• Tidak ada hasil yang ditemukan

ideologis ataukah kultural? (01)

Namun, tidak selamanya penyebaran agama secara damai itu terkait dengan kekuasaan, seperti terlihat pada berbagai akti­ itas yang dulu menyertai aliran Syi’ah di negeri kita, beberapa abad yang lalu. Secara budaya, apa yang tadinya dianggap seba­ gai tindakan penyebaran agama, sekarang diterima sebagai adat di berbagai daerah. Perayaan Tabot, di Bengkulu umpamanya, dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh. Adat yang satu ini, menampilkan diusungnya tabot (peti mati/ keranda cucu) Nabi Saw, Sayyidina Husein, yang justru menjadi tanda bagi ke­ setiaan orang pada ajaran ahl al-bait (keluarga Rasulullah) yang menjadi titik sentral ajaran Syi’ah. Bahwa Tabot telah menjadi manifestasi budaya Indonesia, menunjukkan perkembangan se­ jarah yang sangat penting.

eg

Hal yang sama juga kita temui dalam penggunaan nama­ nama di Gedung DPR/MPR­RI kita. Gedung yang megah itu di­ haruskan menggunakan nama­nama dalam bahasa Sansekerta, seperti Graha Nusantara dan sebagainya. Sedangkan nama DPR/ MPR sebagai institusi produk Undang­Undang Dasar (UUD), lebih mencerminkan dialog yang umu dipakai antara para pe­ mimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, yang menggunakan pengaruh bahasa Arab. Lihatlah kata­kata yang dipakai, seper­ ti Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga kata itu, baik kata dewan, wakil maupun rakyat, sebelum mengalami konjugasi dalam ba­ hasa kita adalah kata­kata yang berasal dari bahasa Arab. Begitu juga dengan pemilihan umum, kata “umum” digunakan untuk hal­hal yang menyangkut publik, jelas berasal dari “sono”.

Namun, perkembangan bahasa yang semula diambil dari kata­kata Arab dan kemudian dari kata­kata Sansekerta, menun­ jukkan kemampuan beradaptasi yang dimiliki oleh bangsa kita. Kalau itu kita kaitkan dengan bidang­bidang lain, akan lebih be­ sar kemelut pengertian yang diakibatkan oleh pemakaian sehari­ hari. Ambil saja kata hukum, yang berasal dari kata al-hukm dalam bahasa Arab. Kata ini semula digunakan untuk menunjuk hukum agama Islam (iqh). Namun karena perluasan pemakai­ annya yang meliputi produk­produk yang dihasilkannya, akhir­ nya kata itu melingkupi makna baru, yang memiliki arti yang berbeda dari asal usulnya. Al-hukm yang semula berarti aturan

Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan

dan undang­undang agama (canonical law), berkembang men­ jadi hukum –yang berarti undang­undang dan peraturan negara. Perubahan pengertian ini, disebabkan sebagian oleh perubahan arti kata law atau recht, yang diambilkan dari bahasa­bahasa Eropa modern.

Belum lagi kalau diingat terjadinya bahasa­semu (meta language) dalam bahasa nasional kita, seperti disinyalir oleh Dr. Toety Herati Nurhadi: diamankan berarti ditangkap, har­ ga disesuaikan berarti dinaikkan, dan sebagainya. Akibat dari penggunaan bahasa semu ini, masyarakat terkotak­kotak dan timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat lanjutan­ nya, muncul jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of violence) —terutama dalam bentuk munculnya penggunaan pre­ man, yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bangsa.

eg

Jelaslah dengan demikian, hal pertama yang harus dilaku­ kan adalah pembakuan arti yang kita gunakan sehari­hari. Tan­ pa pembakuan ini, kita akan tetap rancu dalam pemikiran dan kacau dalam pengertian. Akibatnya, kita sebagai bangsa tidak tahu kemana orientasi kehidupan harus diarahkan. Hal ini tam­ pak antara lain, adanya pernyataan seorang anggota fraksi PDI­P DPR­RI bahwa ia bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai. Ini berarti, kerancuan telah menelusup dalam tubuh kita sebagai bangsa, juga menunjukkan cara berpikir yang carut marut yang kita alami saat ini. Demokrasi kita, yang semula berarti peng­ utamaan kepentingan rakyat banyak, diubah dengan tidak terasa kepada pemenuhan kebutuhan golongan dan ambisi pribadi.

Dengan demikian, kebutuhan menyamakan pandangan tentang demokrasi yang ingin kita ciptakan dalam kehidupan bangsa, haruslah tetap dilanjutkan. Walaupun sudah lebih dari 150 tahun, Alexis de Tocquevile1 menerbitkan bukunya tentang

demokrasi di Amerika Serikat, sampai hari inipun pembicaraan tentang jenis­jenis dan jangkauan proses tersebut dalam kehi­

1 Penulis buku Democracy in America, terbit pertama kali tahun 1840,

hampir bersanaan waktunya dengan tersiarnya buku The Communist Mani- festo karya Karl Marx & Friedrick Engels.

dupan bangsa Amerika tetap berlangsung. Dengan demikian, perkembangan proses demokratisasi itu sendiri senantiasa dijaga oleh para pemikir, agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Ini adalah sebuah hal yang sangat mendasar (fundamental), ka­ renanya ia tidak dapat diabaikan begitu saja.

Karena itu, keinginan berbagai kalangan gerakan Islam, agar Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 UUD kita, haruslah terus dibicarakan. Ia menunjukkan kurang adanya pe­ ngertian di kalangan gerakan­gerakan Islam tersebut. Bukankah pencantuman Piagam Jakarta itu dalam salah satu pasal UUD akan berarti memasukkan ideologi agama ke dalam kehidupan negara, dan dengan demikian memberi kepadanya kedudukan resmi sebagai ideologi negara? Bukankah dengan demikian, para warga negara lain yang non­muslim dimasukkan ke dalam lingkungan warga negara kelas dua? Dan bukankah orang yang berpaham atau berideologi non­agama, seperti kaum nasionalis dan sosialis, juga tidak memperoleh kedudukan terhormat di negeri ini? Ini adalah pertanyaan­pertanyaan dasar yang harus dijawab, bila kita menginginkan kehidupan bangsa yang benar­ benar demokratis di masa depan. h

P

ada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim Tiongkok, penulis menyatakan persamaan antara kaum muslimin Tiongkok dan Indonesia. Kedua negeri ini diatur oleh Undang­Undang Dasar (UUD) yang tidak mencantumkan Is­ lam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti itu, Islam tidak berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan hidup masyarakat. Demikian halnya dengan Indonesia, tentu masyara­ kat sendiri yang memilih berkeyakinan Islam, dan masyarakat yang menentukan untuk tidak menampakkan ailiasi agamanya sebagai ideologi negara seperti di Tiongkok. Persamaan men­ dasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara itu dalam hubungan formal dan non­formal dengan mereka.

Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang sangat besar, yang sering luput dari perhatian kita. Mengingat perbedaan tersebut, maka pentinglah arti sejarah bagi pemben­ tukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan orang, hingga secara tidak terasa kita terjerumus kepada sikap menyamakan hal yang tidak sama. Karenanya, tulisan ini men­ coba menyoroti hal itu, agar kita tidak terus­menerus melaku­ kan kesalahan. Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas kesalahan­kesalahan masa lampau, dalam menyongsong masa depan.

Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah se­ jarah masing­masing yang saling berbeda. Sejak semula Tiong­ kok berpenduduk sangat banyak, maka pemerintahan dikem­

Islam: