51
MEMBANGUN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP PADA
informasi tambahan, masukan dan perbandingan dari siswa lain agar penggambarannya mendekati kebenaran. Kegiatan mengkonstruksi pengetahuan melalui mental model terhadap fenomena mikroskopis merupakan salah satu bentuk IPA sebagai proses. Proses ini dapat memicu timbulnya keterampilan berpikir dan sebuah pengetahuan jika menggunakan strategi belajar yang tepat.
Pembelajaran keterampilan berpikir kritis ini dapat diajarkan dalam bentuk kegiatan collaborative learning, hal ini sesuai dengan penelitian Omar (2015:296) menyatakan collaborative learning berdampak pada keterampilan berpikir kritis yang lebih memungkinkan untuk pengembangan keterampilan analisis, sintesis, aplikasi dan evaluasi.
Collaborative learning yang merupakan pembelajaran yang berlandaskan teori belajar sosial dimana setiap siswa akan melakukan interaksi, saling bertanya dan saling memberikan masukan sehingga akan terbentuk komunitas belajar yang dapat meningkatkan pengetahuan. Stagich, (1999) hasil penelitiannya mendapatkan bahwa dengan model collaborative terdapat hasil belajar yang signifikan dari pembelajaran seperti berpikir kritis dan kreatif, kemampuan komunikasi, keterampilan komunikasi interpersonal, peningkatan rasa saling menghormati, berbagi dan empati, pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan pengetahuan yang diingat lebih lama.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengkaji bagaimana membangun keterampilan berpikir kritis pada pembelajaran IPA dengan menggunakan collaborative learning, serta mengkaji keterkaitan antara pembelajaran IPA, keterampilan berpikir kritis dan collaborative learning.
HASIL KAJIAN Karakteristik IPA
Hakikat IPA adalah ilmu untuk mencari tahu dan memahami alam secara sistematik dengan penerapan konsep sehingga menjadi sebuah produk, sehingga IPA tidak hanya dipandang sebagai produk berupa kumpulan fakta, konsep, dan prinsip tapi juga merupakan proses dalam bentuk penemuan dan pengembangan. IPA berkaitan dengan mengamati fenomena-fenomena baik yang dapat diamati langsung dengan menggunakan panca indera maupun dengan menggunakan alat, IPA juga berkaitan dengan bagaimana cara mencari tahu tentang alam. Balim (2009:1) menyimpulkan
“Mengajar siswa dengan gagasan menemukan, berpikir kritis, mempertanyakan, dan keterampilan pemecahan masalah adalah salah satu prinsip utama ilmu pengetahuan dan teknologi pengajaran”.
IPA merupakan salah satu pelajaran yang melatih dan mengajarkan siswa agar mampu menguasai kecakapan hidup abad 21. Kecakapan hidup abad 21 itu diantaranya berpikir kritis, pemecahan masalah, komunikasi, berkolaborasi, kreativitas atau inovasi (Trilling, 2009:49, Tohmeh.
2012, Iinuma. 2014). IPA bukan hanya sekedar transfer ilmu berupa produk, tapi juga terdapat proses sebagai penemuan dan sikap ilmiah.
Sehingga dari karakteristiknya, pembelajaran IPA dapat mengajarkan siswa menguasai keterampilan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, kolaborasi dan inovasi asalkan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat.
Konsep materi yang selalu ada di dalam pelajaran setingkat SMP dan diteruskan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi adalah konsep suhu dan kalor. Konsep Suhu dan kalor merupakan sebuah produk yang seharusnya dibelajarkan dalam bentuk sebuah proses penemuan dan penggalian pengetahuan mengenai suhu dan kalor, proses dalam hal ini seperti bagaimana menentukan titik didik sebuah zat cair dalam bentuk makroskopis dapat dilihat dari gelembung air yang dipanaskan, dalam bentuk mikroskopis adalah gerakan molekul air yang bergerak lebih cepat dan dalam bentuk simbolik dinyatakan dalam bentuk derajat panas, ke semua kegiatan dalam penemuan ini dapat membiasakan keterampilan berpikir yang lebih seperti berpikir kritis, sehingga siswa terbiasa menganalisis semua pengamatan dan informasi sebelum menjadi sebuah pengetahuan.
Fenomena-fenomena sub mikroskopis dan tantangan dalam memecahkan masalah menjadikan IPA sebagai pelajaran yang dapat membagun keterampilan berpikir kritis siswa. Fenomena sub mikroskopis akan membuat siswa memiliki pandangan yang berbeda-beda, perbedaan dalam cara menyelesaikan dan menyimpulkan sangat membutuhkan kegiatan seperti collaborative learning. Kegiatan collaborative learning akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mendiskusikan dalam satu kelompok tanpa mengharuskan siswa memiliki kesimpulan dan hasil yang sama sebagai kesimpulan kelompok. Setiap siswa berhak memiliki cara serta kesimpulan berbeda-beda, sehingga collaborative learning dalam pembelajaran IPA akan membuat siswa memiliki keterampilan berpikir kritis.
Defenisi Berpikir Kritis
Ada banyak ahli yang mengkaji dan mendefenisikan tentang keterampilan berpikir kritis, diantaranya Trilling (2009:51) mendefinisikan berpikir kritis sebagai kemampuan untuk menganalisis, menafsirkan, mengevaluasi, meringkas, dan mensintesis informasi. Berpikir kritis merupakan kesepakatan dimensi kognitif berupa interpretasi, evaluasi, analisis, inferensi, penjelasan dan pengaturan diri (Liu, et. al. 2014).
Magno (2010) mendefenisikan berpikir kritis berdasarkan empat faktor yaitu (1)kesimpulan:
kemampuan untuk membedakan kebenaran atau kesalahan yang diambil dari data yang diberikan, (2)deduksi; kemampuan untuk berpikir secara deduktif dari pernyataan, untuk mengenali
53 hubungan antara implikasi dan proposisi, (3)interpretasi: kemampuan untuk membedakan antara generalisasi data salah yang meragukan dan data yang tidak diperlukan, (4)evaluasi argumen:
kemampuan membedakan argumen yang relevan dan argumen yang tidak relevan dengan pertanyaan yang dipermasalahkan. Dwyer (2014) mendefenisikan berpikir kritis adalah proses metakognitif yang terdiri dari bagian-bagian keterampilan bila digunakan dengan tepat kemungkinan menghasilkan solusi yang logis untuk masalah yang ditemukan.
Indikator Berpikir Kritis
Berpikir kritis menjadi sangat penting ketika merujuk pada teori belajar kontruktivis, karena untuk membangun sendiri pengetahuan di dalam pikiran seorang anak haruslah memiliki keterampilan berpikir memahami, menganalisis dan membuat keputusan dari informasi yang diterima agar menjadi sebuah pengetahuan. Keterampilan berpikir kritis bukanlah keterampilan yang diturunkan tapi membutuhkan proses belajar untuk membiasakannya, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk mengajarkan kemampuan berpikir kritis di sekolah. Mengembangkan keterampilan berpikir kritis di sekolah bukan lah hal yang mudah, namun dapat mengacu pada indikator-indikator yang sudah ditetapkan oleh para ahli pendidikan.
Ennis (2011) mengidentifikasi lima belas indikator berpikir kritis yaitu: (1) fokus pada pertanyaan, (2) menganalisa argumen, (3) bertanya dan menjawab pertanyaan, (4) menilai kredebilitas sumber, (5) mengobservasi dan mempertimbang- kan hasil observasi, (6) melakukan deduksi dan menilai hasil deduksi, (7) melakukan induksi, (8) membuat dan mempertimbangkan penilaian keputusan, (9) menggunakan istilah dan menentukan defenisi sesuai dengan kriteria yang tepat, (10) mengidentifikasi asumsi tidak tertulis, (11) mempertimbangkan alasan, (12) menyatukan pendapat, (13) memproses tujuan yang tepat untuk situasi yang sesuai, (14) mempunyai perasaan yang peka, (15) menggunakan strategi yang tepat dalam diskusi dan presentasi
Keterampilan berpikir kritis dapat kita kembangkan melalui proses pembelajaran di dalam kelas, karena seyogyanya keterampilan berpikir kritis merupakan potensi intelektual yang dapat dikembangkan seperti potensi-potensi lain yang ada di dalam diri seorang manusia, ketika pemikiran kritis telah berkembang maka akan menunjukkan ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh Zubaidah (2010) ciri pemikir kritis (1) jika fakta, bukti dan alasan tidak kuat maka informasi dan pengetahuan diakui masih kurang, (2) memecahkan masalah dan mencari solusi menggunakan pikiran, (3) masalah dianalisis dengan menunjukkan kriteria, (4) ketika menjadi pendengar dapat memberikan feedback yang rasional, (5) menyimpulkan selalu berdasarkan fakta dan informasi yang lengkap dan (6) menolak
informasi jika tidak didukung oleh argumen, data dan fakta yang jelas.
Berpikir kritis bukanlah sesuatu keterampilan yang bisa dengan mudah dibiasakan pada siswa, karena keterampilan ini membutuhkan suatu kegiatan yang mendukung terbentuknya situasi yang membiasakan siswa berpikir secara berbeda, berpikir kritis untuk mengolah informasi dan menyelesaikan masalah. Pembelajaran IPA dengan karakteristiknya berupa tatanan sub mikroskopis akan menimbulkan perbedaan cara berpikir melalui mental model untuk penggambarannya, serta memungkinkan perdebatan cara menyelesaikan masalah. Kegiatan yang dapat membuat siswa aktif berpikir dan berinteraksi tanpa menghilangkan kebebasan individu untuk berbeda dengan individu walaupun dalam satu kelompok adalah collaborative learning. Saiz, (2015:18) collaborative learning meningkatkan kinerja berpikir terutama pada kasus induksi, penalaran kritis dan pemecahan masalah namun tidak meningkatkan pada kemampuan pengambilan keputusan.
Collaborative Learning
Collaboration adalah tindakan bekerja dalam kelompok pada sebuah proyek bersama, berinteraksi satu sama lain, saling bergantung, hasil kerja sendiri dan anggota lain sebagai milik kelompok, berbagi dan saling memberikan peran, saling mempengaruhi, menemukan tujuan kelompok menjadi tujuan bersama (Styron, 2014). Sehingga collaboration merupakan kemampuan bekerja sama yang berasaskan rasa saling menghargai kelebihan masing-masing, hal ini dapat dilihat langsung dalam kegiatan collaborative learning. Gokhale, (1995) mengungkapkan bahwa collaborative learning merupakan metode pengajaran dimana siswa bekerja di dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Penelitian (Burress, 2015) menyatakan collaborative learning sejenis proses pembelajaran di mana siswa belajar dalam kelompok dengan anggota komunitas yang berpengetahuan lebih kompleks dari pada mereka sendiri. Kolaborasi membuat siswa lebih banyak belajar dengan bersama-sama menemukan (Eijl, 2005:61).
Collaborative learning secara teori digunakan untuk mengakomodir seluruh siswa di dalam kelas dengan kemampuan belajar yang beraneka ragam. Kelas yang heterogen secara akademik akan terdapat tiga level siswa, yaitu siswa level A dengan kemampuan belajar yang tinggi, siswa level B dengan kemampuan belajar yang sedang dan siswa level C dengan kemampuan belajar yang rendah. Model belajar kelompok seperti cooperative learning terkadang hanya mengakomodir siswa level A dan level B karena dalam pelaksanaannya siswa level C akan sulit untuk berkomunikasi dengan siswa level A atau B sehingga siswa level C lebih menyerahkan tugas kelompok kepada siswa level A atau B saja untuk
memenuhi tugas kelompok karena nilai yang diberikan adalah nilai kelompok. Kegiatan belajar kelompok yang seperti ini tentu tidak membuat sebagian siswa tidak memiliki keterampilan berpikir kritis. Sedangkan collaborative learning tugas yang harus diselesaikan bersifat individu, hasil individu dan kesimpulanpun bersifat individu, namun dalam menyelesaikan permasalahan dan menghasilkan kesimpulan dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok.
Proses pembelajaran selama ini seakan membuat anak berkompetisi menjadi yang terbaik dan menjadi lebih egois. Pembelajaran kelompok yang biasa dilakukan juga masih terdapat kekurangan, yaitu membuat anggota kelompok yang lebih pintar menjadi semakin pintar dan anggota kelompok yang kurang mampu merasa tidak bisa.
Sehingga dibutuhkan pembelajaran kelompok yang mengakomodir kedua bentuk kemampuan ini yaitu dengan collaborative learning dimana setiap anggota kelompok bebas mengemukakan potensi masing-masing tanpa ada paksaan untuk mencapai kesimpulan yang sama, sehingga terjadi sikap saling menghargai dan bekerja sama. Pembelajaran dengan kolaborsi (collaborative learning) menciptakan lingkungan belajar yang lebih efektif, meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, mengurangi rasa bersaing, mengurangi dominasi guru di dalam kelas (Valdez, et al, 2015).
Collaborative learning bukan hanya bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, tapi lebih pada bagaimana agar terbentuk komunitas belajar yang dapat mewadahi siswa kapanpun dan dimanapun untuk belajar bersama-sama sehingga tercipta interaksi sosial yang positif dikalangan siswa. Interaksi sosial dalam bentuk aktivitas belajar yang diharapkan adalah aktivitas yang dapat mewadahi siswa dengan kemampuan belajar yang rendah mendapatkan bimbingan dan bantuan atau bersama-sama mencari kesimpulan untuk pemecahan masalah yang di hadapi dengan orang yang lebih tahu, dalam hal ini (collaborative learning) yang memberikan bantuan dan bimbingan adalah siswa yang memiliki kemampuan belajar yang tinggi. Interaksi bisa berupa komunikasi yang diawali oleh keingintahuan siswa kemampuan rendah untuk mencari kesimpulan dan solusi dengan cara bertanya pendapat siswa kemampuan tinggi, namun siswa kemampuan rendah boleh memiliki kesimpulan sendiri setelah mendapatkan bimbingan dan bantuan .
Reid dalam Yeok-Hua (1998) mengemukakan lima tahapan collaborative learning yaitu enggagement, exploration, transformation, presentation dan reflection. Tahapan-tahapan dalam collaborative learning ini dilakukan didalam proses pembelajaran. Tahapan pertama dalam collaborative learning adalah enggagement guru mengatur kelas dan membuat kesepakatan belajar menggunakan collaborative learning, pada tahapan
ini guru mengambil peran penting dalam membagi kelompok-kelompok berdasarkan kemampuan akademik. Pembagian kelompok yang tepat menentukan keberhasilan belajar siswa. Tahapan kedua adalah exploration di mana siswa mengeksplorasi berdasarkan ide awal dan informasi.
Pada tahapan ini siswa menggali informasi dengan menggunakan semua potensi yang di miliki, informasi tersebut dianalisis, dievaluasi dan disentesis di dalam pikiran kemudian membuat kesimpulan sendiri untuk didiskusikan dengan kelompok. Perbedaan tiap-tiap individu pada satu kelompok dalam cara menggali informasi dan proses menarik kesimpulan sementara secara individu dibolehkan dalam collaborative learning. Tahapan ketiga transformation yaitu transformasi pengetahuan dari siswa prestasi tinggi ke siswa prestasi rendah dalam bentuk saling bertukar pikiran. Setelah semua siswa memiliki kesimpulan individu dari informasi yang di peroleh, dilanjutkan dengan mendiskusikan dan membandingkan kesimpulan tiap-tiap individu dalam satu kelompok agar terjadi transformasi pengetahuan. Tahapan transformasi pengetahuan ini juga bisa dilakukan ketika melakukan penyelidikan secara berkelompok.
Harapan dari kegiatan transformasi ini adalah adanya kesadaran sendiri dari siswa kemampuan akademik rendah untuk bertanya kepada siswa kemampuan akademik tinggi. Tahapan keempat presentation dimana siswa melakukan presentasi kelompok yang diamati, dicermati, dibandingkan hasilnya dan ditanggapi oleh kelompok lain.
Kegiatan ini akan memberikan kesempatan untuk setiap kelompok membandingkan hasil yang di peroleh dengan kelompok lain sebagai informasi tambahan untuk menarik kesimpulan akhir. Tahapan ke lima reflection yaitu proses tanya jawab antar kelompok dan membuat kesimpulan.
Penerapan tahapan collaborative learning tidak akan berpengaruh besar pada materi yang tidak menampilkan tantangan dan perbedaan dalam pemahaman. Tahapan collaborative learning akan sangat berguna jika digunakan dalam pembelajaran IPA yang materinya dapat menimbulkan perdebatan dan cara penyelesaian masalah yang berbeda-beda dari setiap siswa. Perdebatan dan perbedaan dalam menyelesaikan masalah seperti pada materi IPA yang banyak mengandung tatanan sub mikroskopis dan pertanyaan yang menantang, karena tatanan sub mikroskopis ini menggunakan mental model yang berbeda-beda bagi setiap siswa dalam penggambarannya dan pertanyaan yang menantang tingkat kesulitannya juga akan menimbulkan perdebatan. Materi IPA yang memiliki tatanan sub mikroskopis salah satunya adalah suhu dan kalor.
Korelasi Berpikir Kritis dan Collaborative Learning dalam Pembelajaran IPA
Pembelajaran IPA memiliki kesesuaian dengan bagaimana para ahli menemukan ilmu pengetahuan yaitu dengan cara mengamati,
55 membuat hipotesis, menguji hipotesis, menyimpulkan dan mengkomunikasikan.
Pembelajaran IPA akan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis jika menggunakan strategi pembelajaran yang tepat, strategi pembelajaran yang membuat siswa aktif berpikir dan saling bertukar informasi dalam menyimpulkan sebuah hasil pengamatan fenomena baik dalam tatanan makro maupun tatanan mikro. Kegiatan pembelajaran yang tepat dalam mendiskusikan fenomena adalah collaborative learning karena terdapat korelasi antara sintaks collaborative learning dengan indikator keterampilan berpikir kritis. Kesemuanya berlangsung dalam pembelajaran IPA yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan cara membangun keterampilan berpikir siswa, salah satu karakteristik IPA adalah sebuah porses berupa prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah yang meliputi mengobservasi, berhipotesis, melakukan eksperimen, mengevaluasi, mengkomunikasikan dan menyimpulkan.
Collaborative learning memiliki lima tahapan yang dikemukakan oleh Reid, empat diantaranya akan membangun dan melatih siswa memiliki keterampilan berpikir kritis jika merujuk pada indikator berpikir kritis yang dikemukakan oleh Ennis. Korelasi antara sintaks collaborative learning dapat membangun keterampilan berpikir kritis dapat penulis hubungkan seperti Exploration di mana siswa akan mengeksplorasi berdasarkan ide awal akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa denagan indikator menilai kredebilitas sumber, mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi, menggunakan istilah dan menentukan defenisi sesuai dengan kriteria yang tepat. Transformation yaitu transformasi pengetahuan dari siswa prestasi tinggi ke siswa prestasi rendah dalam bentuk saling bertukar pikiran akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis pada indikator menganalisa argumen, melakukan induksi, melakukan deduksi dan menilai hasil deduksi, mengidentifikasi asumsi tidak tertulis.
Presentation melakukan presentasi kelompok yang diamati, dicermati, dibandingkan hasilnya dan ditanggapi oleh kelompok lain akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis pada indikator menggunakan strategi yang tepat dalam diskusi dan presentasi. Reflection yaitu proses tanya jawab antar kelompok dan membuat kesimpulan akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis pada indikator fokus pada pertanyaan, bertanya dan menjawab pertanyaan, mempertimbangkan alasan, membuat dan mempertimbangkan penilaian keputusan, dan menyatukan pendapat.
Model collaborative learning menghargai perbedaan baik proses maupun hasil yang di peroleh.
Perbedaan-perbedaan itu dapat didiskusikan dalam kegiatan aktif berkelompok untuk saling berargumen, hal ini melatih siswa untuk
menggunakan pikiran masing-masing dan membangun keterampilan berpikir kritis.
Keterampilan berpikir kritis yang dibangun terutama dalam kegiatan mendiskusikan dan menggambarkan model mental tatanan mikro dari sebuah fenomena.
Collaborative memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi pemikiran dan pengetahuan sebelumnya dalam melakukan penyelidikan (Rozenszayn 2011:124).
Tatanan mikroskopis dari pembelajaran IPA sangat sering menimbulkan miskonsepsi dan perdebatan diantara siswa, perdebatan ini dapat dilakukan dalam kegiatan collaborative learning sehingga mengakomodir keselurahan siswa dengan berbagai kemampuan akademik untuk dapat bersam-sama mampu menemukan kesimpulan secara mandiri. Tatanan mikroskopis dalam IPA hanya dapat digambarkan dengan menggunakan model mental siswa, dalam hal ini agar mencapai kesimpulan yang mendekati kebenaran, maka siswa harus memilki informasi sebanyak mungkin untuk menggambarkannya. Informasi-informasi ini bisa didapatkan dari kegiatan collaborative learning yaitu bekerja sama dalam kelompok dengan cara saling bertukar pikiran. Informasi yang didapat tidak serta merta langsung diterima sebagai penetahuan, tapi harus malalui analisis mendalam didalam pikiran siswa.
Pembelajaran IPA dapat membangun keterampilan berpikir kritis dengan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat berupa kegiatan aktif seperti collaborative learning yang mengakomodir semua informasi dan menjadi bahan untuk didiskusikan bersama-sama baik dalam tatanan makroskopis, mikroskopis dan simbolik.
PENUTUP
Berpikir kritis dapat dipelajari dan dikembangkan melalui pebelajaran IPA dengan perencanaan pembelajaran yang tepat salah satunya adalah collaborative learning yang merupakan aktivitas belajar sosial. Interaksi sosial berupa collaborative learning memungkinkan lebih banyak informasi yang didapat, pikiran akan menganalisis, mengevaluasi, menafsirkan dan mensintesis informasi-informasi ini sehingga menjadi kesimpulan dan pengetahuan. Mengingat pentingnya berpikir kritis sudah selayaknya guru memberikan perhatian lebih pada pengembangan keterampilan berpikir siswa.
Berdasarkan kajian beberapa literatur yang menyatakan keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan karena merupakan salah satu potensi intelekual yang dimiliki oleh manusia. Kesesuain antara hakikat belajar IPA dan kegiatan pengembangan berpikir kritis melalui collaborative learning maka penulis memiliki kesimpulan dalam artikel ini yaitu dengan proses pembelajaran collaborative learning dapat membangun keterampilan berpikir kritis siswa.
DAFTARRUJUKAN
Balım, A., G. 2009. The Effects of Discovery Learning on Students’ Success and Inquiry Learning Skills. Egitim Arastirmalari- Eurasian Journal of Educational Research, 35, 1-20. (online), diakses 25 Juni 2016.
Burress, M. D., & Peters, J. M. 2015. Collaborative Learning in a Japanese Language Course : Student and Teacher Experiences.
http://doi.org/10.1177/ 215824401558 1016. Sagepub. 1-4. (online), dikases 26 Juni 2016.
Dwyer, C. P., Hogan, M. J., Harney, O. M., & Reilly, J. O. 2014. Using interactive management to facilitate a student-centred conceptualisation of critical thinking : a case study. Educational Technology Research Development. http://doi.org/10.
1007/s11423-014-9360-7. 62(687–709), (online). Diakses 26 Juni 2016
Eijl, P. J. V. A. N., Pilot, A., & Voogd, P. D. E. 2005.
Effects of Collaborative and Individual Learning. Education and information technologies. Springer. 10(49–63). (online) diakses 28 Juni 2016.
Ennis. R.H. 2011. The Nature of Critical Thinking:
An Outline of Critical Thinking dispositions and Abilities.
http://faculty.education.illinois.edu/rhennis /documents/
TheNatureofCriticalThinking_51711_000.
(online). Diakses 1 Juli 2016.
Gokhale, A. A. 1995. Collaborative Learning Enhances Critical Thinking. Journal of Technology Education. 7(1), 22–30, (online) diakses 18 Juli 2016
Hashemi, S.A, Naderi.E, Shariatmadari.A, Naraghi.MS, Mehrabi.M, 2010. Science Production In Oranian Educationa System By The Use Of Critical Thinking.
International Journal Of Instruction. 3 (1), (online) diakses 18 Juli 2016.
Howard, L. W., Tang, T. L., & Austin, M. J. 2015.
Teaching Critical Thinking Skills : Ability, Motivation, Intervention, and the Pygmalion Effect. Journal Bus Ethics.
Springer. http:// doi.org /10.1007/s10551- 014-2084-0. 128(133–147). (online) diakses 1 juli 2016.
Iinuma, M., Matsuhashi, T., Nakamura, T., &
Chiyokura, H. 2014. Collaborative Learning Using Integrated Groupware : A Case Study in a Higher Education Setting.
International Journal Of Information and Education Technology. http://doi.org/10.
7763/IJIET.2014.V4.428. 4(4). (online) diakses 1 Juli 2016.
Jones. A, Butting. C, Hipkins. R, Mckim. A, Conner.
L, Saunders. K. 2011. Developing
Students’ Futures Thinking in Science Education. Research Science Education.
Springer. http://link.springer.com/article/
10.1007/s11165-011-9214-9. (online) diakses 3 agustus 2016
Kemdikbud. 2011. Survey International TIMSS.
http://litbang.kemdikbud.go.id/index.
php/Survey International
TIMSS&searchphrase. (online).diakses 2 Agustus 2016.
Liu, O. L., Carlson, J., Bridgeman, B., & Golub- smith, M. 2014. Assessing Critical Thinking in Higher Education : Current State and Directions for Next-Generation Assessment. ETS Research Report Series ISSN 2330-8516. Willey. (online) diakses 26 Juni 2016.
Magno, C. 2010. The role of metacognitive skills in developing critical thinking. Metacognition
Learning. Springer.
http://doi.org/10.1007/s11409-010-9054-4.
5(137–156), (online) diakses 27 Juni 2016.
Omar, N. A. 2015. The use of collaborative learning to improve critical thinking of general certificate of education advanced level psycology student: an experiment.
Research Journal Of Applied Science.
10(10), (online) diakses 28 Juni 2016.
Rozenszayn.R, Assaraf, O. B. 2011. When Collaborative Learning Meets Nature : Collaborative Learning as a Meaningful Learning Tool in the Ecology Inquiry Based Project. Research Science
Education. Springer.
http://doi.org/10.1007/s11165-009-9149-6.
41(123–146). (online) diakses 28 Juni 2016.
Saiz, C., Rivas, S. F., & Olivares, S. 2015.
Collaborative learning supported by rubrics improves critical thinking. Journal of The Scholarship of Teaching and
Learning. http://
doi.org/10.14434/josotl.v15i1.12905.
15(10-19), (online) diakses 28 Juni 2016.
Sharadgah, T. A. Al. 2014. Developing Critical Thinking Skills through Writing in an Internet-Based Environment. International Journal of Humanities and Social Science 4(1), 169–178. (online) diakses 28 Juni 2016.
Stagich, T. M. 1999. A Collaborative Model for Organizational Transformation.
International Journal Of Value-Based Management. 12(259–280). (online) diakses 28 Juni 2016.
Styron, R. a. 2014. critical thinking and collaboration : a strategi to enhance student learning. Systematic, Cybernetics and Informatics, Systemics, Cybernetics and Informatics. ISSN:1690-4524. 12(7),