• Tidak ada hasil yang ditemukan

apakah Bentuk Perlawanannya?

Dalam menilik riwayat KH. A. Mutamakin itu penulis juga menggunakan Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton Amang­ kurat IV dan Pakubuwono II di Surakarta, yang dibahas oleh disertasi Dr. Soebardi2; juga ceritera ketoprak dan ceritera­ceri­

tera lain, di samping berbagai tulisan kaum pesantren tentang beliau dan terutama tulisan­tulisan beliau sendiri. Yang tidak sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang, yang menggunakan referensi Serat Cebolek dan sebuah buku tentang beliau yang diterbitkan oleh LKiS, di Yogyakarta, tulisan Dr. Abdul Djamil,3Rektor IAIN Walisongo di Semarang.

eg

Penulis berpendapat, KH. A. Mutamakin telah memelopori sebuah pendekatan baru dalam hubungan antara Islam dan ke­ kuasaan negara pada abad ke 18 Masehi. Ini memerlukan pene­ litian mendalam, agar kita menemukan strategi perjuangan Is­ lam yang tepat di negeri ini.

Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18 Masehi itu, pada intinya ada yang berupa sikap pro/menunjang pemerintah, dan sikap menentangnya. Kaum syari’ah/ iqh (hukum Islam) pada umumnya bersikap mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar adagium yang terkenal: “Enam puluh tahun dalam pemerin­ tahan penguasa yang bobrok, masih lebih baik daripada anar­ ki semalam (sittuna sanatan min imâmin fâjirin ashlahu min lailatin bila sulthan).”4 Sikap ini merupakan sebuah kenyataan

tidak adanya kontrol atas jalannya pemerintahan, semuanya ter­ gantung pada kehendak sang penguasa. Para pelanggar hukum, termasuk pelanggar iqh/hukum Islam terkena sanksi atau tidak secara legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum iqh itu

2 Lihat S. Soebardi, The Book of Cebolek, (The Hague: Martijnus Nijhoff,

1975).

3 Buku tersebut berjudul, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerak-

an Islam KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak, (Yogyakarta: LKIS, 2001).

4 Ibnu Taimiyyah; as-Siyasah al-Syar’iyyah Fi Islah Ar-Ra’iy wa

Ar-Ra’iyah, hal.218. Ibnu Taimiyyah dalam karyanya yang lain bahkan me­ nyatakan bahwa “Tuhan mendukung pemerintahan yang adil meskipun kafir, dan tidak mendukung pemerintahan yang dhalim meskipun mukmin”. Lihat Ibnu Taimiyah; al-Hisbah fi al-Islam, Riyadh, Mansyurat al­Muassasah al­

Sa’diyah, 1980, hal, 17.

Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan

menetapkan KH. A. Mutamakin telah melanggar syari’ah karena memasang lukisan binatang secara utuh, dan sering menonton wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Oleh sebab itu ia harus dihukum. Tetapi hukuman itu terserah pada sultan seba­ gai penguasa.

Sebaliknya, para pemimpin tarekat dan tassawuf bersi­ kap menentang penguasa. Perbedaan sikap ini menjadi pemicu pemberontakan di beberapa tempat dalam abad tersebut. Dalam pandangan kaum tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari kebenaran formal agama, karena itu haruslah dilawan secara terbuka. Sikap ini, sebenarnya sama­sama bersifat politis, bila dibandingkan dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas. Hanya saja, jika yang satu menentang maka yang lain mendukung. Sikap politis inilah yang membuat penguasa waktu itu banyak meng­ hukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Ceri­ ta ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah sesuatu yang memilukan di waktu itu.

eg

Di sini, KH. A. Mutamakin memperkenalkan pendekatan yang lain sama sekali. Ia mengutamakan pandangan alternatif terhadap kelaliman penguasa, namun tidak memberikan perla­ wanan secara terbuka. Dengan demikian, ia lebih mengutamakan sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pe­ mimpin wajib bertindak dan menampilkan para ulama sebagai kekuatan alternatif kultural di hadapan sang penguasa. Pendekat­ an inilah yang di kemudian hari dikenal dengan pendekatan kul­ tural yang memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan sang pe­ nguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh pendekatan politis yang menunjang penguasa dan yang menentangnya.

Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelas­jelas menen­ tang penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa. Di masa itu, kaum syari’ah memberikan dukungan kepada pe- nguasa sedangkan pihak tarekat bersikap menentang. KH. A. Mutamakin mengembangkan sikap kultural di atas, yakni pilih­ an alternatif yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru, keadaan menjadi terbalik: pihak tarekat justru menjadi penunjang dan mendukung kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpin­pemim­ pin tarekat pada masa itu. Sedangkan kaum syari’at, seperti yang

tergabung dalam kalangan NU dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) masa itu menampilkan perlawanan kultural ter­ hadap kekuasaan.

Sekarang, pertanyaan pokok adalah, haruskah perlawanan kultural itu dikembangkan terus di masa depan? Atau justru di­ matikan? Dan dengan demikian perjuangan seterusnya menjadi perlawanan politis saja. Jawabannya menurut penulis adalah se­ suatu yang sangat komplek: bagi organisasi non­politis, seperti NU, pendekatan yang harus diambil adalah pendekatan kultural yang lebih didasarkan pada alternatif­alternatif yang menguta­ makan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan bagi organisasi­organisasi politik, seperti PKB (Partai Kebangkit­ an Bangsa), tekanan harus diletakkan pada penciptaan sistem po­ litik yang bersih, meliputi ketiga bidang eksekutif­legislatif­yudi­ katif. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kultural dan politis itu dapat ditegakkan proses demokratisasi di negeri kita. Sebagaimana diketahui, demokratisasi hanya dapat tegak kalau dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum dan adanya per­ lakuan yang sama bagi semua warga negara di muka Undang­ Undang.

Bukankah dengan demikian, menjadi relevan bagi kita di saat ini, mengembangkan pendekatan kultural yang dahulu di­ rintis KH. A. Mutamakin? h

D

alam acara NU (Nahdlatul Ulama)/PKB (Partai Kebang­ kitan Bangsa) dan beberapa pesantren di Kalimantan Se­ latan, serta orasi budaya dalam Konferensi Besar Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Samarinda, penulis melihat sebuah fenomena yang sangat menarik. Di tiap tempat, penulis selalu disuguhi pagelaran qasidah shalawat badar, bah­ kan di acara lainnya justru orang­orang non­muslim yang mem­ bawakannya. Ini berarti, sajak Arab ciptaan KH. Ali Mansyur dari Tuban, di Banyuwangi tahun 1962 itu, telah menjadi kha­ zanah budaya nasional, minimal budaya NU/PKB. Terlepas dari penyerahan Bintang NU kepada keluarga almarhum pencipta sa­ jak tersebut di Muktamar Krapyak, Yogyakarta tahun 1989, fak­ ta lainnya adalah penyebaran sajak yang ditembangkan dalam birama (bahr) tradisional tersebut, tampak jelas telah dianggap sebagai fenomena budaya nasional tanpa disadari.

Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara budaya dan agama. Sama eratnya dengan penyampaian lagu­puja dalam qasidah dzibâ’iyah, yang dibawakan jutaan anak­anak muda NU setiap minggu. Ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Is­ lam di negeri ini, antara lain lewat budaya, disampaikan secara damai, tidak melalui jalan peperangan. Memang harus diakui, kekuatan yang dimiliki kaum muslimin, melalui kekuasaan atau tidak, telah turut mendukung penyebaran agama secara damai itu.

islam: