpikir tingkat tinggi dan berpikir tingkat rendah. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada penyajian masalah. Keterampilan berpikir tingkat tinggi mengharuskan penyajian masalah berupa masalah non rutin sedangkan pada berpikir tingkat rendah, masalah disajikan berupa masalah rutin (biasa diberikan oleh guru sebagai cntoh). Akibat dari perbedaan jenis masalah yang dberikan akan berdampak pada prosedur penyelesaiannya. Keterampilan berpikir tingkat tinggi menghendaki prosedur penyelesaian yang tidak biasa, tidak menentu, tidak mudah ditebak, kompleks, dan sistematik. Keterampilan berpikir tingkat rendah menghasilkan prosedur yang biasa sesuai dengan apa yang dicontohkan sebelumnya.

Newman (1992) disadur oleh Ghasempour, dkk (2012: 41) mengindikasikan bahwa “lower order thinking represents routine, mechanistic commit to user

(14)

application, and limited use of the mind. In the other word, it involves repetitive routines such as listing information previously memorized, inserting numbers into previously learned formulae, or applying the rules for footnote format in a research paper”. Berbeda dengan pendapat dari Thomas, Thorne, and Small (2000) dikutip oleh Ghasempour (2012: 41) yang menyebutkan bahwa “Higher‐

Order Thinking is thinking on a higher level than memorizing facts, so that it requires the tasks to be understood, connected to each other, categorized, manipulated, put together in new or novel ways, and applied as new solutions to new problems”.

Secara umum, perbedaan keterampilan berpikir tingkat tinggi dengan berpikir tingkat rendah sebagaimana ditampilkan oleh Fisher (1999) hasil adaptasi dari Resnick (1987) disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. 4. Perbedaan HOT dan Pembelajaran Rutin

HOT Routine Teaching

Not routine/not fully known in advance Routine/outcome planned in advance

Complex Clear purpose and goal

Yields multiple solutions/viewpoints Yields converging outcomes Involves uncertainty Seeks certainty

Involves process of making meaning Involves process of doing

Is effortful, requires mental work I Is judged by outcome rather than effort

Yen dan Halili (2015: 2) d. Pengembangan Instrumen Tes Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Instrumen tes keterampilan berpikir tingkat tinggi sesuai dengan iindikator dan karakteristik yang disebutkan di atas secara umum mudah dilakukan dengan menggunakan tes bentuk uraian, namun tidak menutup kemungkinan juga dapat menggunakan tes bentuk pilihan ganda. Brookhart (2010:

15) menyebutkan bahwa “we often think of essays and performance assessments when we think of assessing higher-order thinking. But well-written multiple- choice items can also assess higher-order thinking”. Dengan demikian, cukup meyakinkan bahwa penggunaan tes pilihan ganda dapat digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir tingakt tinggi selain tentunya menggunakan tes uraian. Berdasarkan pada hal tersebut maka instrumen pengukuran keterampilan

commit to user

(15)

berpikir tingkat tinggi dalam penelitian ini menggunakan tes bentuk pilihan ganda maupun uraian.

Penyusunan tes keterampilan berpikir tingkat tinggi didasarkan pada indikator capaian yang selanjutnya dikembangkan dalam bentuk kisi-kisi tes.

Dalam penelitian ini, kisi-kisi penyusunan tes keterampilan berpikir tingkat tinggi dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 28. Tes keterampilan berpikir tingkat tinggi disusun dalam bentuk soal pilihan ganda dan uraian yang digunakan secara bersama-sama untuk pengambilan data pada tahap uji coba produk maupun tahap pengujian dan diseminasi produk. Pada tahap uji coba produk digunakan 10 butir tes pilihan ganda sehingga untuk kegiatan uji coba instrumen disusun 15 butir tes.

Pada tahap pengujian dan diseminasi produk digunakan 15 butir tes pilihan ganda sehingga untuk kegiatan uji coba instrumen disusun 20 butir tes. Pada tahap uji coba produk digunakan 5 butir tes uraian sehingga untuk kegiatan uji coba instrumen disusun 7 butir tes. Pada tahap pengujian dan diseminasi produk juga digunakan 5 butir tes uraian sehingga untuk kegiatan uji coba instrumen disusun 7 butir tes.

Penskoran tes bentuk pilihan ganda dilakukan dengan memberikan skor 1 pada jawaban benar dan skor 0 pada jawaban salah. Penskoran tes bentuk uraian dilakukan dengan teknik penskoran analitik. Budiyono (2015b: 73) dan Sumaryanta (2015: 184 – 189) menyebutkan bahwa penskoran pada tes uraian dapat dilakukan dengan menggunakan penskoran/ rubrik analitik. Penskoran analitik digunakan untuk permasalahan yang batas jawabannya sudah jelas dan terbatas. Biasanya teknik penskoran ini digunakan pada tes uraian objektif yang mana jawaban siswa diuraikan dengan urutan tertentu. Penskoran analitik pada tes bentuk uraian dilakukan secara bersama-sama dengan tes bentuk pilihan ganda.

Hasil akhir dari penskoran ini digunakan untuk analisis data kuantitatif yang selanjutnya akan diuji secara statistik.

Penskoran secara analitik terhadap jawaban dari contoh soal sebagai berikut:

Ibu Ani membuat beberapa kue. Ia menjual 3/5 kuenya pada pagi hari dan ¼ sisanya pada sore hari. Jika kue yang terjual di pagi hari sebanyak 200 kue lebihnya daripada di sore hari, maka berapa banyak kue yang ia buat?

commit to user

(16)

Tabel 2.5. Contoh Rubrik Penskoran Analitik

Kriteria Kunci Jawaban Skor

Memahami masalah Diketahui

a) Terdapat x buah kue b) buah terjual di pagi hari c) ¼ sisanya dijual di sore hari

d) Selisih penjualan kue dipagi hari dan sore hari adalah 200 kue.

Ditanya: banyak kue keseluruhan

1

Merumusakan pemecahan masalah

Misal banyak seluruh kue adalah x buah.

Jika di pagi hari terjual buah, maka akan tersisa buah.

¼ dari kue tersebut dijual di sore hari sehingga diperoleh

buah yang terjual di sore hari.

3

Melaksanakan pemecahan masalah

Selisih penjualan kue dipagi hari dan sore hari adalah 200 kue.

5

Membuat kesimpulan x = 400 buah 1

e. Pembelajaran Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTs) merupakan tingkat tertinggi pada hirarki proses kognitif. HOTs memungkinkan siswa untuk menggunakan potensi pikirannya dalam menafsirkan, menganalisis, dan memanipulasi informasi untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, proses pembelajaran untuk mengoptimalkan HOTs juga sangat tergantung dengan model, pendekatan, strategi, atau metode pembelajaran yang digunakan. Hal ini disampaikan leh Goethals (2013) sebagaimana mengutip dari Costa (2001), De Bono (1994), Donovan & Bransford (2005), Hiebert et al. (1997), Kulm (1990), Lubezky, Dori,

& Zoller (2004), National Council of Teachers of Mathematics (1989 & 2000), National Research Council (2001), Resnick (1987), Stein, Grove, & Henningsen (1996) dimana “The ability to think at higher levels is considered a major commit to user

(17)

instructional goal of education and driving force behind effort to reform mathematics education over the past twenty years”, artinya kemampuan untuk berpikir pada tingkat tinggi mempertimbangkan tujuan pembelajaran dari pendidikan dan dipengaruhi oleh usaha untuk mereformasi pendidikan pada akhir abad 21 ini. Namun demikian, pembelajaran dengan menekankan pada optimalisasi HOTs cukup sulit untuk dilakukan oleh para guru. Hal ini terjadi karena kebanyakan guru masih fokus pada pembelajaran yang memfokuskan pada pencapaian LOTs (Low Order Thinking Skills). Hal ini juga disebutkan oleh Barksdale-Ladd & Thomas, 2000; Jones et al., 1999; Jones, Jones, & Hargrove, 2003; Kohn, 2000; McNeil, 2000; Neill, 2003; Ravitch, 2010; Smith, 1991; Smith

& Rottenberg, 1991 yang menyatakan bahwa “However, teaching for higher- order thinking (HOT) is difficult, and some US educators are concerned that state testing makes teaching for HOT even more challenging” (Goethals, 2013).

Berbagai pendapat di atas, memberikan kesimpulan bahwa penyajian pembelajaran yang menekankan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi cukup sulit untuk diterapkan dalam pembelajaran di kelas. Salah satu penyebabnya adalah karena guru masih fokus pada pencapaian dan penyelesaian beban materi ajar sesuai kurikulum yang ada. Akibatnya, siswa hanya akan berfokus pada keterampilan berpikir tingkat rendah dan keterampilan menyelesaikan soal-soal dengan prosedur yang telah dicontohkan oleh guru.

Limbach dan Waugh (2006: 2-7) menyebutkan langkah-langkah pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi meliputi: 1) Menentukan tujuan pembelajaran (determine learning objectives), 2) mengajar melalui pemberian pertanyaan (teach through questioning), 3) melaksanakan latihan sebelum penilaian (practise before assessment), 4) meninjau, menyaring, dan meningkatkan (review, refine, and improve), dan 5) memberikan umpan balik dan melakukan penilaian pembelajaran (provide feedback & assessment of learning).

Saido, Siraj, dan Nordin (2015: 18-19) menyebutkan strategi pembelajaran yang efektif untuk mengembangkan HOT siswa sebaiknya memiliki empat karakteristik penting sebagai berikut:

1. activating the student‟s prior knowledge; commit to user

(18)

Pengetahuan prior tersebut akan membantu siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan sebelumnya dengan informasi baru yang akan siswa pelajari. Dengan memanfaatkan apa yang telah siswa ketahui, guru dapat mendukung siswa dengan menerapkan proses pembelajaran yang tepat.

