• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan

kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Hal ini mem­ bawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena itu, dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap penting perwujudan “partai politik Islam” dalam kehidupan berpolitik. Tentu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati ek­ sistensi parpol­parpol Islam, tetapi ini tidak berarti keharusan untuk mengikuti mereka.

Di lain pihak kita juga harus menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara non­mus­ lim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam, alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipersoalkan, karena juga akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seperti ini, –sering disebut muslim nominal atau abangan–, tentu akan dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajar­ an Islam secara penuh, yang juga sering dikenal dengan nama “kaum santri”.

eg

Apabila terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem Islami, mengapa lalu ada ketentuan­ketentuan non­organisatoris yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci al-Qur’ân? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk dianggap sebagai “muslim yang baik”, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di kitab suci al-Qur’ân, yaitu menerima prin­ sip­prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya) menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan.

Kesetiaan kepada profesi itu, digambarkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan istilah, “mereka yang memenuhi janji yang mereka berikan” (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû) (QS al­

Baqarah [2]: 177). Adakah janji yang lebih nilainya daripada janji kepada profesi masing­masing, yang disampaikan ketika mem­ bacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?

Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh seorang mus­ lim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sen­ dirinya tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut ajaran Islam. Dengan demikian, mewujudkan sebuah sistem Is­ lami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap “mus­ lim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sangat penting, karena di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak me­ mentingkan arti sistem.

Maka ketika NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan deklarasi berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebut­ kan bahwa partai tersebut adalah partai Islam, penulis dihujani kritik tajam selama berbulan­bulan dari mereka yang meng­ inginkan partai tersebut dinyatakan sebagai partai Islam. Ini dilakukan oleh mereka yang tidak menyadari, bahwa NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda­beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi ter­ hadap teks keagamaan).

Dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, mukta­ mar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang diperintah oleh orang­orang non­muslim (para kolonialis Belanda)? Jawab muktamar saat itu; wajib. Karena di kawasan tersebut, yang di kemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam dapat diprak­ tekkan dalam kehidupan sehari­hari oleh warga bangsa secara bebas, dan dahulu ada kerajaan­kerajaan Islam di kawasan itu. Dengan demikian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin di ka­ wasan tersebut.

eg

Diktum Muktamar NU di Banjarmasin tersebut, memung­ kinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian pula, pembentukan badan­badan formal Islam bukanlah satu­

Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan

satunya medium bagi perjuangan Islam untuk menerapkan ajar­ an di bumi nusantara. NU yang resminya sebagai organisasi ke­ masyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik, dapat saja menyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di kawasan tersebut melalui Golkar (Golongan Karya) yang bukan sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan an­ tara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan melalui jalur­jalur resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para pendukung Ibn Taimiyyah2 beberapa abad yang lalu.

Lalu, bagaimana dengan adagium yang dikenal Islam; “Ti­ ada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpin­ an, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah)3. Bukankah ini sudah menunjukkan adanya sebuah

Ibn Taimiyyah, nama lengkapnya adalah Taqî al­Dîn Ahmad Ibn Taimi­

yah (w. 728 H/1328 M), adalah salah seorang intelektual Islam dari Syiria yang menuntut dibukanya kembali pintu ijitihad. Ibnu Taimiyah juga menjadi salah seorang pelopor pemurnian Islam dan berpengaruh sangat luas, terutama di daratan Arab. Pemikiran­pemikirannya menjadi inspirasi antara lain bagi gerakan Wahabiyah di Arab Saudi abad XVIII dan para pemikir pembaharu di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Karya Ibnu Taimiyah yangberpengaruh antara lain, al-Radd ‘alâ al-Manthiqiyyîn (Bantahan terhadap Ahli Logika) dan

al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah (Penyingkapan berbagai Metode Pembuktian). Pemikirian Ibnu Taimiyyah ini banyak ditelanjangi dalam studi pesantren le­ wat karya An­Nabhany yang berjudul SyawahidulHaqq yang sama sekali tidak memberikan celah lolosnya pemikiran­pemikiran Ibnu Taimiyyah. Hanya saja ada yang dilupakan oleh komunitas pesantren bahwa nama Ibnu Taimiyyah ini banyak mewarnai pemikiran­pemikiran murid terkasihnya yang bernama Ibnu Katsir yang dikenal sebagai tokoh tafsir bil ma’tsur yang menjadi referensi wa­ jib dan populer di pesantren. Disamping itu itu lewat karya spesifiknya yang berjudul “Iqtidlo’us Shirat al-Mustaqim Fie Mukhalafati Ahl al-Jahim”, Ibnu Taimiyyah termasuk dalam barisan ulama yang “menghalalkan” ritual tahlil

dan hadiah bacaan al-Qur’an kepada orang-orang yang sudah meninggal dan yang paling populer adalah dia juga penganjur tarawih 20 raka’at.

Statemen Umar bin Khattab yang sangat terkenal ini sering muncul sebagai landasan berfikir tentang keharusan adanya Daulah Islamiyyah untuk menuju Khilafah Islamiyyah dan juga sebagai dalil pijakan tentang formalisa­

si syari’ah. Jika ditelusuri dalam studi penelitian dan kritik hadis, perkataan

Umar bin Khattab di atas diinformasikan hanya melewati satu jalur trasmiter

(sanad) yang ditulis oleh ad­Darimi, yaitu melaluijalur Ad­Dari. Hadis tersebut berasal dari Yazid bin Harun dari Baqiyyah dari Sufyan bin Rustam dari Abdur­ rahman bin Maisarah dan dari rawi yang mendengar langsung statemen Umar yaitu Tamim Ad­Dari. Hanya jalur inilah yang membuat kita tahu dan mengerti

sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam ung­ kapan tersebut yang menunjukkan secara spesiik adanya se­ buah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebe­ narannya oleh ungkapan tersebut, asal ia memperjuangkan ber­ lakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.

Karena itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini pen­ ting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pi­ hak­pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang­Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan de­ mokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan Undang­Undang (UU) di pihak lain. e

bahwa Umar bin Khattab pernah mengeluarkan statemen yang sekarang dibuat sebagai landasan politis­ideologis ini. Bahkan jika ditelusuri dari perspektif edisi original version­nya, nampak sekali bahwa Umar tidak bermaksud un­ tuk menjadikan ini sebagai wacana politik, akan tetapi lebih pada jaringpeng- amansosial. Umar melakukan tindakan seperti ini berkaitan dengan adanya fenomena kecemburuan sosial dalam proyek pembuatan rumah­rumah ketika Umar menjadi khalifah. Kondisi saat itu menunjukkan adanya kecenderungan merusak tatanan sosial kemasyarakatan “Arab mini”. Statemen lengkap Umar adalah sebagai berikut:

An Tamim Ad-Dariy qala: Tathawala an-nas fil al-bina fi zamani Umar, faqala Umar: Ya ma’syara al-uraib, al-ardla al-ardla, fainnahu la Islama illa bi Jama’ah, wala Jama’ata illa bi Imarah wala Imarata Illa bi tha’ah, faman sawwadahu qaumuhu ala al-fiqh kana hayatan lahu wa la- hum, wa man sawwadahu qaumuhu ala ghayri fiqhin kana halakan lahu wa lahum.

Artinya: Dari Tamim ad­Dari, dia berkata: Pada masa Umar, orang­ orang bermegah­megah dan sombong dalam membangun rumah. Kemudian Umar berkata: Wahai komunitas Arab kecil. Lihatlah tanah itu, lihatlah tanah itu, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan komunitas dan tidak ada ko­ munitas kecuali dengan kepemimpinan dan tidak ada imarah kecuali dengan taat. Barang siapa oleh komunitasnya dipercaya untuk memimpin mereka de­ ngan berdasarkan pemahaman yang benar, maka hal itu akan menjadi kehidup­ an bagi dirinya dan komunitasnya, dan barang siapa dipercaya komunitasnya untuk menjadi pemimpin mereka dengan tidak berdasar pada pemahaman yang benar, maka itu akan menjadi kerusakan untuk dirinya dan komunitasnya.

P

ara santri yakin bahwa kekuasaan menjatuhkan azab dan memberikan pahala atas sebuah perbuatan, berada di tangan Allah Swt. Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium yang didasarkan atas kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. Adagium itu berbunyi: “memberikan pengampunan dan menu­ runkan siksa kepada siapapun adalah otoritas Allah (yaghiru li- man yasya’ wa yuadzibumanyasyâ).” Dalam hal ini, kendali atas keadaan sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.

Dalam konteks ini pula, sebuah pengertian baru haruslah dipertimbangkan: sampai di manakah peranan negara dalam menjatuhkan hukuman, sebagai salah satu bentuk siksaan. Dapat­ kah negara atas nama Allah memberikan hukuman sebagai bagi­ an dari siksa di dunia? Sudahkah manusia terbebas dari siksa neraka, jikalau ia telah menjalani hukuman negara? Kalau be­ lum, berarti ada penggandaan (dubbleleren) antara negara seba­ gai wakil Allah dan kekuasaan Allah sendiri untuk menetapkan hukuman. Bukankah justru hal ini bertentangan dengan hadits Nabi Saw: “Idra’ul hudud bi as-syubuhat. (Jangan berlakukan hukum hadd ketika permasalahan tidak jelas).” Dari hadis ini dapat difahami, bahwa hendaknya hakim jangan menjatuhkan hukuman mati jika ia ragu­ragu, benarkah si terdakwa nyata­nya­ ta bersalah? Jelas dari hadits itu pula memberikan pengertian bahwa kekuasaan negara ada batasnya, sedangkan kekuasaan Allah tidak dapat dibatasi.

Islam: