• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran kembali “kebenaran Relatif”

pat. Karenanya sejarah telah mencatat, seorang penguasa otoriter tidak akan bersedia mengadakan dialog dan pertukaran pendapat. Lain halnya dengan agama yang memiliki “kebenaran moral”, yang tetap akan ada walaupun terjadi penyanggahan. Kitab suci al-Qurân menyatakan; “Kalau para hamba-Ku bertanya tentang diri­Ku, maka sesungguhnya Aku dekat (dengan mereka) meme­ nuhi permintaan orang yang berdo’a jika (diajukan) kepada-Ku

(wa idzâ sa’alaka ‘ibâdî ‘annî fa-innî qarîbun ujîbu da’wata al-

dâ’i idzâ da’âni)” (QS al­Baqarah [2]:186).

Prinsip di atas, perlu dikemukakan di sini, karena hanya melalui dialog yang bebas dan terbuka, dapat dicapai kebenaran akhir yang diikuti dan diterima orang yang berpikiran sehat dan wajar. Inilah arti penting dari sikap jujur, untuk mempertahankan kebenaran, berpikir, berpendapat dan menyatakan pendapat. Ini pula yang merupakan ciri berlangsungnya kehidupan demokratis, tidak seperti di beberapa negara tetangga kita. Mereka mengaju­ kan klaim sebagai negara demokratis, namun dengan alasan ke­ amanan internal, diberlakukan kekangan/hambatan psikologis agar tidak menyatakan pendapat secara bebas. Dengan kata lain, yang berlaku di tempat­tempat itu adalah demokrasi prosedural, bukan demokrasi sesungguhnya. Kalau ditambahkan embel-em- bel kata lain pada istilah demokrasi, seperti demokrasi rakyat dan demokrasi Islam, maka pada akhirnya demokrasi itu sendiri akan mati dan tidak muncul ke permukaan.

eg

Kembali pada pertanyaan mahasiswa di atas, mengapa ada “ajaran Islam” yang ditolak? Penulis dapat menjawab bahwa ti­ dak pernah menolak “ajaran Islam yang baku”, seperti tauhid dan sebagainya. Namun, penulis hanya menyanggah pendapat yang oleh banyak orang dianggap sebagai “ajaran tetap” dalam agama Islam. Padahal, ajaran itu telah berubah melalui perubah­ an zaman, dengan menggunakan cara tertentu. Di antara cara tertentu itu, adalah penafsiran ulang (reinterpretasi) oleh kaum muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya diterima sebagai ke­ benaran tetap oleh mereka. “Kebenaran relatif” itu lalu berubah dengan adanya penafsiran ulang itu.

Contoh yang dapat dikemukakan di sini, adalah penafsiran ulang atas ucapan Rasulullah Saw: “Maka Aku (akan) membang­

Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa

gakan kalian (di hadapan) umat­umat (lain) pada hari kiamat (fa

innî mubâhin bikum al-umam yauma al-qiyâmah).” Dalam pe­

nafsiran lama, kaum muslimin mengartikan kebanggaan beliau itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga merekapun berbanyak­banyak anak. Tafsiran ulang yang baru, yang didukung oleh kenyataan meluasnya program Keluarga Berencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: ke­ banggaan akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan tempat dan waktu (Shalihun li kulli zamânin wa makânin).

Dengan demikian, apa yang tadinya dianggap sebagai “ke­ benaran” lalu dianggap oleh sebagaian kaum muslimin sendiri, pada masa kini, sebagai “kebenaran relatif” yang perlu diberi tafsiran baru. Contoh di atas adalah sebuah kenyataan empirik yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.

Sebuah tafsir ulang lain yang dapat dikemukakan di sini, adalah melaksanakan sumpah setia ketika berjanji; “Orang­orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan pra­ setia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âahadû)” (QS al­Baqarah [2]:176), sebuah ungkapan irman Allah yang tadinya dianggap janji secara umum saja. Tafsir ulang atas istilah tersebut, dapat diartikan dengan pengertian baru “menjunjung tinggi profesio­ nalisme”. Bukankah janji tertinggi dari seseorang, disampaikan ketika ia mengucapkan sumpah/prasetia jabatan? Bukankah dengan demikian, berarti Islam sangat mengutamakan profe­ sionalisme, dengan segala implikasinya?

eg

Jelaslah dari keterangan di atas, dengan tafsir ulang seperti itu, “kebenaran relatif” Islam dapat ditegakkan secara pasti. De­ ngan demikian, ada jalinan sangat halus antara keyakinan yang terdapat dalam diri seorang muslim dan data empirik. Hal ini telah terjadi dengan sendirinya, sebagai proses alami yang wajar, dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin. Ini dimungkinkan oleh kenyataan yang terdapat dalam sejarah kaum muslim sendi­ ri, seperti yang kita ketahui dari bacaan selama ini.

Ketentuan ushûl iqh (teori hukum Islam) berbunyi; bah­ wa hukum agama (qarâr al-hukmi) terbagi dalam dua jenis;

qath’iyah al-tsubût (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau

dalil naqli) dan dhanniyah al-tsubût (hukum tidak berdasar­

kan sumber tertulis atau dalil aqli). Dengan demikian, sepan­ jang dapat diterima oleh akal, maka sebuah hukum agama dapat berlaku berdasarkan pandangan akal dan selama tidak berten­ tangan dengan sumber-sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits. Pembedaan ini dilakukan dalam teori hukum Islam karena tidak semua hal lalu ada sumber­sumber tertulisnya. Bagi kasus­kasus yang termasuk dalam kategori ini, maka dibuatlah jenis hukum yang tidak berdasarkan pada sumber­sumber tertulis. Termasuk dalam hal ini, fatwa Syekh Yusuf al­Qaradhawi, bahwa bunga bank yang tidak eksploitatif dan berguna bagi reproduksi barang (termasuk dalam ongkos produksi), tidaklah dapat dianggap riba. Masih banyak penafsiran lain tentang hal ini. Di sinilah sangat terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para pe­ mimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmatu al-ummah).” Kalau kita pegang adagium ini, maka yang dilarang hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita.

Sekarang, bila sebuah hukum agama sudah ada dalam sum­ ber tertulis al-Qurân dan al-Hadits (qath’iyah al-tsubût), semen­ tara keadaan membutuhkan penafsiran baru. Lalu ,apakah yang harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita meng­ gunakan sebuah kaidah hukum Islam (qaidah al-iqh), bahwa keadaan tertentu dapat memaksakan sebuah larangan untuk di­ laksanakan (al-dharûratu tubîhu al-mahdhûrât).1 Hal ini, um­

pamanya saja, terlihat pada kasus negara yang sudah meratii­ kasi Deklarasi Universal tentang Hak­Hak Asasi Manusia (HAM)

—(Universal Declaration of Human Rights) yang ditetapkan

PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Deklarasi HAM itu terdapat masalah hak memeluk atau berpindah agama. Ini tentu bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, sebab menurut hukum agama (iqh) orang yang berpindah agama Islam kepada agama lain, harus dianggap sebagai apostacy (murtad). Kalau hukum ini dilaksanakan, maka lebih dari 25 juta jiwa penduduk Indonesia –yang berpindah dari agama Islam ke agama lain dalam lingkungan negara Republik Indonesia, dapat dijatuhi hu­ kuman mati . h

1 Lihat Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadla’ir fi al-Furu’, hal. 60

S

ejumlah pemimpin partai­partai politik Islam, beberapa tahun yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita tidak tepat dalam pandangan agama. Dasar anggapan itu adalah ungkapan al-Qurân “Lelaki lebih tegak atas wanita (al-ri-

jâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ)” (QS Al­Nisa [4]:34), yang dapat

diartikan menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung ja­ ab isik atas keselamatan wanita; dan kedua, lelaki lebih pan­ tas menjadi pemimpin negara. Ternyata para pemimpin partai politik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari ucapan mereka di muka umum. Anggapan bahwa wanita lebih lemah, yang menjadi pendapat dunia Islam pada umumnya se­ lama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya.

Untuk melanjutkan anggapan ini digunakan beberapa sum­ ber tekstual (‘adillah naqliyah). Seperti ungkapan “Wanita hanya mempunyai separuh akal lelaki”, dan sumber­sumber sejenis. Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci al-Qurân dipakai dalam hal ini, yaitu “Bagian pria (dalam masalah warisan) adalah dua kali bagian wanita (Li al-dzakari mistlu hazzi al-untsayain)” (QS al­Nisa [4]:11). Padahal kutipan itu hanya mengenai ma­ salah waris­mewaris saja. Karena itu, dua pandangan di atas, yang selalu menilai rendah wanita, masih umum dipakai orang dalam dunia Islam.

Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar hak lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang karena memang Islam menilai seperti itu. Firman Allah Swt dalam al­