• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHAP DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATA PELAJARAN IPA

Dalam dokumen Untitled - IPA FMIPA UM (Halaman 109-115)

109 pembelajarannya (Hosnan, 2014). Melalui pendekatan saintifik ini, diharapkan siswa mampu bersaing dimasa depan berdasarkan kemampuan yang dimiliki, salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis. Hal ini didukung dengan pernyataan Kemendikbud (2013) yang menyatakan kebutuhan kompetisi masa depan dimana kemampuan siswa yang diperlukan yaitu kemampuan berkomunikatif, kreatif dan berpikir kritis.

Kemampuan berpikir kritis menurut Johnson (2007) memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran ditengah banyaknya informasi yang mereka dapatkan, sehingga siswa tidak hanya menjadi objek dalam transfer ilmu dari guru. Namun faktanya, kemampuan berpikir kritis siswa di Indonesia masih tergolong rendah.

Rendahnya kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar ini dikarenakan pembelajaran yang digunakan masih berpusat pada guru (teacher centered). Seperti yang diungkapkan oleh Kurniasih dan Sani (2014) bahwa guru di Indonesia sudah terbiasa mengajar dengan metode ceramah. Hal ini juga didukung oleh studi pendahuluan yang telah dilakukan kepada siswa SMP di Kabupaten Malang, bahwa metode yang masih dipakai yaitu ceramah dan latihan soal. Proses pembelajaran mengakibatkan siswa menjadi tidak aktif. Selain itu, siswa terbiasa menghafal dibandingkan dengan menemukan sendiri konsep pada materi yang diajarkan sehingga kemampuan berpikir kritisnya masih rendah.

Dalam proses pembelajaran, kemampuan berpikir kritis sangatlah penting karena dengan berpikir kritis siswa dapat meningkatkan kemahiran intelektualnya dan membantu memecahkan persoalan yang dihadapi sehingga siswa memperoleh pengetahuan yang bermakna. Setelah siswa menguasai konsep yang telah dipelajari, siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada berbagai permasalahan pelajaran IPA yang ditemui pada saat pembelajaran maupun setelah pembelajaran (Budiman, 2011). Penelitian yang dilakukan Anggareni dkk (2013) menyatakan bahwa rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan strategi pembelajaran inquiry adalah sebesar 77,197 yang termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan strategi pembelajaran langsung sebesar 68,77 yang termasuk dalam katagori cukup pada materi ekosistem SMP.

Model pembelajaran berperan penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru IPA di Kabupaten Malang tentang pembelajaran IPA, pembelajaran IPA sudah dilaksanakan dengan menggunakan metode eksperimen, demonstrasi, tugas (latihan soal), diskusi kelompok, dan ceramah. Pembelajaran di kelas sering menggunakan model pembelajaran inquiry. Hasil penelitian Anggareni dkk (2013) menyatakan bahwa manfaat yang diperoleh bagi

siswa setelah pembelajaran inquiry adalah siswa akan memahami konsep-konsep dasar dan ide-ide lebih baik, membantu dalam menggunakan daya ingat dan transfer pada situasi-situasi proses belajar yang baru dan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Untuk mengatasi rendahnya kemampuan berpikir kritis, perlu dilakukan perubahan dalam model pembelajaran, sehingga siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran dan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator bagi siswa. Salah satu model yang dapat digunakan dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa yaitu model pembelajaran levels of inquiry tahap discovery learning. Pembelajaran yang menggunakan levels of inquiry tahap discovery learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa karena siswa dilatih untuk mengembangkan konsep berdasarkan pengalaman (fokus pada keterlibatan siswa aktif untuk membangun pengetahuan) dan kemampuan intelektual siswa (Wenning, 2011a).

Masalah yang dipecahkan dan yang ditemukan sendiri tanpa bantuan khusus, memberikan hasil yang lebih unggul karena pelajar menemukan aturan baru yang lebih tinggi tarafnya, sehingga sangat penting untuk mendorong siswa menemukan penyelesaian soal dengan pemikiran sendiri (Nasution, 2008). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh model pembelajaran levels of inquiry tahap discovery learning terhadap kemampuan berpikir kritis mata pelajaran IPA.

METODEPENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian

kuantitatif dengan jenis penelitian yang digunakan adalah Quasi Experimental Design atau eksperimen semu karena desain penelitian belum secukupnya mempunyai sifat-sifat suatu penelitian sebenarnya.

Penelitian eksperimen semu dilakukan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP yang belajar dengan model Levels of Inquiry tahap Discovery Learning.

Penelitian dilakukan di SMPN 13 Malang.

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan posttest control group design.

Sumber data penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP. Data yang didapatkan dari penelitian ini adalah data posttest kemampuan berpikir kritis IPA yang dikumpulkan melalui tes. Tes yang digunakan berupa 10 soal uraian.

Data hasil belajar berupa nilai kemampuan awal dan posttest dilakukan uji homogenitas dan uji normalitas. Setelah hasil uji homogenitas dan uji normalitas menyatakan bahwa semua data berdistribusi normal, maka teknik statistik yang digunakan adalah statistik parametrik yaitu uji hipotesis yang menggunakan uji-t. Uji-t digunakan untuk melihat pengaruh model Levels of Inquiry tahap Discovery Learning terhadap kemampuan berpikir kritis IPA. selain itu, selain uji-t untuk

menentukan kelas yang memiliki kemampuan berpikir kritis lebih tinggi dilanjutkan membandingkan nilai rerata antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

HASIL

Penelitian ini menghasilkan data kemampuan berpikir kritis IPA yang dibedakan menjadi dua, yaitu kemampuan awal dan data posttest. Data rata-rata kemampuan awal dan posttest siswa disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Data Rata-Rata Kemampuan Awal dan Posttest Siswa

Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai rata- rata kemampuan awal pada kelas eksperimen sebesar 31,88 dan kelas kontrol sebesar 29,94.

Sedangkan data posttest menunjukkan bahwa nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran Levels of Inquiry tahap Discovery Learning sebesar 82,35 lebih tinggi dibanding dengan kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional sebesar 54,91.

Data yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah data hasil posttest kemampuan berpikir kritis IPA. Namun, sebelum dilakukan pengujian hipotesis dilakukan pengujian prasyarat analisis yang meliputi uji normalitas dan uji homogentitas terhadap data-data tersebut. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan pada data kemampuan berpikir kritis dengan bantuan Microsoft Excel 2016. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menguji normalitas data adalah uji Lilifors.

Apabila Lo < Lt, maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hasil uji normalitas pada kemampuan awal kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh Lo = 0,027 < 0,149 (Ltabel) pada kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran levels of inquiry tahap discovery learning dan Lo = 0,018 < 0,146 (Ltabel) pada kelompok siswa yang dibelajarkan secara konvensional. Kedua data pada skor kemampuan awal tersebut berdistribusi normal. Sedangkan hasil uji normalitas posttest kelas eksperimen dan kelas

kontrol diperoleh Lo = 0,06 < 0,15 = Ltabel untuk kelas ekperimen dan Lo = 0,09 < 0,15 = Ltabel untuk kelas kontrol. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa kedua kelompok data hasil posttest berdistribusi normal.

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah kelompok data memiliki varians yang homogen atau tidak. Uji homogenitas pada penelitian ini menggunakan uji Harley. Apabila

Fhitung < Ftabel maka data homogen. Hasil

uji homogenitas data kemampuan awal kemampuan berpikir kritis IPA diperoleh Fhitung (1,52) < Ftabel

(3,98) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data kemampuan awal berpikir kritis siswa tersebut homogen. Sedangkan hasil uji homogenitas data posttest kemampuan berpikir kritis IPA diperoleh Fhitung (0,44) < Ftabel (3,98) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data posttest kemampuan berpikir kritis siswa tersebut homogen.

Setelah dilakukan uji prasyarat dilanjutkan dengan uji-t, digunakan untuk melihat pengaruh model pembelajaran Levels of Inquiry tahap Discovery Learning terhadap kemampuan berpikir kritis IPA. Hasil perhitungan uji-t data kemampuan awal berpikir kritis IPA dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji-t Data Kemampuan Awal Berpikir Kritis IPA

Kelas N Xrata- rata

Sd thitung ttabel

Eksperimen 34 31,88 6,19

1,17 1,67 Kontrol 35 29,94 7,36

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa thitung = 1,17 < ttabel = 1,67. Data tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan keadaan awal kemampuan berpikir kritis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Tabel 2. Hasil Uji-t Data Posttest Kemampuan Berpikir Kritis IPA

Kelas N Xrata- rata

Sd thitung ttabel

Eksperimen 34 82,35 9,61

12,59 1,67 Kontrol 35 54,91 8,19

Berdasarkan Tabel 2 diperoleh thitung= 12,59

> 1,67 = ttabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan model pembelajaran Levels of Inquiry tahap Discovery Learning dan siswa yang belajar dengan model konvensional.

Kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilihat dari nilai rata-rata dari hasil posttest. Untuk menentukan kelas yang memiliki kemampuan berpikir kritis lebih tinggi dengan nilai rerata diperoleh eksperimen = 82,35 > eksperimen = 54,91 artinya kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran Levels of Inquiry tahap Discovery Learning lebih tinggi daripada siswa yang dibelajarkan secara konvensional.

0 20 40 60 80 100

Kemampuan AwalPosttest

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Column1

111 PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar menggunakan model Levels of Inquiry tahap Discovery Learning lebih tinggi daripada siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil rata-rata nilai posttest kemampuan berpikir kritis siswa. Menurut Purwanto, dkk (2012) meningkatnya kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dikarenakan perubahan model pembelajaran yang mencakup kegiatan yang melatih kemampuan berpikir kritis.

Melalui pembelajaran dengan meng- gunakan model levels of inquiry tahap discovery learning siswa ditingkatkan kemampuan proses intelektualnya, kemampuan proses sains, dan keaktifannya dalam proses pembelajaran. Menurut Wenning (2011a), menggunakan model pem- belajaran Levels of Inquiry tahap Discovery Learning para siswa dapat mengembangkan konsep berdasarkan pengalaman (fokus pada keterlibatan siswa aktif untuk membangun pengetahuan).

Kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembe- lajaran levels of inquiry tahap discovery learning dilatih pada setiap tahapan kegiatan pembelajaran yang sistematis. Hal ini sesuai dengan pendapat Wenning (2011a) yang menyatakan bahwa tahapan pembelajaran yang sistematis akan membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis secara mandiri daripada pembelajaran yang hanya mendengar dan membaca saja.

Pengalaman langsung siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis IPA tercermin dalam kegiatan demonstrasi, eksperimen dan diskusi. Siswa berkemampuan lebih dapat membantu siswa lain saat demosntrasi atau diskusi kelompok (Wenning, 2006). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wayan dkk (2014) menunjukkan bahwa penerapan model discovery learning dalam IPA diduga dapat memberikan konstribusi terhadap masalah-masalah pembelajaran IPA yang dialami siswa, khususnya dalam peningkatan pemahaman konsep-konsep maupun pengembangan sikap ilmiah. Disampaikan juga oleh Mentari (2015) model pembelajaran discovery learning membuat siswa aktif untuk mencari sumber dan informasi baru untuk dipelajari sehingga hasil belajar siswa meningkat.

Berbagai tahapan levels of inquiry secara sistematis dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi suhu, pemuaian dan kalor seharusnya berbasis penyelidikan. Kompetensi dasar yang dicapai oleh siswa yaitu mengajukan pertanyaan tentang fenomena yang disajikan, melaksanakan percobaan, mencatat dan menyajikan hasil penyelidikan, menyimpulkan, serta melaporkan hasil penyelidikan secara lisan maupun tertulis untuk menjawab bertanyaan (Kemendikbud, 2013). Dalam pembelajaran berbasis penyelidikan/inkuiri siswa dapat menemukan sendiri

konsep-konsep pembelajaran melalui demonstrasi guru atau siswa, untuk mengembangkan dan mengajukan pertanyaan penyelidik (Wenning, 2005). Melalui berbagai pengalaman, kemampuan berpikir kritis siswa akan semakin baik jika siswa tersebut dilatih untuk melakukan demonstrasi disertai dengan diskusi kelompok atau menuliskan hasilnya dapat lebih memberikan makna mendalam kepada siswa (Wenning, 2008).

Kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran IPA khususnya materi suhu, pemuaian dan kalor tidak hanya dilakukan dengan menggunakan metode pembelajaran yang berpusat pada guru . Menurut Marlinda (2013) pendidikan sains tidak hanya terdiri dari fakta, konsep, dan teori yang dapat dihafalkan, tetapi juga terdiri atas kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dan sikap ilmiah dalam mempelajari gejala alam yang belum diterangkan. Level of inquiry tahap discovery learning merupakan model pembelajaran yang dalam fasenya mendorong siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran dengan mencari tahu melalui suatu pengamatan dan percobaan. Hal tersebut sejalan dengan beberapa hal yang dilakukan dalam kemampuan berpikir kritis yaitu memudahkan suatu tindakan dan membuat serta mempertimbangkan nilai keputusan. Pada proses pembelajaran kemampuan berpikir kritis sangatlah penting karena dengan berpikir kritis siswa dapat meningkatkan kemahiran intelektualnya dan membantu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, sehingga menciptakan pembelajaran yang bermakna. Setelah siswa menguasai konsep yang telah dipelajari, siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada berbagai permasalahan pelajaran IPA yang ditemui pada saat pembelajaran maupun setelah pembelajaran (Budiman, 2011).

Levels of Inquiry tahap Discovery Learning dapat membentuk kemampuan berpikir kritis. Pada tahap observation dalam Levels of Inquiry tahap Discovery Learning memberikan kesempatan siswa untuk mengemukakan respon terhadap fenomena yang telah diamati. Siswa juga dapat memfokuskan pertanyaan-pertanyaan, sehingga siswa mempunyai motivasi untuk belajar tentang topik yang akan dipelajarinya. Dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis, siswa dapat bertukar pendapat dengan temannya terkait dengan fenomena yang telah diamati. Pada fase manipulasi inilah siswa dapat menganalisis argumen untuk mendapatkan ide dan rencana pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan .

Pada tahap manipulation dalam pembelajaran Levels of Inquiry tahap Discovery Learning, siswa dapat saling menganalisis argumen untuk mendapatkan ide dan rencana pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang telah mereka ajukan.

Setelah itu siswa membentuk kelompok secara heterogen untuk berdiskusi, siswa yang

berkemampuan tinggi dijadikan ketua kelompok.

Siswa berdiskusi untuk membuat prediksi dan merencanakan hal apa yang harus dilakukan. Diskusi mendorong siswa menerapkan konsep-konsep IPA dan meminimalkan tingkat miskonsepsi (Setyadi, 2012). Pada tahap ini siswa mengumpul-kan informasi berdasarkan demonstrasi dan meng- embangkan strategi berpikir kritis.

Tahap selanjutnya adalah generalization.

Setelah melakukan demonstrasi dan tanya jawab siswa membentuk kelompok, dilanjutkan dengan melakukan percobaan sesuai dengan materi yang telah diajarkan. Setelah melakukan percobaan siswa mengolah dan menganalisis data hasil percobaan serta mengkonversikan hasil percobaan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di LKS yang sudah disediakan.

Tahap selanjutnya adalah verification. Pada tahap verification, siswa menyampaikan penyelesaian alternatif dengan presentasi di depan kelas, memikirkan ulang dan menguji penyelesaiaan.

Pada tahap verification siswa memberikan penjelasan yang logis dari fenomena yang dibahas (Wenning, 2011). Hal tersebut dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu IPA yakni konsep IPA perlu dikomunikasikan dari satu orang ke orang lain (Hedge & Mera, 2012).

Pada tahap application, siswa memberikan solusi ulang. Siswa memberikan aplikasi terkait dengan konsep yang diberikan. Siswa mencari aplikasi atau contoh lain yang dapat diterapkan pada konsep baru yang masih berkaitan dengan konsep yang dibahas (Wenning, 2011). Pembelajaran dengan Levels of Inquiry tahap Discovery Learning berpusat pada siswa.

Menurut Johnson (2007) menyatakan bahwa pembelajaran Discovery Learning yang dilaksanakan siswa dalam proses pembelajaran diarahkan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Hasil penelitian oleh Wenning (2011a),memaparkan bahwa model pembelajaran levels of inquiry cocok digunakan guru untuk meningkatkan kemampuan pedagogik dalam membimbing siswa yang belajar IPA. Dengan demikian Levels of Inquiry tahap Discovery Learning dapat melatih kemampuan siswa dalam berpikir kritis IPA.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa, kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar menggunakan model Levels of Inquiry tahap Discovery Learning lebih tinggi daripada siswa yang belajar mengguna- kan model pembelajaran konvensional.

Saran

Dari kesimpulan di atas, maka model Levels of Inquiry tahap Discovery Learning dapat menjadi pilihan bagi para guru untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis IPA siswa.

DAFTARRUJUKAN

Anggareni, W., Ristiati, P, & Widiyanti, M. 2013.

Implementasi Strategi Pembelajaran Inkuiri Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Dan Pemahaman Konsep Ipa Siswa SMP, (Online), (3), (http://119.252.161.254/e- journal/index.php/jurnal_ipa/article/view/75 2/538), diakses tanggal 25 November 2015.

Budiman, H. 2011. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa Melalui Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Sofware Cabri 3d.

Hamdayama, J. 2009. Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter.

Bogor : Ghalia Indonesia.

Hedge, Balasubrahmanya & Meera, B.N. 2012. How Do They Solve It? An Insight into the Learner’s Approach to the Mechanismof Physics Problem Solving. Physics Education Research, 8 (1):1-9.

Hosnan. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad

Johnson, E.B. 2007. Contextual Teaching and Teaching : what it is and why it’s here to stay.

California : Corwin Press

Kurniasih, I & Sani, B. 2014. Sukses mengimplementasikan Kurikulum 2013 Memahami Berbagai Aspek dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: Kata Pena.

Kemendikbud. 2013. Model Pengembangan Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA.

Kemendikbud. 2014. Buku Guru Ilmu Pengetahuan Alam SMP/Mts Kelas VII. Jakarta.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Marlinda, Ni Luh Putu Mery. 2013. Pengaruh model Pembelajaran Berbasis Proyek terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif dan Kerja Ilmiah Siswa. Jurnal Penelitian Pascasarjana Undhiksa, (Online), 2(2), (http://pasca.undhiksa.ac.id/ejournal), diakses tanggal 1 April 2016

Mentari, Welly. 2015. Pengaruh Model Discovery Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa, (Online), (http://ejournal.unila.ac.id), diakses tanggal 15 April 2016

Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Purwanto, C.E., Nugroho, S.E., & Wiyanto. 2012.

Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery pada Materi Pemantula Cahaya untuk Meningkatkan Berpikir Kritis,

113 (Online), 1(1), (http://ejournal.usm.ac.id), diakses tanggal 25 November 2015

Setyadi, Eko & Komalasari, Arif. 2012. Miskonsepsi Tentang Suhu dan Kalor pada Siswa Kelas 1 di SMA Muhammadiyah Purworejo, Jawa Tengah. Berkala Fisika Indonesia. 4 (1):46- 49.

Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Wayan, W., Wayan, S. & Wayan,S. 2014. Pengaruh Model Discovery Learning Terhadap Pemahaman Konsep IPA dan Sikap Ilmiah Siswa SMP, (Online), (4), (http://119.252.161.254/e

journal/index.php/jurnal_ipa/article/view/13 44/1036), diakses tanggal 25 November 2015.

Wenning, C.J. 2005. Levels of Inquiry: Hierarchies of Pedagogical Practices and Inquiry Processes. Journal of Physics Teacher Education Online, (online), 2 (3):3-11, (http://www.phy.ilstu.edu), diakses 27 Agustus 2015.

Wenning, C.J. 2006. Resources for Recruiting the Next Generation of Middle and Science Teacher. Journal of Physics Teacher Education Online, (Online) 3(4): 15-20, (http://www2.phy.ilstu.edu/~wenning/jpteo/) , diakses tanggal 24 Agustus 2015.

Wenning, C.J. 2008. Dealing More Effectively with Alternative Conception in Science. Journal of Physics Teacher Education Online,

(online), 5 (1):11-19,

(http://www.phy.ilstu.edu), diakses 27 Agustus 2015.

Wenning, C.J. & Khan, A.M. 2011. Levels of Inquiry Models of Science Teaching:

Learning sequences to lesson plans. Journal Physics Teacher Education Summer 2011,

(online), 6(2):17-20,

(http://www.phy.ilstu.edu), diakses 27 Agustus 2015.

Wenning, C.J. 2011a. The Levels of Inquiry Model of Science Teaching. Journal of Physics Teacher Education Online, (Online), 6(2):

11-19,

(http://www2.phy.ilstu.edu/~wenning/jpteo/) , diakses tanggal 27 Agustus 2015.

Yuliati, L. 2008. Model Model Pembelajaran Fisika Teori dan Praktek. Malang : UM Press.

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E

Dalam dokumen Untitled - IPA FMIPA UM (Halaman 109-115)

Garis besar

Dokumen terkait