2. using classroom activities

Menciptakan aktivitas pembelajaran di dalam kelas yang memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk mengintegralkan pengetahuan yang telah ia terima sebelumnya melalui kegiatan inkuiri dalam proses membangun pengetahuan baru maupun menyelesaikan masalah yang diberikan.

3. grouping approach

Berbagi pengalaman dalam kegiatan kelompok kecil akan meningkatkan pengetahuan siswa dan membantu mereka untuk menerapkan pengetahuan yang diperoleh dalam situasi kehidupan nyata.

4. assessment forms

Guru harus menggunakan bentuk penilaian yang sesuai untuk mengukur keterampilan berpikir siswa.

Protheroe (2007) sebagaimana dikutip oleh Goethal (2013: 4) mengusulkan bahwa pembelajaran matematika di kelas harus melakukan beberapa kegiatan pembelajaran berikut untuk menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pencapaian keterampilan berpikir tingkat tinggi, kegiatan tersebut meliputi: a) Actively engage in doing mathematics (terlibat aktif dalam melakukan matematika), b) Solve challenging problems (memecahkan masalah yang menantang), c) Make inter disciplinary connections (membuat kaitan antar konsep materi) , d) Share mathematical ideas (membagikan ide-ide matematika), e) Use multiple representations to communicate mathematical ideas (menggunakan berbagai representasi untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika), dan f ) Use manipulatives and other tools (menggunakan bahan/ alat manipulasi).

Miri et al. (2007) sebagaimana dikutip Goethal (2013: 4) mengajukan tiga strategi untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, yaitu: a) commit to user

(19)

Present real-world cases (menyajikan masalah nyata), b) Direct class discussions (diskusi kelas), dan c) Guide short inquiry (penyelidikan terbimbing).

Selain strategi-strategi di atas, ada beberapa model pembelajaran yang secara empirik telah dibuktikan efektifitasnya untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, di antaranya cooperative learning strategies (Cooper, 1995), problem-based learning strategies (Carder, Willingham & Bibb, 2001), contextual learning (Bern dan Erickson, 2001: 2).

Hung (2009: 119 – 120) menyebutkan bahwa “problem-based learning activities promote the learner‟s higher-level thinking skills, and consequently, result in deeper understanding and better application and transfer of the knowledge in the future”. Lebih lanjut Baharom dan Palaniandy (2013: 48) menyatakan bahwa “PBL have the functional entity in allowing the development of higher order thinking among students and thus promotes an analytical mind”.

Selanjutnya Baharom dan Palaniandy (2013: 49) menegaskan bahwa “The PBL approach improves students‟ ability to analyse, synthesise and evaluate situations thus cultivating the habits of using the higher order thinking and reasoning skills”. Hal ini disampaikan juga oleh Arrend (2012) dan Weissinger (2004) sebagaimana dikutip oleh Hidayati dan Retnawati (2016: ME-55) yang menyatakan bahwa “PBL theoretically could increase higher order thinking skills”.

Berdasar pada beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PBL dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. PBL atau pembelajaran berbasis masalah disajikan dalam urutan pembelajaran sebagai berikut: a) Basic concept/penyampaian konsep dasar, b) Defining the problem/

mendefinisikan masalah, c) Self learning/ pembelajaran mandiri, d) Exchange knowledge/ pertukaran pengetahuan, dan e) Assessment/penilaian.

Contextual Teaching and learning (CTL) juga merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. CTL mengacu pada penggunaan situasi nyata untuk menghubungkan berbagai konsep matematika. Kurniati, dkk (2015: 55) yang commit to user

(20)

menyatakan bahwa “One way that is expected to improve the ability of critical thinking mathematically is to implement contextual learning mathematics”, salah satu cara yang diharapkan dapat meningkatkan berpikir kritis matematik adalah dengan menerapkan pembelajaran matematika kontekstual. Pendapat di atas ditegaskan kembali oleh Bern dan Erickson (2001: 2) yang menyatakan bahwa

“CTL provides the means for reaching other sets of learning goals that require higher-order thinking skills”, CTL memberikan cara untuk meraih berbagai tujuan pembelajaran yang menghendaki pada keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Pendapat-pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa CTL dapat diterapkan untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Komponen- komponen pembelajaran CTL meliputi beberapa hal sebagai berikut: a) Construtivism, b) Modelling, c) Learning community/ society, d) Questioning, e) Inquiry, f) Reflection, g) Authentic Assesment.

3. Komunikasi Matematika

a. Definisi Komunikasi Matematika

Komunikasi secara umum dipahami sebagai kegiatan menyampaikan pesan kepada orang lain. Sfard (2001: 38) dikutip oleh Nilsson dan Ryve (2010:

242) menyatakan bahwa “communication is seen as an attempt to make other people act or feel according to one‟s intentions”. Keberhasilan dari proses komunikasi adalah ketika pesan yang disampaikan oleh pembuat pesan dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh penerima pesan. Di lingkup pembelajaran, Chapin, O'Connor, dan Anderson (2003: 5) mendefinisikan

“effective mathematical communication as a respectful but engaged conversation in which students can clarify their own thinking and learn from others through talk”.

Ontario Ministry of Education (2005) menyebutkan bahwa

“Mathematical communication is an essential process for learning mathematics because through communication, students reflect upon, clarify and expand their ideas and understanding of mathematical relationships and mathematical arguments”. Bruner (1966) sebagaimana dikutip oleh Lomibao, Luna, dan commit to user

(21)

Namoco (2016: 378) menyebutkan bahwa “commnunicating skills play a central role in the development of cognitive structures and language is a means, not only for representing experience, but also for trabsforming of ideas”. Dengan demikian, kemampuan komunikasi yang baik akan menghasilkan ide dalam kegiatan pemecahan masalah selanjutnya.

Kaya dan Aydin (2014: 1620) mendefinisikan komunikasi matematika sebagai “planned interaction in classroom setting, which includes strategies such as questioning, discussions and group activities. The purpose of mathematical communication is to encourage students to express, share and reflect on their ideas”. Cai, Jakabscin, dan Lane (1996: 245-246) menjelaskan bahwa

“communication is considered as the means by which teachers and students can share the processes of learning, understanding, and doing mathematics. It is especially important that student are able to express their thinking and problem- solving processes both in written and oral forms. Furthermore, their communication must be clear and complete enough for others to understand”, artinya komunikasi dipertimbangkan sebagai sarana oleh para guru dan siswa untuk dapat menyebarkan proses belajar, memahami, dan melakukan matematika.

Proses komunikasi dalam pembelajaran matematika tidak sesederhana yang dipahami sebagaimana komunikasi pada umumnya. Hal ini didasarkan pada Cobb, Wood, dan Yackel (1994) yang menyebutkan bahwa “because mathematics is so often conveyed in symbol, oral, and writte, communication about mathematical ideas is not always recognized as an important parts of mathematics education. Student do not necessarily talk about mathematics naturally; teachers need to help them learn how to do so”, karena matematika sering disampaikan dalam bentuk simbol, lisan, dan tulisan, komunikasi mengenai ide-ide matematika tidak selalu diakui sebagai bagian penting dari matematika.

Siswa tidak perlu membicarakan tentang matematika secara alami, sehingga guru perlu untuk menolong siswa belajar bagaimana seharusnya. Hal ini ditegaskan oleh Capraro, Capraro, dan Rupley (2011) sebagaimana ditulis oleh Bicer (2014:

58) yang mengatakan bahwa “mathematics is itself a language (i.e., algebraic language and geometric language) for communication”, artinya matematika commit to user

(22)

adalah bahasa itu sendiri. Sehingga Chapin, O'Connor & Anderson (2003) disadur oleh Kaya dan Aydin (2014: 1623) menambahkan bahwa “Using mathematical language is a prerequisite for effective mathematical communication. In order to discuss and talk about mathematical problems both students and teachers have to use mathematical language properly”.

Secara umum terdapat dua macam komunikasi, yaitu: komunikasi lisan dan komunikasi tertulis. Penelitian ini akan difokuskan pada komunikasi tertulis.

Namun perlu dipahami juga bahwa keduanya (komunikasi lisan dan tertulis) memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran matematika di kelas, sehingga implementasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Cramer & Karnowski (1995) dan NCTM (2000) sebagaimana ditulis oleh Kosko dan Wilkins (2012: 79) menyatakan bahwa “Both writing and discussion are seen as integral parts of communication that promote deeper understanding of concepts”.

Silver, Kilpatrick, & Schlesinger (1990), Whitin (2004), Jordak & Abu Zein (1998), dan Kroll & Halaby (1997) dikutip oleh Kosko dan Wilkins (2010:

79) menyatakan bahwa “Writing is seen as a way for individuals to reflect on or explain in detail certain mathematical ideas. It helps students to articulate strategies, therefore increasing their procedural knowledge and producing cognitive benefits in general”. Lomibao, Luna, dan Namoco (2016: 379) memberikan catatan sederhana bahwa “writing will not only clarify student‟s thinking but also provide other students fresh insight gained from viewing the problem explanation from a new perspective”. Meel (1999) dan Bagley &

Gallenberger (1992) dikutip oleh Bicer (2014: 60) menegaskan bahwa “writing has received so much attention in mathematics classroom is because writing develops students‟ mathematical content learning and problem solving skills”. Hal ini dapat terjadi karena melalui tulisan, siswa dapat menjadikan masalah yang tadinya berbentuk abstrak atau khayalan akan nampak lebih konkret sehingga dapat direpresentasikan ke dalam bentuk gambar, grafik, tabel, diagram, dan lain sebaigainya sehingga masalah dapat terselesaikan.

commit to user

(23)

