• Tidak ada hasil yang ditemukan

Idiosinkrasi Penguasa

tawanan politik yang tak bersenjata. Anehnya, ia tampak menik­ mati bagaimana lawan­lawan politiknya menjerit ketakutan se­ belum dimangsa buaya­buaya buas tersebut.

eg

Sultan Trenggono dari Demak, dalam abad sebelumnya, sangat tertarik dengan seorang wanita cantik, yang kebetulan menjadi istri muda Ki Pengging Sepuh, salah seorang pangli­ manya. Suatu ketika, Ki Pengging diperintahkan sang Sultan untuk menyerbu daerah­daerah non­muslim di Jawa Timur, dan akhirnya ia pun gugur di daerah Pasuruan (Segarapura, Ke­ mantren Jero, kini terletak di Kecamatan Rejoso). Maka, seiring dengan kematian Ki Pengging Sepuh itu, segera setelah habis masa iddah si perempuan muda dan cantik itupun diambil Sultan Trenggono sebagai istri selir. Idiosinkrasi pemimpin Kesultanan Demak tersebut menunjukkan, bahwa motif pribadi dapat saja mendorong seorang penguasa untuk mengambil tindakan atas nama agama, dalam hal ini “peng­islaman daerah Pasuruan”.

Drama seperti itu menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi akan membuat seorang penguasa pada akhirnya menjadi lalim dan mempersamakan kepentingan pribadi de­ ngan kepentingan bangsa secara utuh. Hal ini juga mendera para pemimpin seperti Mao Zedong (RRT) dan Kim Il Sung (Korea Utara). Begitu lama mereka berkuasa, tanpa berani ada yang me­ nentang secara terbuka, hingga memaksa orang banyak untuk melawan dengan cara mereka sendiri.

Dengan demikian, masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana membatasi para pemegang kekuasaan, baik wak­ tu maupun wewenangnya. Tanpa ada kepastian dalam hal itu, maka demokrasi tidak akan pernah berdiri dalam negara yang bersangkutan. Demokrasi bukanlah sekedar aturan permainan kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, melainkan menciptakan tradisi demokrasi yang benar­benar hidup di ka­ langan rakyat. Para penguasa yang demikian lama menguasai pemerintahan, seperti yang terjadi di sebagian negara, jelas­jelas tidak demokratis walaupun mereka melaksanakan aturan kelem­ bagaan yang ada. Tanpa mengembangkan tradisi demokrasi dalam lembaga­lembaga yang bersangkutan, klaim sejumlah pe­ mimpin bahwa di negara mereka sudah tercipta demokrasi, yaitu

Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa

dengan adanya pemilihan umum yang teratur, jelas merupakan pelanggaran terhadap gagasan demokrasi itu sendiri.

eg

Hal itulah yang harus diingat ketika seorang penguasa menyatakan akan membangun demokrasi dalam konsep negara Islam. Pendapat tersebut mengabaikan dua hal, di satu pihak yaitu adanya idiosinkrasi para penguasa. Di pihak lain terjadi de­ mokrasi sebagai formalitas saja. Keduanya merupakan sesuatu yang harus dihilangkan dalam konsep tersebut. Dengan kata lain, sebuah konsep tentang negara dalam Islam, tidak dapat hanya terkait dengan idealisme kekuasaan itu sendiri, melainkan juga terkait kepada mekanisme apa yang digunakan.

Kenyataan seperti itulah yang pada akhirnya memaksa Kongres Amerika Serikat (AS) untuk membatasi kepresidenan di negara itu hanya dalam masa dua term saja, pada paruh pertama abad yang lalu.Pembatasan itu tadinya hanya bersifat tradisi, yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat semenjak George Washington. Namun karena Franklin Delano Roosevelt (FDR) terpilih kembali untuk keempat kalinya pada tahun 1944, wa­ laupun secara efektif kekuasaan berada di tangan pembantunya yaitu Harry Hopkins1, Kongres kemudian mengubah undang­un­

dang, dengan membatasi masa jabatan Presiden Amerika Serikat hanya untuk dua kali empat tahun saja.2

Jelaslah dengan demikian, bahwa membuat konsep ten­ tang sebuah negara demokratis bukanlah hal yang mudah. Apa­ lagi jika hal itu dikaitkan dengan sebuah agama, seperti konsep negara dalam Islam. Ini belum lagi diingat, bahwa para pemilih senantiasa berkembang dalam pikiran dan perasaan —seperti

1 Walaupun tidak pernah secara resmi menjadi Wapres, namun Harry

Lloyd Hopkins yang juga arsitek kebangkitan ekonomi Amerika Serikat atau

New Deal, amat dipercaya FDR dalam menjalankan program­program poli­ tiknya.

2Konstitusi Amerika (1787) semula tidak membatasi masa jabatan Presi­

den. Belajar dari masa kepresidenan Franklin D. Roosevelt (1933­1945) yang menjabat lebih dari 3 kali masa jabatan, maka agar siklus kepemimpinan de­ mokrasi tetap terpelihara, Kongres membatasi masa jabatan presiden melalui Amandemen ke­XXII yang disetujui Kongres pada tanggal 12 Maret 1947, di­ ratifikasi tanggal 26 Februari 1951.

yang terjadi di Republik Islam Iran saat ini. Dahulu para pemilih di sana mendukung para Ayatullah konservatif, sekarang justru mendukung para Ayatullah dan para pemimpin moderat, seperti Presiden Khatami.

Ada keharusan menjawab pertanyaan yang belum juga di­ laksanakan oleh Parlemen Iran hingga saat ini, yaitu membiar­ kan orang­orang yang tidak beragama Islam ­atau yang dianggap demikian oleh Parlemen Iran, mencalonkan diri sebagai presi­ den. Bukankah hal itu menunjukkan ketakutan bahwa orang­ orang non­muslim akan dapat menjadi presiden, dan bukankah ketakutan seperti itu menunjukkan para legislator Iran memba­ tasi demokrasi itu sendiri? Kalau kecenderungan moderatisme di Iran berlangsung terus, hal ini akan menjadi tekanan terha­ dap para anggota parlemen yang membuat undang­undang ten­ tang syarat­syarat pemilihan presiden agar tidak bertentangan dengan demokrasi. h

U

lil Abshar­Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ula­ ma (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri”. Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan Muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi ada hal yang membeda­ kan Ulil dari orang­orang pesantren lainya, yaitu profesinya bu­ kanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya hal itulah yang akhirnya membuat ia dimaki­maki sebagai seorang yang “meng­ hina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang memper­ tanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.

Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan libe­ ralisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan me­ miliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdeka­ an” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas­asas keyakinannya sendiri akan “kebenaran” Islam. Padahal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama Islam. Itulah sebabnya, mengapa demi­ kian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini.

Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemu­ kakan bahwa ucapan “Assalâmu’alaikum” dapat diganti dengan