Berdasarkan pada beberapa pendapt di atas, maka definisi keterampilan komunikasi tertulis dalam penelitian ini adalah keterampilan untuk merepresentasikan bahasa matematika dengan menggunakan gambar, grafik, tabel, diagram, notasi, simbol, dan bahasa matematika lainya secara tertulis dengan tujuan untuk mengklarifikasi, menguji, menjelaskan ide/ gagasan/

pengetahuan matematika yang dimilikinya (siswa) sehingga orang lain (guru dan siswa lain) dapat memahami dan memiliki cara pandang baru untuk kegiatan pemecahan masalah.

b. Indikator Keterampilan Komunikasi Matematika

Berdasarkan pada definisi komunikasi matematika tersebut di atas, selanjutnya dapat disusun indikator-indikator komunikasi matematika. Sesuai dengan definisi tersebut, definisi komunikasi matematika tertulis yang dikemukakan di atas memiliki 2 aspek, yaitu: 1) keterampilan representasi bahasa matematika dan 2) keterampilan menyampaikan tujuan komunikasi matematika.

Berdasarkan kedua aspek tersebut disusunlah indikator pencapaian keterampilan komunikasi matematika sebagai berikut.

Tabel 2.6. Indikator Keterampilan Komunikasi Matematika Tertulis

No Komponen Indikator

1 Keterampilan representasi bahasa matematika

a. Mampu mengubah masalah ke dalam bentuk gambar/ grafik/ tabel/ diagram b. Mampu mengubah masalah ke dalam

kalimat/ persamaan matematika 2 Keterampilan

menyampaikan tujuan komunikasi

a. Mampu menyampaikan jawaban tertulis dengan baik, runtut, dan mudah dipahami

b. Mampu memberikan informasi secara jelas terhadap prosedur pemecahan masalah yang digunakan

Indikator capaian komunikasi matematika tersebut selanjutnya digunakan untuk pengembangan penyusunan instrumen tes komunikasi matematika.

c. Pengembangan Instrumen Keterampilan Komunikasi Matematika Instrumen tes keterampilan komunikasi matematika dalam penelitian ini menggunakan tes bentuk uraian. Jenis tes ini dipilih karena untuk melihat lebih commit to user

(24)

lanjut kualitas komunikasi matematika tertulis siswa. Dengan demikian, disusun suatu butir tes yang dapat mendorong siswa untuk dapat menyampaikan ide, pendapat, dan alasan dalam bentuk bahasa matematika yang dapat dipahami oleh orang lain.

Salah satu cara untuk membuat alat ukur keterampilan komunikasi matematika tertulis adalah dengan memberikan soal dengan tipe open-ended problem, yaitu pemberian masalah yang memiliki banyak jawaban benar, atau masalah yang memiliki jawaban tunggal namun memiliki banyak variasi cara/

prosedur penyelesaian. Pemberian soal tipe ini menuntut siswa untuk mengembangkan idenya, membuat model/ persamaan matematika, serta mampu menjelaskannya kepada teman dan guru. Lane (1993), Parke dan Lane (1993) mengenai soal-soal open-ended memberikan pendapat sebagai berikut “It is also important that task context may also facilitate student communication of mathematical thinking in solving open-ended tasks”, artinya penting untuk melakukan penilaian yang dapat memfasilitasi keterampilan komunikasi matematik siswa melalui pemecahan tugas open-ended. Soal open-ended dipilih sesuai dengan pendapat Cai, Jakabscin, dan Lane (1996: 240) mengutip kesimpulan dari Cai, Magone, Wang, dan Lane (1996b) yang menyatakan “in fact, this task evoked many different solution strategies”, artinya pada kenyataannya Open-ended dapat memberikan/ memunculkan banyak strategi penyelesaian. Dengan demikian dapat dilihat apakah beragam prosedur pemecahan masalah dapat memberikan penjelasan dan informasi baru kepada orang lain sehingga dapat memiliki pandangn baru terhadap suatu msalah matematika.

Tes bentuk uraian untuk mengukur keterampilan komunikasi matematika siswa digunakan pada tahuan uji coba produk dan tahap pengujian produk. Pada masing-masing tahap akan digunakan 5 butir tes uraian, sehingga untuk uji coba produk disusun tes uraian sebanyak 7 butir tes. Kisi-kisi instrumen tes keterampilan komunikasi matematika dapat dilihat pada Lampiran 13 dan Lampiran 31. Penskoran tes keterampilan komunikasi matematika digunakan rubrik holistik. Rubrik ini dipilih karena cocok digunakan untuk melihat sejauh commit to user

(25)

mana kualitas keterampilan komunikasi matematika siswa yang bersesuaian dengan indikator capaiannya.

Berdasarkan pada indikator capaian keterampilan komunikasi matematika tertulis, maka berikut ini disajikan rubrik penskoran holistik pada keterampilan komunikasi matematika pada materi aljabar.

Tabel 2.7. Rubrik Penskoran Holistik Tes Keterampilan Komunikasi Matematika

Level Kriteria Skor

4 memberikan respons lengkap dengan penjelasan dan / atau deskripsi yang jelas, tidak ambigu; dapat mencakup diagram yang sesuai dan lengkap; berkomunikasi secara efektif;

menyajikan argumen pendukung yang kuat, logis, dan lengkap;

dapat memberikan, membedakan, menjelaskan, dan mengidentifikasi bentuk aljabar (variabel, koefisien, dan konstanta)

4

3 memberikan penjelasan atau deskripsi yang cukup lengkap dan jelas; dapat menyajikan gambar/ grafik/ diagram/ tabel yang hampir lengkap dan sesuai; umumnya dapat menyampaikan penjelasan secara efektif; menyajikan argumen pendukung yang logis tetapi mungkin mengandung beberapa kesalahan kecil

3

2 membuat kemajuan yang signifikan menuju penyelesaian masalah, tetapi penjelasan atau uraiannya mungkin agak ambigu atau tidak jelas; komunikasi mungkin agak kabur atau sulit ditafsirkan; dan argumen mungkin tidak lengkap atau mungkin didasarkan logika yang tidak jelas

2

1 memiliki penjelasan yang cukup baik namun gagal untuk menyelesaikan menjadi jawaban yang utuh; menghilangkan beberapa bagian penting dari masalah yang ada sehingga sulit untuk diikuti/ dipahami; termasuk di dalamnya membuat gambar/ grafik/ diagram/ tabel yang tidak tidak sesuai dengan situasi masalah yang ada

1

0 penjelasan yang tidak efektif; penjelasan tidak mencerminkan masalah yang ada; termasuk di dalamnya membuat gambar/

grafik/ diagram yang sepenuhnya tidak sesuai dengan situasi masalah yang ada

0

d. Pembelajaran Keterampilan Komunikasi Matematika

Proses komunikasi di dalam kelas salah satunya tampak pada kegiatan diskusi dan menulis. Kedua kegiatan ini akan sangat membantu dalam proses pemahaman konsep dengan lebih mendalam. Hal ini dinyatakan Kosko dan Wilkins menyadur pendapat dari Cramer & Karnowski (1995) dan NCTM (2000) commit to user

(26)

menyebutkan bahwa “both writing and discussion are seen as integral parts of communication that promote deeper understanding of concept”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa menulis merupakan salah satu cara siswa untuk merefleksi atau menjelaskan ide matematika secara detil. Menulis juga akan membantu siswa untuk menggambarkan strategi pemecahan, meningkatkan pengetahuan, dan bermanfaat menghasilkan kognitif siswa. Selanjutnya, diskusi antar siswa akan memperdalam pemahaman siswa melalui interaksi sosial. Hal ini dapat membantu siswa merefleksi konsep yang telah dipahami dan membandingkannya dengan pemahaman siswa lain. Diskusi juga akan membiasakan siswa menerima berbagai ide mengenai matematika dan pemecahan masalah matematika. Dengan demikian, diskusi dapat memberikan peluang siswa untuk menambah pengetahuannya.

Kaya dan Aydin (2014: 1623) menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa “Strategies identified by the participant teachers to enhance mathematical communication are (a) giving real life examples, (b) question-answer technique, (c) peer learning techniques, (d) activities and games. Guru mengunakan contoh dari kehidupan nyata sehari-hari bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami dan meningkatkan konsep matematika. Benda-benda nyata di sekitar kita dapat dijadikan titik awal untuk memulai diskusi mengenai suatu konsep matematika, karena benda nyata tersebut dapat menjadi jembatan penghubung antara dunia nyata dengan bahasa matematika.

Terkait dengan diskusi dan komunikasi antar siswa di kelas, Cobb, Boufi, McClain, dan Whitenack (1997) dalam Clark, Jacobs, Pittman, dan Borka (2005:

2) menyatakan bahwa “….it is critical for teachers to foster children‟s emerging abilities to participate in „reflektive‟ and „collective‟ discourse, and to become skilled at supporting such converstions. They argued that „children actively construct their mathematical understandings as they participate in classroom social processes”. Carley (2007: 35) mengutip temuan mengenai keuntungan diskusi pada kelompok kecil dan memperkaya bahasa lisan dari Cooke dan Buchholz (2005: 369) sebagai berikut “encorouge children to discuss and share ideas can enhance the assimilation of new and old experiences as well as commit to user

(27)

facilitate the use of appropriate, informal mathematical communication”, artinya melalui proses diskusi inilah siswa dapat belajar dan menggunakan terminologi/

istilah matematika.

Peningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan pemecahan masalah maka perlu disusun tugas-tugas atau pemberian masalah yang memberikan tantangan kepada siswa. Hal ini disebutkan oleh NCTM (2000) bahwa “rich mathematical tasks are key ingredients in classroom that have communication as a central goal”. Lebih lanjut Stein, Smith, Henningsen & Silver (2000) menyebutkan bahwa “open-ended and challenging tasks that build on students prior knowledge are conducive to discussions because they encorouge students to think collaboratively and build upon one another‟s ideas”. Open-ended dan tugas menantang, yang mengembangkan pengetahuan prior siswa, merupakan cara yang dapat mendukung terjadinya diskusi. Karena dapat mendorong siswa untuk berpikir secara kolaboratif dan menggabungkan berbagai ide yang berbeda-beda.

Untuk lebih mendukung proses diskusi secara kolaboratif, guru dapat memberikan berbagai masalah dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Hal ini selaras dengan latar belakang kemampuan kognitif siswa yang berbeda-beda. Dengan demikian, siswa dapat berdiskusi/ mengkomunikasikan idenya untuk menemukan prosedur dan proses dalam memecahkan masalah.

Berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan komunikasi matematika siswa dapat ditingkatkan melalui strategi pembelajaran, yaitu: 1) menggunakan cnth dunia nyata, 2) diskusi kelompok kecil maupun kelas, 3) presentasi hasil dan tanya jawab, dan4) menggunakan open-ended problem.

Strategi pembelajaran tersebut dapat diterapkan untuk mengoptimalkan keterampilan komunikasi siswa sehingga bermanfaat dalam kegiatan pemecahan masalah. Siegle & McCoach (2007) dalam Kaya dan Aydin (2014: 1628) mengemukanan bahwa “mathematical communication helps reducing fear in two ways: students find an opportunity to express themselves and teacher's positive encouragement helps them feel better about their ability to do mathematics”.

commit to user

(28)

4. Kajian Materi Aljabar SMP

Marshal Cavendish Education (2016) menyebutkan bahwa ketika belajar aljabar sama artinya dengan “uses a new set of symbolic notation to communicate Mathematical expressions, introducing alphabetical letters to represent variables in a calculation”, artinya menggunakan satu set simbol/ notasi baru untuk menyampaikan pernyataan matematika, mengenalkan huruh abjad untuk mewakili suatu peubah-peubah dalam suatu perhitungan. Melihat karakteristik aljabar yang erat kaitannya dengan simbol/ notasi, peubah, dan bermacam-macam operasi bilangan, maka dapat memberikan kesulitan kepada siswa untuk memahaminya.

Oleh karena itu dalam pembelajaran aljabar, siswa harus menerapkan pola pikir aljabar pula (algebraic thingking).

Van de Walle (2010) sebagaimana dikutip oleh Paridjo dan Waluya (2017: 62) menyebutkan 3 aspek berpikir aljabar, yaitu: 1) generalisasi, 2) pola (pattern), dan 3) fungsi. Pendapat tidak jauh berbeda diutarakan oleh Kieran, Carolyn (2004) sebagaimana disadur oleh Paridjo dan Waluya (2017: 62) menyatakan bahwa berpikir aljabar adalah menggeneralisasi pengalaman- pengalaman mengenai bilangan dan perhitungan-perhitungan, menyusun ide ke dalam bentuk/ sistem symbol, dan memeriksa konsep-konsep dari suatu pola dan fungsi. Berdasar pada pendapat di atas, berpikir aljabar erat kaitannya dengan mengubah suatu ide-ide matematika ke dalam bentuk simbol.

Jackson (2016) menyebutkan beberapa hal yang menjadi penyebab para siswa kesulitan dengan aljabar, diantaranya: 1) kurangnya keterampilan matematika yang penting seperti pemecahan masalah, abstraksi, generalisai; 2) kurangnya pemahaman yang mendalam; 3) Merasakan bahwa aljabar membosankan dan tidak relevan; dan 4) kurangnya latihan/ pengalaman.

Koedinger dan Nathan sebagaimana disadur oleh Marshal Cavendish Education (2016) menyebutkan dalam studinya bahwa “biggest struggle was understanding the letter symbolic form of the algebraic equations presented to them”, artinya kesulitan terbesar pada siswa adalah sulit memahami notasi huruf (peubah) pada persamaan aljabar yang disajikan. Selanjutnya studi tersebut

commit to user

(29)

menyebutkan bahwa “...difficulties in understanding the equal sign”, artinya kesulitan dalam memahami simbol persamaan.

Sejalan dengan pendapat di atas, dalam beberapa observasi dan wawancara diperoleh informasi mengenai kesulitan siswa dalam aljabar diantaranya: 1) kesalahan konsep (tidak bisa membedakan antara peubah dan konstanta), 2) kesalahan dalam pengoperasian suku sejenis dan yang bukan, 3) Kesulitan untuk membedakan operasi dan persamaan, 4) kesulitan dalam mengubah soal cerita ke dalam bentuk persamaan matematika, 5) siswa merasa bahwa aljabar tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Jackson (2016) menyebutkan beberapa hal yang perlu dipahamkan kepada siswa dalam belajar aljabar, diantaranya adalah sebagai berikut.

a. Konsep (concepts)

Ketika belajar mengenai konsep aljabar, siswa sebaiknya mengeksplor ide-ide.

Siswa-siswa tidak harus belajar bagaimana permasalahan diselesaikan dengan rumus yang dimilikinya, tetapi lebih kepada bagaimana mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai apa yang diminta/ disajikan oleh soal/

masalah tersebut. Hal ini penting untuk memahamkan siswa bahwa aljabar tidak bisa berdiri sendiri (bekerja bersama-sama).

b. Keterampilan (skills)

Ketika siswa telah memahami konsep aljabar sepenuhnya, langkah selanjutnya adalah bagaimana bekerja dengan konsep tersebut. Ketika keterampilan dan konsep menyatu, maka akan memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami masalah yang disajikan.

c. Proses (processes)

Proses dalam pembelajaran aljabar merupakan hal yang kompleks mengingat adanya keterlibatan penalaran, komunikasi, koneksi, aplikasi dan modeling yang akan melahirkan keterampilan berpikir. Penalaran diartikan sebagai kemampuan untuk melihat secara hati-hati situasi aljabar dalam berbagai konteks dan secara logika menerapkan konsep dan keterampilan yang dimiliki untuk memecahkan masalah. Komunikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan ide-ide matematika. Koneksi diartikan sebagai kemampuan untuk commit to user

(30)

mengaitkan konsep yang satu dengan konsep lainnya. Aplikasi dan modelling diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan apa yang telah dipelajari mengenai bagaimana memecahkan masalah untuk memilih pendekatan dan cara terbaik pada situasi tertentu.

d. Sikap (attitude)

Sikap dalam hal ini dapat dipahami mengenai apa yang dirasakan siswa terhadap aljabar. Sikap ini akan muncul bersamaan dengan pengalaman apa yang diperoleh selama siswa belajar aljabar. Tentu saja ketika siswa merasa senang ketika belajar aljabar, akan memberikan kemudahan dalam memahami konsep, memiliki ide positif, dan kepercayaan diri untuk memecahkan masalah yang diberikan.

e. Metakognisi (metacognition)

Metakognisi adalah kemampuan untuk berpikir mengenai apa yang ia pikirkan. Artinya, tidak hanya sekedar sadar mengenai apa yang dipikirkan tetapi juga mengetahui bagaimana mengendalikan apa yang dipikirkan. Dalam aljabar, metakognisi dipahami sebagai kemampuan untuk membuat rencana pemecahan masalah, menjelsakan apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah, berpikir secara kritis bagaimana rencana ini bekerja, dan berpikir pilihan/ alternatif lain untuk memecahkan masalah.

Berdasarkan pada hal di atas, maka dalam pembelajaran aljabar yang perlu dilakukan pertama kali adalah memahamkan konsep aljabar kepada siswa yang meliputi: variabel, suku, konstanta, operasi bilangan (+, - ×, ÷), dan simbol persamaan dan pertidaksamaan (=, <, >, <, >). Kaitannya dengan berpikir aljabar, maka pembelajaran harus mampu mendorong siswa untuk bisa memahami/

mengubah soal-soal cerita ke dalam konsep-konsep aljabar. Hal inilah yang selama ini menjadi kesulitan bagi para siswa.

Berasarkan pada pendapat-pendapat di atas dan sejalan dengan teori perkembangan kognitif oleh Piaget yang menyebutkan siswa SMP berada pada fase operasional konkret dan teori presentasi pembelajaran Bruner mengenai tiga tahap pemahaman konsep (enaktif, ikonik, dan simbolik), maka pembelajaran aljabar hendaknya sejalan dengan teori tersebut. Artinya, pemahaman materi commit to user

Gambar

Tabel 2.1. Level Taksonomi Bloom yang Direvisi
Tabel 2.2. Berbagai Definisi Higher Order Thinking
Tabel 2. 3. Indikator Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Tabel 2. 4. Perbedaan HOT dan Pembelajaran Rutin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pemaparan teori di atas dapat disimpulkan bahwa musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes) adalah suatu program tahunan yang diselenggarakan

(2015: 4) menyebutkan beberapa kelebihan metode pembelajaran CRH antara lain: (a) Pembelajaran lebih menarik, yang berarti dengan menggunakan metode pembelajaran CRH ini

membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disintesiskan bahwa teori belajar

Boudreau (2005) juga menyebutkan komponen perkembangan keaksaraan awal pada anak usia dini terdiri dari : 1) Reading books, yaitu ketertarikan anak terhadap buku

PBL adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk.. Berawal dari masalah sehingga membuat siswa tertarik untuk memecahkan masalah

Pada umumnya dalam mengidentifikasi tentang faktor-faktor bakat yang dilakukan adalah membuat urutan (rangking) mengenai faktor-faktor bakat pada setiap individu. Seseorang

Secara lebih rinci Shoimin (2014: 184-185) menyebutkan kelebihan lain dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) yaitu: 1) materi yang disampaikan

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih 2014 menyatakan bahwa analisis SWOT dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi khususnya faktor motivasi ,